Setthh.! Plashh..! Wajah si lelaki nampak tersentak ke belakang. Dia seperti merasakan sesuatu yang sejuk menerpa dahinya. Sesuatu daya kejut mengalir dan menyengat di syaraf-syaraf kepalanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu dia menatap sang istri dan si pelakor bergantian. Seolah baru sadar dari mimpi. “Kau..?! Kenapa aku bisa berada di sini bersamamu...?!” ucap si lelaki terkaget heran. Dia memandang si pelakor lalu menjauh darinya. “Mas Jito..! Apakah kau lupa telah berjanji menikahi Nia..?!” seru si pelakor panik. Dia merasa sangat cemas, kalau ‘pelet’ dari dukunnya telah luntur. “Menikah..?! Aku menikah denganmu..?! Yang benar saja..! Ayo Mah, kita pulang..!!” Jito berseru jijik pada Nia, lalu menarik tangan istrinya untuk pulang. “Enak saja kamu Mas..! Jelaskan dulu apa arti semua ini..?! Jangan bilang kau tak mengenal ‘pelakor’ itu..!” seru sang istri, yang jadi agak bingung, dengan perubahan sikap suaminya secara tiba-tiba pada ‘pelakor’ itu. “Di
“Mas Elang, bolehkah Devi bertanya sesuatu yang pribadi..?” Devi bertanya sambil tetap mengemudikan mobilnya. “Katakan saja Devi, tak usah sungkan padaku,” sahut Elang tenang. “Apakah Mas Elang sudah memiliki seorang wanita di hati Mas?” pertanyaan itu meluncur begitu saja, dari bibir merah merekah Devi. Elang agak terhenyak dengan pertanyaan Devi yang tak disangka-sangkanya itu. Namun selintas bayangan Nadya hadir di benak dan hatinya, oleh karenanya Elang pun menjawab dengan apa adanya, “Sudah Devi, namun garis dan karma seolah tak berpihak pada kami. Sehingga kamipun masih terpisah hingga saat ini,” Elang berkata pelan. “Apakah wanita itu juga menyimpan rasa yang sama terhadap Mas..?” tanya Devi lagi serak, segores luka menoreh hati lembutnya. Sesungguhnya dia tak heran dengan jawaban dari Elang. Devi bahkan sangat yakin ,bahwa tak hanya dia yang memiliki rasa mendalam pada Elang. Karena Elang memang memiliki ‘kharisma dan daya tarik’ luar biasa, bagi gadis manapun yang sem
Taphh..!Elang mendarat di tepi pantai, dekat teman si wanita yang nyaris tak sadarkan diri itu. Elang menyerahkan pertolongan pertama pada guard pantai, yang berada di situ. Beruntunglah suasana di tepi pantai saat itu tak begitu ramai. Sehingga aksi Elang tak sempat terekam oleh kamera ponsel siapapun. Ya, kejadian yang begitu cepat itu telah luput dari kamera ponsel mereka semua. Namun mulut dan mata beberapa orang di sekitar area itu, nampak ternganga dan terbelalak. Mereka bahkan hampir saja lupa, pada wanita yang nyaris menjadi korban tenggelam itu. Sorot mata kaget bercampur kekaguman tersirat, pada tatapan mereka ke arah Elang. Pemuda yang nampak biasa saja dan nampak acuh dengan pandangan mereka. Barulah setelah terdengar suara... “Hoekss..! Hoekss..!!” Si wanita cantik yang nyaris tenggelam itu memuntahkan agak banyak air laut dari mulutnya, semua mata pun kembali menatap ke arah wanita itu. “Milaa..! Kau tak apa-apa kan..?!” seru temannya, yang tadi berteriak-teria
"Tak masalah Elang. Tinggalkan saja jika kau sudah ingin pergi nanti. Kami sendiri besok malam sudah harus pulang ke Rusia Elang,” ucap Mila. “Ahh, secepat itu ya Mila, Vinka. Saya pikir kalian masih lama disini.” “Visa kami berakhir lusa Elang. Sebenarnya kami juga betah di sini Elang,” Mila berkata seolah menyesali. “Sudahlah lebih baik kita ke kamar sekarang. Aku sudah sangat lelah, dan tak sabar ingin rebahan. Hahaa,” Vinka berkata sambil tertawa lepas. “Dasar kau Vinka. Hahaa. Ayo kita ke kamar sekarang Elang. Mila juga rasanya ingin istirahat, kejadian tadi benar-benar membuat kepala Mila sedikit pusing,” ucap Mila. “Baik Mila, kau memang butuh istirahat sepertinya,” kata Elang membenarkan. Mereka akhirnya naik lift ke lantai 2, dan memang kamar mereka bersebelahan seperti kata Mila. Setelah berjanji untuk berjalan-jalan lagi ke pantai sore nanti, mereka pun masuk ke kamar masing-masing. Klek.! Elang masuk kekamarnya dan mendapati suasana yang lux dan asri di kamarnya.
