“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang.
“Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri. “Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun ini. Halimah menderita penyakit aneh yang menggerogoti tubuhnya. Dalam pemeriksaan medis di rumah sakit, para dokter tidak menemukan satu penyakit pun dalam tubuh sang istri. Namun anehnya, istrinya selalu mengeluh sakit di tubuhnya. Dan yang membuat Baskoro tak habis pikir, rasa sakit istrinya itu selalu berpindah-pindah. Kadang Halimah mengeluh kepalanya sakit, lalu beberapa jam kemudian mengeluh dadanya yang sakit, dan beberapa jam kemudian mengeluh perutnya yang sakit. Begitu terus hampir setiap hari. Kondisi tubuh sang istri pun terus menurun secara perlahan, seiring berat badannya yang juga terus berkurang. Sudah tak terhitung biaya yang Baskoro keluarkan, demi menyembuhkan istrinya itu. Dan perlahan tapi pasti, saldo di rekeningnya pun terkuras. Hingga ada beberapa properti yang terpaksa dia jual, untuk menutupi biaya pengobatan sang istri tercintanya itu. Namun kesemua hasilnya adalah Nol Besar..! Dari dokter terkenal hingga tabib ternama, dari ajengan hingga paranormal. Semuanya memberikan hasil yang negatif, bagi kesembuhan istrinya. Kini dia sudah pasrah, dan hanya bisa berdoa dalam hatinya. Berharap akan munculnya suatu keajaiban dalam hidupnya..! Seorang pelayan mendatanginya dari dalam rumah, “Maaf Pak. Ibu berguling-guling terus di pembaringan, dia selalu menyebut-nyebut nama Bapak,” ucap sang pelayan, sambil menunduk sedih dan rikuh. Karena dia tak bisa menghandel ibu majikkannya. Dalam hatinya dia merasa kagum dan kasihan, pada bapak majikannya itu. Suami yang dengan sabar dan telaten, terus mengurus istrinya, yang sudah tahunan menderita sakit. Bahkan terkadang ia melihat bapak majikannya ini tak tidur semalaman. Karena menunggui ibu majikkannya, yang menggeliat sakit di pembaringannya. ‘Sungguh lelaki yang sabar’, bathin sang pelayan kagum. “Baik Bi. Bibi tolong buatkan saja bubur ya. Halimah harus makan walaupun sedikit, biar nanti saya yang menyuapinya,” ucap pak Baskoro. “Baik Pak,” ucap sang pelayan sambil bergegas ke dapur. **** Elang masuk keruangan manajer Betamart, untuk menemui Pak Johan di dalam. “Selamat pagi Pak Johan,” sapa Elang sopan. Dia sebelumnya memang telah menanyakan nama sang manajer. Pada karyawan yang bekerja di situ. “Selamat pagi. Duduklah,” sahut Pak Johan ramah, seraya mempersilahkan Elang duduk. “Mas ini siapa ya ?” tanya pak Johan. “Saya Elang, Pak Johan. Saya dari panti ‘Harapan Bangsa’, Pak,” sahut Elang. “Oh iya, anak asuh Bu Nunik ya..?” tanya pak Johan lagi, seraya tersenyum ramah. Dia memang memberi ‘pass’, bagi dua orang anak asuh di panti ‘Harapan Bangsa’. Karena memang Johan merasa kagum dan hormat, pada keuletan dan ketegaran Bu Nunik dalam mengelola panti itu. “Benar Pak Johan,” jawab Elang sopan. ‘Hmm. Anak yang berpotensi besar’, bathin pak Johan. “Kamu bawa CVnya Elang..?” tanya pak Johan. “Bawa Pak. Ini