Home / Urban / Sang PENEMBUS Batas / Bab 004. WEDAR DAN MULAI KERJA

Share

Bab 004. WEDAR DAN MULAI KERJA

Author: BayS
last update Last Updated: 2025-01-27 23:45:34

“Nah Elang. Apakah sekarang kamu sudah siap buyut wedar..?

Lalu buyut akan isi tenaga dasar ilmu turunan keluarga kita Elang ?” tanya Ki Sandaka tenang.

“Siap Ki Buyut,” sahut Elang mantap.

“Kalau begitu naiklah ke balai ini, dan duduklah bersila seperti buyut,” perintah Ki Sandaka.

Elang pun naik ke atas balai bambu itu, dan duduk bersila seperti posisi Ki Sandaka. Sementara itu Ki Sandaka terlihat berdiri.

Namun Elang spontan bergidik ngeri. Karena dia melihat kaki Ki Buyutnya itu mengambang di udara, tak menapak di atas balai.

“Hehehee. Jangan takut cicitku. Ini karena buyut sudah berbeda alam denganmu, Elang,” Ki Sandaka terkekeh, melihat kengerian Elang.

“Sekarang bersiaplah Elang. Pejamkan matamu dan bertahanlah, jika ada sesuatu yang dingin dan hangat mengalir di dalam tubuhmu,” ucap Ki Sandaka.

“Baik Ki Buyut,” ucap Elang tanpa ragu lagi.

Elang langsung memejamkan matanya, seperti yang di arahkan oleh Ki Buyut. Nafasnya pun mulai teratur tenang, dalam posisi bersila.

Ki Sandaka berdiri di hadapan Elang, lalu meletakkan telapak tangannya di kepala Elang.

Perlahan Elang merasakan hawa dingin mulai mengalir melalui ubun-ubunnya. Sekujur tubuhnya semakin lama semakin terasa dingin, hingga kepalanya terasa membeku.

Saat Elang hampir merasa tak sanggup lagi menahan nafasnya yang terasa sesak. Akibat hawa dingin yang mengalir bagai es itu.

Maka saat itu pula, Ki Sandaka mengangkat kembali telapak tangannya.

Perlahan Elang merasakan hawa dingin itu berangsur menghilang. Lalu muncullah rasa bugar yang aneh pada tubuhnya.

“Sekarang kamu hiruplah dalam-dalam udara dengan hidungmu Elang. Lalu setelah penuh, kamu turunkan udara itu ke arah perutmu.

Tahan selama mungkin di sana, dan jangan ada nafas terbuang. Setelah sampai batas daya tahanmu, naikkan udara di perutmu ke dada. Tahan sebentar, lalu lepaskan perlahan dengan mulutmu,” ujar Ki Sandaka.

Elang menuruti arahan Ki Buyut dengan seksama, dan berusaha tanpa kesalahan dalam melakukannya. Hingga akhirnya Elang pun terbiasa.

“Bagus Elang cicitku. Berikutnya adalah hawa agak panas, yang akan buyut alirkan melalui punggungmu. Bersiap dan tahanlah Elang,” ucap Ki Sandaka, seraya mulai menempelkan kedua telapak tangannya, pada posisi sedikit di bawah punggung Elang.

Elang merasakan hawa hangat berangsur menerobos ke dalam tubuhnya, melalui telapak tangan Ki Buyut yang menempel itu.

Perlahan hawa hangat itu memanas, dan semakin panas. Hingga Elang merasakan tubuhnya bagai di panggang api.

Bagian pusat di perutnya pun bagai terbangkitkan bereaksi. Dan tiba-tiba saja mengalir hawa dingin dari pusat energinya. Sehingga hawa panas itu tak terlalu panas lagi dirasakannya.

“Bagus cicitku! Tanpa kuajarkan, ternyata kau telah mampu membangkitkan hawa netralisir dalam tubuhmu. Hebat Elang cicitku!" puji Ki Sandaka, merasa sangat senang dengan bakat cicitnya ini.

