Dia melihat dan merasakan nyata, betapa para nelayan di sekitarnya begitu tulus menolongnya tanpa pikir panjang. Sejenak hatinya ‘tergigit’ oleh rasa bersalah, karena dirinyalah penyebab bencana bagi sesama nelayan yang lainnya. Bahkan mungkin juga bagi keluarga mereka di pesisir pantai, yang terhantam gelombang pasang, akibat senjata pamungkasnya. Dan kata-kata Mbah Kromo kembali terngiang di benaknya, ‘Moyangmu Ki Bogananta pastilah sangat sedih di sana Permadi. Mengetahui ilmu kitabnya di salah gunakan, oleh anak keturunannya. Insyaflah Permadi, gunakanlah ilmu moyangmu itu untuk kebaikkan’. ‘Benarkah aku masih keturunan Ki Bogananta..? Pencipta kitab Jagad Samudera yang kupelajari', bathin Permadi, dengan rasa galau. Ya, selama tinggal bersama ayah angkatnya, dirinya memang sama sekali tak mendapat ajaran etika dan moral, dari ayahnya itu. Semuanya adalah terserah dirinya, baik dalam bersikap dan bertindak. Bahkan teman-teman sekolahnya dulu, menganggap dirinya adalah ‘mons
“Devi, aku hanyalah seorang pengelana tanpa arah. Garisku berada dalam pencarian. Entah sampai kapan aku pun tak tahu Devi. Andai harus memilih. Aku pun menginginkan kehidupan normal, seperti layaknya pria lain Devi. Bekerja, berpenghasilan, menikah, menetap, punya anak, dan merawatnya. Namun ada hal yang mengharuskan aku harus terus berjalan. Hingga aku menemukan ‘sesuatu’, yang bisa menghentikan perjalanan tak pasti ini. Jadi mari kita berusaha menikmati saja perjalanan kita masing-masing. Tanpa rasa sedih, hanya menikmati dan bersyukur, bahwa kita pernah bertemu dalam persimpangan kehidupan kita Devi,” Elang berkata-kata dengan tenang, namun dalam. Dia bisa menyelami ‘suatu harapan’ di hati Devi padanya. Namun Elang juga sadar, jika dia tak bisa memenuhi harapan gadis jelita itu. "Aihh.. Mas Elang.." desah lirih Devi. Lama Devi terdiam setelah mendengar jawaban Elang. Bergulir dua garis air, dari kedua mata indahnya. Kesan mendalam masuk di hati Devi. Saat dia mendengar ka
Splashh..! Sukma Elang terlontar di atas wilayah pantai Cemara Sewu. Kondisi pantai itu porak poranda, beberapa pohon cemara tanpa daun tercerabut dan tumbang di sana sini. Bangunan spot-spot poto di sana pun hilang tanpa bekas. Dan di sebuah pohon cemara yang tumbang, tampak tersangkut sosok seorang sepuh berambut putih panjang terurai. ‘Mbah Kromo..!’ sukma Elang berseru kaget. Dan saat sukmanya mendekat, maka jelaslah bagi Elang. Mbah Kromo Sagirat telah tewas dengan dada melesak, seperti terkena hantaman dahsyat. Sukma Elang diam sejenak, dia mendoakan kemudahan bagi Mbah Kromo di alam sana. ‘Selamat jalan Mbah Kromo, pergilah dengan tenang dan damai di sana.’ Sukma Elang segera melesat masuk kembali ke tabir dimensi menuju raganya. Splassh..! Slaph...! Sukma Elang terlontar kembali di atas atap kamarnya, dan langsung melesat menembus dinding kamarnya. Beberapa saat kemudian sukma Elang pun kembali menyatu dengan raganya. Pernafasan Elang perlahan kembali normal, kedua
Untungnya Permadi telah membayar uang sewa losmen selama 3 malam. Hari itu adalah hari ke 2 nya. Jarak dari pantai Sadeng ke Purwosari sekitar dua jam lebih, dengan berkendara. Sementara kondisinya saat itu sedang kurang mendukung, untuk ‘memintas’ jalan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Beruntung juga uang merah berjumlah 2 juta lebih di dompetnya masih utuh. Walau dalam kondisi basah. Permadi kembali mengalirkan tenaga dalam berhawa hangat ke sekujur tubuhnya. Seperti yang dilakukannya selama dia tidur semalam di geladak kapal. Dia bergegas mencari sebuah rumah di sekitar situ. Dia berniat membeli pakaian bekas mereka, untuk berganti pakaiannya yang masih basah itu. Karena toko pakaian pastilah belum buka di waktu sepagi itu. Akhirnya Permadi masuk ke dalam sebuah rumah sederhana yang pintunya terbuka. Nampak seorang lelaki paruh baya, yang kebetulan tingginya hampir seukuran dirinya. Walau tubuhnya agak lebih gemuk, tengah bersiap untuk ke pantai. “Pagi Pak,” sapa Perm
'Tenanglah Devi. Aku tak akan merusak pagar ayumu’, bathin Elang. “Mas Elang, Devi ma..mau menyerahkan ini buat Mas Elang sebagai kenang-kenangan,” Devi masih berusaha menahan kesadarannya, dengan susah payah. Dia berkata dengan bibir bergetar, sambil menyerahkan sebuah kotak kecil yang dibawanya. “Terimakasih Devi. Apa ini Devi?” tanya Elang, maka dia pun paham maksud Devi sepagi ini datang ke kamarnya. “Mas boleh melihatnya nan..nanti di..di ja..jalan. Aduhh, kenapa Devi merasa dingin se..kali Mass..hh.?” sepertinya daya tahan Devi sudah sampai pada batasnya. ‘Gadis yang baik, sayang sekali kutukkan biadab ini tak kenal orang’, keluh Elang. “Mas..Elanng, Devi ke..napahh jadi be..gini..?” tanpa disadari dan bisa ditahan lagi oleh Devi. Dia telah memeluk erat tubuh Elang. Sebuah kehangatan dan aroma harum rambut Devi pun terasakan, segar terhirup oleh Elang. Secara manusiawi dan normal, ‘kelelakian’ Elang pun berdiri tegak tanpa permisi. Namun Elang bertekad menahan hasratnya
"“Ohhksghh..! A..wass Massh..! De..vi pip..pishh.! Uhhgsh..!" Devi mendesah keras dengan nafas tertahan, tubuhnya mengejang hebat. Pinggul indahnya pun terangkat mengejang. Mata Devi terpejam namun mulutnya ternganga. Ya, sungguh ekspresi terindah dari seorang wanita, yang tengah dilanda orgasmenya. Devi merasakan sesuatu memancar dari bagian dalam dirinya, sukmanya bagai melayang tinggi di angkasa tak bertepi. Agak lama Devi merasakan kenikmatan tertinggi, dari sebuah ‘hasrat’ yang terlampiaskan itu. Brugh..! Hingga akhirnya tubuh Devi kembali terhempas di atas ranjang, dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya nampak pucat dan lelah, namun senyum kepuasan terlihat membekas di sana. "Makasih. Mas Elang..” Devi berucap pelan, namun wajahnya tak berani menatap Elang. Sungguh dia merasa sangat malu dan kaget sendiri, dengan apa yang baru saja dialaminya. Karena Devi sangat sadar, dialah yang mendatangi dan memeluk Elang terlebih dahulu. Namun dia sendiri tak mengerti dan tak akan
Permadi membuka pintu kamar losmennya, dia bergegas masuk kedalam dan langsung ke kamar mandi. Pakaian dari si bapak tadi langsung dibukanya. Karena pakaian itu agak longgar, dan celananya pun terpaksa dilipat dan dislip di bagian pinggang dengan gespernya. Sungguh tak nyaman di rasanya.! Permadi memutuskan untuk segera keluar dari Jogjakarta. Dia merasa keberadaannya di kota itu, telah di endus dengan jelas oleh aparat. Terbukti bahkan kakek tua (Mbah Kromo) itu saja, bisa langsung mengetahui identitasnya dengan tepat. Setelah selesai mandi dia langsung berganti pakaian, sambil memeriksa isi ranselnya. Dan Permadi tersenyum, saat melihat isi ranselnya masih utuh. Tak ada satu pun yang hilang di sana. Karena uang tunai dan batangan emas miliknya masih aman di sana. Permadi berniat memberi tips pada sang penjaga losmen, saat dia keluar dari losmen nanti. Dan itu berarti malam nanti dia harus mencari motor baru. Dipastikan seorang pengendara motor di kota itu akan mengalami nasib
Setthh.! Plashh..! Wajah si lelaki nampak tersentak ke belakang. Dia seperti merasakan sesuatu yang sejuk menerpa dahinya. Sesuatu daya kejut mengalir dan menyengat di syaraf-syaraf kepalanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu dia menatap sang istri dan si pelakor bergantian. Seolah baru sadar dari mimpi. “Kau..?! Kenapa aku bisa berada di sini bersamamu...?!” ucap si lelaki terkaget heran. Dia memandang si pelakor lalu menjauh darinya. “Mas Jito..! Apakah kau lupa telah berjanji menikahi Nia..?!” seru si pelakor panik. Dia merasa sangat cemas, kalau ‘pelet’ dari dukunnya telah luntur. “Menikah..?! Aku menikah denganmu..?! Yang benar saja..! Ayo Mah, kita pulang..!!” Jito berseru jijik pada Nia, lalu menarik tangan istrinya untuk pulang. “Enak saja kamu Mas..! Jelaskan dulu apa arti semua ini..?! Jangan bilang kau tak mengenal ‘pelakor’ itu..!” seru sang istri, yang jadi agak bingung, dengan perubahan sikap suaminya secara tiba-tiba pada ‘pelakor’ itu. “Di
"Baik kita bersiap ke sana sekarang juga. Untuk mengatur rencana bersama, ajaklah ibu dan Nanako serta pak Yutaka," ucap Elang, menyepakati tempat kepindahan sementara mereka. Agak kesulitan juga Yutaka dan Tatsuya, untuk mengajak Mayumi dan Nanako. Karena dua wanita ini masih terpengaruh, oleh serangan ghaib Aung Min. Namun setelah bantu dijelaskan oleh Elang , Nanako dan Mayumi pun tak bisa menolak lagi. Akhirnya dengan mengendarai dua buah mobil, mereka pun meluncur menuju ke Denenchofu. Denenchofu adalah sebuah perumahan elit, yang rata-rata rumahnya bergaya Eropa. Rumah ini adalah kediaman keluarga Yutaka, sebelum mereka pindah ke area Futako-Tamagawa. Yutaka dan Tatsuya sendiri yang bertindak sebagai driver. Yutaka semobil bersama Elang, sedangkan Nanako dan Mayumi bersama Tatsuya. Mereka membiarkan para pelayan dan para penjaga gerbang tetap di posnya. Agar tak menimbulkan kecurigaan bagi pihak lawan. Tak lama kemudian iringan dua buah mobil itu tiba, di area pemukiman
"Gomchen. Jika memang orang berpower luar biasa itu, adalah orang bayaran Yutaka. Seharusnya dia bisa membuyarkan atau memblok serangan saya saat ini. Saya yakin andai pun memang ada pemilik energi ghaib luar biasa itu. Dia tak ada hubungannya dengan keluarga Yutaka," sanggah Aung Min. "Hei..! Saya juga tadi merasakan power luar biasa sepintas lalu, saat saya kembali ke sini dari kediqman Yutaka. Namun saya tak melihat sosok apa pun. Mungkinkah power itu milik orang yang baru saja masuk ke kediaman nyonya..?" Ninja Emas berseru kaget. Dia teringat saat merasakan powee luar biasa yang hanya sekejap saja dirasakannya di jalan tadi. "Apakah sosok itu berjasad manusia Ninja Emas..?" tanya gomchen Yeshe. "Tidak Gomchen. Saya hanya merasakan getar powernya saja yang luar biasa. Saya sama sekali tak melihat sosok manusia di sekitar saya saat itu Gomchen," jelas Ninja Emas. "Persis.! Karena sosok yang saya lihat berupa sosok ghaib berenergi luar biasa. Dia bahkan bisa menembus dind
