“Nah Elang. Apakah sekarang kamu sudah siap buyut wedar..?
Lalu buyut akan isi tenaga dasar ilmu turunan keluarga kita Elang ?” tanya Ki Sandaka tenang. “Siap Ki Buyut,” sahut Elang mantap. “Kalau begitu naiklah ke balai ini, dan duduklah bersila seperti buyut,” perintah Ki Sandaka. Elang pun naik ke atas balai bambu itu, dan duduk bersila seperti posisi Ki Sandaka. Sementara itu Ki Sandaka terlihat berdiri. Namun Elang spontan bergidik ngeri. Karena dia melihat kaki Ki Buyutnya itu mengambang di udara, tak menapak di atas balai. “Hehehee. Jangan takut cicitku. Ini karena buyut sudah berbeda alam denganmu, Elang,” Ki Sandaka terkekeh, melihat kengerian Elang. “Sekarang bersiaplah Elang. Pejamkan matamu dan bertahanlah, jika ada sesuatu yang dingin dan hangat mengalir di dalam tubuhmu,” ucap Ki Sandaka. “Baik Ki Buyut,” ucap Elang tanpa ragu lagi. Elang langsung memejamkan matanya, seperti yang di arahkan oleh Ki Buyut. Nafasnya pun mulai teratur tenang, dalam posisi bersila. Ki Sandaka berdiri di hadapan Elang, lalu meletakkan telapak tangannya di kepala Elang. Perlahan Elang merasakan hawa dingin mulai mengalir melalui ubun-ubunnya. Sekujur tubuhnya semakin lama semakin terasa dingin, hingga kepalanya terasa membeku. Saat Elang hampir merasa tak sanggup lagi menahan nafasnya yang terasa sesak. Akibat hawa dingin yang mengalir bagai es itu. Maka saat itu pula, Ki Sandaka mengangkat kembali telapak tangannya. Perlahan Elang merasakan hawa dingin itu berangsur menghilang. Lalu muncullah rasa bugar yang aneh pada tubuhnya. “Sekarang kamu hiruplah dalam-dalam udara dengan hidungmu Elang. Lalu setelah penuh, kamu turunkan udara itu ke arah perutmu. Tahan selama mungkin di sana, dan jangan ada nafas terbuang. Setelah sampai batas daya tahanmu, naikkan udara di perutmu ke dada. Tahan sebentar, lalu lepaskan perlahan dengan mulutmu,” ujar Ki Sandaka. Elang menuruti arahan Ki Buyut dengan seksama, dan berusaha tanpa kesalahan dalam melakukannya. Hingga akhirnya Elang pun terbiasa. “Bagus Elang cicitku. Berikutnya adalah hawa agak panas, yang akan buyut alirkan melalui punggungmu. Bersiap dan tahanlah Elang,” ucap Ki Sandaka, seraya mulai menempelkan kedua telapak tangannya, pada posisi sedikit di bawah punggung Elang. Elang merasakan hawa hangat berangsur menerobos ke dalam tubuhnya, melalui telapak tangan Ki Buyut yang menempel itu. Perlahan hawa hangat itu memanas, dan semakin panas. Hingga Elang merasakan tubuhnya bagai di panggang api. Bagian pusat di perutnya pun bagai terbangkitkan bereaksi. Dan tiba-tiba saja mengalir hawa dingin dari pusat energinya. Sehingga hawa panas itu tak terlalu panas lagi dirasakannya. “Bagus cicitku! Tanpa kuajarkan, ternyata kau telah mampu membangkitkan hawa netralisir dalam tubuhmu. Hebat Elang cicitku!" puji Ki Sandaka, merasa sangat senang dengan bakat cicitnya ini. “Cukup," ujar Ki Sandaka, sambil mengangkat kedua telapak tangannya dari tubuh belakang Elang. Elang pun otomatis menormalkan kembali aliran nafas, dan juga hawa energi di tubuhnya yang terasa membludak. Dengan lakukan olah pernafasan, yang di ajarkan Ki Buyut tadi. Perlahan suhu tubuh Elang pun kembali normal. Dan Elang merasakan kebugaran tubuh, yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tubuhnya terasa begitu segar dan ringan. Pandangannya pun terasa lebih terang dan tajam. “Nah, cicitku Elang. Ketahuilah, hawa dingin yang buyut alirkan melalui ubun-ubunmu tadi adalah ‘hawa Ghaib’! Hawa ghaib itu mampu menembus alam ghaib tergelap, dan terdingin sekalipun. Dan hawa panas yang buyut alirkan melalui belakang tubuhmu tadi. Itu adalah hawa tenaga dalam dan hawa murni, yang akan menjadi andalanmu menghadapi musuh-musuhmu nantinya. Namun semuanya itu masih harus kamu latih, dengan mempelajari isi kitab yang buyut simpan di suatu tempat, Elang,” ucap Ki Sandaka dengan sabar. Menguraikan pengertian dasar-dasar ilmunya pada Elang. “Baik Ki Buyut, Elang akan mengingat semua uraian Ki Buyut,” ucap Elang. “Ahh, rupanya waktu berlalu begitu cepat Elang. Sudah waktunya buyut kembali dulu. Besok adalah hari ketiga dan hari terakhir bagi buyut, untuk bisa menemuimu Elang. Karena untuk selanjutnya, buyut hanya bisa menemuimu sesekali saja cicitku. Sampai berjumpa esok malam, Cicitku Elang,” ucap Ki Sandaka, lalu tubuhnya pun perlahan menghilang bagai asap tersapu angin. “Ki Buyut..! Tunggu..!” seru Elang seraya bangkit dari tempat tidurnya, dan mencoba menggapai sosok Ki Buyut yang telah menghilang itu. “Elang..! Bangun Elang..! Kamu mimpi apa Nak..?” tanya Bu Sati, yang ternyata telah berada di dalam kamar Elang. Bu Sati sedang hendak ke kamar mandi, saat ia mendengar seruan Elang memanggil Ki Buyut. “Ahh..! Ehh..! Lho.? Bu Sati..! Rupanya Elang bermimpi ya Bu..?” tanya Elang menggeragap bingung. “Iya Elang. Ibu sampai kaget mendengar kamu memanggil Ki Buyut tadi. Waktu ibu lewat mau ke kamar mandi,” ungkap bu Sati. “Maafkan Elang ya Bu Sati, telah membuat Ibu kaget,” ucap Elang, merasa malu dan bersalah pada bu Sati. “Tidak apa-apa Elang. Wong namanya juga mimpi ya nggak bisa di salahkan tho,” sahut bu Sati bijak. “Ibu ke kamar mandi dulu ya Elang,” ucap bu Sati. “Iya Bu Sati,” ucap Elang. Bu Sati pun beranjak keluar dari kamar Elang, dan menuju ke kamar mandi. Sementara Elang masih terpaku teringat pada mimpinya. Namun Elang terkejut sendiri, karena dia memang merasakan perubahan nyata pada tubuhnya. Ya, kini Elang merasakan tubuhnya memang benar-benar lebih mantap, geraknya juga terasa ringan. ‘Apakah mimpi tadi benar-benar nyata ?’ tanya bathin Elang. Elang merasa pandangannya juga nampak lebih jauh dan jelas dibanding biasanya. Sementara pendengarannya juga bertambah peka. Suara kokok ayam di kejauhan milik rumah di seberang jalanan. Biasanya kokok ayam itu samar-samar di dengarnya, namun menjadi cukup jelas sekali di telinganya pagi ini. Elang pun beranjak dari pembaringannya dan berjalan ke halaman panti, untuk menghirup udara segar. Bu Nunik tampak sedang menyirami tanaman di taman kecil, yang dekat dengan tempat bermain anak-anak di panti. Elang pun menghampiri bu Nunik, yang sedang menunggu embernya penuh di isi air kran di pojok taman. “Bu Nunik. Biar Elang saja yang menyiram taman ya. Ibu beristirahat saja,” ucap Elang. “Tak usah Elang, biar ibu saja. Nanti ibu bisa cepat renta, kalau tidak sering bergerak Elang,” sahut bu Nunik. “O iya Bu. Apakah benar nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Bu ? tanya Elang pelan. “Wah Elang. Rasanya selama ini hanya ibu yang tahu. Karena dalam keseharian kita terbiasa memanggilnya Bu Baskoro. Lalu dari mana kamu tahu nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Elang.?" tanya bu Nunik agak penasaran. “Dari mimpi Bu Nunik. Dalam mimpi itu Elang seolah diberitahu Bu. Kalau ada orang yang sengaja, membuat penyakitnya Bu Baskoro secara tidak wajar Bu,” sahut Elang hati-hati dan serius. “Apaa Elang..?! Kamu serius dengan kata-katamu ini..?” seru Bu Nunik, yang nampak kaget mendengar yang dikatakan Elang. “Demi Tuhan, Elang serius Bu. Mimpi itu seperti nyata. Bukankah nama Bu Halimah juga adalah benar Bu..? Nama itu Elang dapat dari mimpi aneh semalam Bu,” ucap Elang, meyakinkan bu Nunik. “Lalu, apakah dalam mimpi itu juga dikatakan, bagaimana cara menyembuhkan penyakit Bu Baskoro itu, Elang..?” tanya bu Nunik, semakin penasaran. “Iya Bu. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah Pak Baskoro sekarang Bu..? Sebelum semuanya terlambat, dan Bu Baskoro menjadi semakin parah penyakitnya..?” ucap Elang serius. Dia sangat ingin membantu orang baik, yang telah membantu pantinya selama ini. “Tapi kalau ternyata mimpimu salah, bagaimana Elang..?” tanya Bu Nunik, agak khawatir. “Bukankah kita di wajibkan berikhtiar dulu sebelum pasrah Bu. Jadi menurut Elang, lebih baik kita mencobanya, daripada menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Walau pun itu hanya petunjuk lewat mimpi,” ucap Elang tenang. “Bagaimana...“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang. “Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri.“Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun i
“Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses
“Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le
"Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh
"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
“Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.
