“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang.
“Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri. “Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun ini. Halimah menderita penyakit aneh yang menggerogoti tubuhnya. Dalam pemeriksaan medis di rumah sakit, para dokter tidak menemukan satu penyakit pun dalam tubuh sang istri. Namun anehnya, istrinya selalu mengeluh sakit di tubuhnya. Dan yang membuat Baskoro tak habis pikir, rasa sakit istrinya itu selalu berpindah-pindah. Kadang Halimah mengeluh kepalanya sakit, lalu beberapa jam kemudian mengeluh dadanya yang sakit, dan beberapa jam kemudian mengeluh perutnya yang sakit. Begitu terus hampir setiap hari. Kondisi tubuh sang istri pun terus menurun secara perlahan, seiring berat badannya yang juga terus berkurang. Sudah tak terhitung biaya yang Baskoro keluarkan, demi menyembuhkan istrinya itu. Dan perlahan tapi pasti, saldo di rekeningnya pun terkuras. Hingga ada beberapa properti yang terpaksa dia jual, untuk menutupi biaya pengobatan sang istri tercintanya itu. Namun kesemua hasilnya adalah Nol Besar..! Dari dokter terkenal hingga tabib ternama, dari ajengan hingga paranormal. Semuanya memberikan hasil yang negatif, bagi kesembuhan istrinya. Kini dia sudah pasrah, dan hanya bisa berdoa dalam hatinya. Berharap akan munculnya suatu keajaiban dalam hidupnya..! Seorang pelayan mendatanginya dari dalam rumah, “Maaf Pak. Ibu berguling-guling terus di pembaringan, dia selalu menyebut-nyebut nama Bapak,” ucap sang pelayan, sambil menunduk sedih dan rikuh. Karena dia tak bisa menghandel ibu majikkannya. Dalam hatinya dia merasa kagum dan kasihan, pada bapak majikannya itu. Suami yang dengan sabar dan telaten, terus mengurus istrinya, yang sudah tahunan menderita sakit. Bahkan terkadang ia melihat bapak majikannya ini tak tidur semalaman. Karena menunggui ibu majikkannya, yang menggeliat sakit di pembaringannya. ‘Sungguh lelaki yang sabar’, bathin sang pelayan kagum. “Baik Bi. Bibi tolong buatkan saja bubur ya. Halimah harus makan walaupun sedikit, biar nanti saya yang menyuapinya,” ucap pak Baskoro. “Baik Pak,” ucap sang pelayan sambil bergegas ke dapur. **** Elang masuk keruangan manajer Betamart, untuk menemui Pak Johan di dalam. “Selamat pagi Pak Johan,” sapa Elang sopan. Dia sebelumnya memang telah menanyakan nama sang manajer. Pada karyawan yang bekerja di situ. “Selamat pagi. Duduklah,” sahut Pak Johan ramah, seraya mempersilahkan Elang duduk. “Mas ini siapa ya ?” tanya pak Johan. “Saya Elang, Pak Johan. Saya dari panti ‘Harapan Bangsa’, Pak,” sahut Elang. “Oh iya, anak asuh Bu Nunik ya..?” tanya pak Johan lagi, seraya tersenyum ramah. Dia memang memberi ‘pass’, bagi dua orang anak asuh di panti ‘Harapan Bangsa’. Karena memang Johan merasa kagum dan hormat, pada keuletan dan ketegaran Bu Nunik dalam mengelola panti itu. “Benar Pak Johan,” jawab Elang sopan. ‘Hmm. Anak yang berpotensi besar’, bathin pak Johan. “Kamu bawa CVnya Elang..?” tanya pak Johan. “Bawa Pak. Ini Pak Johan,” sahut Elang, sambil menyerahkan CV yang sudah dipersiapkannya sejak semalam. Pak Johan membuka CV dari Elang, membaca, dan juga mencermatinya. Dan