Slaphh...! 'Hmm. Orang sepuh ini adalah musuh paling berbahaya, bagi keluarga Yutaka besok. Power bathinnya mumpuni, dia bisa merasakan kehadiranku', bisik bathin Elang. Sukma Elang melesat cepat kembali ke raganya di sebuah gazebo milk tetangga jauh Hitoshi. Sementara di kamarnya, Gomchen Yeshe sangat terkejut. Dia merasakan dan melihat sebuah energi aneh yang luar biasa, melintas masuk ke kamarnya. Namun power luar biasa itu kembali melesat lenyap. Gomchen Yeshe pun sempat berkelebat keluar kamarnya melalui jendela. Namun kecepatan sukma Elang jangan dikatakan lagi. Bahkan aura energi Elang pun, seketika jadi tak terdeteksi sama sekali oleh gomchen Yeshe.'Energi luar biasa siapa itu..? Tidak ada energi seperti itu dalam diri rekan-rekanku. Apakah itu energi dari orang bayaran Yutaka..? Jika benar, maka serangan besok malam akan sulit. Tapi semoga saja bukan itu', bisik hati Gomchen Yeshe berharap. Ya, menjadi salah seorang dari pengawal Kairi, adalah sebuah keterpaksaan b
"Elang. Sekali lagi keluarga Kobayashi mengucapkan terimakasih mendalam padamu. Sungguh suatu anugerah tak terhingga bagi kami, menerima petunjuk darimu. Terimalah hormat kami sekeluarga atas kemurahan hatimu Elang," Yutaka langsung membungkukkan dalam-dalam badannya di hadapan Elang, yang diikuti oleh istri, Nanako, dan Tatsuya. Bahkan para pelayan yang kebetulan melintas, saat mereka melihat hal itu juga langsung membungkuk dalam ke arah Elang. "Baiklah Pak Yutaka sekeluarga, saya juga mengucapkan terimakasih atas penerimaan baik kalian terhadapku di rumah ini," Elang lalu membalas penghormatan mereka semua. Malam sudah agak larut, saat Elang sedang berbicara dengan Tatsuya di teras belakang rumah. Tiba-tiba Elang merasakan suatu gelombang energi ghaib, yang perlahan bergerak bagai gumpalan kabut menyelimuti kediaman Yutaka. "Elang, badanku terasa lesu sekali. Sebaiknya aku masuk ke kamar dulu ya," ucap Tatsuya, yang tiba-tiba badannya terasa sangat lesu dan tak bergairah. "
""Seranganku nanti malam akan melemahkan mental keluarga Yutaka, Nyonya Kairi. Serangan ini hanya akan terasa, jika ada seseorang berkekuatan 'ghaib' tinggi di keluarga mereka. Sepertinya tidak ada kan Nyonya Kairi..?" tanya Aung Min, sang paranormal dari Myanmar. "Sepertinya tak ada Aung Min. Mereka hanya memiliki kekuatan bathin biasa seorang ninja," sahut Kairi senang. Ya, jika mental keluarga Yutaka sudah 'down', maka akan mudah bagi mereka menghabisi keluarga itu besok malamnya. Begitulah pikir Aung Min dan Kairin.*** Sementara di saat yang sama, di sebuah kamar suite hotel bintang 5 di Solo. Seorang wanita jelita berubuh polos menggiurkan nampak tengah 'menunggangi' seorang pria gagah, yang tak asing lagi bagi kita, Permadi.!"Ahks..! Mas Permadi..! Seruni ma..u sam..pai lagi..! Uhksgghh..!" Seruni mendesah terbata, seraya bergoyang makin hot dan cepat. Wajahnya terlihat seksi sekali, dengan sedikit keringat di dahinya yang mulus. Bibirnya tampak menganga indah merekah
Yudha :"Video ini sementara belum disebar luaskan Mas Elang. Karena masih dalam penyelidikkan lebih lanjut, baru kamu orang dari luar kepolisian yang melihat rekaman CCTV ini." Elang menyimak dengan serius, video yang diputar di ponselnya. Merasa penasaran, Nanako ternyata juga ikut melihat video di ponsel Elang. "Ahh..!" seruan Elang terdengar, saat dia melihat sosok penjahat berhelm itu kebal peluru. Mata bathin Elang melihat adanya aura kebiruan menyelimuti sosok itu, saat ia di tembak oleh dua orang security di dalam video itu. Suatu aura energi yang sangat kuat, tak kalah dengan aura perisai sukma miliknya yang berwarna hijau. "Luar biasa orang ini," gumam Elang, saat melihat sosok penjahat itu menjebol pintu besi brankas setebal 30 cm itu. Bagi Elang, bukan jebolnya pintu besi itu yang membuatnya kagum, karena Elang juga bisa melakukannya. Namun Elang melihat jelas, bahwa sosok itu belum mengerahkan seluruh 'power'nya. Saat dia menjebol pintu besi itu. Dan itu adalah dahsy
