“Jadi, rencana Bunda sampai kapan kerja di sini?” Tanyaku sambil menemani Bunda mempersiapkan makan malam di dapur.
“Nggak tahu, liat nanti.” Bunda menjawab cuek sambil menggoreng ayam.
“Yaudah! Kalau cederaku sudah sembuh, aku bakalan balik sendiri ke rumah,” ancamku.
“Lho? Emangnya kamu berani tinggal sendiri?” Bunda meledekku.
“Ih … Bunda yang serius, dong! Kerja di sini juga bukan solusi,” protesku dengan rengekan.
“Lalu, apa Jaeryn? Kamu mau apa? Dapat banyak duit, kok, nggak mau.”
Tak kusangka, ternyata Bunda benar-benar kukuh dengan pekerjaan ini. Ia tidak merasa terbebani atau terhina. Bahkan menurut Bunda, kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Seakan-akan, aku adalah orang yang tidak pandai bersyukur.
Sejujurnya bukan tidak bersyukur, sih. Kalau mau ngomongin bersyukur, tentu mau tidak mau aku harus bersyukur bisa tinggal di tempat yan
Makanan yang disajikan di depanku, tak mampu membuatku berselera. Kusendok makanan di piringku dengan lesu. Aku khawatir dengan Bunda, dan sibuk memikirkan berbagai hal ketimbang makan malam. Salah satunya adalah ambisiku. Semenjak cedera, aku menjadi lebih cemas daripada biasanya.Menjadi penata rias terkenal, itulah mimpiku. Mimpi yang selalu kugenggam erat, dan tak akan kubiarkan seorang pun merampasnya. Mimpi yang sampai membuatku terlibat dalam sebuah kecelakaan - dan akhirnya berada di sini, satu rumah dengan artis papan atas berwatak dingin dengan berbagai kelakuan anehnya.Tentu saja impianku itu terasa masih terlalu jauh untuk terwujud. Saat ini, aku hanyalah seorang penata rias faktor keberuntungan karena tak punya bakat yang memadai. Yah, begitulah menurut Geraldy.Ditambah lagi, sekarang aku malah harus berakhir menjadi anak seorang pembantu rumah tangga. Aku tak berdaya untuk merubah kondisi. Sebab, aku miskin … dan sedang cedera. Saat ini, t
Jika aku bisa memilih untuk tidak mengikuti Geraldy, tentu saja aku tidak akan membiarkan dia mendorong kursi rodaku menuju sebuah tempat – di mana ia menyekap seseorang. Rasanya muak sekali menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan seseorang yang baru saja menjatuhkan harga diriku. Aish, seharusnya tadi aku menamparnya saja. Yah ... andaikan saja aku bukan bawahannya. Sepertinya pilihanku untuk tinggal di sini adalah kesalahan besar. Aku tak menyangka, bisa-bisanya Geraldy menyekap seseorang. Lagipula aku yakin, orang yang Geraldy sekap itu tidak bersalah kepadanya. Dia memang pria aneh! Mau tidak mau aku harus mengikuti kemauannya. Aku terlanjur panik karena tidak ingin orang itu terluka karena kegilaan Geraldy. Mau bagaimanapun, aku harus mencari cara untuk menyelamatkan orang itu. Geraldy bilang, semua ini adalah kejutan. Kejutan spesial untukku. Sebentar ia mencaciku, setelah itu ia menyiapkan sebuah kejutan. Hahaha …. Ada apa, sih, dengan pria ini?
Telekinesis adalah kemampuan batin yang mampu menggerakkan obyek fisik, hanya melalui pikirannya. Begitulah yang internet katakan setelah aku menghabiskan waktu selama dua jam untuk mencari tahu. Semua yang terjadi padaku semalam adalah nyata. Ya, meskipun aku sendiri masih sulit mempercayainya. Lakban di mulut Mas Rudi yang terbuka sendiri, serta kursi rodaku yang bergerak maju tanpa kusentuh ... semua itu bukanlah kebetulan. Bukan pula karena bantuan setan. Melainkan, Geraldy punya kemampuan telekinesis. Aku sangat yakin akan hal itu. Memang, sih, aku juga tahu kalau Geraldy punya teman dari dunia lain. Ia mengerjaiku beberapa kali dengan hal itu. Namun, kini aku sangat yakin akan fakta baru tentang Geraldy yang tidak diketahui oleh semua orang. Fakta itu adalah ... Geraldy tidak hanya indigo, tetapi ia juga memiliki kemampuan telekinesis. *** Flashback “I-itu ... itu ba-barusan apa, Ger?” Suaraku bergetar hebat. Geraldy mendekatkan wajahnya ke