"Wah..! Asik banget Kang. Hehe,” sapa Elang terkekeh, ke arah si tukang ojek. “Iya Kang Elang. Suasana di sini damai euy, jadi ngantuk. Haha!” sahut si tukang ojek tergelak. “Ki, saya pesan mie rebus telornya ya,” ucap Elang pada aki pemilik warung. “Baik Jang. Bagaimana Elang, sudah selesai urusan di rumah Kakekmu..?” tanya si aki. “Sudah Ki, saya juga baru membersihkan sebagian semak di sekitar rumah Kakek,” sahut Elang. “Sungguh sayang sekali Elang. Sebenarnya rumah Kakekmu cukup bagus dan klasik. Sejak dulu aki menyukai model rumah dengan kayu jati, seperti rumah Kakekmu itu, Elang,” ucap sang aki, menyayangkan kondisi rumah Balawan. “Dulu saat buyutmu Ki Sandaka masih hidup. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke desa ini, untuk menyambangi buyutmu, Elang,” ucap sang aki, sambil memasukkan mie dan telur ke dalam air mendidih di panci. “Buyutmu adalah orang yang suka membantu orang yang kesusahan Elang. Bahkan tak sedikit para pamong praja, yang datang juga pad
Taph..! Akhirnya Elang mendarat di balkon kamar hotel, yang disewa Wahyu. Dia langsung mengetuk pintu belakang kamar hotel, yang memakai sistem geser. Tokk, tok, tok..!Wahyu bersama istrinya dan Frisca sedang sarapan bersama di dalam kamar hotel, saat mereka mendengar ketukkan di pintu belakang kamar mereka. Wahyu langsung menoleh ke arah belakang, dia pun mendapati sosok Elang, yang telah duduk menunggu di ruang balkon. “Hai Elang. Masuklah kebetulan kami sedang sarapan,” sapa pak Wahyu, setelah membuka pintu balkon kamar hotelnya. “Terimakasih Pak Wahyu, kedatangan saya cuma mau mengantarkan dompet Pak Wahyu. Kebetulan saya ingat Pak Wahyu pasti membutuhkan dompet ini,” ucap Elang. “Wah..! Terimakasih sekali Elang, kebetulan memang kami sangat membutuhkan dana saat ini. Hampir saja istri saya menjual perhiasannya untuk biaya hidup sementara ini,” ucap pak Wahyu dengan muka berseri. “Kebetulan saja Elang ingat, saat sedang ngopi di posko tadi Pak,” ucap Elang tersenyum.“E
"Baik Elang akan mbak sampaikan pesanmu. Jaga dirimu baik-baik ya Elang." Klik.! Sejujurnya, Wulan merasa kehilangan sosok Elang yang baik hati dan sering membantunya, baik di panti maupun di tempat kerja. Bahkan ponsel yang di genggamnya kini adalah pemberian dari Elang. Saat ia dan Elang baru beberapa hari bekerja di Betamart dulu. Elang melihat seorang lelaki paruh baya, yang membawa sebuah nampan dari warkop seberang jalan. Dia pun segera keluar dari posko jaga, dan menyambut lelaki itu. Klang..! Elang membuka pintu gerbang, dan mempersilahkan pak Rahmat masuk. “Lho Pak Rustamnya kemana Mas?” tanya Rahmat. “Ohh, Pak Rustam sedang ke belakang Pak,” sahut Elang, sambil menerima nampan dari Rahmat, dan meletakkan isinya di meja posko. “Jadi berapa semuanya Pak..?” tanya Elang. “Semuanya jadi dua puluh ribu Mas."Elang mengeluarkan uang 20 ribu rupiah dari dompetnya, “Ini Pak. Makasih ya,” ucap Elang. “Sama-sama Mas,” ucap Rahmat, sambil langsung berbalik kembali menuju wa