Pak Johan,” sahut Elang, sambil menyerahkan CV yang sudah dipersiapkannya sejak semalam. Pak Johan membuka CV dari Elang, membaca, dan juga mencermatinya. Dan raut wajahnya nampak terkejut, saat melihat nilai-nilai di ijazah SMA Elang. ‘Luar biasa..! Nilainya hampir sempurna semua', desis bathin pak Johan. “Baik Elang. Mulai besok, kamu mulai bekerja di sini ya. Datanglah tepat waktu Elang. Selamat ya,” ucap pak Johan sambil mengulurkan tangannya. Hal yang langsung di sambut hangat dan antusias oleh Elang. “Terimakasih atas kesempatannya Pak Johan,” ucap Elang, dengan rasa gembira dan hati bersyukur. Setelah Elang keluar ruangan itu, selanjutnya giliran Wulan yang masuk menghadap pak Johan. Dan tak lama kemudian Wulan pun keluar, dengan hasil yang sama dengan Elang. Mereka berdua pun lalu bergegas pulang. Untuk mengabarkan kabar gembira itu pada orang-orang panti. Dan khususnya pada Bu Nunik, wanita yang sudah mereka anggap bagai ibu kandung mereka sendiri. *** Sementara siang harinya. Bu Nunik dan Elang sudah sampai di kediaman Pak Baskoro, yang terlihat megah namun sunyi. Elang memencet bel rumah itu, yang terletak di sisi gerbang rumah. Tak lama kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya, yang berjalan menghampiri mereka. “Maaf. Kalian siapa dan mencari siapa ya ?” tanya wanita tersebut. “Kami dari panti ‘Harapan Bangsa’, mau bertemu dengan Pak Baskoro, Bu ,” jawab Elang ramah. “Ohh sebentar ya Mas, Bu. Saya tanyakan pada beliau dulu,” sahut sang pelayan. “Baik Mbak,” jawab Bu Nunik maklum. Tak lama kemudian terlihat Pak Baskoro keluar bersama pelayannya, dan menghampiri mereka. Sang pelayan langsung membukakan pintu gerbang. “Wah, Bu Nunik. Maaf menunggu, silahkan masuk Bu,” ucap pak Baskoro ramah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik tersenyum, sambil melangkah masuk di ikuti oleh Elang. “Silahkan duduk Bu Nunik, Mas," ucap Pak Baskoro, setelah mereka berada di ruang tamu yang mewah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik. “Bagaimana Bu Nunik ? Tumben mampir ke rumah,” tanya Pak Baskoro membuka percakapan. “Begini Pak Baskoro. Maksud kedatangan kami kesini, adalah untuk menengok bu Baskoro. Kami sangat prihatin mendengar kondisi beliau, sejak pak Baskoro terakhir mampir ke panti kami,” ucap Bu Nunik, seraya meletakkan buah tangannya di atas meja. Buah tangan itu berupa buah jeruk dan mangga, di dalam wadah kantong plastik. “Terimakasih atas keprihatinan Ibu Nunik. Namun memang kondisi istri saya saat ini masih belum membaik Bu Nunik. Rasanya saya sudah hampir pasrah menerima ujian ini. Sudah hampir satu setengah tahun istri saya terbaring sakit, dan tidak juga menemukan obatnya,” ucap pak Baskoro, dengan kesedihan yang mendalam. “Bersabarlah Pak Baskoro. Karena maksud kedatangan kami yang lain, adalah karena anak asuh saya ini, Elang, Pak Baskoro. Elang ingin mencoba ikhtiar menyembuhkan istri Pak Baskoro. Semoga saja lewat tangannya, penyakit Bu Baskoro bisa disembuhkan,” ucap Bu