Geraldy Pratama “A-aku suka kamu. Uhuk … uhuk ….” Pria brengsek ini akhirnya mengutarakan alasannya. Fiuh … jujur saja aku tidak terkejut dengan penuturan itu. Pesonaku memang terlalu kuat, sampai-sampai pria pun jatuh cinta. Mmm … perempuan lemah itu tampak begitu syok. Ia yang sedari tadi menangis tersedu-sedu dan kebingungan, kini menjadi semakin pusing. Hah … menarik. Benar-benar perempuan bodoh karena menyukai orang yang salah. “Udah terbukti, kan? Kalau si brengsek ini yang bantuin pelaku?” Tanyaku bangga. Jaeryn yang masih syok, hanya mematung selama beberapa saat. “K-ke-napa?” Ia kemudian bersuara dengan raut yang begitu menyedihkan. “Kalau memang Mas Rudi suka sama Geraldy, apa hubungannya dengan melukaiku? Kenapa Mas ingin menyingkirkan aku?” “Mas cemburu sama aku?” Sebagian besar perempuan memang menyebalkan. Padahal sesungguhnya mereka sudah tahu jawabannya. Tetapi tetap saja mereka bertanya dan butuh pembenaran. Ya sudahlah, mari
Pertunjukan yang seru akan dimulai. Sudah lama aku tidak melihat pertumpahan darah. Kematian … aku ingin kembali melihat seseorang mengalami kematian. Terakhir kali, kematian yang terjadi di rumah ini adalah kematian ayahku. Seorang ayah yang sangat aku cintai. Katanya, ketika kita bersedih melihat kematian seseorang … itu tandanya kita mencintai orang itu. Dan apabila kita senang melihat kematian seseorang, maka itu mengartikan kita membenci orang itu. Manager bodoh ini harus mati. Biarlah kematiannya menjadi jawaban atas perasaanku kepadanya; kebencian. Lagipula, rumah lamaku ini pasti sudah merindukan pertumpahan darah. Semenjak kematian ayahku, rumah ini menjadi rumah yang terbengkalai. Untung saja, sebuah bangunan apartemen dibangun dekat sini. Jadi, aku bisa sering berkunjung ke sini dari apartemenku. Sebuah hal bagus, aku bisa mengeksekusi orang-orang menyebalkan sekaligus bernostalgia dengan kenangan masa lalu, kenangan di mana ayah masih ada. Dan pastiny
“Oke. Terserah, deh, apa mau kamu. Pokoknya setelah ini, aku mau pulang.” Jaeryn akhirnya menjawab tawaranku.“Bagus, kita buktikan siapa yang paling benar!”Aku dan Jaeryn kembali menoleh tajam ke arah managerku.“Jadi apa Mas Rudi?” Jaeryn mendesak agar managerku kembali melanjutkan perkataannya.Managerku pun maju satu langkah dengan gerak lemah.“Jadi, kamu bener suka sama Jaeryn, Ger?” Tanyanya.Tentu saja pertanyaan itu membuatku tertawa jahat. Sungguh sebuah pertanyaan bodoh yang didasari perasaan yang bodoh pula.“Ah, sial. Bukankah jawabannya udah jelas?” aku kembali membakar suasana.Mendengar jawabanku, managerku kemudian mengambil pisau yang tadinya Jaeryn letakkan di lantai. Ia kemudian mengangkat pisau itu dan meletakkan perut pisau tepat di lehernya.Sikap itu lantas membuat Jaeryn kembali syok.“Mas Rudi mau ngapain?” Jae
Keesokan hari setelah pertumpahan darah yang cukup memuaskan, aku kembali sibuk berada di rumah sakit. Tujuan yang pertama, adalah untuk mengurusi seorang mayat. Yang kedua, adalah untuk mengurusi calon mayat. Calon mayat yang akan segera bisa dieksekusi. “Ada dua kabar yang harus saya sampaikan. Yang satu kabar baik, yang satu lagi kabar buruk,” ucap dokter Farhan, dokter yang pernah menangani Jaeryn. “Tolong beritahukan dengan cepat, dok.” bunda Jaeryn panik setengah mati. “Saya mulai dari kabar baik dulu. Saya rasa Jaeryn tidak mengalami apapun yang serius, Jaeryn hanya terlalu syok. Dengan istirahat total, Jaeryn sudah bisa beraktifitas normal. Setelah ini, ada baiknya Jaeryn mendapat dampingan psikologis dari professional, untuk mencegah terjadinya PTSD.” “Not a big problem,” jawabku. Tak sabaran, bunda Jaeryn buru-buru meminta dokter Farhan menyampaikan kabar buruk tentang Jaeryn. “Kabar buruknya, janin di dalam perut Jaeryn tida
Aku melihat semuanya dengan jelas, dengan kedua belah mataku yang sudah dibanjiri air mata. Sambil bersembunyi di bawah kolong kasur, menahan suara, aku melihat ayahku sendiri dibunuh oleh ayah tiriku yang saat itu berstatus sebagai selingkuhan.Kudengar dengan jelas, “Aku ingin hidup enak, memiliki istri yang cantik, dan seorang anak laki-laki. Oleh karena itu, aku harus menyingkirkanmu.”Ya, ayah tiriku adalah ayah kandung Jaeryn. Aku yakin bahwa Jaeryn tak tahu akan permasalahan ini. Ia tidak tahu bahwa dia dan ibunya telah dibuang.Namun, semua tak merubah fakta apapun. Pria sialan itu tidak hanya membunuh ayahku, ia bahkan membuat ibuku menjadi orang yang berbeda. Dia merebut semuanya dariku.Dia begitu pandai menyusun rencana, sehingga ia tidak dihukum karena telah membunuh ayahku. Dia mengubah kasus pembunuhan menjadi kasus bunuh diri. Dan dia telah merubahku menjadi seorang monster juga.Aku bukannya ingin jahat … aku han
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan