"Tak masalah Elang. Tinggalkan saja jika kau sudah ingin pergi nanti. Kami sendiri besok malam sudah harus pulang ke Rusia Elang,” ucap Mila. “Ahh, secepat itu ya Mila, Vinka. Saya pikir kalian masih lama disini.” “Visa kami berakhir lusa Elang. Sebenarnya kami juga betah di sini Elang,” Mila berkata seolah menyesali. “Sudahlah lebih baik kita ke kamar sekarang. Aku sudah sangat lelah, dan tak sabar ingin rebahan. Hahaa,” Vinka berkata sambil tertawa lepas. “Dasar kau Vinka. Hahaa. Ayo kita ke kamar sekarang Elang. Mila juga rasanya ingin istirahat, kejadian tadi benar-benar membuat kepala Mila sedikit pusing,” ucap Mila. “Baik Mila, kau memang butuh istirahat sepertinya,” kata Elang membenarkan. Mereka akhirnya naik lift ke lantai 2, dan memang kamar mereka bersebelahan seperti kata Mila. Setelah berjanji untuk berjalan-jalan lagi ke pantai sore nanti, mereka pun masuk ke kamar masing-masing. Klek.! Elang masuk kekamarnya dan mendapati suasana yang lux dan asri di kamarnya.
“Mila, Vinka, selera kalian sungguh sangat disayangkan..! Hahaaaa..!” Sergei berkata lalu tertawa lepas mengejek, yang diikuti oleh rekannya Leonid. Mereka berdua tertawa mengejek sambil melirik ke arah Elang. Sementara Elang tenang saja meminum air mineralnya, seolah tak menganggap ejekan keduanya. “Sergei..! Leonid..! Tolong hargai teman kami dan pergilah dari meja kami..!” hardik Mila, yang tak tahan dengan sikap keterlaluan kedua pemuda senegaranya ini. “Benar..! Kalian berdua pergilah cari meja lain..!” sentak Vinka menimpali ucapan sahabatnya. “Mila, Vinka, tenanglah,” Elang berkata tersenyum, menenangkan kedua wanita itu. “Hei..! Kalian berani mengusirku dari sini demi pria primitif ini.! Leonid, sungguh aku tak percaya ini. Hahahaa..!” Sergei berseru lalu tertawa merendahkan Elang, yang di bela oleh Mila dan Vinka. Leonid juga tertawa sambil mentap sinis dan merendahkan pada Elang, yang terlihat masih tenang-tenang saja. Bagi Elang, selama mereka masih belum main tangan
"Bagus Sergei..! Mampus kau pemuda primitif..!!” teriak Leonid ikut senang.“Elanngg...!!” Mila dan Vinka serentak berteriak ngeri bersamaan. “Ahhhh....!!” teriakkan ngeri semua orang, yang menonton merasa tak tega pada Elang.Namun Sergei menjadi sangat terkejut bukan kepalang, saat dia tak bisa menarik kembali pisau lipatnya yang berada di perut Elang. Sekuat tenaga dia menarik pisau lipatnya itu, namun usahanya ‘sia-sia’. Diapun menatap wajah Elang dan terkejut. Dilihatnya wajah Elang malah tersenyum, dan tak nampak kesakitan sama sekali. Keringat dingin mulai mengucur di kening Sergei. "Brengsek..! K-kau... Tagh..! Belum selesai makian Sergei. Elang cepat menyentil pergelangan tangan kiri Sergei yang kidal itu, yang sedang berusaha ‘setengah mencret’ menarik kembali pisau lipatnya. “Aaawkhsss..!” Sergei berteriak dengan nada dasar ‘F minor’ di ketinggian nada 10 oktaf, cukup menggetarkan telinga dan dada para penonton yang hadir disitu. Sretth..! Pisau lipat kesayangannya
