"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
“Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.
"Wah..! Asik banget Kang. Hehe,” sapa Elang terkekeh, ke arah si tukang ojek. “Iya Kang Elang. Suasana di sini damai euy, jadi ngantuk. Haha!” sahut si tukang ojek tergelak. “Ki, saya pesan mie rebus telornya ya,” ucap Elang pada aki pemilik warung. “Baik Jang. Bagaimana Elang, sudah selesai urusan di rumah Kakekmu..?” tanya si aki. “Sudah Ki, saya juga baru membersihkan sebagian semak di sekitar rumah Kakek,” sahut Elang. “Sungguh sayang sekali Elang. Sebenarnya rumah Kakekmu cukup bagus dan klasik. Sejak dulu aki menyukai model rumah dengan kayu jati, seperti rumah Kakekmu itu, Elang,” ucap sang aki, menyayangkan kondisi rumah Balawan. “Dulu saat buyutmu Ki Sandaka masih hidup. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke desa ini, untuk menyambangi buyutmu, Elang,” ucap sang aki, sambil memasukkan mie dan telur ke dalam air mendidih di panci. “Buyutmu adalah orang yang suka membantu orang yang kesusahan Elang. Bahkan tak sedikit para pamong praja, yang datang juga pad
"Argkhs..!" seru kesakitan Elang, merasakan nyeri dan ngilu yang luar biasa di jari manisnya itu. Bergegas Elang menuju ke kamar mandi, berniat mencoba melepaskan cincin itu dengan menggunakan sabun. Blaph! Tetapi sesampainya di dalam kamar mandi, cincin itu hilang dengan tiba-tiba! 'Hahh..!' kejut batin Elang. Elang langsung keluar dari kamar mandi menuju dapur. Anehnya setelah Elang berada di luar kamar mandi, cincin itu terlihat kembali. Di dapur Elang melumuri jari manisnya dengan minyak goreng, lalu kembali mencoba menarik lepas cincin itu. "Ahks..!" seru meringis Elang. Ya, selain terasa sakit sekali, cincin itu juga tak bergeser sama sekali dari posisinya. Elang pun akhirnya menyerah. ‘Ini aneh dan sepertinya ini bukan cincin biasa’ bathin Elang resah. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Pasrah ! Akhirnya Elang kembali ke kamarnya. Rasa penat setelah hampir seharian bepergian keluar panti, membuat Elang cepat sekali tertidur pulas. Malam itu Elang kembali bermim
"Hahh..!" Elang sangat terkejut, saat mendapati dirinya ternyata mampu melompat lebih tinggi dari perkiraannya. Ya, lompatannya ternyata jauh melampaui tinggi tembok tersebut. Elang pun akhirnya hinggap dengan mantap, di atas rerumputan dan ilalang di lahan kosong tersebut. ‘Ternyata aku bisa melompat setinggi ini’, bathin Elang. Dan Elang pun mulai membuka isi kitab 7 jurus dasar dan menyimaknya, dengan bantuan cahaya senter yang dibawanya. Karena memang suasana yang masih gelap di pagi buta itu.Maka sejak hari itu, Elang tekun berlatih di sana. Karena hari itu libur, maka Elang berlatih hingga siang hari. Siang itu sekembalinya dari berlatih. Elang langsung masuk ke kamarnya, dan menyimpan rapih kembali Kitab 7 jurus dasar di tempatnya. Bergegas Elang mandi dan berganti pakaian dengan baju yang kering. Karena baju sebelumnya basah penuh keringat, akibat latihan kerasnya tadi di lahan kosong. Tutt..Tuutt..! Nada dering ponsel Elang pun mengalun. Elang pun terkejut mendengarny
