‘Cari sarapan, melihat candi Prambanan, lalu ganti plat motor sebelum melanjutkan perjalanan’, bathin Permadi. Permadi akhirnya sarapan di rumah makan ‘Sop Ayam Pak Min’, yang terletak tepat di seberang candi Prambanan. Permadi merasa puas makan di situ, karena rasanya sangat khas dan kaldu ayamnya kental dan nendang banget. Harganya juga standart dan terjangkau. Setelah selesai sarapan di sana, Permadi langsung menuju ke area parkir candi Prambanan. Setelah membayar tiket masuk, maka Permadi pun langsung masuk ke dalam area Candi Prambanan. Kompleks candi Prambanan terletak di kecamatan Prambanan Desa Bokoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letaknya memang persis di perbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini adalah termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO. Candi Hindu terbesar di Indonesia, sekaligus salah satu candi terindah di Asia Tenggara. Arsitektur bangunan ini berbentuk tinggi dan ramping. Sesuai dengan arsitektur Hindu pada umum
Ternyata isinya adalah sebuah gelang unik. Gelang itu dipenuhi rangkaian liontin kecil-kecil dari resin, yang isinya aneka hewan-hewan laut kecil. Dan Elang malah menyukai gelang unik dari Devi ini, ketimbang cincin dari Mila. Namun wajarlah ketidak tahuan Elang ini. Andai dia tahu cincin pemberian Mila adalah cincin dengan nilai harga fantastis..! Batu merah di cincin itu adalah ‘Red Diamond’, yang segramnya saja bernilai 50 miliar lebih. Dan mata cincin itu senilai 5 gram lebih, sementara ringnya terbuat dari Platinum yang harganya jauh di atas emas. ‘Hmm. Nusa Penida, aku akan ke sana besok’, bathin Elang. Sejak awal kedatangannya ke pantai Sanur Elang memang sudah tertarik dengan fast boat, yang hilir mudik ke arah pulau kecil di tenggara pulau Bali itu. Akhirnya Elang kembali keluar dari kamarnya, untuk mencari makan malam yang sesuai dengan seleranya. Setelah makan malam dia berencana untuk tidur lebih awal malam itu, guna kembali memulihkan stamina dan energi di tubuhnya
“Baiklah Bapak, jika itu memang jalan terbaik yang harus diambil. Semoga Trika ‘tabah’ menjalani tanggung jawab ini. Karena Galang juga tak melihat jalan keluar lain dari masalah keluarga Bapak. Selain menerima tawaran itu. Galang hanya berharap Trika bahagia dan kuat menjalaninya. Galang mohon diri Bapak,” Galang mencium tangan Astika, dengan sepenuh-penuh rasa hormat. Dia ingin secepatnya meninggalkan rumah itu. Karena Galang merasakan ada sesuatu yang ingin ‘meledak’ di dadanya. “Maafkan bapak, Galang,” Astika berkata pelan. Dia merasa trenyuh sekaligus kagum, dengan ketabahan dan sikap Galang menerima kabar menyakitkan ini. ‘Kau memang pemuda luar biasa Galang. Sayang sekali..sayang sekali’, bathin Astika menyesali. Galang berjalan keluar dari rumah kekasihnya dengan tegak. Namun sesungguhnya dadanya mulai turun naik dan terasa sesak. Segera dia menaiki Win 100 nya dan melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke suatu tempat favoritnya. Suatu tempat yang selalu menjadi pelip