Nunik, mencoba untuk tenang saat mengatakan hal itu. “A-apa Bu Nunik..?! Maaf Bu, saya tidak salah dengar kan Bu..?!” seruan kaget dan heran terucap dari mulut Pak Baskoro. “Saya awalnya juga tak percaya Pak Baskoro. Tapi tidak ada salahnya kita mencoba kan Pak Baskoro. Daripada diam pasrah menunggu nasib,” ucap Bu Nunik pelan dan hati-hati. Sungguh hati Bu Nunik agak berdebar saat itu. Dia cemas Baskoro akan menganggapnya bermain-main, dengan penyakit istrinya. Pak Baskoro tampak termenung sejenak. Akhirnya dia berpikir, kata-kata bu Nunik ada benarnya juga. Lalu dia menatap pada Elang dan tersenyum, “Benar Bu Nunik. Kita tak tahu dengan tangan yang mana, istri saya bisa disembuhkan,” ujar Baskoro akhirnya. Walau jujur saja. Dalam hati pak Baskoro masih meragukan kemampuan Elang, yang paling-paling belum berumur 20 tahun itu. ‘Bahkan puluhan Dokter, tabib, ajengan, dan paranormal, yang menangani istrinya. Mereka semua rata-rata sudah berpengalaman. Dan umur mereka pun sudah matang dan sepuh. Lha siapa pemuda bernama Elang ini..?’, bathin Baskoro heran, bingung, dan juga merasa tak yakin. Namun Baskoro tetap berusaha tersenyum, menanggapi pernyataan bu Nunik. “Lantas apa saja yang harus saya siapkan untuk pengobatan ini Bu Nunik ?” tanya pak Baskoro, sekaligus hendak menguji apa sebenarnya maksud semua ini. Bahkan sempat terlintas prasangka buruknya pada Bu Nunik dan pemuda bernama Elang ini. Elang yang mulai di rasuki pikiran tidak enak terhadap Pak Baskoro menjawab, “Tidak ada yang perlu dipersiapkan Pak Baskoro. Karena kami datang ke sini hanya untuk mengambil sesuatu benda jahat. Benda itu di tanam orang jahat di rumah Bapak,” jawab Elang tenang, langsung pada pointnya. “Hahh..?! B-benda apa....“Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses
“Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le
"Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh
"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
“Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.
"Wah..! Asik banget Kang. Hehe,” sapa Elang terkekeh, ke arah si tukang ojek. “Iya Kang Elang. Suasana di sini damai euy, jadi ngantuk. Haha!” sahut si tukang ojek tergelak. “Ki, saya pesan mie rebus telornya ya,” ucap Elang pada aki pemilik warung. “Baik Jang. Bagaimana Elang, sudah selesai urusan di rumah Kakekmu..?” tanya si aki. “Sudah Ki, saya juga baru membersihkan sebagian semak di sekitar rumah Kakek,” sahut Elang. “Sungguh sayang sekali Elang. Sebenarnya rumah Kakekmu cukup bagus dan klasik. Sejak dulu aki menyukai model rumah dengan kayu jati, seperti rumah Kakekmu itu, Elang,” ucap sang aki, menyayangkan kondisi rumah Balawan. “Dulu saat buyutmu Ki Sandaka masih hidup. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke desa ini, untuk menyambangi buyutmu, Elang,” ucap sang aki, sambil memasukkan mie dan telur ke dalam air mendidih di panci. “Buyutmu adalah orang yang suka membantu orang yang kesusahan Elang. Bahkan tak sedikit para pamong praja, yang datang juga pad