“Mila, Vinka, selera kalian sungguh sangat disayangkan..! Hahaaaa..!” Sergei berkata lalu tertawa lepas mengejek, yang diikuti oleh rekannya Leonid. Mereka berdua tertawa mengejek sambil melirik ke arah Elang. Sementara Elang tenang saja meminum air mineralnya, seolah tak menganggap ejekan keduanya. “Sergei..! Leonid..! Tolong hargai teman kami dan pergilah dari meja kami..!” hardik Mila, yang tak tahan dengan sikap keterlaluan kedua pemuda senegaranya ini. “Benar..! Kalian berdua pergilah cari meja lain..!” sentak Vinka menimpali ucapan sahabatnya. “Mila, Vinka, tenanglah,” Elang berkata tersenyum, menenangkan kedua wanita itu. “Hei..! Kalian berani mengusirku dari sini demi pria primitif ini.! Leonid, sungguh aku tak percaya ini. Hahahaa..!” Sergei berseru lalu tertawa merendahkan Elang, yang di bela oleh Mila dan Vinka. Leonid juga tertawa sambil mentap sinis dan merendahkan pada Elang, yang terlihat masih tenang-tenang saja. Bagi Elang, selama mereka masih belum main tangan
"Bagus Sergei..! Mampus kau pemuda primitif..!!” teriak Leonid ikut senang.“Elanngg...!!” Mila dan Vinka serentak berteriak ngeri bersamaan. “Ahhhh....!!” teriakkan ngeri semua orang, yang menonton merasa tak tega pada Elang.Namun Sergei menjadi sangat terkejut bukan kepalang, saat dia tak bisa menarik kembali pisau lipatnya yang berada di perut Elang. Sekuat tenaga dia menarik pisau lipatnya itu, namun usahanya ‘sia-sia’. Diapun menatap wajah Elang dan terkejut. Dilihatnya wajah Elang malah tersenyum, dan tak nampak kesakitan sama sekali. Keringat dingin mulai mengucur di kening Sergei. "Brengsek..! K-kau... Tagh..! Belum selesai makian Sergei. Elang cepat menyentil pergelangan tangan kiri Sergei yang kidal itu, yang sedang berusaha ‘setengah mencret’ menarik kembali pisau lipatnya. “Aaawkhsss..!” Sergei berteriak dengan nada dasar ‘F minor’ di ketinggian nada 10 oktaf, cukup menggetarkan telinga dan dada para penonton yang hadir disitu. Sretth..! Pisau lipat kesayangannya
“Ahh.. Mila! Kenapa kau begitu tak sabar,” Elang berkata menyesali, seraya menerima kembali ponselnya. Elang melihat mata sayu dari Mila. “Hhhh.! Masuklah Mila,” Elang menghela nafasnya, sambil menyuruh Mila masuk ke dalam kamarnya. Klek.! Pintu kamar Elang pun terkunci. Tak lama kemudian pintu kamar Mila dan Vinka terbuka. Klekh.! Vinka melihat ke sekitarnya mencari-cari sosok Mila dan Elang, namun tak dilihatnya mereka. Sejenak wajahnya seolah berpikir sambil menatap pintu kamar Elang, lalu ia tersenyum maklum. ‘Kau benar-benar beruntung Mila, nikmatilah’, bathin Vinka. Ada sedikit rasa ‘iri’ menyelinap di hati Vinka, lalu dia pun kembali menutup pintu kamarnya. Klek.!*** Sementara di tepi jalan yang agak sepi. Permadi duduk di sebuah bangku kayu, yang terletak di pinggir jalan raya Parang Tritis. Suasananya memang agak gelap, karena berada di bawah sebuah pohon rindang. Sementara matanya menatap tajam setiap pengendara motor, yang melintas di depannya. Sejak tadi dia