“Masih belum puaskah Tuan Mudamu itu..?! Kekasihku sudah kurelakan di rebut olehnya..! Dan kini dia mau menghabisiku.?! Keparath..! Majulah kalian..!!” seru Galang sambil bersiaga dan waspada, terhadap keroyokkan kedua ‘cecunguk Danu’ ini. “Hahahaaa..! Itu sudah nasibmu, kasta sampah..!” si Pesek membentak. “Banyak bacot kau calon mayat..!!” si Pendek gempal menghardik. Si gempal ini langsung memulai serangan kakinya, dengan menyapu kaki Galang. Dia juga persiapkan serangan susulan, dengan sikut tangan ke arah dada Galang. Wukkh..!Namun Galang juga bukan anak kemaren sore. Dia cukup bisa bela diri, dengan arahan pamannya semasa kecil. Seth..! Galang mundurkan kaki kanannya ke belakang, menghindari sapuan kaki si Pendek. Lalu Galang langsung membalas dengan tendangan putar kaki kanannya, ke arah kepala si Pendek. Wukkh..! Daghh..!!Si Pendek memblok tendangan Galang, dengan double capper tangannya. Lalu secepat kilat dia main bawah kembali, dengan melakukan sapuan searah jarum
“Kalau begitu marilah kita duduk di sana, dan ceritakanlah masalah Mas Galang pada saya. Setidaknya itu bisa mengurangi sedikit beban Mas Galang,” Elang mengajak Galang duduk di tempat yang agak rindang. "Baiklah Mas Elang," ujar Galang.Karena matahari pagi menjelang siang cukup terik saat itu. Mereka pun akhirnya beranjak duduk di sana. Galang kemudian menceritakan masalah pelik, yang menimpanya dan kekasihnya dengan sangat jelas pada Elang. Elang menyimak baik-baik penjelasan Galang, bathinnya menangkap kejujuran dari kisah Galang itu dari awal hingga akhir. “Begitulah Mas Elang, kondisi ekonomi dan kemampuanku sangat jauh dari pinjaman itu. Aku hanya khawatir dengan kehidupan Trika setelah menikah dengan Danu. Semoga saja Danu bisa mengubah wataknya yang mata keranjang itu. Setelah dia menikah dengan Trika,” ujar Galang mengakhiri kisahnya. Elang ikut menghela nafasnya, setelah mendengar masalah yang dihadapi teman barunya ini. Dia sangat gemas dengan kebanyakkan sifat o
‘Ka Galang datang..!’ seru kaget bathin Trika, hatinya bagai terlonjak saking senangnya. Sejak semalam dia sudah merasa putus harapan, dan merasa tak akan bisa bertemu dan menatap kekasihnya lagi. Karenanya pemberitahuan ayahnya itu sangat ‘surprise’ bagi dirinya. Dengan segera dia berdandan sekedarnya, menutupi sembab matanya yang kerap menangis pedih dan terisak dalam kamarnya. Trika sedikit memberi pulasan tipis bedak di wajahnya, agar tak nampak terlalu pucat akibat kurang tidur. Sungguh membuat iba memang kondisi kembang Nusa Penida ini. Akibat ‘pemaksaan’ yang dilakukan Danu. Setelah merasa cukup pantas, Trika bergegas menuju ke dapur. Untuk membuatkan dua gelas minuman teh hangat manis kesukaan Galang. Sang ibu yang juga sedang berada di dapur hendak menyiapkan makan malam agak kaget, melihat Trika masuk ke dapur. Sang ibu belum mengetahui kedatangan Galang dan Elang. Karena jarak dapur dan ruang tamu memang agak jauh. Terlebih si ibu sedang memasak dan menyalakan kran
"Ahh..!" Kabinawa terkejut bukan kepalang. Dia merasakan energi bathinnya bagai mengalir deras keluar terhisap, oleh suatu daya sedot yang luar biasa. Dengan susah payah, Kabinawa akhirnya bisa menggeser arah jempol kakinya ke arah lain. Dan menarik kembali energi serangannya. Keringat dingin terlihat mengalir dari dahinya. Setengah energinya telah tersedot, oleh daya hisap yang luar biasa ke tubuh Elang. Bagai sebuah bola yang masuk ke dalam pusaran laut, ambyar dan lenyap tanpa bekas. Dan dengan ‘terpaksa’ dia harus kembali mengisi energinya itu, dengan beberapa kali samadi. ‘Tunggulah besok malam pemuda bedebah..! Aku akan mendatangimu, dimana pun kamu berada..!!’ bathin Kabinawa murka. Dia bermaksud mengeluarkan pamungkasing ilmunya, untuk menyerang Elang besok malam. “Baik. Saya akan menunggu Pak,” Elang berkata menjawab bisikkan bathin Kabinawa, sambil tersenyum tenang. Danu seperti mengerti, kalau ‘dukun bayaran’nya ini sedang bertarung secara ghaib entah dengan siapa.