“Cukup," ujar Ki Sandaka, sambil mengangkat kedua telapak tangannya dari tubuh belakang Elang.

Elang pun otomatis menormalkan kembali aliran nafas, dan juga hawa energi di tubuhnya yang terasa membludak. Dengan lakukan olah pernafasan, yang di ajarkan Ki Buyut tadi.

Perlahan suhu tubuh Elang pun kembali normal. Dan Elang merasakan kebugaran tubuh, yang tak pernah dirasakannya selama ini.

Tubuhnya terasa begitu segar dan ringan. Pandangannya pun terasa lebih terang dan tajam.

“Nah, cicitku Elang. Ketahuilah, hawa dingin yang buyut alirkan melalui ubun-ubunmu tadi adalah ‘hawa Ghaib’!

Hawa ghaib itu mampu menembus alam ghaib tergelap, dan terdingin sekalipun.

Dan hawa panas yang buyut alirkan melalui belakang tubuhmu tadi. Itu adalah hawa tenaga dalam dan hawa murni, yang akan menjadi andalanmu menghadapi musuh-musuhmu nantinya.

Namun semuanya itu masih harus kamu latih, dengan mempelajari isi kitab yang buyut simpan di suatu tempat, Elang,” ucap Ki Sandaka dengan sabar. Menguraikan pengertian dasar-dasar ilmunya pada Elang.

“Baik Ki Buyut, Elang akan mengingat semua uraian Ki Buyut,” ucap Elang.

“Ahh, rupanya waktu berlalu begitu cepat Elang. Sudah waktunya buyut kembali dulu.

Besok adalah hari ketiga dan hari terakhir bagi buyut, untuk bisa menemuimu Elang.

Karena untuk selanjutnya, buyut hanya bisa menemuimu sesekali saja cicitku.

Sampai berjumpa esok malam, Cicitku Elang,” ucap Ki Sandaka, lalu tubuhnya pun perlahan menghilang bagai asap tersapu angin.

“Ki Buyut..! Tunggu..!” seru Elang seraya bangkit dari tempat tidurnya, dan mencoba menggapai sosok Ki Buyut yang telah menghilang itu.

“Elang..! Bangun Elang..! Kamu mimpi apa Nak..?” tanya Bu Sati, yang ternyata telah berada di dalam kamar Elang.

Bu Sati sedang hendak ke kamar mandi, saat ia mendengar seruan Elang memanggil Ki Buyut.

“Ahh..! Ehh..! Lho.? Bu Sati..! Rupanya Elang bermimpi ya Bu..?” tanya Elang menggeragap bingung.

“Iya Elang. Ibu sampai kaget mendengar kamu memanggil Ki Buyut tadi. Waktu ibu lewat mau ke kamar mandi,” ungkap bu Sati.

“Maafkan Elang ya Bu Sati, telah membuat Ibu kaget,” ucap Elang, merasa malu dan bersalah pada bu Sati.

“Tidak apa-apa Elang. Wong namanya juga mimpi ya nggak bisa di salahkan tho,” sahut bu Sati bijak.

“Ibu ke kamar mandi dulu ya Elang,” ucap bu Sati.

“Iya Bu Sati,” ucap Elang.

Bu Sati pun beranjak keluar dari kamar Elang, dan menuju ke kamar mandi.

Sementara Elang masih terpaku teringat pada mimpinya. Namun Elang terkejut sendiri, karena dia memang merasakan perubahan nyata pada tubuhnya.

Ya, kini Elang merasakan tubuhnya memang benar-benar lebih mantap, geraknya juga terasa ringan.

‘Apakah mimpi tadi benar-benar nyata ?’ tanya bathin Elang.

Elang merasa pandangannya juga nampak lebih jauh dan jelas dibanding biasanya. Sementara pendengarannya juga bertambah peka.

Suara kokok ayam di kejauhan milik rumah di seberang jalanan. Biasanya kokok ayam itu samar-samar di dengarnya, namun menjadi cukup jelas sekali di telinganya pagi ini.

Elang pun beranjak dari pembaringannya dan berjalan ke halaman panti, untuk menghirup udara segar.

Bu Nunik tampak sedang menyirami tanaman di taman kecil, yang dekat dengan tempat bermain anak-anak di panti.

Elang pun menghampiri bu Nunik, yang sedang menunggu embernya penuh di isi air kran di pojok taman.

“Bu Nunik. Biar Elang saja yang menyiram taman ya. Ibu beristirahat saja,” ucap Elang.

“Tak usah Elang, biar ibu saja. Nanti ibu bisa cepat renta, kalau tidak sering bergerak Elang,” sahut bu Nunik.

“O iya Bu. Apakah benar nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Bu ? tanya Elang pelan.

“Wah Elang. Rasanya selama ini hanya ibu yang tahu. Karena dalam keseharian kita terbiasa memanggilnya Bu Baskoro.

Lalu dari mana kamu tahu nama istri Pak Baskoro adalah Bu Halimah, Elang.?" tanya bu Nunik agak penasaran.

“Dari mimpi Bu Nunik. Dalam mimpi itu Elang seolah diberitahu Bu. Kalau ada orang yang sengaja, membuat penyakitnya Bu Baskoro secara tidak wajar Bu,” sahut Elang hati-hati dan serius.

“Apaa Elang..?! Kamu serius dengan kata-katamu ini..?” seru Bu Nunik, yang nampak kaget mendengar yang dikatakan Elang.

“Demi Tuhan, Elang serius Bu. Mimpi itu seperti nyata. Bukankah nama Bu Halimah juga adalah benar Bu..?

Nama itu Elang dapat dari mimpi aneh semalam Bu,” ucap Elang, meyakinkan bu Nunik.

“Lalu, apakah dalam mimpi itu juga dikatakan, bagaimana cara menyembuhkan penyakit Bu Baskoro itu, Elang..?” tanya bu Nunik, semakin penasaran.

“Iya Bu. Apakah tidak sebaiknya kita ke rumah Pak Baskoro sekarang Bu..?

Sebelum semuanya terlambat, dan Bu Baskoro menjadi semakin parah penyakitnya..?” ucap Elang serius. Dia sangat ingin membantu orang baik, yang telah membantu pantinya selama ini.

“Tapi kalau ternyata mimpimu salah, bagaimana Elang..?” tanya Bu Nunik, agak khawatir.

“Bukankah kita di wajibkan berikhtiar dulu sebelum pasrah Bu.

Jadi menurut Elang, lebih baik kita mencobanya, daripada menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Walau pun itu hanya petunjuk lewat mimpi,” ucap Elang tenang.

“Bagaimana...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 005. PEMBUKTIAN MIMPI

    “Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang. “Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri.“Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun i

    Last Updated : 2025-01-29
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 006. KEMBALINYA KIRIMAN JAHAT

    “Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses

    Last Updated : 2025-01-31
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 007. DENDAM MASA LALU

    “Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le

    Last Updated : 2025-02-01
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 008. KITAB TUJUH ILMU

    "Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh

    Last Updated : 2025-02-01
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 009. BINGKISAN UNTUK ELANG

    "Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala

    Last Updated : 2025-02-01
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 010. DESA SIRNA RASA

    Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem

    Last Updated : 2025-02-02
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 011. PANGLING SI AKI

    “Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.

    Last Updated : 2025-02-02
  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 012. PERTANDA DARI LANGIT

    "Wah..! Asik banget Kang. Hehe,” sapa Elang terkekeh, ke arah si tukang ojek. “Iya Kang Elang. Suasana di sini damai euy, jadi ngantuk. Haha!” sahut si tukang ojek tergelak. “Ki, saya pesan mie rebus telornya ya,” ucap Elang pada aki pemilik warung. “Baik Jang. Bagaimana Elang, sudah selesai urusan di rumah Kakekmu..?” tanya si aki. “Sudah Ki, saya juga baru membersihkan sebagian semak di sekitar rumah Kakek,” sahut Elang. “Sungguh sayang sekali Elang. Sebenarnya rumah Kakekmu cukup bagus dan klasik. Sejak dulu aki menyukai model rumah dengan kayu jati, seperti rumah Kakekmu itu, Elang,” ucap sang aki, menyayangkan kondisi rumah Balawan. “Dulu saat buyutmu Ki Sandaka masih hidup. Banyak orang-orang dari luar daerah yang datang ke desa ini, untuk menyambangi buyutmu, Elang,” ucap sang aki, sambil memasukkan mie dan telur ke dalam air mendidih di panci. “Buyutmu adalah orang yang suka membantu orang yang kesusahan Elang. Bahkan tak sedikit para pamong praja, yang datang juga pad

    Last Updated : 2025-02-03

Latest chapter

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 209.

    "Huuaarrghks..!!!" Permadi berteriak membahana murka, dengan mengerahkan 'power'nya.Tanah di sekitar Permadi bersila amblas melesak hingga 1 meteran, badai angin pun tercipta. Ibarat batu besar yang jatuh ke tengah danau tenang. Energi Permadi bagai riak air yang bergelombang menerjang ke sekelilingnya dalam radius ratusan meter. Aliran listrik yang berada dalam radius gelombang energi Permadi padam seketika. Beberapa kendaraan yang melintas di jalan pun ikut terhempas, hingga keluar jalan tanpa mereka tahu sebabnya. Lampu rambu lalu lintas di sekitarnya padam semua.Kekacauan dan kepanikkan massal melanda area, dalam radius gelombang energi Permadi. Inilah tingkat power dari pemuda itu, yang telah puluhan tahun mengasah kesempurnaan ilmunya. Hanya beberapa saat memang. Namun kerusakkan dan kekacauan yang di timbulkannya sungguh... Dahsyatt..! Permadi terdiam sesaat, dengan hati masih dipenuhi oleh amarah..! Dia merasa perjalanannya ke Surabaya menjadi sia-sia. Tadinya dia men

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 208.

    "Sa-sabar anak muda..! Kita adalah kawan. Ki Sentanu adalah tamu kehormatan kami," Dibyo berkata gugup dan ketakutan. Ya, dia sangat terkejut merasakan tubuhnya melayang, lalu terhempas di kursi teras. Bokong dan punggungnya terasa panas, nyeri, dan pegal-pegal. "Tak peduli..! Katakan padaku kemana Ayahku pergi..?!" sentak Permadi, seraya mengguncang kerah baju Dibyo dengan kedua tangannya. Kepala Dibyo sampai terguncang maju mundur dibuatnya. "Keparat..! Berani main kasar pada Bosku..!! Hiahhh..!" Wushh..! Markus tak dapat menahan amarahnya melihat bosnya di perlakukan kasar oleh Permadi. Dia langsung menerjang dengan pukulan keras bertenaga dalam, ke arah punggung Permadi yang membelakanginya. Namun punggung Permadi bagai bermata saja layaknya. Seth..! Craphk..! Dengan melepas satu cengkraman tangan kanannya, tanpa menoleh Permadi berhasil menangkap kepalan tangan Markus, yang memukul ke arah punggungnya. Secepat kilat tubuh Permadi berbalik ke belakang lalu, Kraghh..! ...

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 207.

    'Hmm. Aku harus bisa menemukan titik lokasi energi Ayah angkatku kali ini..!' bathin Permadi bertekad. Permadi duduk bersila dalam posisi 'teratai', perlahan dia menarik nafas panjang dan secara perlahan pula kedua matanya terpejam. Sepasang mata Permadi telah terpejam, namun mata ketiganyalah yang kini terbuka dan memancar secara 'ghaib', bak antena penangkap gelombang energi di sekitarnya. Semakin lama, daya penglihatan dan daya tangkap sinyal energi yang dipancarkan 'cakra ajna'nya makin kuat. Dan ternyata hal itu berpengaruh pada aliran energi listrik di seisi hotel. Blaph..! Petth..! Pyaarsh..! ... Blaph..! Seluruh penghuni hotel menyaksikan sendiri, saat lampu-lampu serta alat-alat elektronik yang ada di lingkup hotel menjadi error. Seluruh lampu-lampu hotel bagai berkedip nyala redup secara serentak. Banyak penghuni hotel terutama penyewa kamar yang komplain, dengan kejadian itu. Namun petugas hotel sendiri tak mengerti, karena saat di cek tak ada yang error pada jarin

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 206.

    "Hahh..?! I-ini ... ini cek asli kan Pak..?!" seru kaget si ibu, dengan mata terbelalak lebar. Ya, dia tercengang melihat barisan angka nol konvoi di depan matanya, di bagian kanan bawah cek itu. "Li-lima miliar..?! Cek atas nama Wulan...! Ini asli Bu..!" seru gugup dan kaget sang Ayah, yang cukup tahu soal cek. Kini kesombongan dan sikap arogan kedua mertua Wulan itu pun runtuh, luluh lantak, dan terkapar di hadapan Wulan dan Dedi. Karena mereka telah meremehkan sosok sederhana, berkharisma, dan rendah hati seperti Elang. Dan ini juga menggugurkan tuduhan dan anggapan mereka. Bahwa Wulan hanya ingin mendompleng hidup enak, pada putra mereka. Karena kini mereka mengetahui sendiri, kekayaan putra mereka bahkan berada di bawah Wulan. Wulan sendiri terkejut dan tak menyangka, jika Elang akan memberinya uang sebesar itu atas namanya. Diam-diam matanya beriak basah di dera rasa haru dan terimakasih. 'Terimakasih Elang, telah kau angkat diriku di mata mertuaku', bisik bathinnya. E

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 205.

    'Siapa sih pemuda yang nampak biasa-biasa saja itu..?' Demikianlah rata-rata bathin mereka bertanya-tanya. Soalnya dari sisi penampilan memang Elang terkesan sederhana saja. Bahkan ransel yang dikenakannya menambah kesan, jika Elang bukanlah orang kantoran. Sepatu yang dikenakan pun, bukanlah sepatu resmi untuk menghadiri kondangan. Tapi lebih seperti sepatu pendaki gunung atau sport. Satu-satunya aksesoris yang terlihat berharga oleh mereka di tubuh Elang, paling hanyalah jam tangannya saja. Itu pun mereka berpikir paling harganya tak sampai 2-3 juta. Demikianlah pandangan orang-orang, yang melihat sesuatu berdasar tolok ukur 'materialistis'. Mereka seperti tak melihat, bahwa banyak para konglomerat dunia, yang lebih memilih tampil sederhana dengan pertimbangan rasa nyaman. Daripada memaksakan diri tampil sesuai 'statusnya', dengan mengorbankan rasa nyaman dan kepribadian mereka. "Elang. Akhirnya kau datang adikku," Wulan menggandeng Elang, dan mengajaknya ikut naik ke atas

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 204.

    Slaph..!! Kedua sosok ninja merah itu segera melesat cepat dan lenyap, setelah memberi hormat setengah membungkuk pada Hiroshi. Kini halaman belakang rumah Hiroshi kembali sunyi. Hanya tinggal Hiroshi seorang di sana. Akhirnya Hiroshi pun bergegas kembali masuk ke dalam rumahnya, setelah dia menghabiskan sebatang rokoknya. Keesokkan paginya, giliran kediaman Hiroshi yang 'geger'. Saat salah seorang pelayan rumah Hiroshi, menemukan dua helai pakaian berwarna merah penuh darah, yang terlipat rapih di teras rumah. Sebuah plakat perak juga diletakkan di atas tumpukkan pakaian nerah itu. Dua buah guci kecil berisi abu juga tergeletak di sana. Karuan pelayan itu langsung masuk ke dalam rumah, dan berteriak memberitahukan pada pelayan rumah yang lainnya. Hiroshi yang kebetulan sudah bangun dari tidurnya, bergegas dia menuju teras rumah. Dan sesampainya di teras dia pun terkejut, melihat dua pakaian merah serta plakat perak yang dilemparkannya semalam. Dan itu hanya berarti satu hal.