“Ahh.. Mila! Kenapa kau begitu tak sabar,” Elang berkata menyesali, seraya menerima kembali ponselnya. Elang melihat mata sayu dari Mila. “Hhhh.! Masuklah Mila,” Elang menghela nafasnya, sambil menyuruh Mila masuk ke dalam kamarnya. Klek.! Pintu kamar Elang pun terkunci. Tak lama kemudian pintu kamar Mila dan Vinka terbuka. Klekh.! Vinka melihat ke sekitarnya mencari-cari sosok Mila dan Elang, namun tak dilihatnya mereka. Sejenak wajahnya seolah berpikir sambil menatap pintu kamar Elang, lalu ia tersenyum maklum. ‘Kau benar-benar beruntung Mila, nikmatilah’, bathin Vinka. Ada sedikit rasa ‘iri’ menyelinap di hati Vinka, lalu dia pun kembali menutup pintu kamarnya. Klek.!*** Sementara di tepi jalan yang agak sepi. Permadi duduk di sebuah bangku kayu, yang terletak di pinggir jalan raya Parang Tritis. Suasananya memang agak gelap, karena berada di bawah sebuah pohon rindang. Sementara matanya menatap tajam setiap pengendara motor, yang melintas di depannya. Sejak tadi dia
“Sama-sama Elang sayank. Mmfhh,” Mila berkata mesra, sambil mencium pipi Elang. Mila saat itu merasa ‘sangat terpuaskan’, dan hatinya mendadak menjadi ‘sayang’ sekali pada Elang. Namun jika dia ingat harus segera pulang besok malam, mendadak hatinya menjadi sedih dan berat. Ingin rasanya dia ‘membawa’ Elang ke negaranya, dan dijadikan suaminya. Namun apakah Elang mau..? Dan dia pun sadar diri, pastilah banyak wanita yang mengharapkan pemuda ini. Berpikir begitu akhirnya Mila hanya bisa pasrah pada keadaan, sedih. ‘Baiklah, akan kunikmati setiap detik kebersamaanku bersamanya sepanjang malam ini. Dan merekamnya dalam memori di benak dan hatiku, sebagai kenangan terindah sepanjang hidupku’, bisik bathin Mila pahit. *** Sementara di saat yang sama, Permadi terus menggeber motor curiannya. Dia sempat berhenti di SPBU Tirtomartani, dan mengisi full tank motornya. Lepas dari situ kembali dia menggeber motornya dengan ‘semau gue’. Motornya dibawa meliuk-liuk, menyalib, dan terkada
Elang segera beranjak turun dari ranjang, menuju kamar mandi. Air terasa cukup sejuk saat dia mandi di dalamnya. Tak lama kemudian Elang nampak sudah rapih dan berganti pakaian. Dia berniat untuk cari makan bebas di luaran sana, sekalian berjalan-jalan. Elang keluar dari kamarnya dengan meninggalkan kunci kamar di dalamnya. Agar AC kamar tetap menyala, dan Mila bebas keluar masuk kamar nantinya. Elang sedang ingin berjalan-jalan sendiri saat ini. Elang sedang berjalan menuju rumah makan tempat dia kemarin dia makan. Ada menu seafood di sana yang hendak dicobanya. Namun hatinya jadi merasa aneh dan penasaran. Saat dia melihat beberapa kerumunan orang tua muda, yang sedang asyik melihat ponsel mereka sambil duduk-duduk di tepi pantai. Mereka ada yang tertawa terbahak, senyum-senyum, bahkan berkomentar sendiri sambil melihat ponselnya. Merasa agak penasaran Elang berjalan pelan melewati mereka, sambil melirik ke arah layar ponsel mereka. ‘Ternyata yutube.! Tapi.?! Bukankah itu a