"Ah, Elang.." desah kaget Bu Nunik. Bu Nunik terdiam agak lama, perlahan sepasang matanya beriak basah, lalu air mata pun menggulir di kedua pipinya tanpa bisa di tahannya lagi. Ya, Bu Nunik teringat saat Elang pertamakali datang ke panti, dia teringat saat Elang berbicara pertamakalinya. Dan ia juga teringat masa-masa sedih dan gembiranya saat merawat Elang. Anak yang sudah dianggapnya bagai anak kandungnya sendiri. Namun Bu Nunik juga sadar. Jika Elang kini mempunyai kehidupan yang harus dijalaninya sendiri, sebagai seorang lelaki normal. Mencari hasil penghidupan yang cukup dan layak, serta mencari jodohnya. Maka tidak bisa tidak, dia harus merelakan Elang pergi dari panti. Dan dia tak berhak melarangnya. Elang yang melihat buliran air mata berlinang dari kedua pipi ibu asuhnya itu, segera mendekat dan memeluknya dengan mata yang ikut memerah. Tak bisa tidak, di lubuk hatinya Elang sudah menganggap Bu Nunik sebagai ibunya sendiri. Wanita yang dengan sabar dan telaten meraw
"Tante dan Mas Bas sudah pasrah Elang. Kami ikhlas, jika takdir mengharuskan kami hidup tanpa anak,” ucap Halimah. “O iya, sebentar Elang. Tante ke kamar dulu,” ucap Halimah. Halimah lalu beranjak masuk ke dalam kamarnya, ia membuka lemari kamarnya dan menarik laci dalam lemarinya. Nampaklah beberapa tumpukkan uang merah, yang terikat berjajar rapih di sana. Diambilnya 2 buah ikatan uang merah dan dimasukkannya ke dalam sebuah amplop warna coklat, yang juga tersedia di laci itu. Halimah pun bergegas kembali keluar dari kamarnya, lalu duduk kembali di kursinya.“Elang. Tante dan Mas Bas akan merasa sedih sekali, jika membiarkan kamu pergi merantau tanpa memberikan sedikit bekal. Terimalah ini Elang, dan jangan menolak pemberian Tante yang satu ini,” ucap Halimah dengan setengah memaksa Elang, untuk menerima amplop coklat dari tangannya. Halimah tahu, Elang pasti akan menolak pemberiannya, jika diberikan tanpa kata-kata yang tepat. Benar saja. Elang yang tadinya bersiap hendak me
"Bimo. Om Elang bangga pada ketegaran Bimo, saat dulu kamu hidup di jalan seorang diri. Om tahu, sekarang kamu pasti sedang kangen sama Ibu dan Kakakmu di Madiun sana. Tapi Om juga kesal sama Bimo," ucap Elang pelan. "Om Elang kesal kenapa sama Bimo, Om..? Bimo minta maaf kalau sudah mengecewakan Om Elang," Bimo berkata penuh ketakutan. Ya, hal yang ditakuti oleh Bimo memang hanya satu. Yaitu mengecewakan Elang, orang terbaik yang selalu ada di hatinya dan menjadi teladannya itu. "Om kesal, karena Bimo tak pernah memberitahu pada Om, kalau makam ayah Bimo tidak dikubur di tempat yang layak. Sekarang katakan pada Om. Di mana tempat ayah Bimo dikubur..?" tanya Elang serius pada Bimo. "Bimo dan tukang rokok menguburkan Ayah di lahan kosong milik orang Om Elang. Lokasinya di pinggir jalan Tentara pelajar. Tapi sekarang tanah itu sedang dijual Om," sahut Bimo akhirnya terus terang. 'Bimo, tak kusangka kehidupan masa lalumu begitu pedih. Seusia kau menguburkan jenasah Ayahmu hanya b
"Tidak, Mas Elang tidak salah dengar. Itu memang murni keinginan Nadya, Mas. Tsk, tskk..!" sahut Nadya terisak. 'Andai Mas Elang menolak menikahi Nanako, maka aku juga tak akan menikah seumur hidupku..', desah bathin Nadya. Dan, itu semua 'terdengar jelas' oleh 'Wisik Sukma' Elang. "Hhhh. Nadya, sebenarnya seberapa dekat kau dengan Nanako..? Mas memang simpati padanya, tapi itu bukan berarti Mas cinta atau ingin menjadikannya istri, Nadya. Mas hanya mencintaimu Nadya, bukan yang lain. Soal Nanako memilih tak menikah seumur hidupnya, itu adalah pilihan jalan hidupnya. Takdir berada di atas semua itu. Jika Nanako ditakdirkan bersuami nantinya, maka pasti dia akan menikah juga, Nadya. Dan lagi, kamu juga belum bicara tentang hal ini pada kedua orangtuamu Nadya, pikirkanlah baik-baik. Biar bagaimana pun juga, orangtuamu harus tahu tentang 'keinginan anehmu' ini Nadya," Elang akhirnya berkata menjelaskan pada Nadya dengan tenang. Walau sebenarnya Elang agak kesal juga, dengan pola