raut wajahnya nampak terkejut, saat melihat nilai-nilai di ijazah SMA Elang. ‘Luar biasa..! Nilainya hampir sempurna semua', desis bathin pak Johan. “Baik Elang. Mulai besok, kamu mulai bekerja di sini ya. Datanglah tepat waktu Elang. Selamat ya,” ucap pak Johan sambil mengulurkan tangannya. Hal yang langsung di sambut hangat dan antusias oleh Elang. “Terimakasih atas kesempatannya Pak Johan,” ucap Elang, dengan rasa gembira dan hati bersyukur. Setelah Elang keluar ruangan itu, selanjutnya giliran Wulan yang masuk menghadap pak Johan. Dan tak lama kemudian Wulan pun keluar, dengan hasil yang sama dengan Elang. Mereka berdua pun lalu bergegas pulang. Untuk mengabarkan kabar gembira itu pada orang-orang panti. Dan khususnya pada Bu Nunik, wanita yang sudah mereka anggap bagai ibu kandung mereka sendiri. *** Sementara siang harinya. Bu Nunik dan Elang sudah sampai di kediaman Pak Baskoro, yang terlihat megah namun sunyi. Elang memencet bel rumah itu, yang terletak di sisi gerbang rumah. Tak lama kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya, yang berjalan menghampiri mereka. “Maaf. Kalian siapa dan mencari siapa ya ?” tanya wanita tersebut. “Kami dari panti ‘Harapan Bangsa’, mau bertemu dengan Pak Baskoro, Bu ,” jawab Elang ramah. “Ohh sebentar ya Mas, Bu. Saya tanyakan pada beliau dulu,” sahut sang pelayan. “Baik Mbak,” jawab Bu Nunik maklum. Tak lama kemudian terlihat Pak Baskoro keluar bersama pelayannya, dan menghampiri mereka. Sang pelayan langsung membukakan pintu gerbang. “Wah, Bu Nunik. Maaf menunggu, silahkan masuk Bu,” ucap pak Baskoro ramah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik tersenyum, sambil melangkah masuk di ikuti oleh Elang. “Silahkan duduk Bu Nunik, Mas," ucap Pak Baskoro, setelah mereka berada di ruang tamu yang mewah. “Terimakasih Pak Baskoro,” ucap bu Nunik. “Bagaimana Bu Nunik ? Tumben mampir ke rumah,” tanya Pak Baskoro membuka percakapan. “Begini Pak Baskoro. Maksud kedatangan kami kesini, adalah untuk menengok bu Baskoro. Kami sangat prihatin mendengar kondisi beliau, sejak pak Baskoro terakhir mampir ke panti kami,” ucap Bu Nunik, seraya meletakkan buah tangannya di atas meja. Buah tangan itu berupa buah jeruk dan mangga, di dalam wadah kantong plastik. “Terimakasih atas keprihatinan Ibu Nunik. Namun memang kondisi istri saya saat ini masih belum membaik Bu Nunik. Rasanya saya sudah hampir pasrah menerima ujian ini. Sudah hampir satu setengah tahun istri saya terbaring sakit, dan tidak juga menemukan obatnya,” ucap pak Baskoro, dengan kesedihan yang mendalam. “Bersabarlah Pak Baskoro. Karena maksud kedatangan kami yang lain, adalah karena anak asuh saya ini, Elang, Pak Baskoro. Elang ingin mencoba ikhtiar menyembuhkan istri Pak Baskoro. Semoga saja lewat tangannya, penyakit Bu Baskoro bisa disembuhkan,” ucap Bu Nunik, mencoba untuk tenang saat mengatakan hal itu. “A-apa Bu Nunik..?! Maaf Bu, saya tidak salah dengar kan Bu..?!” seruan kaget dan heran terucap dari mulut Pak Baskoro. “Saya awalnya juga tak percaya Pak Baskoro. Tapi tidak ada salahnya kita mencoba kan Pak Baskoro. Daripada diam pasrah menunggu nasib,” ucap Bu Nunik pelan dan