"Argkhs..!" seru kesakitan Elang, merasakan nyeri dan ngilu yang luar biasa di jari manisnya itu. Bergegas Elang menuju ke kamar mandi, berniat mencoba melepaskan cincin itu dengan menggunakan sabun. Blaph! Tetapi sesampainya di dalam kamar mandi, cincin itu hilang dengan tiba-tiba! 'Hahh..!' kejut batin Elang. Elang langsung keluar dari kamar mandi menuju dapur. Anehnya setelah Elang berada di luar kamar mandi, cincin itu terlihat kembali. Di dapur Elang melumuri jari manisnya dengan minyak goreng, lalu kembali mencoba menarik lepas cincin itu. "Ahks..!" seru meringis Elang. Ya, selain terasa sakit sekali, cincin itu juga tak bergeser sama sekali dari posisinya. Elang pun akhirnya menyerah. ‘Ini aneh dan sepertinya ini bukan cincin biasa’ bathin Elang resah. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pasrah ! Akhirnya Elang kembali ke kamarnya. Rasa penat setelah hampir seharian bepergian keluar panti, membuat Elang cepat sekali tertidur pulas. Malam itu Elang kembali bermim
"Huuaarrghks..!!!" Permadi berteriak membahana murka, dengan mengerahkan 'power'nya.Tanah di sekitar Permadi bersila amblas melesak hingga 1 meteran, badai angin pun tercipta. Ibarat batu besar yang jatuh ke tengah danau tenang. Energi Permadi bagai riak air yang bergelombang menerjang ke sekelilingnya dalam radius ratusan meter. Aliran listrik yang berada dalam radius gelombang energi Permadi padam seketika. Beberapa kendaraan yang melintas di jalan pun ikut terhempas, hingga keluar jalan tanpa mereka tahu sebabnya. Lampu rambu lalu lintas di sekitarnya padam semua.Kekacauan dan kepanikkan massal melanda area, dalam radius gelombang energi Permadi. Inilah tingkat power dari pemuda itu, yang telah puluhan tahun mengasah kesempurnaan ilmunya. Hanya beberapa saat memang. Namun kerusakkan dan kekacauan yang di timbulkannya sungguh... Dahsyatt..! Permadi terdiam sesaat, dengan hati masih dipenuhi oleh amarah..! Dia merasa perjalanannya ke Surabaya menjadi sia-sia. Tadinya dia men
"Sa-sabar anak muda..! Kita adalah kawan. Ki Sentanu adalah tamu kehormatan kami," Dibyo berkata gugup dan ketakutan. Ya, dia sangat terkejut merasakan tubuhnya melayang, lalu terhempas di kursi teras. Bokong dan punggungnya terasa panas, nyeri, dan pegal-pegal. "Tak peduli..! Katakan padaku kemana Ayahku pergi..?!" sentak Permadi, seraya mengguncang kerah baju Dibyo dengan kedua tangannya. Kepala Dibyo sampai terguncang maju mundur dibuatnya. "Keparat..! Berani main kasar pada Bosku..!! Hiahhh..!" Wushh..! Markus tak dapat menahan amarahnya melihat bosnya di perlakukan kasar oleh Permadi. Dia langsung menerjang dengan pukulan keras bertenaga dalam, ke arah punggung Permadi yang membelakanginya. Namun punggung Permadi bagai bermata saja layaknya. Seth..! Craphk..! Dengan melepas satu cengkraman tangan kanannya, tanpa menoleh Permadi berhasil menangkap kepalan tangan Markus, yang memukul ke arah punggungnya. Secepat kilat tubuh Permadi berbalik ke belakang lalu, Kraghh..! ...