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 203.

    Hiroshi langsung mengumpulkan seluruh jajaran tinggi stafnya, dan menggelar meeting tertutup hari itu juga. Hiroshi memilih untuk ‘diam’ dan merahasiakan, atas hilangnya sejumlah dokumen rahasia perusahaan sementara waktu dari publik. Hal itu disampaikannya dalam meeting tertutup itu. Dia menghimbau agar semua jajaran stafnya ‘membuka’ mata dan telinga mereka, sewaspada dan secermat mungkin. Untuk menyelidiki ‘pihak mana’, yang menjadi dalang pencurian hampir seluruh dokumen penting yang sifatnya sangat rahasia. Jujur saja, bagi Hiroshi kehilangan dokumen-dokumen rahasia ini bagai kehilangan nafas dari perusahaannya. Apalagi jika dokumen-dokumen itu jatuh ke tangan ‘pesaing’, atau orang yang salah. Namun satu dugaan kuat sudah terbersit di benaknya, tentang pihak mana yang menjadi dalang semua kejadian ini. Tapi itu baru dugaan semata.Soal pelakunya, Hiroshi sudah menduga pastilah sekelompok orang bayaran, lebih tepatnya dia menduga sekelompok ninja..! Namun yang membuatnya p

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 202.

    “Pakailah Seruni, ini untukmu,” ujar Permadi, seraya berusaha tersenyum. Namun wajahnya malah tampak aneh seperti menyeringai, aduhh Madi..Madi..! “Wahh, terimakasih Mas Permadi. Kalung ini bagus sekali..!” Seruni berseru merasa surprise, langsung dikenakannya kalung pemberian Permadi itu. Hatinya penuh dengan bunga bermekaran. Seruni sungguh tak menyangka, Permadi bisa memberikan hadiah seromantis itu. Ingin rasanya dia mencium Permadi dengan hangat. Namun dia sadar kondisi mereka di tempat terbuka, tak memungkinnya melakukan itu. “Berangkatlah Seruni, nanti kau terlambat,” ucap Permadi datar. “Baik Mas Permadi, jaga diri Mas baik-baik dalam perjalanan ya,” Seruni akhirnya beranjak naik ke motornya. Matanya kini nampak basah, ‘Andai kau minta aku ikut denganmu, aku pasti ikut mas’, bisik hatinya sedih. Nngngg..! Seruni melajukan motornya, lalu menghilang di balik gerbang hotel. Air mata bergulir di pipi Seruni, tertutup oleh kaca helm yang dikenakannya. Sedih. ‘Selamat jal

  • Sang PENEMBUS Batas   Bab 201.

    “Elang..! Kau tak apa-apa..?” Bagja menarik lepas ilmu leaknya, dan bergegas menghampiri Elang. “Saya tak apa-apa Pak Bagja. Sebaiknya kita kembali ke rumah saja Pak,” sahut Elang, seraya mengusap darah di hidungnya. Baginya, pertarungan dengan Ki Badra bukanlah pertarungan yang berat. “Syukurlah Elang, mari kita pulang sekarang,” ucap Bagja. “Rasanya akan terlalu lama jika kita berjalan Pak Bagja. Sebaiknya Bapak saya bawa saja ya,” ujar Elang, saat melihat Bagja sudah kembali ke wujud manusianya kembali. Karena tentunya dia tak akan bisa melesat cepat kembali ke rumahnya. “Silahkan Elang. Energi bapak memang terkuras, jika mengeluarkan aji ‘Tirta Bharada.” Elang merangkul pundak Bagja lalu, Slaph..! Elang mengerahkan kecepatan maksimal dari aji ‘Pintas Buminya’, maka dalam sekejap saja mereka sudah berada di teras rumah Bagja. ‘Luar biasa si Elang ini, sepertinya dia masih belum mengerahkan seluruh kemampuannya melawan Ki Badra tadi’, bathin Bagja kagum, pada sahabat putr

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status