“Hahh..! I-ini..!” Danu ternganga tak percaya. Ya, dia sangat paham bahwa cek yang sedang dipegangnya adalah cek asli. Karena dalam profesinya, tentu dia tak asing bermain dengan yang namanya cek. “Tunggu apa lagi..! Cepatlah keluar dan uangkan cek itu kapan saja kau mau..!” sentak Elang muak. Elang menarik surat perjanjian pinjaman Astika yang di tandatangani di atas materai, dan langsung menyerahkannya pada Astika. “Sebaiknya sobek dan bakar saja surat perjanjian kadaluwarsa ini Pak Astika,” ucap Elang. “Ba..baik..! Urusan hutang Astika sudah selesai..! Tapi urusan kita belum selesai..!” Danu berseru geram, sambil menunjuk ke arah Elang. Lalu Danu pun beranjak keluar dari rumah Astika, di iringi Kabinawa yang saat itu hanya terdiam. ‘Hmm. Selain berilmu tinggi, rupanya kekayaan pemuda itu juga sukar di tebak. Tapi aku tak akan mundur. Kita lihat saja besok malam’, bathin Kabinawa penasaran. Namun jujur saja dia merasa jerih, jika harus berhadapan langsung dengan pemuda berna
Padahal jika Elang mau, maka dia bisa membawa beberapa 'barang antik', dari peradaban dalam dimensi itu. Seperti halnya 'cincin mustika Nagandini', yang berhasil ditariknya dulu untuk Nadya. Akhirnya setelah merasa cukup puas melihat-lihat. Elang memutuskan untuk kembali ke hotelnya, yang berjarak sekitar 25 menit dari kuil itu. Elang pun naik bus umum yang melintas di sekitar area kuil itu. *** Permadi baru saja usai makan malam, dan kini dirinya tengah memandangi gemerlap lampu kota Osaka di malam hari, dari jendela kamar hotelnya. Ya, tak lama lagi dia akan mulai mendeteksi keberadaan energi Elang dari kamarnya itu. Jujur saja hati Permadi berdebar-debar. Karena dia bisa merasakan, jika energi Elang adalah energi terbesar, yang pernah dirasakannya dimiliki seseorang. 'Aku tak boleh mundur lagi. Sekarang atau tidak selamanya..!' seru bathin Permadi menguatkan tekadnya. Teringat dia kenangan masa lalunya. Kenangan saat dia ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Betapa dia
"Tapi tak apa Mas Elang jalan-jalan saja dulu. Daripada buru-buru bertemu Keina," ucap Nanako merasa senang. 'Aneh memang pola pikir dua wanita Jepang ini. Keina senang aku cepat keluar dari rumah Nanako. Sedangkan Nanako senang, kalau aku nggak buru-buru ke rumah Keina. Sungguh memusingkan..!' gerutu bathin Elang. "Mas Elang pasti sekarang sedang kelaparan ya..? Hihii," tebak Nanako tepat ke sasaran. Nanako memang paham, dia memperhatikan pola makan Elang selama berada di rumahnya. Dia tahu saat jam-jam pagi, biasanya Elang suka melintasi meja makan rumahnya saat bangun tidur. "Ahh..! Nanako tahu saja kamu. Hahaa," Elang tak bisa ngeles lagi. Karena sambil bicara, dia juga sambil mengunyah pelan-pelan rotinya. Tapi tetap saja ketahuan oleh Nanako, jika dia sedang makan sesuatu. Jujur saja, Elang lebih senang menganggap Nanako bagai adiknya sendiri. Nanako ini paling bisa meledek dan bermanja-manja padanya, saat Elang di rumahnya. "Ya sudah. Mas Elang lanjut makannya ya. Nanak