"O ya. Nama kalian siapa? Saya Elang,” tanya Elang, sambil mengulurkan tangannya pada salah satu dari mereka. “Saya Manto. Om Elang,” sambut si anak itu sambil mencium tangan Elang. “Saya Dani, Om,” sambut anak yang terlihat lebih muda, saat Elang juga mengulurkan tangan padanya. “Kalian kakak adik ya?” tanya Elang. “Iya Om, kami kakak beradik dari Surabaya,” jawab Manto yang lebih tua. “Wah dari seberang ya, kok kalian nggak sekolah?” tanya Elang. “Ayah tidak ada biaya Om. Ayah cuma tukang gali tanah. Di rumah masih ada adik perempuan,” sahut Manto, anak berusia 12 tahun, yang terlihat lebih dewasa dari umurnya. “Silahkan bakso dan tehnya Bli,” ucap sopan si pelayan, yang datang dengan tersenyum respek pada Elang. Kini pelayan itu tahu dengan maksud Elang, memesan porsi buat tiga orang. ‘Pemuda yang baik hati’, bisik bathin si pelayan. “Terimakasih ya,” Elang tersenyum. “Ayuk Manto, Dani, di makan dulu baksonya. Nanti kita ngobrol lagi ya,” ajak Elang. “Makasih Om Elang,
‘Cari sarapan, melihat candi Prambanan, lalu ganti plat motor sebelum melanjutkan perjalanan’, bathin Permadi. Permadi akhirnya sarapan di rumah makan ‘Sop Ayam Pak Min’, yang terletak tepat di seberang candi Prambanan. Permadi merasa puas makan di situ, karena rasanya sangat khas dan kaldu ayamnya kental dan nendang banget. Harganya juga standart dan terjangkau. Setelah selesai sarapan di sana, Permadi langsung menuju ke area parkir candi Prambanan. Setelah membayar tiket masuk, maka Permadi pun langsung masuk ke dalam area Candi Prambanan. Kompleks candi Prambanan terletak di kecamatan Prambanan Desa Bokoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya memang persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO. Candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping. Sesuai dengan arsitektur Hindu pada umum
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi
Sorot pandang matanya terasa sangat menyejukkan hati. Tiada emosi sedikit pun di dalamnya. Orang biasa yang memandangnya pastilah akan langsung merasa tenggelam, dan seperti berada di suatu ruang luas tak berbatas. Inilah pandangan sosok yang telah mencapai tingkat 'Langit Tanpa Batas'. "Maafkan kelalaianku dalam menjaga 'turunnya Tombak Samudera', pada keturunanku, Ki Prahasta. Namun sekuat daya aku telah memberi 'pagar' pada Kitab Jagad Samudera. Agar tak mampu dipelajari oleh orang yang tak berhak, walaupun dia masih keturunanku. Andai 'pagar' yang kuterapkan pada kitab itu tetap terbuka, dan dipelajari oleh keturunan yang salah. Maka aku hanya bisa mengatakan itu adalah 'takdir' dari Yang Maha Kuasa, Ki Prahasta," sahut Ki Bogananta, dengan wajah penuh sesal, walau bibirnya tetap menyunggingkan senyum. Pandang mata Ki Bogananta juga nampak sangat dalam. Kedalaman yang tak mampu di selami, jika orang biasa beradu pandang dengannya. Inilah pandangan dari sosok yang telah men
Nadya segera beranjak turun dari ranjangnya, dan mengambil segelas air minum dari dispenser di kamarnya. Glk, glek..! Rasa segar memenuhi kerongkongannya, namun rasa resah dalam dirinya tak jua menghilang. Ingin rasanya dia menelepon Elang saat itu juga. Namun sudah 2 minggu lebih ponselnya tak bisa menghubungi nomor Elang. Karena operator selalu memberi pesan nomor Elang berada di luar jangkauan. Ya, Nadya memang tak mengetahui keberadaan Elang di mana saat ini. Nadya ingat terakhir kali dia menghubungi Elang, pada saat Elang berada di Bali. Maka 'kecemasan luar biasa' kini melanda hati Nadya. Kecemasan akan keselamatan Elang. Pemuda yang sudah menjadi kekasih di hatinya. Nadya merasa tak ingin tidur kembali. Dia hanya memanjatkan do'a dalam hatinya, berharap keselamatan selalu bersama kekasih hatinya itu, saat...Tuttt. Tuuttt..! Nadya yang masih terduduk di tepi ranjangnya bangkit, dan melangkah menuju ponselnya yang terletak di atas meja kamarnya. 'Siapa sih yang pagi-pa
