"Bagus..! Mari kita laporkan pada pos-pos di depan ke arah Jogja..!” sahut rekannya. Mereka pun sibuk menginfokan data tersebut ke pos rekan-rekan mereka. Ngguuenngg.....!! Permadi makin menggila dan menggaspoll motornya, melesat dan meliuk gesit melewati mobil atau pun motor di depannya. Melewati jalan raya Wates, Permadi menoleh ke belakang dan melihat sudah ada 3 orang polisi yang mengejarnya. Satu dengan motor trail dan dua dengan motor KLX 150L, ketiganya juga gesit dan lincah berusaha mengejarnya. ‘Hhh..! Sepertinya sudah saatnya ku lepaskan motor ini’, bathin Permadi memutuskan. Dia terus melihat spion motornya, untuk memastikan posisi ketiga motor polisi yang mengejarnya. Melintasi jalan raya Sedayu, Permadi agak mengurangi kecepatannya. Hingga jarak dengan ketiga motor polisi yang mengejarnya semakin dekat, hanya sekitar 300 meteran saja. Cittt.tt.!! Ngungg.....!! Permadi berbalik arah dan langsung menggaspoll motornya. "Gila..! Dia nekat..!" seru terkejut seorang
“A-apa Elang..?! Kau hendak pergi besok..?!” seru Aditya terkejut, dia sama sekali tak menduga Elang akan pergi secepat itu. Wajahnya nampak langsung muram, dia sudah menganggap Elang sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Tentu saja dia merasa kehilangan jika Elang pergi. “Benar Pak Aditya, Elang masih harus melanjutkan perjalanan panjang ini. Mungkin ada yang sedikit bisa Elang lakukan untuk orang lain, dan juga pelajaran untuk diri Elang sendiri di luar sana pak,” sahut Elang tersenyum, meminta pemakluman Aditya. “Ahh..! Baiklah Elang, jika itu sudah jadi keputusanmu. Tidak ada sama sekali sikapmu yang kurang berkenan di hati kami sekeluarga. Justru sikap kamilah yang mungkin kurang pantas, dalam menyenangkan hatimu selama di sini Elang. Kami mohon maaf untuk itu Elang,” Aditya berkata dengan pelan dan sepenuh hati. “Pak Aditya dan keluarga sudah menerima Elang dengan sangat baik. Elang senang berada di rumah ini. Jika suatu saat Elang lewat daerah ini, Elang pasti mampir
Ya, sudah 5 hari sejak pergumulannya dengan Wanti, Permadi belum lagi berolah asmara. Oleh karenanya begitu melihat sosok Nadya yang cantik memikat. Maka sepasang mata Permadi pun langsung hijau seketika. Namun sebenarnya bukan sekedar kecantikkan Nadya saja, yang menarik perhatian Permadi. Ada suatu aura terang cerah kehijauan, yang dilihat Permadi pada diri Nadya. Dan hal itu sungguh menambah pesona Nadya di matanya. Hasrat dalam dirinya yang tertidur selama 5 hari itu pun bangkit secara tiba-tiba. Begitu menggelegak dan berkobar, saat melihat ‘gadis istimewa’ bernama Nadya itu. Ya, cincin mustika Nagandini memang memancarkan aura terang, laksana kharisma seorang ratu. Wajar saja jika Permadi terpesona pada pandang pertamanya pada Nadya. Saat dilihatnya Nadya kembali masuk ke mobilnya, dan meluncur ke arah kota Jogja. Maka Permadi bergegas membayar makanannya. Permadi berjalan cepat menjauhi warung, lalu melesat lenyap ke arah meluncurnya mobil Nadya. Slaph..! Taph..! Sosok
‘Babo..babo.! Uedaann.! Menilik namanya sepertinya memang ada ‘garis’ antara dia dan Ki Bogananta..! Aku harus menghalanginya membuat ‘kerusakkan parah’ dengan ilmunya itu’, bathin Mbah Kromo bergetar agak jerih. Mbah Kromo pernah mendengar trntang pamungkas ‘Tombak Samudera’, yang dikatakan oleh pemuda itu Dan dia sangat tahu kedahsyatan dan kerusakkan, yang bisa ditimbulkan ajian ‘Tombak Samudera’ itu. Tak ada jalan lain lagi, dia harus memastikannya sendiri. Dan menjadikan nyawanya sebagai pertaruhan atas pembuktian itu. “Baiklah kuluph..! Kita buktikan saja omong besarmu sekarang..! Ikuti aku..! Kita bertarung di pantai Parang Tritis..!" Slaphh..! Mbah Kromo langsung melesat lenyap , saat selesai mengucapkan tantangannya pada Permadi. Dia mengerahkan kemampuan penuh dari ilmu meringankan tubuhnya ‘Jagad Kelana’. Permadi juga agak terkejut, melihat kecepatan sang kakek tua, yang setara dengan kemampuan ringan tubuhnya. Segera dikerahkannya kecepatan puncak dari ilmu merin