“Sama-sama Elang sayank. Mmfhh,” Mila berkata mesra, sambil mencium pipi Elang. Mila saat itu merasa ‘sangat terpuaskan’, dan hatinya mendadak menjadi ‘sayang’ sekali pada Elang. Namun jika dia ingat harus segera pulang besok malam, mendadak hatinya menjadi sedih dan berat. Ingin rasanya dia ‘membawa’ Elang ke negaranya, dan dijadikan suaminya. Namun apakah Elang mau..? Dan dia pun sadar diri, pastilah banyak wanita yang mengharapkan pemuda ini. Berpikir begitu akhirnya Mila hanya bisa pasrah pada keadaan, sedih. ‘Baiklah, akan kunikmati setiap detik kebersamaanku bersamanya sepanjang malam ini. Dan merekamnya dalam memori di benak dan hatiku, sebagai kenangan terindah sepanjang hidupku’, bisik bathin Mila pahit. *** Sementara di saat yang sama, Permadi terus menggeber motor curiannya. Dia sempat berhenti di SPBU Tirtomartani, dan mengisi full tank motornya. Lepas dari situ kembali dia menggeber motornya dengan ‘semau gue’. Motornya dibawa meliuk-liuk, menyalib, dan terkada
"Ampun Ayahanda Prabu. Rasanya telah lama Ratih tak mengetahui kehidupan di luar istana. Ini juga adalah kesempatan bagi Ratih. Untuk meluaskan pengalaman dan mengenal kondisi rakyat yang sebenarnya, di wilayah Kalpataru saat ini," sahut Ratih memperjelas keinginannya. "Baiklah Nanda Ratih, kuperintahkan kau mulai besok. Untuk ikut menemani Elang dalam pengembaraannya, mencari 5 Panglima Petaka..!" turun sudah titah dari sang Prabu, untuk putrinya Ratih Kencana. Dan Elang pun terlongong tak mampu berbuat apa-apa. Karena itu adalah perintah sang Prabu. Sesuatu yang tak mungkin ditolak atau dihindari Elang. Karena pasti akan menimbulkan 'gejolak' saat itu juga, jika dia mengemukakan penolakannya. "Baik Ayahanda Prabu. Ratih akan mengemban tugas itu sebaik-baiknya," ucap Ratih tegas, seraya memberi hormat dan mencium tangan sang Prabu. Lalu Ratih pun beranjak keluar meninggalkan istana dalem. Wajahnya nampak berseri, menuju kembali ke keputren. Ratih hendak mempersiapkan penyamaran
"Hahh..?! Sungguh ajaib..! Benda itu bisa mengeluarkan cahaya dan gambar..!" seru sang Mahapatih, yang kembali menghampiri Elang. Dia kembali meminta ponsel di tangan Elang. "Kemarikan 'benda' itu Patih Basutama..!" seru sang Prabu penasaran. Basudewa segera menyerahkan benda itu pada sang Prabu. Walau sebenarnya dia juga masih penasaran, dengan benda bernama 'ponsel' itu. "Elang mendekatlah. Beritahu dan jelaskan padaku cara kerja 'benda' ini," ucap sang Prabu, namun matanya tetap tak bergeming dari 'ponsel' yang digenggamnya. "Baik Gusti Prabu," akhirnya Elang beranjak mendekat ke arah sang Prabu. Kali ini tak ada yang berani menghalanginya, karena memang atas perintah sang Prabu sendiri. Elang pun menjelaskan fungsi 'ponsel' sebagai alat komunikasi jarak jauh di masanya, serta garis besar penggunannya. Walau terbatas hanya keterangan saja, karena memang tak ada jaringan di masa itu. Namun Elang berhasil membuat sang Prabu dan seluruh orang, yang berada di istana saat itu terk
“Ahh, pastinya kamu juga menguasai ilmu kanuragan dan kadigjayaan, seperti Ayahandamu ya adik Cendani,” ujar Elang memperkirakan. “Hanya sedikit bisa saja kok Mas Elang. O iya, apakah Mas Elang memang berasal dari alam masa depan seperti kata Eyang?” Cendani mulai mengeluarkan pertanyaan, yang mengganjal di hatinya. “Sepertinya begitu Adik Cendani. Masa-masa kerajaan sudah tak ada lagi di alamku berada. Tapi aku percaya pasti ada ‘makna’ dari Yang Maha Kuasa. Yang menyebabkan aku sampai di masa silam ini adik Cendani,” sahut Elang tenang. Diam-diam Elang memuji kecantikkan alami Cendani ini. 