'Hmm. Aku harus bisa menemukan titik lokasi energi Ayah angkatku kali ini..!' bathin Permadi bertekad. Permadi duduk bersila dalam posisi 'teratai', perlahan dia menarik nafas panjang dan secara perlahan pula kedua matanya terpejam. Sepasang mata Permadi telah terpejam, namun mata ketiganyalah yang kini terbuka dan memancar secara 'ghaib', bak antena penangkap gelombang energi di sekitarnya. Semakin lama, daya penglihatan dan daya tangkap sinyal energi yang dipancarkan 'cakra ajna'nya makin kuat. Dan ternyata hal itu berpengaruh pada aliran energi listrik di seisi hotel. Blaph..! Petth..! Pyaarsh..! ... Blaph..! Seluruh penghuni hotel menyaksikan sendiri, saat lampu-lampu serta alat-alat elektronik yang ada di lingkup hotel menjadi error. Seluruh lampu-lampu hotel bagai berkedip nyala redup secara serentak. Banyak penghuni hotel terutama penyewa kamar yang komplain, dengan kejadian itu. Namun petugas hotel sendiri tak mengerti, karena saat di cek tak ada yang error pada jarin
"Hahh..?! I-ini ... ini cek asli kan Pak..?!" seru kaget si ibu, dengan mata terbelalak lebar. Ya, dia tercengang melihat barisan angka nol konvoi di depan matanya, di bagian kanan bawah cek itu. "Li-lima miliar..?! Cek atas nama Wulan...! Ini asli Bu..!" seru gugup dan kaget sang Ayah, yang cukup tahu soal cek. Kini kesombongan dan sikap arogan kedua mertua Wulan itu pun runtuh, luluh lantak, dan terkapar di hadapan Wulan dan Dedi. Karena mereka telah meremehkan sosok sederhana, berkharisma, dan rendah hati seperti Elang. Dan ini juga menggugurkan tuduhan dan anggapan mereka. Bahwa Wulan hanya ingin mendompleng hidup enak, pada putra mereka. Karena kini mereka mengetahui sendiri, kekayaan putra mereka bahkan berada di bawah Wulan. Wulan sendiri terkejut dan tak menyangka, jika Elang akan memberinya uang sebesar itu atas namanya. Diam-diam matanya beriak basah di dera rasa haru dan terimakasih. 'Terimakasih Elang, telah kau angkat diriku di mata mertuaku', bisik bathinnya. E
'Siapa sih pemuda yang nampak biasa-biasa saja itu..?' Demikianlah rata-rata bathin mereka bertanya-tanya. Soalnya dari sisi penampilan memang Elang terkesan sederhana saja. Bahkan ransel yang dikenakannya menambah kesan, jika Elang bukanlah orang kantoran. Sepatu yang dikenakan pun, bukanlah sepatu resmi untuk menghadiri kondangan. Tapi lebih seperti sepatu pendaki gunung atau sport. Satu-satunya aksesoris yang terlihat berharga oleh mereka di tubuh Elang, paling hanyalah jam tangannya saja. Itu pun mereka berpikir paling harganya tak sampai 2-3 juta. Demikianlah pandangan orang-orang, yang melihat sesuatu berdasar tolok ukur 'materialistis'. Mereka seperti tak melihat, bahwa banyak para konglomerat dunia, yang lebih memilih tampil sederhana dengan pertimbangan rasa nyaman. Daripada memaksakan diri tampil sesuai 'statusnya', dengan mengorbankan rasa nyaman dan kepribadian mereka. "Elang. Akhirnya kau datang adikku," Wulan menggandeng Elang, dan mengajaknya ikut naik ke atas
Slaph..!! Kedua sosok ninja merah itu segera melesat cepat dan lenyap, setelah memberi hormat setengah membungkuk pada Hiroshi. Kini halaman belakang rumah Hiroshi kembali sunyi. Hanya tinggal Hiroshi seorang di sana. Akhirnya Hiroshi pun bergegas kembali masuk ke dalam rumahnya, setelah dia menghabiskan sebatang rokoknya. Keesokkan paginya, giliran kediaman Hiroshi yang 'geger'. Saat salah seorang pelayan rumah Hiroshi, menemukan dua helai pakaian berwarna merah penuh darah, yang terlipat rapih di teras rumah. Sebuah plakat perak juga diletakkan di atas tumpukkan pakaian nerah itu. Dua buah guci kecil berisi abu juga tergeletak di sana. Karuan pelayan itu langsung masuk ke dalam rumah, dan berteriak memberitahukan pada pelayan rumah yang lainnya. Hiroshi yang kebetulan sudah bangun dari tidurnya, bergegas dia menuju teras rumah. Dan sesampainya di teras dia pun terkejut, melihat dua pakaian merah serta plakat perak yang dilemparkannya semalam. Dan itu hanya berarti satu hal.