hati-hati. Sungguh hati Bu Nunik agak berdebar saat itu. Dia cemas Baskoro akan menganggapnya bermain-main, dengan penyakit istrinya. Pak Baskoro tampak termenung sejenak. Akhirnya dia berpikir, kata-kata bu Nunik ada benarnya juga. Lalu dia menatap pada Elang dan tersenyum, “Benar Bu Nunik. Kita tak tahu dengan tangan yang mana, istri saya bisa disembuhkan,” ujar Baskoro akhirnya. Walau jujur saja. Dalam hati pak Baskoro masih meragukan kemampuan Elang, yang paling-paling belum berumur 20 tahun itu. ‘Bahkan puluhan Dokter, tabib, ajengan, dan paranormal, yang menangani istrinya. Mereka semua rata-rata sudah berpengalaman. Dan umur mereka pun sudah matang dan sepuh. Lha siapa pemuda bernama Elang ini..?’, bathin Baskoro heran, bingung, dan juga merasa tak yakin. Namun Baskoro tetap berusaha tersenyum, menanggapi pernyataan bu Nunik. “Lantas apa saja yang harus saya siapkan untuk pengobatan ini Bu Nunik ?” tanya pak Baskoro, sekaligus hendak menguji apa sebenarnya maksud semua ini. Bahkan sempat terlintas prasangka buruknya pada Bu Nunik dan pemuda bernama Elang ini. Elang yang mulai di rasuki pikiran tidak enak terhadap Pak Baskoro menjawab, “Tidak ada yang perlu dipersiapkan Pak Baskoro. Karena kami datang ke sini hanya untuk mengambil sesuatu benda jahat. Benda itu di tanam orang jahat di rumah Bapak,” jawab Elang tenang, langsung pada pointnya. “Hahh..?! B-benda apa....“Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses
“Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le
"Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh
"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
“Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.
"Wah..! Asik banget Kang. Hehe,” sapa Elang terkekeh, ke arah si tukang ojek. “Iya Kang Elang. Suasana di sini damai euy, jadi ngantuk. Haha!” sahut si tukang ojek tergelak. “Ki, saya pesan mie rebus telornya ya,” ucap Elang pada aki pemilik warung. “Baik Jang. Bagaimana Elang, sudah selesai urusan di rumah Kakekmu..?” tanya si aki. “Sudah Ki, saya juga baru membersihkan sebagian semak di sekitar rumah Kakek,” sahut Elang. “Sungguh sayang sekali Elang. Sebenarnya rumah Kakekmu cukup bagus dan klasik. Sejak dulu aki menyukai model rumah dengan kayu jati, seperti rumah Kakekmu itu, Elang,” ucap sang aki, menyayangkan kondisi rumah Balawan. “Dulu saat buyutmu Ki Sandaka masih hidup. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke desa ini, untuk menyambangi buyutmu, Elang,” ucap sang aki, sambil memasukkan mie dan telur ke dalam air mendidih di panci. “Buyutmu adalah orang yang suka membantu orang yang kesusahan Elang. Bahkan tak sedikit para pamong praja, yang datang juga pad
"Argkhs..!" seru kesakitan Elang, merasakan nyeri dan ngilu yang luar biasa di jari manisnya itu. Bergegas Elang menuju ke kamar mandi, berniat mencoba melepaskan cincin itu dengan menggunakan sabun. Blaph! Tetapi sesampainya di dalam kamar mandi, cincin itu hilang dengan tiba-tiba! 