'Sungguh benar-benar seorang dara yang menarik, lembut, dan sopan penuh etika', pikir Elang. Elang tiba-tiba berdiri dari kursinya, dan menghadapkan dirinya ke arah gerbang masuk kediaman Ki Jagadnata. Karena dia mendengar beberapa langkah kaki mendekat, dari arah luar gapura pintu. Cendani pun menjadi kaget dengan sikap Elang. Namun beberapa saat kemudian dia pun menjadi maklum. Masuk beb
"Ohh..! B-baik Eyang," Cendani terkejut dan gugup, mendengar teguran sang Eyang. Dia segera beranjak kembali ke dalam rumah, dengan wajah memerah tersipu malu. Sedangkan Elang hanya tersenyum ramah, seraya anggukkan kepalanya pada Cendani. Ya, tentu saja Cendani terpana, melihat seorang pemuda gagah namun berpakaian aneh dan tak lazim di masanya itu. 'Namanya Elang, tapi darimana asalnya? Kenapa pakaiannya sangat aneh begitu..? Tapi gagah juga dia', bathin Cendani seraya menuju ke bekas kamar ayahnya. "Elang ketahuilah. Lima murid dari Resi Mahapala yang kamu cari adalah Surapati berjuluk Panglima Badai, Kampala berjuluk Panglima Es, Bhasura berjuluk Panglima Api, Lamhot berjuluk Panglima Awan, serta Gardika yang berjuluk Panglima Surya," ujar Ki Jagadnata menjelaskan. "Baik Eyang. Elang akan mengingat nama dan julukkan mereka. Dan jika mereka tak mau mengatakan tujuan sebenarnya, dari Resi Mahapala masuk ke dimensi Elang. Maka Elang juga tak akan segan, untuk bersikap keras pad
‘Pemuda asing bedebah! Jika kau berani mencuri hati putri Ratih Kencana. Maka kau akan berhadapan denganku, Senopati Singayudha! Kau akan mati di tanah ini!’ bathin Senopati itu, mengancam Elang. ‘Ahh! Rupanya hanya gara-gara putri cantik bernama Ratih Kencana itu. Hehe’, bathin Elang terkekeh. Setelah mengetahui penyebab Senopati itu menatapnya dengan pandangan dingin, dan penuh kebencian itu. Ya, rupanya Senopati muda itu juga memperhatikan, saat putri Ratih Kencana beberapa kali mencuri pandang ke arah Elang. Selama pertemuan itu berlangsung. Dan tentu saja Senopati Singayudha bisa menilai. Bahwa tatapan penasaran dari putri jelita itu terhadap Elang, akan bisa berubah menjadi ‘suatu’ rasa yang berbeda. “Baiklah..! Kuputuskan sementara ini kita akan mengirimkan 10 telik sandi (mata-mata). Untuk memantau pergerakan 5 Panglima Petaka bawahan Resi Mahapala yang telah menyusup di ke 5 kerajaan bagian Kalpataru. Yaitu, kerajaan Dhaka, Pangkah, Shaba, Marapat, dan Galuga. Untuk pe
"Para Penasehat, Patih, dan juga para Senopati. Terbukti sudah kini ramalan Resi Salopa. Huru hara di tlatah Kalpataru telah dimulai. Tak lama lagi, menurut wangsit yang kuterima. Lautan darah akan menghempas bergelombang dari 5 kerajaan bagian, di bawah naungan kerajaan Kalpataru ini,” ujar sang Prabu, dengan hati masygul dan geram. “Sekarang aku meminta pendapat pada kalian semua. Apa yang harus kerajaan ini lakukan, dalam menghadapi kemelut yang sebentar lagi pasti terjadi ini?” tanya sang Prabu. Ruang paseban agung hening seketika, setelah mendengar pertanyaan Prabu Mahendra Wijaya. Mereka semua berusaha memeras akal, untuk menjawab pertanyaan sang Prabu. Para penasehat rata-rata berpikir seraya membelai jenggotnya, Maha Patih Basutama terlihat terpekur menatap lantai paseban, dengan mata bergerak-gerak. Sedangkan para Senopati terlihat menunduk, dengan jari tangan sesekali menggaruk pelan paha mereka. Lama tak ada suara jawaban terdengar, saat ... “Mohon maaf Gusti Prabu. K