Nampak wajah Nanako selalu tersenyum gembira, karena bisa pergi berduaan bersama pemuda idolanya. Setelah kejadian 'lumatan lembut' di Chishima Park dan di kediaman Keina. Nanako memang punya kebiasaan baru, jika dia sedang menyepi di kamarnya. Kebiasaan barunya adalah 'memegangi bibir'nya sendiri, sambil tersenyum-senyum membayangkan saat dirinya 'berciuman' dengan Elang. Hehe. Elang setuju saja dengan usulan Nanako, untuk berjalan-jalan di Ginza. Ginza merupakan suatu distrik di Chuo, Tokyo. Dan menjadi salah satu tempat wisata terkenal di Tokyo. Tempat ini merupakan pusat perbelanjaan kelas atas, tempat hiburan dan makan, serta terdapat berbagai macam pertokoan, butik, galeri seni, restoran, dan kafe. Di Ginza, wisatawan dapat menemukan berbagai macam mode dan kosmetik terkenal. Mayoritas toko di Ginza buka setiap hari dalam waktu seminggu. "Mas Elang, dari Ginza nanti kita ke Shinjuku Gyoen National Garden yuk. Pemandangan di sana cukup indah lho Mas Elang," ajak Nanako deng
"Hidup Bos Permadi...!!" "Jaya GASStreet..!!" Seruan gegap gempita terdengar di sebuah ruang dalam rumah kosong, yang jauh dari tetangga kiri kanannya. Rumah itu terlihat sepi dan kosong pada siang hari, namun ramai orang pada malam hari. Dinding ruang khusus itu memang dilapisi dengan pengedap suara, bagai studio musik berukuran cukup luas. Sehingga suara sekeras apa pun tidak akan terdengar hingga ke luar ruangan itu. Kamar kedap suara itu berfungsi sebagai tempat pembicaraan, pertemuan, serta pematangan perencanaan aksi-aksi GASStreet. Ruangan itu juga berfungsi sebagai tempat penampungan sementara, dari hasil aksi GASStreet. Sebelum akhirnya didistribusikan pada para anggota, atau Divisi Pencucian Uang. Ya, malam ini adalah malam perayaan keberhasilan, atas 'aksi cukup besar' mereka. Malam ini GASStreet melakukan dua aksi sekaligus dalam waktu hampir bersamaan, dan kedua aksi mereka berhasil dengan gemilang. Aksi pertama yang di pimpin langsung oleh Permadi di Bank ABC,
Kraghh..! Kraghh..! Kraghh..!Tiga orang security Bank langsung menghadap ke penciptanya. Hanya dengan 3 kali gerakkan sisi tangan sosok misterius, yang menghantam leher ketiganya hingga patah berderak. Sosok itu langsung menghantam perangkat CCTV, yang memonitor bagian luar kantor. Braghh..!! Perangkat CCTV luar itu langsung hancur berkeping, dan 4 layar monitor di posko itu pun hanya mengeluarkan gambar semut. Sosok berhelm itu melesat kembali, ke pagar gerbang Bank itu dan langsung meremas hancur gembok pagar. Lalu dia membuka pagar itu lebar-lebar. Klaakh..!! Klangg..! Secara beriringan masuk 7 sepeda motor yang kesemuanya berboncengan. Hingga jumlah totalnya 14 orang yang kesemuanya memakai helm. Masuk pula sebuah APV hitam dan sebuah truk box kosong, yang masing-masing kendaraan itu berisi 2 orang, supir dan asistennya. Sosok pembuka jalan itu lalu melesat, dan menghantam pintu masuk Bank dengan kedua telapak tangannya, Braaaghk...!! Praankhh..!! Pintu masuk yang terb