Hiroshi langsung mengumpulkan seluruh jajaran tinggi stafnya, dan menggelar meeting tertutup hari itu juga. Hiroshi memilih untuk ‘diam’ dan merahasiakan, atas hilangnya sejumlah dokumen rahasia perusahaan sementara waktu dari publik. Hal itu disampaikannya dalam meeting tertutup itu. Dia menghimbau agar semua jajaran stafnya ‘membuka’ mata dan telinga mereka, sewaspada dan secermat mungkin. Untuk menyelidiki ‘pihak mana’, yang menjadi dalang pencurian hampir seluruh dokumen penting yang sifatnya sangat rahasia. Jujur saja, bagi Hiroshi kehilangan dokumen-dokumen rahasia ini bagai kehilangan nafas dari perusahaannya. Apalagi jika dokumen-dokumen itu jatuh ke tangan ‘pesaing’, atau orang yang salah. Namun satu dugaan kuat sudah terbersit di benaknya, tentang pihak mana yang menjadi dalang semua kejadian ini. Tapi itu baru dugaan semata.Soal pelakunya, Hiroshi sudah menduga pastilah sekelompok orang bayaran, lebih tepatnya dia menduga sekelompok ninja..! Namun yang membuatnya p
“Pakailah Seruni, ini untukmu,” ujar Permadi, seraya berusaha tersenyum. Namun wajahnya malah tampak aneh seperti menyeringai, aduhh Madi..Madi..! “Wahh, terimakasih Mas Permadi. Kalung ini bagus sekali..!” Seruni berseru merasa surprise, langsung dikenakannya kalung pemberian Permadi itu. Hatinya penuh dengan bunga bermekaran. Seruni sungguh tak menyangka, Permadi bisa memberikan hadiah seromantis itu. Ingin rasanya dia mencium Permadi dengan hangat. Namun dia sadar kondisi mereka di tempat terbuka, tak memungkinnya melakukan itu. “Berangkatlah Seruni, nanti kau terlambat,” ucap Permadi datar. “Baik Mas Permadi, jaga diri Mas baik-baik dalam perjalanan ya,” Seruni akhirnya beranjak naik ke motornya. Matanya kini nampak basah, ‘Andai kau minta aku ikut denganmu, aku pasti ikut mas’, bisik hatinya sedih. Nngngg..! Seruni melajukan motornya, lalu menghilang di balik gerbang hotel. Air mata bergulir di pipi Seruni, tertutup oleh kaca helm yang dikenakannya. Sedih. ‘Selamat jal
“Elang..! Kau tak apa-apa..?” Bagja menarik lepas ilmu leaknya, dan bergegas menghampiri Elang. “Saya tak apa-apa Pak Bagja. Sebaiknya kita kembali ke rumah saja Pak,” sahut Elang, seraya mengusap darah di hidungnya. Baginya, pertarungan dengan Ki Badra bukanlah pertarungan yang berat. “Syukurlah Elang, mari kita pulang sekarang,” ucap Bagja. “Rasanya akan terlalu lama jika kita berjalan Pak Bagja. Sebaiknya Bapak saya bawa saja ya,” ujar Elang, saat melihat Bagja sudah kembali ke wujud manusianya kembali. Karena tentunya dia tak akan bisa melesat cepat kembali ke rumahnya. “Silahkan Elang. Energi bapak memang terkuras, jika mengeluarkan aji ‘Tirta Bharada.” Elang merangkul pundak Bagja lalu, Slaph..! Elang mengerahkan kecepatan maksimal dari aji ‘Pintas Buminya’, maka dalam sekejap saja mereka sudah berada di teras rumah Bagja. ‘Luar biasa si Elang ini, sepertinya dia masih belum mengerahkan seluruh kemampuannya melawan Ki Badra tadi’, bathin Bagja kagum, pada sahabat putr