Sementara permukaan laut di sekitar area Parang Tritis pun bergolak, bak air mendidih. Menimbulkan buih-buih besar menggelembung dan meletup-letup di permukaan laut. Beberapa pengunjung yang berada di pantai Parang Tritis dan sekitarnya pun sudah bubar. Mereka lari tunggang langgang, disertai teriakkan-teriakkan panik ketakutan, meninggalkan lokasi itu. Akibat getaran dan guncangan bak gempa, di awal penerapan aji pamungkas Mbah Kromo tadi. Sementara sejak pusaran bumi raksasa di bawah tubuh Mbah Kromo terbentuk tadi. Permadi sudah melesat secepat kilat ke tengah laut. Dia langsung menerapkan ajian pamungkasnya ‘Pusaran Samudera’ level ke 5 nya, yaitu ‘Tombak Samudera’..! Glaaghh..! Glaghh..! ... Sraaapphh..! Suara gelegak air bagai bertabrakan dan berpusar terdengar mengerikkan. Hal yang diiringi dengan suara bagai hisapan raksasa. Pusaran laut besar terbentuk secara tiba-tiba, bagaikan lubang ‘black hole’ berdiameter sekitar 15 meter. Slaph..! Tubuh Permadi melesat tinggi k
Dia melihat dan merasakan nyata, betapa para nelayan di sekitarnya begitu tulus menolongnya tanpa pikir panjang. Sejenak hatinya ‘tergigit’ oleh rasa bersalah, karena dirinyalah penyebab bencana bagi sesama nelayan yang lainnya. Bahkan mungkin juga bagi keluarga mereka di pesisir pantai, yang terhantam gelombang pasang, akibat senjata pamungkasnya. Dan kata-kata Mbah Kromo kembali terngiang di benaknya, ‘Moyangmu Ki Bogananta pastilah sangat sedih di sana Permadi. Mengetahui ilmu kitabnya di salah gunakan, oleh anak keturunannya. Insyaflah Permadi, gunakanlah ilmu moyangmu itu untuk kebaikkan’. ‘Benarkah aku masih keturunan Ki Bogananta..? Pencipta kitab Jagad Samudera yang kupelajari', bathin Permadi, dengan rasa galau. Ya, selama tinggal bersama ayah angkatnya, dirinya memang sama sekali tak mendapat ajaran etika dan moral, dari ayahnya itu. Semuanya adalah terserah dirinya, baik dalam bersikap dan bertindak. Bahkan teman-teman sekolahnya dulu, menganggap dirinya adalah ‘mons
“Devi, aku hanyalah seorang pengelana tanpa arah. Garisku berada dalam pencarian. Entah sampai kapan aku pun tak tahu Devi. Andai harus memilih. Aku pun menginginkan kehidupan normal, seperti layaknya pria lain Devi. Bekerja, berpenghasilan, menikah, menetap, punya anak, dan merawatnya. Namun ada hal yang mengharuskan aku harus terus berjalan. Hingga aku menemukan ‘sesuatu’, yang bisa menghentikan perjalanan tak pasti ini. Jadi mari kita berusaha menikmati saja perjalanan kita masing-masing. Tanpa rasa sedih, hanya menikmati dan bersyukur, bahwa kita pernah bertemu dalam persimpangan kehidupan kita Devi,” Elang berkata-kata dengan tenang, namun dalam. Dia bisa menyelami ‘suatu harapan’ di hati Devi padanya. Namun Elang juga sadar, jika dia tak bisa memenuhi harapan gadis jelita itu. "Aihh.. Mas Elang.." desah lirih Devi. Lama Devi terdiam setelah mendengar jawaban Elang. Bergulir dua garis air, dari kedua mata indahnya. Kesan mendalam masuk di hati Devi. Saat dia mendengar ka
Splashh..! Sukma Elang terlontar di atas wilayah pantai Cemara Sewu. Kondisi pantai itu porak poranda, beberapa pohon cemara tanpa daun tercerabut dan tumbang di sana sini. Bangunan spot-spot poto di sana pun hilang tanpa bekas. Dan di sebuah pohon cemara yang tumbang, tampak tersangkut sosok seorang sepuh berambut putih panjang terurai. ‘Mbah Kromo..!’ sukma Elang berseru kaget. Dan saat sukmanya mendekat, maka jelaslah bagi Elang. Mbah Kromo Sagirat telah tewas dengan dada melesak, seperti terkena hantaman dahsyat. Sukma Elang diam sejenak, dia mendoakan kemudahan bagi Mbah Kromo di alam sana. ‘Selamat jalan Mbah Kromo, pergilah dengan tenang dan damai di sana.’ Sukma Elang segera melesat masuk kembali ke tabir dimensi menuju raganya. Splassh..! Slaph...! Sukma Elang terlontar kembali di atas atap kamarnya, dan langsung melesat menembus dinding kamarnya. Beberapa saat kemudian sukma Elang pun kembali menyatu dengan raganya. Pernafasan Elang perlahan kembali normal, kedua
Kraghh..! Kraghh..! Kraghh..!Tiga orang security Bank langsung menghadap ke penciptanya. Hanya dengan 3 kali gerakkan sisi tangan sosok misterius, yang menghantam leher ketiganya hingga patah berderak. Sosok itu langsung menghantam perangkat CCTV, yang memonitor bagian luar kantor. Braghh..!! Perangkat CCTV luar itu langsung hancur berkeping, dan 4 layar monitor di posko itu pun hanya mengeluarkan gambar semut. Sosok berhelm itu melesat kembali, ke pagar gerbang Bank itu dan langsung meremas hancur gembok pagar. Lalu dia membuka pagar itu lebar-lebar. Klaakh..!! Klangg..! Secara beriringan masuk 7 sepeda motor yang kesemuanya berboncengan. Hingga jumlah totalnya 14 orang yang kesemuanya memakai helm. Masuk pula sebuah APV hitam dan sebuah truk box kosong, yang masing-masing kendaraan itu berisi 2 orang, supir dan asistennya. Sosok pembuka jalan itu lalu melesat, dan menghantam pintu masuk Bank dengan kedua telapak tangannya, Braaaghk...!! Praankhh..!! Pintu masuk yang terb
"Gilaa..!!" teriakkan keras penuh kekagetan terlontar dari mulut Tatsuya. Matanya terbelalak ngeri namun juga terpesona kagum, melihat 'power' ayahnya kini. "Haahh..!! A..apaaa..?!" seru keras Yutaka, seperti tak percaya pada apa yang baru dilakukannya. Matanya terbelalak dan menatap bergantian, pada kepalan tangannya dan pohon cemara yang telah tumbang itu. Tampak Nanako dan ibunya Mayumi keluar dari dalam rumah, menuju ke tempat tumbangnya pohon cemara itu. Bagi mereka adalah hal biasa, melihat sebuah pohon cemara tumbang di tangan ayah dan suami mereka. "Ada apa Ayah, Kak Tatsuya. Kenapa kalian berteriak keras..?! Mengagetkan saja..!" sungut Nanako, yang tak tahu proses tumbangnya pohon cemara itu. "Luar biasa Nanako..! Kini Ayah memiliki energi yang mengerikkan..!" seru Tatsuya, masih dengan perasaan kagetnya. "Mengerikkan bagaimana Kak Tatsuya..?!" seru Nanako. "Ayah memukul roboh pohon cemara itu dari jarak 2 meter, tanpa menyentuhnya Nanako..!" seru Tatsuya menjelaskan
"Ayo Elang, kita makan bersama," ajak Tatsuya, sambil merangkul pundak Elang. 'Sungguh keluarga yang hangat', bathin Elang terkesan. Acara makan siang bersama di keluarga Yutaka berlangsung hangat dan menyenangkan. Elang seperti merasakan bagian dari keluarga itu. Semua saling tersenyum dan saling menawarkan menu yang tersaji siang itu. Selesai makan siang bersama, Yukata mengajak Elang ke teras halaman belakang rumahnya. Sementara Tatsuya bergegas ke kamarnya, untuk berganti pakaian dan berjanji menyusul ayahnya dan Elang. Yukata mempersilahkan Elang duduk di teras, yang menghadap ke arah halaman belakang rumah itu.Nampak halaman belakang rumah Yukata masih sangat luas. Banyak juga terdapat berbagai tanaman di sana, seperti pinus jepang (Matsu), pohon Sakura, cemara, dan beberapa tanaman lain yang nampak tertata rapih dan indah. "Elang, selagi kau disini maukah kamu memberiku beberapa petunjuk agar aku bisa meningkatkan kemampuanku..?" Yutaka bertanya penuh harap pada Elang.
Tampak di teras rumah Nanako. Tengah duduk Yutaka Kobayashi dan istrinya Mayumi, yang nampak masih cantik di usianya yang menginjak 47 tahun. Yutaka menatap tajam pada Elang. Dia sudah mendengar kabar tentang kemampuan pemuda itu, yang bahkan dikatakan oleh putrinya memiliki kemampuan bak dewa. Kabar itu tentu saja membuat dia menjadi penasaran, dan ingin bertemu langsung dengan Elang. Karena sebagian jiwa Yutaka adalah seorang pendekar ninja, yang tentunya sangat senang bertukar pengalaman dan kemampuan dengan pendekar lainnya. 'Hmm. Langkahnya sungguh ringan, dan aura gelombang powernya memang luar biasa. Pantass.. pantas..!' gumam bathin Yutaka kagum. Namun dia masih merasa penasaran, dan ingin memastikan kemampuan sesungguhnya dari Elang. Saat Elang dan Nanako hendak mencapai tangga teras, Sethh..! Setthh..! Dua buah shuriken melesat sangat cepat ke arah Elang. Nanako yang melihat hal itu langsung melesat, menghindar ke arah samping. "Awas Mas Elang..!" seru Nanako mengin
"Saya sekarang di Nagoya, Nanako. Sudah seminggu lebih saya keluar dari Osaka," sahut Elang tenang. "Ohh, kalau begitu apa tidak sebaiknya Mas Elang datang ke Tokyo hari ini..?" tanya Nanako berharap. "Ya Nanako, saya memang bermaksud pergi ke Tokyo hari ini," sahut Elang lagi. "Asik. Kalau begitu kabarkan ke Nanako ya. Mas Elang berangkat naik kereta jam berapa dari Nagoya nanti..? Biar Nanako sendiri yang akan menjemput Mas Elang," suara riang Nanako terdengar. "Ahh, Nanako. Sebaiknya jangan merepotkan diri. Saya bisa datang sendiri ke rumah Nanako nanti," ucap Elang merasa rikuh. "Aishh..! Sama sekali tak merepotkan Mas Elang. Nanako malah senang sekalian jalan-jalan bersama Mas Elang nanti," sergah Nanako dengan cepat, memang hatinya merasa sangat gembira saat itu. "Baiklah Nanako, saya akan berangkat dari stasiun Nagoya jam 10:36 dengan kereta Nozomi 6," ucap Elang. "Baik Mas Elang, Nanako akan stand by di stasiun Tokyo jam 12 siang nanti." "Terimakasih Nanako." Klik.!