'Hahh..!' kejut batin Elang. Elang langsung keluar dari kamar mandi menuju dapur. Anehnya setelah Elang berada di luar kamar mandi, cincin itu terlihat kembali. Di dapur Elang melumuri jari manisnya dengan minyak goreng, lalu kembali mencoba menarik lepas cincin itu. "Ahks..!" seru meringis Elang. Ya, selain terasa sakit sekali, cincin itu juga tak bergeser sama sekali dari posisinya. Elang pun akhirnya menyerah. ‘Ini aneh dan sepertinya ini bukan cincin biasa’ bathin Elang resah. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pasrah ! Akhirnya Elang kembali ke kamarnya. Rasa penat setelah hampir seharian bepergian keluar panti, membuat Elang cepat sekali tertidur pulas. Malam itu Elang kembali bermim
Taph..! Akhirnya Elang mendarat di balkon kamar hotel, yang disewa Wahyu. Dia langsung mengetuk pintu belakang kamar hotel, yang memakai sistem geser. Tokk, tok, tok..!Wahyu bersama istrinya dan Frisca sedang sarapan bersama di dalam kamar hotel, saat mereka mendengar ketukkan di pintu belakang kamar mereka. Wahyu langsung menoleh ke arah belakang, dia pun mendapati sosok Elang, yang telah duduk menunggu di ruang balkon. “Hai Elang. Masuklah kebetulan kami sedang sarapan,” sapa pak Wahyu, setelah membuka pintu balkon kamar hotelnya. “Terimakasih Pak Wahyu, kedatangan saya cuma mau mengantarkan dompet Pak Wahyu. Kebetulan saya ingat Pak Wahyu pasti membutuhkan dompet ini,” ucap Elang. “Wah..! Terimakasih sekali Elang, kebetulan memang kami sangat membutuhkan dana saat ini. Hampir saja istri saya menjual perhiasannya untuk biaya hidup sementara ini,” ucap pak Wahyu dengan muka berseri. “Kebetulan saja Elang ingat, saat sedang ngopi di posko tadi Pak,” ucap Elang tersenyum.“E
"Baik Elang akan mbak sampaikan pesanmu. Jaga dirimu baik-baik ya Elang." Klik.! Sejujurnya, Wulan merasa kehilangan sosok Elang yang baik hati dan sering membantunya, baik di panti maupun di tempat kerja. Bahkan ponsel yang di genggamnya kini adalah pemberian dari Elang. Saat ia dan Elang baru beberapa hari bekerja di Betamart dulu. Elang melihat seorang lelaki paruh baya, yang membawa sebuah nampan dari warkop seberang jalan. Dia pun segera keluar dari posko jaga, dan menyambut lelaki itu. Klang..! Elang membuka pintu gerbang, dan mempersilahkan pak Rahmat masuk. “Lho Pak Rustamnya kemana Mas?” tanya Rahmat. “Ohh, Pak Rustam sedang ke belakang Pak,” sahut Elang, sambil menerima nampan dari Rahmat, dan meletakkan isinya di meja posko. “Jadi berapa semuanya Pak..?” tanya Elang. “Semuanya jadi dua puluh ribu Mas."Elang mengeluarkan uang 20 ribu rupiah dari dompetnya, “Ini Pak. Makasih ya,” ucap Elang. “Sama-sama Mas,” ucap Rahmat, sambil langsung berbalik kembali menuju wa
"Hehehe..! Bagus Hendi, semoga hajatmu tercapai sempurna,” ucap Ki Pragola senang. “Aamiin Ki,” ucap Hendi. Sungguh lucu memang, mendengar Hendi mengaminkan sesuatu yang menyengsarakan bagi orang lain. Hehe. Hendi kemudian pamit dan beranjak pulang, dengan diantar sopirnya ke Mampang. *** “Baiklah Pak Wahyu. Sebaiknya saya kembali ke pos menemani Pak Rustam. Untuk berkoordinasi dengannya, tentang rencana besok. Silahkan Pak Wahyu dan keluarga rehat saja malam ini,” ucap Elang. “Baiklah Elang, sepertinya kau juga butuh istirahat. Sekali lagi kuucapkan banyak terimakasih, atas segala bantuanmu pada keluargaku, Elang,” ucap pak Wahyu, merasa terharu atas kebaikkan hati pemuda yang satu ini. Andai tak ada Elang, tentulah keluarganya telah celaka saat ini di dalam rumah. Oleh karenanya, dalam hatinya Wahyu berniat hendak memberikan hadiah yang pantas bagi Elang. Setelah semua kemelut ini berakhir. Slaphh..! Elang langsung melesat lenyap, dengan aji Pintas Buminya. Tinggallah kin