"Hehehe..! Bagus Hendi, semoga hajatmu tercapai sempurna,” ucap Ki Pragola senang. “Aamiin Ki,” ucap Hendi. Sungguh lucu memang, mendengar Hendi mengaminkan sesuatu yang menyengsarakan bagi orang lain. Hehe. Hendi kemudian pamit dan beranjak pulang, dengan diantar sopirnya ke Mampang. *** “Baiklah Pak Wahyu. Sebaiknya saya kembali ke pos menemani Pak Rustam. Untuk berkoordinasi dengannya, tentang rencana besok. Silahkan Pak Wahyu dan keluarga rehat saja malam ini,” ucap Elang. “Baiklah Elang, sepertinya kau juga butuh istirahat. Sekali lagi kuucapkan banyak terimakasih, atas segala bantuanmu pada keluargaku, Elang,” ucap pak Wahyu, merasa terharu atas kebaikkan hati pemuda yang satu ini. Andai tak ada Elang, tentulah keluarganya telah celaka saat ini di dalam rumah. Oleh karenanya, dalam hatinya Wahyu berniat hendak memberikan hadiah yang pantas bagi Elang. Setelah semua kemelut ini berakhir. Slaphh..! Elang langsung melesat lenyap, dengan aji Pintas Buminya. Tinggallah kin
"Bapak, Ibu. Kebetulan Elang ada uang tunai. Biar pakai uang Elang saja dulu ya,” ucap Elang, sambil membuka ranselnya. Lalu dikeluarkannya seikat uang merah dari dalam amplop coklat. Di ambilnya uang merah sejumlah 35 lembar dari ikatan itu, “Ini Mbak, silahkan,” ucap Elang tersenyum, pada sang resepsionis hotel tersebut. Setelah menghitung uang yang diterimanya dari Elang. “Baik Mas, silahkan,” ucap sang resepsionis ramah, sambil menyerahkan kunci kamar dan uang kembaliannya pada Elang. Seorang roomboy langsung mendekat dan memandu mereka, menuju kamar yang disewa. “Terimakasih ya Elang. Nanti uangnya akan kami gantikan ya,” ucap bu Ratna, dengan wajah agak jengah. “Elang. Terimakasih ya,” ucap pak Wahyu rikuh. Dia masih menyesali keteledorannya sendiri, yang lupa menaruh dompet di celana yang salah. “Terima kasih Mas Elang,” ucap Frisca. Ya, diam-diam Frisca memang sudah mengagumi sosok pemuda Elang. Sejak Elang membantunya melewati kerumunan saat kecelakaan. Dan Frisca b
"Tak apa Frisca. Ayah malah senang ada yang menemani Pak Rustam berjaga di pos,” sahut pak Wahyu tersenyum. “Maaf Pak, kalau boleh saya bertanya. Apakah Bapak mempunyai musuh di sekitar Bapak..?” tanya Elang. “Hei..! Apakah kau mengetahui sesuatu Elang..?” tanya pak Wahyu, dengan wajah berubah menjadi penasaran dengan maksud pertanyaan Elang. “Suara keras itu sungguh tak wajar Pak. Sepertinya ada seseorang yang mengirim sesuatu, pada rumah dan keluarga Bapak,” sahut Elang, terpaksa dia langsung bertanya pada Wahyu. Karena sesuatu yang dikirimkan orang pada keluarga Frisca ini sangat ganas dampaknya, jika sampai terlambat di tangani. Dan Elang mengenal itu adalah ajian Jala Neraka. 'Hmm. Kiriman dukun yang cukup mumpuni', bathin Elang.“Sebutkan nama yang mengirimkan sesuatu itu pada saya Elang. Jika kamu memang mengetahui sesuatu. Menurutmu apakah maksud dari suara keras tadi Elang..?!” Wahyu belum berani menduga, siapa pihak yang berniat jahat pada keluarganya. Walau selintas
"Hmm. Frisca, kamu tahu hubungan ayah dengan ayah Aldi sangat dekat. Dan melalui ayahnya Aldi itu, ayah selalu mendapatkan proyek-proyek besar selama ini, untuk kehidupan. Dan baru kali ini ayah mendapat ‘teguran keras’ dari ayahnya Aldi, Frisca. Pak Bernard bilang, kau telah mempermalukan putranya di depan publik, benarkah demikian Frisca..?!” tanya sang ayah, dengan nada meninggi meminta penjelasan dari Frisca. “Di..a dia berselingkuh dengan wanita lain di restoran Ayah,” jawab terbata Frisca, dengan wajah memerah marah dan mata berkaca-kaca. Benak Frisca jadi kembali teringat bayangan Aldi, yang disandari mesra oleh wanita lain. “Hmm. Rupanya itu penyebab kamu marah dan menamparnya Frisca,” wajah sang ayah pun menjadi bertambah kelam. Ya, Wahyu seketika berada dalam dilema. Jika masalahnya adalah kesalah pahaman atau Frisca yang sedang khilap. Mungkin solusinya cukup dengan menyuruh Frisca meminta maaf pada Aldi dan ayahnya, dan masalah pun selesai. Namun ternyata yang men
"Ohh.. Maaf ya Mas, saya kaget tadi," ucap cewek si Rendi, merasa menyesal memarahi Elang.Elang masih mengurut-urut otot kaki Rendi yang bergeser, agar tidak terjadi pembengkakan dan memar di sekitarnya. “Sudah selesai. Sekarang tinggal mengobati luka-lukamu saja Dek. Sebaiknya kita ke klinik saja ya, biar tidak terlalu mengantri,” ucap Elang mengajukan pendapatnya. “Iya benar Mas, sebaiknya kita ke klinik saja. Kaki saya sudah normal kok dan tidak sakit lagi,” ucap Rendi. “Baiklah kita cari klinik terdekat ya,” ucap Frisca, seraya menghidupkan goggle mapnya. Frisca lalu mengklik ‘search’, untuk mencari klinik terdekat. "Wah, ada nih..!" seru Frisca. Mobil pun berjalan kembali menuju ke klinik terdekat, yang memang berada di dekat lokasi mereka saat itu. Elang memangku kembali ransel eigernya, saat dia kembali duduk di samping pengemudi cantik itu. Tak lama kemudian, mereka pun sampai di klinik terdekat di daerah Kebagusan. Elang membantu memapah Rendi masuk ke dalam klinik,
Sementara orang-orang di sekitar yang melihat kejadian itu pun mulai berkerumun. Mereka sengaja menghalangi mobil Frisca. Agar Frisca tak bisa melarikan diri. Elang baru tiba di tempat itu, saat ia melihat kerumunan orang-orang di pinggir jalan. Lokasinya tepat di seberang stasiun Lenteng Agung. Elang melihat sebuah mobil berwarna merah. yang dikerumuni orang. Mereka nampak memagari mobil itu, sambil mencaci maki pengemudi di dalamnya. Dan dari balik kaca jendela terlihat, pengemudi mobil itu ternyata adalah seorang wanita cantik. Elang juga melihat seorang anak muda berseragam SMA, yang tergeletak tak jauh dari mobil itu. Anak muda itu juga sedang di kerumuni orang-orang. Maka Elang menyimpulkan telah terjadi kecelakaan dengan anak muda itu sebagai korban. Dan wanita cantik pengemudi mobil merah itu yang menabraknya. Elang lalu mengamati anak muda itu, tak ada yang serius atau parah sekali pada kondisinya. Di bagian kaki yang celananya sobek, tampak memar-memar dan berdarah.
‘Duh..! Maafkan Bapak, Arum. Hasil penjualan bapak hari ini cuma 20 ribu rupiah. Belum bisa buat beli sepatu dan tas sekolahmu yang sudah sobek-sobek itu. Sabar ya Nak. Bapak juga belum makan, kalau bapak makan. Nanti tak ada uang, yang bisa bapak bawa pulang buat ibumu masak besok.’ Elang pun ikut merasa trenyuh, mengetahui bisikkan hati bapak pedagang perabotan itu. “Pak, nasi lagi seporsi ya. Pakai ayam bakar, tempe goreng dan sayur asem Pak,” ucap Elang, pada pemilik warung yang menatapnya sejenak karena heran. Namun akhirnya di ambilkannya pesanan Elang, lalu diletakkannya di atas meja depan Elang. Elang langsung membawa piring itu keluar sambil memesan teh manis hangat, untuk minumannya pada pemilik warung. “Maaf Pak. Ini ada makanan sudah saya pesan, tapi teman saya nggak datang. Mungkin ini rejeki Bapak, diterima ya Pak,” ucap Elang ramah. “Ohh, ehh..! Baiklah Mas. Saya terima ya, terimakasih” ucap bapak paruh baya itu, dengan wajah gembira dan bersyukur. Elang kembali