Dan bisa dibayangkan betapa akan mengerikkan dan dahsyatnya sepak terjang GASStreet ke depannya di kota Surabaya dan sekitarnya. Pengaruh GASStreet di dunia hitam diperkirakan akan meluas, hingga ke seluruh kota-kota di negeri ini. Sungguh teramat rawan dan berbahaya. Jika tak muncul pula penegak-penegak kebenaran, yang sanggup menghadang mereka. Sepertinya para penegak hukum harus bersiaga..! Karena 'genderang perang' sudah ditabuh oleh GASStreet..! Ke esokkan paginya di kediaman Permadi. Nampak Rodent telah duduk dikursi teras rumah Permadi. Dia membawa sesuatu yang di pesan oleh Bosnya itu. Tak lama berselang Permadi muncul dari dalam rumah dan langsung duduk di depan Rodent. "Bos," sapa Rodent, sambil mengangguk hormat. "Bagaimana Rodent..? Sudah selesai barang yang kupesan..?" tanya Permadi langsung ke point. "Beres Bos," sahut Rodent sambil tersenyum bangga. Dia lalu menyerahkan sebuah passport dan visa, yang di inginkan oleh Bosnya itu. Permadi menerima pasport dan v
Klaankhh.!! Weshh..!! Sosok itu menarik lepas pintu mobil, dan melempar pintu itu ke tengah persawahan. Sungguh luar biasa tenaga sosok berhelm itu. Sementara 8 orang yang berada di 4 motor turun. Lalu mereka menyingkirkan polisi yang telah tewas dengan motornya itu, dengan melempar begitu saja ke tengah sawah. Dan mereka pun bergegas menghampiri mobil yang telah terbuka pintunya itu. Pengemudi dan seorang security dari pihak bank nampak terkulai pingsan di dalam mobil itu. Hal yang sungguh mujur bagi mereka. Karena jika mereka masih sadar, tentu pistol berperedam dari kawanan sadis ini akan mengirim nyawa mereka berdua ke pintu akhirat. Suasana sudah agak gelap, adzan magribh pun berkumandang saat itu. Dengan cekatan kedelapan orang itu menguras seluruh uang, yang ada di dalam mobil itu. Mereka memasukkan uang-uang itu ke dalam beberapa karung, yang telah disiapkan. Ciitt...! Datang sebuah mobil APV Luxury hitam, yang bagian kursi-kursi belakangnya sudah di angkat. Seorang
"Luka ini akan membekas lama Mas Elang," ucap Nanako, dengan tatapan bersalah. "Tak apa Nanako, anggap saja bekas luka ini sebagai kenang-kenangan dari ninja cantik di Jepang. Hehe," Elang hanya bermaksud bergurau saat mengatakan itu. Namun bagi Nanako yang sama sekali hijau dengan gurauan seperti itu, ucapan Elang di artikannya sebagai pujian serius Elang atas kecantikkannya. 'Degh..!' Hati Nanako bagai melayang ke 'zona fantasi' terindah dalam hidupnya. Dia merasa bahagia sekali, mendengar pujian dari Elang itu. "Benarkah aku cantik Mas Elang..?" tanya Nanako pelan dengan wajah tertunduk kemerahan. Dia merasa tersipu sekaligus senang sekali mendengar ucapan Elang. Ya, karena di keluarga Kobayashi memang lelaki mendominasi. Hingga suasananya serba kaku dan terkesan dingin. Sangat jarang bahkan hampir tak pernah Nanako mendapatkan pujian, dan perlakuan lembut serta hangat dari keluarganya. Elang terdiam sejenak, dia tak menduga gurauannya akan mendatangkan pertanyaan serius d
"Terimakasih Nona Keina, selamat malam Mas Elang," balas Nanako ramah dan tak lupa menyapa Elang yang masih bersama mereka. Nanako pun langsung masuk ke kamar itu, dan menutup pintunya. Namun dia sempat melihat Elang balas tersenyum padanya. 'Deghh.!' Hati Keina langsung panas, saat mendengar Nanako ikut memanggil 'mas' pada Elang. 'Huhh..! Apakah kau sudah merasa dekat dengan Mas Elang, Nanako..?!' seru bathin Keina kesal. "Mari Mas Elang, kita ke kamarmu..!" ucap Keina agak keras, agar terdengar oleh Nanako di dalam kamar. 'Degh..!' Kini hati Nanako yang berdegup keras, mendengar ucapan Keina di depan pintu kamarnya. 'Apakah Keina ikut masuk ke kamar Elang..? Seberapa dekat hubungan mereka?' bathin Nanako gelisah. Berpikir begitu Nanako segera menuju ke arah balkon kamarnya, dilihatnya berselisih dua kamar darinya sebuah balkon kamar menyala lampunya. 'Disana rupanya kamarmu Elang', bisik bathinnya. Sebagai ninja, mencapai balkon kamar Elang bukanlah hal 'rumit' bagi Nana