"Katakanlah ini nyata, Mas Elang.." lirih sekali kata itu terucap dari Nadya, seraya tetap memandang wajah Elang. Ya, Nadya seolah takut wajah itu kembali menghilang, saat dia berkedip. Tanpa menjawab, perlahan Elang menundukkan wajahnya dan mengecup kening Nadya, lalu mengecup pula sejenak bibir Nadya. "Apakah kau masih merasa kecupanku hanya mimpi Nadya..?" ucap Elang lembut, di telinga Nadya. "Owhs..! Mas Elang..! Tsk, tskk.." kembali Nadya memeluk erat tubuh Elang, sambil terisak penuh kebahagiaan. 'Ternyata ini nyata. Terimakasih Tuhan', bisik hati Nadya, merasa bahagia dan bersyukur. "Nadya, kini sudah menjelang malam. Baiknya kita pulang dulu yuk. Tapi kita mampir dulu ke warung makan pinggir jalan ya," ajak Elang pada Nadya, yang langsung tersadar dengan keadaan saat itu. Kriyuukk..! Perut Elang berdemo, tepat saat dia selesai berkata. "Hihihii..! Mas Elang lapar rupanya ya. Hayuk kita makan sop sapi dulu kesukaan Mas Elang," Nadya terkikik geli, mendengar suara perut
"Biar aku saja yang memindahkan motor itu, Bu Guru cantik," suara seorang pria terdengar menawarkan bantuannya. "Terimakasih. Hahhh...?!" reflek Seruni mengucapkan terimakasih tanpa menoleh. Namun seketika itu pula hatinya bergetar kencang, Seruni pun berseru kaget tertahan. Brugh..! Sepasang mata Seruni terbelalak, tas tangan dan beberapa map yang dibawanya pun terjatuh. Itu semua terjadi, saat dirinya belum lagi menoleh ke arah sosok pemilik suara itu. Ya, baginya suara itu sudah mewakili gambaran penuh sosok pemiliknya, Permadi.!'Tapi benarkah ini nyata..?' bisik bathin Seruni meragu. "Seruni, apakah kau akan terus diam di situ hingga malam tiba..?" tanya suara itu lagi. "A-apakah aku tengah bermimpi M-mas..Permadi..?" terbata Seruni bertanya, dadanya terasa sesak. Perlahan dia memutar tubuhnya, dan diapun tersentak tak bisa mengendalikan tubuhnya, Seruni hampir saja terjatuh saking terkejut dan tak percaya, pada apa yang dilihatnya. Ya, sosok gagah itu kini berdiri terse
"Mas Permadi. Lebih baik Sisca juga 'tiada', jika harus hidup tanpamu', desah bathin Sisca, yang kini tengah berbaring lemah di ranjang kamarnya. Berkali Mbok Sutri mengetuk pintu kamarnya untuk makan, maka berkali pula jawaban 'nanti saja' terdengar dari Sisca di dalam kamarnya. Mbok Sutri sampai kehilangan akal dan ikut menjadi prihatin, terhadap kondisi majikan puterinya itu. Ada pun dilema menghantui diri Yudha Satria dan Ahmad Syauban di kepolisian. Mereka bahkan sudah menyimpulkan, jika 'sosok hijau' dalam pertarungan dahsyat di selat Naruto itu adalah Elang. Namun tentu saja mereka memendam rahasia itu dalam hati mereka. Bahkan Yudha Satria berani pula menyimpulkan. Bahwa sosok bercahaya biru dalam video itu, adalah penjahat berhelm. Penjahat yang statusnya 'sangat dicari' oleh pihak kepolisian, hidup atau mati.!Dan hal itu terbukti, dengan 'senyapnya' aksi-aksi para penjahat berhelm, setelah insiden pertarungan dahsyat itu. Dengan kata lain, kasus tentang penjahat bert