Braghh...!!Permadi yang tak bisa menahan rasa penasarannya, dia reflek memukul lantai di samping tubuhnya, yang masih dalam kondisi bersila. Sedikit saja tenaga dalamnya mengalir. Namun itu saja cukup, untuk membuat lantai di sisi tubuhnya ambyar berlubang. 'Lusa besok aku berangkat ke Osaka. Namun kenapa mimpi brengsek itu selalu datang mengganggu konsentrasiku..?! Siapa kau sebenarnya Kakek Tua..?!' bathin Permadi berseru, penuh rasa marah dan penasaran. Tok, tok, tokk..! "Mas Permadi.." suara merdu Shara terdengar, di depan pintu kamar khususnya. Permadi bangkit dari bersilanya dan beranjak membukakan pintu bagi Shara. Klek.! "Ya Shara.." ucap Permadi, sambil membuka setengah pintu kamarnya. "Mas Permadi tak apa-apa kah..? Tadi Shara mendengar suara keras dari dalam kamar Mas," tanya Shara, dengan wajah agak cemas. "Tak apa-apa Shara. Aku hanya sedang sedikit kesal dengan sesuatu," sahut Permadi datar. "Tapi bukan sedang kesal sama Shara kan Mas..?" tanya Shara agak pan
Ingin rasanya Elang bertemu kembali, dan bertanya pada 'Ki Buyut Sandaka'. 'Apakah ada suatu tanda atau petunjuk, jika dia telah menemukan cinta sejatinya alias jodohnya..? Adakah sesuatu yang belum diketahuinya mengenai kutukkan Naga Asmara..? Atau ke arah mana Elang harus mencari cinta sejatinya di dunia yang luas ini..? Apakah kutukkan Naga Asmara ini akan terus menempel padanya hingga dia mati, jika tak jua menemukan jodohnya..?'Seribu tanya terlintas di benak Elang, namun satu jawab pun tak terungkap..?! Akhirnya dengan di iringi suasana haru dan sedih, dari Yukata dan keluarganya. Dan juga mata beriak basah dari Nanako. Elang pun langsung melesat lenyap, menerapkan puncak dari ilmu 'Pintas Bumi'nya. Elang menolak untuk di antarkan ke stasiun Tokyo, oleh Nanako. Dia lebih memilih ke stasiun seorang diri sambil berjalan-jalan. "Mas Elang. Aku pasti datang ke Indonesia, setelah semua urusan pengadilan selesai," begitu ucapan terakhir Nanako serak, saat Elang pamit tadi. El
"Tak penting darimana aku tahu hal itu. Yang penting sekarang, cepatlah kau pergi tinggalkan negeri ini..! Keluargamu menanti di sana," ucap Elang tegas dan tenang. "Baik..! Terimakasih semuanya..!" Sethh...! Hong Li langsung melesat dengan 'ginkang'nya yang lumayan tinggi. Perlahan sosoknya lenyap di rerimbunan pohon. "Sekarang kalian..! Siapa nama kalian..?" seru Elang. "S-saya Dong Min.." "S-sya Gunadi..' "Kalian berdua harus mau menjadi saksi bagi kami di pengadilan. Katakan, bahwa kalian disuruh oleh Kairi dan Hitoshi, untuk mencelakai keluarga pak Yutaka..! Kami tak akan menuntut kalian. Kami hanya ingin dalang dari semua ini 'divonis bersalah dan dihukum'..! Namun jika kalian menolak. Maka kami jamin kalian akan kami tuntut dan ikut mendekam di penjara bersama Kairi..! Kalian mengerti..?!" sentak Elang tegas. "Ba..baikk..!! Kami mengerti..!" sahut mereka berdua hampir bersamaan. "Gunadi..! Untuk apa kau ikut-ikutan kelompok ini..? Kamu di mana di Indonesia..?" tanya E