"Bapak, Ibu. Kebetulan Elang ada uang tunai. Biar pakai uang Elang saja dulu ya,” ucap Elang, sambil membuka ranselnya. Lalu dikeluarkannya seikat uang merah dari dalam amplop coklat. Di ambilnya uang merah sejumlah 35 lembar dari ikatan itu, “Ini Mbak, silahkan,” ucap Elang tersenyum, pada sang resepsionis hotel tersebut. Setelah menghitung uang yang diterimanya dari Elang. “Baik Mas, silahkan,” ucap sang resepsionis ramah, sambil menyerahkan kunci kamar dan uang kembaliannya pada Elang. Seorang roomboy langsung mendekat dan memandu mereka, menuju kamar yang disewa. “Terimakasih ya Elang. Nanti uangnya akan kami gantikan ya,” ucap bu Ratna, dengan wajah agak jengah. “Elang. Terimakasih ya,” ucap pak Wahyu rikuh. Dia masih menyesali keteledorannya sendiri, yang lupa menaruh dompet di celana yang salah. “Terima kasih Mas Elang,” ucap Frisca. Ya, diam-diam Frisca memang sudah mengagumi sosok pemuda Elang. Sejak Elang membantunya melewati kerumunan saat kecelakaan. Dan Frisca b
"Tak apa Frisca. Ayah malah senang ada yang menemani Pak Rustam berjaga di pos,” sahut pak Wahyu tersenyum. “Maaf Pak, kalau boleh saya bertanya. Apakah Bapak mempunyai musuh di sekitar Bapak..?” tanya Elang. “Hei..! Apakah kau mengetahui sesuatu Elang..?” tanya pak Wahyu, dengan wajah berubah menjadi penasaran dengan maksud pertanyaan Elang. “Suara keras itu sungguh tak wajar Pak. Sepertinya ada seseorang yang mengirim sesuatu, pada rumah dan keluarga Bapak,” sahut Elang, terpaksa dia langsung bertanya pada Wahyu. Karena sesuatu yang dikirimkan orang pada keluarga Frisca ini sangat ganas dampaknya, jika sampai terlambat di tangani. Dan Elang mengenal itu adalah ajian Jala Neraka. 'Hmm. Kiriman dukun yang cukup mumpuni', bathin Elang.“Sebutkan nama yang mengirimkan sesuatu itu pada saya Elang. Jika kamu memang mengetahui sesuatu. Menurutmu apakah maksud dari suara keras tadi Elang..?!” Wahyu belum berani menduga, siapa pihak yang berniat jahat pada keluarganya. Walau selintas
"Hmm. Frisca, kamu tahu hubungan ayah dengan ayah Aldi sangat dekat. Dan melalui ayahnya Aldi itu, ayah selalu mendapatkan proyek-proyek besar selama ini, untuk kehidupan. Dan baru kali ini ayah mendapat ‘teguran keras’ dari ayahnya Aldi, Frisca. Pak Bernard bilang, kau telah mempermalukan putranya di depan publik, benarkah demikian Frisca..?!” tanya sang ayah, dengan nada meninggi meminta penjelasan dari Frisca. “Di..a dia berselingkuh dengan wanita lain di restoran Ayah,” jawab terbata Frisca, dengan wajah memerah marah dan mata berkaca-kaca. Benak Frisca jadi kembali teringat bayangan Aldi, yang disandari mesra oleh wanita lain. “Hmm. Rupanya itu penyebab kamu marah dan menamparnya Frisca,” wajah sang ayah pun menjadi bertambah kelam. Ya, Wahyu seketika berada dalam dilema. Jika masalahnya adalah kesalah pahaman atau Frisca yang sedang khilap. Mungkin solusinya cukup dengan menyuruh Frisca meminta maaf pada Aldi dan ayahnya, dan masalah pun selesai. Namun ternyata yang men