'Hahh..! Sudah lewat waktu ashar..!' seru bathinnya. Bergegas dia meninggalkan tempat itu, dan kembali menuju hotelnya. Malam harinya Seruni keluar dari kamarnya, dia berniat dinner di resto hotel. Saat dia tiba di restoran, nampak beberapa tamu juga telah berada di sana. Suasana restoran tak begitu ramai malam itu, sekilas dia melirik seorang gadis yang sepertinya juga tengah menatapnya. Saat tatapan mata mereka bertemu, wajah gadis itu tersenyum ramah padanya. Seruni pun membalas senyum gadis itu. Nampak gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Seolah mengundang Seruni, untuk ikut duduk di mejanya. Seruni pun melangkah menghampiri meja gadis itu, yang nampaknya juga pendatang sepertinya. Karena wajahnya nampak seperti serumpun dengan dirinya. "Duduk di sini saja Mbak. Mbak orang Indonesia kan..?" tanya gadis itu, yang ternyata Nadya adanya. Nadya merasa senang mendapati orang senegaranya berada di tempat itu. Hal yang nampak jelas, dari wajah dan kerudung yang dikenakan Serun
"Hayuk kita berangkat sekarang saja Nadya. Kita bisa bicara sambil mandi di sana. Karena aku akan kembali ke Tokyo sore nanti Nadya," ajak Nanako, sambil memberitahukan soal kepulangannya nanti sore. Akhirnya jadilah mereka berangkat menuju Matsuho-no-sato onsen. Tak sampai satu jam, mereka akhirnya telah sampai di tujuan. Matsuho-no-sato adalah sebuah onsen yang terletak di di perbukitan utara, di atas jembatan Akashi Kaikyo sepanjang 3,5 km. Jembatan ini menyala selama beberapa jam mulai senja, dan selama lima menit setiap jam. Pola lampu pelanginya yang mempesona, bagai memantulkan air dan memenuhi langit. Cara terbaik untuk menikmati pertunjukan cahaya lampu itu, adalah dengan berendam di onsen luar ruangan. Sayangnya mereka tiba disana saat hari masih terbilang pagi. Mereka pun menitipkan alas kaki di loker, menerima dua buah handuk besar dan kecil, lalu masuk keruang ganti. Sebetulnya bukan ruang ganti, tetapi lebih tepat disebut ruang untuk melepas seluruh pakaian mereka
"Ceritakanlah Permadi. Aku akan mendengarkan," sahut Elang tersenyum. Lalu Permadi pun mulai menceritakan kisahnya. Di mulai dari orangtuanya terbunuh, soal Ki Sentanu, soal GASStreet, dan tentang perjalanannya mencari Elang. Hingga berakhir pada 'duel' hidup mati mereka, di selat Naruto. "Begitulah perjalanan hitam diriku, Elang," Permadi mengakhiri kisah dirinya pada Elang. "Wahh, Permadi. Rupanya kau pemimpin kelompok berhelm, yang menggegerkan di Surabaya itu," Elang mengeluh dalam sesal, mendengar pengakuan jujur Permadi. Namun kejujuran Permadi itu, menjadi pertimbangan tersendiri bagi Elang. 'Bagaimana aku membantumu jika begini Permadi..?' desah bathin Elang bingung. *** Sementara itu ke esokkan harinya di Awaji Island. Pagi-pagi sekali Nadya terpaksa membongkar ransel Elang. Karena dia mendengar, jika Mila akan pulang malam ini ke Rusia. Sementara Nadya sendiri akan pulang ke Indonesia besok harinya. Praktis waktu yang tersisa hanya hari itu. Untuk mencari dan menge
"Bangunlah Permadi," pelan saja suara Ki Bogananta, namun terdengar hingga menembus dan meresap masuk ke relung jiwa Permadi. Suara yang dilambari tenaga bathin yang luar biasa menggetarkan. Perlahan pelupuk mata Permadi bergerak, dan akhirnya terbuka lebar. "Ahhh, di mana aku..?!" seru Permadi sambil beranjak duduk, dan melihat ke sekitarnya. Saat matanya membentur sosok yang baru saja 'berbicara' dengannya di kedalaman jiwanya."Eyang sepuh Bogananta..," ucap Permadi, yang langsung menundukkan wajahnya penuh hormat. Ki Bogananta nampak tersenyum damai padanya. Dan Permadi merasa bagai 'telanjang' di hadapan sepuh itu. Habis sudah isi jiwanya 'dikuliti', oleh moyang sepuhnya itu barusan. "Permadi. Kiranya cukup sudah apa-apa yang perlu kautahu, dan Eyang beritahu padamu. Sekarang bersiaplah untuk bertemu dan berbicara dengan Elang. Dia berada tak jauh darimu saat ini. Bicara dan bekerjasamalah kalian di alam nyata nantinya. Eyang yakin, Elang akan memiliki jalan keluar dari m