Spraath! Sprath! ... Spraaths..!!! Puluhan anak panah berapi melesat serentak ke arah Elang. Sementara Elang hanya tersenyum saja melihat hal itu. Tapi diam-diam dia mengerahkan aji ‘Perisai Sukma’nya. Selimut cahaya hijau segera muncul menyelimuti sosok Elang. Kini tubuhnya telah di lindungi, oleh lapisan energi tenaga dalam dan bathinnya. Trakh! Trakh! Taghk! ... Taghk..!!! Semua anak panah yang mengenai selimut cahaya hijau sosok Elang, patah dan luruh dengan api padam seketika. “Hahh..!! Di-dia k-kebal panah..!!” seru terkejut pasukkan Sarkala, yang menyaksikan hal tersebut. “Hiahh..!" Seth..! Sarkala berseru keras seraya melesat ke arah Elang. Rupanya dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lumayan tinggi. Dan setelah jaraknya hanya 4 meter, dari sosok Elang. “Hiah..!" Wesshk..! Sarkala berseru seraya hantamkan ajian andalannya ‘Sawer Wisa’. Selarik asap hitam pun melabrak selimut cahaya hijau, yang melapisi sosok Elang. ‘Sawer Wisa’ adalah Ajian yang bisa membuat l
“Ayo kita lebih cepat lagi..!" Slaph..! Ki Jagadnata memberi arahan, seraya sosoknya melesat semakin pesat bak meteor. Menuju ke arah asap hitam yang membumbung tinggi itu. Slaph..! Elang pun melesat bagai lenyap, dan tak terlihat lagi oleh Srenggana, yang tertinggal di belakang. “Uedan. !” seru Srenggana terkejut. Karena dia kini hanya bisa melihat sosok sang Guru di depannya, sedangkan Elang entah lenyap ke mana. “Tutup gerbang kota..! Jangan sampai para pemberontak itu masuk..!” seru sang pemimpin sebuah pasukan, yang tampak tengah terdesak mundur. Sosoknya telah berdarah-darah dan terluka disana sini. Namun dia tetap bertahan, seraya bergerak mundur ke arah gerbang. Nampak pasukan yang dipimpinnya hanya tersisa puluhan prajurit saja, sedangkan pasukan musuh mereka berjumlah 4 kali lipat dari pasukkan mereka. Dengan beringas dan tanpa ampun, pasukan musuh menghabisi puluhan prajurit kerajaan yang masih tersisa, satu demi satu. “Senopati Hanggada..! Masuklah..! Gerbang aka
"Tahan anak muda..!" Wush..! Sebuah gelombang energi dahsyat bercahaya kebiruan, melesat cepat ke arah Elang. Diiringi lesatan secepat kilat sosok putih, yang langsung menyambar sosok Srenggana, lalu meletakkan sosok manusia kera itu di tempat aman. Seth..! Taph..! Elang pun sontak melenting ke atas, lalu bersalto beberapa kali. Untuk menghindari gelombang pukulan sosok putih itu. Hingga akhirnya dia mendarat ringan, di sebuah puncak karang. Sepasang matanya langsung menatap tajam, ke arah sosok putih yang telah membokongnya tadi. Blaargkhs..!! Tebing karang hitam meledak ambyar dan rompal. Terkena pukulan sosok putih yang melesat tadi. Bukit Karang Waja pun kembali berguncang keras, bak dilanda lindu. Pecahan karang berhamburan melesat ke segala arah. Asap putih pun nampak mengepul, di sekitar ledakkan itu. Dan saat asap putih itu pudar tertiup angin. Maka nampaklah sebuah cekungan melesak sedalam setengah meter, di bekas pukulan itu. Dahsyat..! “Hei, pemuda asing..! Mengap