"Ohh.. Maaf ya Mas, saya kaget tadi," ucap cewek si Rendi, merasa menyesal memarahi Elang.Elang masih mengurut-urut otot kaki Rendi yang bergeser, agar tidak terjadi pembengkakan dan memar di sekitarnya. “Sudah selesai. Sekarang tinggal mengobati luka-lukamu saja Dek. Sebaiknya kita ke klinik saja ya, biar tidak terlalu mengantri,” ucap Elang mengajukan pendapatnya. “Iya benar Mas, sebaiknya kita ke klinik saja. Kaki saya sudah normal kok dan tidak sakit lagi,” ucap Rendi. “Baiklah kita cari klinik terdekat ya,” ucap Frisca, seraya menghidupkan goggle mapnya. Frisca lalu mengklik ‘search’, untuk mencari klinik terdekat. "Wah, ada nih..!" seru Frisca. Mobil pun berjalan kembali menuju ke klinik terdekat, yang memang berada di dekat lokasi mereka saat itu. Elang memangku kembali ransel eigernya, saat dia kembali duduk di samping pengemudi cantik itu. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di klinik terdekat di daerah Kebagusan. Elang membantu memapah Rendi masuk ke dalam klinik,
Sementara orang-orang di sekitar yang melihat kejadian itu pun mulai berkerumun. Mereka sengaja menghalangi mobil Frisca. Agar Frisca tak bisa melarikan diri. Elang baru tiba di tempat itu, saat ia melihat kerumunan orang-orang di pinggir jalan. Lokasinya tepat di seberang stasiun Lenteng Agung. Elang melihat sebuah mobil berwarna merah. yang dikerumuni orang. Mereka nampak memagari mobil itu, sambil mencaci maki pengemudi di dalamnya. Dan dari balik kaca jendela terlihat, pengemudi mobil itu ternyata adalah seorang wanita cantik. Elang juga melihat seorang anak muda berseragam SMA, yang tergeletak tak jauh dari mobil itu. Anak muda itu juga sedang di kerumuni orang-orang. Maka Elang menyimpulkan telah terjadi kecelakaan dengan anak muda itu sebagai korban. Dan wanita cantik pengemudi mobil merah itu yang menabraknya. Elang lalu mengamati anak muda itu, tak ada yang serius atau parah sekali pada kondisinya. Di bagian kaki yang celananya sobek, tampak memar-memar dan berdarah.
‘Duh..! Maafkan Bapak, Arum. Hasil penjualan bapak hari ini cuma 20 ribu rupiah. Belum bisa buat beli sepatu dan tas sekolahmu yang sudah sobek-sobek itu. Sabar ya Nak. Bapak juga belum makan, kalau bapak makan. Nanti tak ada uang, yang bisa bapak bawa pulang buat ibumu masak besok.’ Elang pun ikut merasa trenyuh, mengetahui bisikkan hati bapak pedagang perabotan itu. “Pak, nasi lagi seporsi ya. Pakai ayam bakar, tempe goreng dan sayur asem Pak,” ucap Elang, pada pemilik warung yang menatapnya sejenak karena heran. Namun akhirnya di ambilkannya pesanan Elang, lalu diletakkannya di atas meja depan Elang. Elang langsung membawa piring itu keluar sambil memesan teh manis hangat, untuk minumannya pada pemilik warung. “Maaf Pak. Ini ada makanan sudah saya pesan, tapi teman saya nggak datang. Mungkin ini rejeki Bapak, diterima ya Pak,” ucap Elang ramah. “Ohh, ehh..! Baiklah Mas. Saya terima ya, terimakasih” ucap bapak paruh baya itu, dengan wajah gembira dan bersyukur. Elang kembali