Tuttt.. Tuttt.. Tuutttt..!Kini di layar ponsel Elang tertera, 'Keina Yoshida memanggil'. Klik.! "Ya Keina," sahut Elang. "Mas Elang di mana sekarang..? Kok belum datang ke rumah..?" "Saya masih di Awaji Island Keina. Mau menikmati pemandangan dulu," sahut Elang jujur. Dia khawatir Keina ngambek, karena tidak langsung ke rumahnya setelah dia keluar dari Tokyo. "Hmm. Nggak ngajak-ngajak ya, hihi..! Ya tak apa-apa Mas Elang, daripada menghabiskan waktu di Tokyo bersama Nanako. Keina boleh nyusul nggak mas Elang..?" tanya Keina. "Lebih baik tak usah Keina, dua hari lagi juga saya ke rumah," sahut Elang. Ya, dia sedang benar-benar ingin sendiri, untuk menikmati akhir perjalanannya di negeri Sakura ini. "Baiklah, selamat bersenang-senang Mas Elang." Klik.! *** "Selamat jalan Mas Permadi, cepatlah kembali sayank. Mmmhh," Shara mengucapkan salam, seraya mencium pipi Permadi. Saat Permadi hendak memasuki pesawat. "Terimakasih Shara," ucap Permadi, sambil menatap Shara. Hidup bers
Tidak heran, 'Samara Embankment' adalah tempat wisata alam yang tidak hanya gratis, tapi juga wisata unggulan. Di sungai Volga, kita bisa melihat pemandangan alam yang sangat cantik, kendati pada siang hari dan suhu cukup tinggi. Namun, kita bisa berteduh di bar dan restoran yang tersedia, tidak jauh dari pedestrian. Dan di sanalah kini seorang wanita cantik duduk termenung, memandangi keindahan alam yang terhampar dihadapannya. Tapi tunggu dulu, mata sang wanita memang mengarah ke hamparan sungai indah di depannya, namun tidak dengan 'pikiran'nya. Sesosok pemuda tak pernah lepas dari 'benaknya', sejak kepulangannya dari Bali. Sosok pemuda itu terus membayangi kemanapun dia berada. Sosok pemuda yang telah menerima 'cincin' kenangan darinya. Ya, sosok itu adalah Mila..! Sejak kepulangannya ke Samara, hatinya bagai tertinggal di Bali bersama Elang. Dan akibat kerinduannya yang mendalam, selama seminggu ini dia terus melakukan panggilan terhadap Elang. Namun tiada pernah ada nada
Bip..! Nadya :"Sudah tidur belum Mas Elang..?" Balas : "Belum Nadya." Nadya :"O iya Mas Elang, minggu depan Nadya ujian Sripsi. Doa'in ujiannya lancar ya Mas." Balas : "Pasti Nadya. Mas percaya Nadya pasti lulus dengan gemilang." Nadya:"Minggu depan mudah-mudahan Mas Elang sudah di Jogja ya. Biar bisa merayakan kelulusan Nadya." Balas :"Mudah-mudahan Nadya. O iya, sekarang Mas menginap di 'Yumekaiyu Awajishima Hotel'. Mas baru saja masuk malam ini." Nadya :"Wah, asyiknya bisa travelan terus. Besok-besok Nadya ikut lho Mas." emot senyum plus ketawa. Balas : "Boleh-boleh saja, kalau nggak ada yang marah Nadya." emot kedip mata satu. Nadya:"Ihh. Siapa yang berani marahin Nadya, wee.." emot ngeledek. Nadya:"Nanti lanjut ya Mas. Nadya dipanggil Mamah, paling di suruh dinner." Balas : "Ok." emot jempol. Elang beranjak dari ranjang dan memandang keluar kamar, melalui jendela kamar yang cukup luas. Belum lama Elang meresapi keindahan pemandangan malam, dari jendela kamarnya, Tiba
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi