‘Ahhh..! Andai mimpi semalam benar-benar bisa jadi nyata. Aku pasti akan menyetujuinya saja.
Semoga nanti malam Aki Buyut benar-benar hadir lagi dalam mimpiku’, bathin Elang bertekad. Elang sangat menyesali kebimbangannya, dalam mimpi semalam. Elang bertekad akan menyetujui tawaran mempelajari ilmu turunan keluarganya itu. Jika memang benar mimpi itu bisa jadi kenyataan. “Mas Elang..! Mas..! Dito nakal tuh..!" seorang anak kecil perempuan usia 6 tahunan berlari kecil, dan menubruk Elang sambil mengadu. “Aduh..! Hati-hati Nindi, kamu bisa jatuh nanti,” ujar Elang, sambil memegang tubuh Nindi yang merapat di belakangnya. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki kecil seusia Nindi datang menyusul, “Nah ya..! Kamu di sini Nindi pelit..!” seru bocah itu, sambil berusaha mendekati Nindi, seolah hendak memukulnya. “Hei..hei, Dito..! Nggak boleh begitu ya, sama anak perempuan,” ucap Elang menengahi mereka. “Habis Nindi pelit sih Mas Elang..! Masa suruh gantian main ayunan gak mau..!” ucap Dito, yang masih merasa geram sama Nindi. “Yee..! Orang Nindi juga baru sebentar main ayunannya. Masa digantiin lagi,” sahut Nindi membela diri. “Sudah..sudah ya. Sekarang ayunannya kan kosong. Kenapa Dito nggak main ayunan saja sekarang ?” tanya Elang. “Huhh. Gara-gara Nindi bikin kesal, Dito jadi malas main ayunan Mas Elang,” sahut Dito kesal, lalu berlari kembali menuju halaman panti. Elang hanya geleng-gelengkan kepalanya, melihat polah Dito. Elang jadi teringat dulu ia pun agak nakal, tapi nggak pernah sampai hati mengganggu anak perempuan teman sepantinya. “Nindi. Sementara jangan dekat-dekat Dito dulu ya,” ucap Elang lembut. “Iya Mas Elang,” sahut Nindi mengangguk. “Ini buat Nindi jajan, tapi jangan bilang sama yang lain ya,” ucap Elang pelan, seraya memberikan uang seribu rupiah pada anak itu. “Asikkk, Nindi nggak akan bilang sama yang lain. Makasih Mas Elang,” ucap Nindi senang, lalu berlari kecil keluar ruangan panti. Elang segera melanjutkan aktivitasnya menyapu ruangan itu hingga selesai, lalu mengepelnya. *** Malam usai makan bersama, Elang masuk ke ruangan Bu Nunik. Bu Nunik memang memanggil Elang ke ruangannya, untuk membicarakan sesuatu dengannya. “Elang duduklah Nak, ibu mau berbicara sesuatu kabar gembira buatmu,” ucap bu Nunik dengan wajah tersenyum. ‘Dalam keadaan panti yang sulit pun, Ibu masih tetap bisa tersenyum. Sungguh wanita luar biasa’, bathin Elang, memuji ketegaran bu Nunik. Elang pun tersenyum dan duduk di hadapan Bu Nunik. “Elang. Pihak mini market Betamart, yang baru berdiri di daerah sini itu. Mereka menawarkan kesempatan bekerja, untuk dua orang dari panti ini, Elang,” ucap Bu Nunik, dengan nada gembira. “Wah! Elang senang sekali Bu. Apakah syarat-syarat yang harus kita penuhi, untuk bekerja di sana Bu?” ucap Elang penuh antusias. “Syaratnya sangat sederhana Elang. Buat saja CVmu, lalu sertakan ijazah SMA mu. Tentunya juga etiket harus dijaga Elang. Karena kamu di sana harus melayani pembeli yang berkunjung ke Betamart,” ujar Bu Nunik. “Baik Bu. Nanti Elang akan langsung buat CV nya,” ucap Elang bersemangat. ‘Akhirnya aku punya kesempatan, untuk sedikit membantu beban panti’, bathin Elang senang. “Kamu akan bekerja di sana bersama Wulan, Elang. Ibu juga mendaftarkan Wulan pada mereka,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu. Sekarang Elang mau buatkan CVnya dulu ya Bu,” ucap Elang sambil mencium tangan Bu Nunik. “Benar Elang. Besok pagi, kamu dan Wulan bersiaplah berangkat ke sana,” jelas Bu Nunik. Elang pun keluar dari ruangan Bu Nunik. Dan dia bertemu dengan Mbak Wulan, yang rupanya juga telah menunggu di depan pintu ruangan Bu Nunik. “Wah Mbak Wulan juga mau ketemu Bu Nunik ya. ? Ada kabar gembira lho Mbak,” ucap Elang, sambil tersenyum penuh rahasia. “Kabar apa Elang..? Jangan bikin Mbak penasaran,” tanya Wulan penasaran. “Silahkan masuk saja Mbak, kabar gembiranya ada di dalam,” sahut Elang cepat, sambil bergegas berlalu meninggalkan Wulan yang masih terpaku. “Dasarr..!” gerutu Wulan pada Elang, yang main rahasia-rahasiaan padanya. Sesampainya di kamar, Elang langsung mempersiapkan alat tulisnya. Untuk membuat CVnya, yang di alamatkan pada mini market Betamart. ‘Fiuhh, akhirnya selesai juga CV ini’, bathin Elang lega. Dia melirik ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 10:50 malam. Bergegas Elang membereskan alat-alat tulisnya, dan memasukkan CVnya ke dalam map. Lalu Elang pun beranjak menuju kamar mandi, untuk buang air kecil sebelum tidur. Elang langsung merebahkan dirinya di pembaringan, usai dia dari kamar mandi. Dan sekejap kemudian, dia pun sudah tertidur pulas di buai mimpi. 'Elang.. Elangg..! Kemarilah cicitku!', suara bergema seperti dari jarak jauh itu, kembali terdengar memanggil Elang malam itu. Cukup jelas suara itu terdengar bagi Elang. “Aki Buyut Sandaka..!” seru Elang dalam mimpinya. “Benar Elang. Kemarilah cicitku,” sahut Ki Sandaka. Elang pun melihat dirinya bangkit dari tempat tidurnya. Lalu tiba-tiba saja, Elang sudah berada di dalam gubuk sang buyut. Ki Sandaka terlihat masih bersila di atas balai bambu, seperti mimpinya kemarin malam. “Elang. Apakah sudah kauputuskan pertimbanganmu..?” tanya Ki Sandaka. “Sudah Ki Buyut. Baik, Elang menerimanya,” jawab Elang tegas. Senyum senang mengembang di wajah Ki Sandaka. Dia merasa bahagia mendengar jawaban cicitnya itu. “Bagus cicitku. Itu memang jawaban yang buyut harapkan. Ilmu turunan ini tak boleh punah dan putus di tengah jalan. Karena kakekmu Balawan, telah menolak mempelajarinya,” ucap Ki Sandaka. “Namun ada satu hal yang ingin Elang tanyakan Ki Buyut. Apakah aku bisa mengobati orang nantinya, Ki Buyut..?” tanya Elang. Elang teringat pada istri Pak Baskoro, yang telah bertahun sakit-sakitan, dan menyebabkan bantuan Pak Baskoro ke pantinya terputus. “Hmm. Kalau mengobati penyakit medis tidak cicitku. Namun jika penyakit itu non medis, akibat perbuatan teluh, makhluk halus, atau santet, kau masih bisa menolongnya,” sahut Ki Sandaka. “Aku ingin menolong seseorang Ki Buyut. Dia istri Pak Baskoro, yang biasa membantu panti dengan mengirim bahan makanan. Sekarang dia menghentikan bantuannya, akibat penyakit istrinya yang tak kunjung sembuh, Ki Buyut,” ucap Elang dengan nada sedih. “Hmm. Istri Baskoro. Sebentar, biar buyut terawang dulu, Elang,” ucap Ki Sandaka. Lalu Ki Sandaka tampak pejamkan matanya, dengan kedua tapak tangan bertangkup di depan dada. Beberapa saat kemudian, tampak kedua mata Ki Sandaka kembali terbuka perlahan, “Elang. Ketahuilah, penyakit Halimah istri pak Baskoro itu, adalah penyakit buatan orang di masa lalunya. Kau bisa menolongnya. Dengan mencabut dan membuang boneka kain berdarah, yang di tanam dukun bayarannya. Boneka itu berada di halaman belakang rumahnya. Tepatnya di bawah pohon pepaya, yang berada persis di arah depan pintu belakang rumahnya. Untuk dukun bayaran itu, biarlah buyut yang memberi pelajaran padanya,” jelas Ki Sandaka. “Wah! Jahat sekali orang itu Ki Buyut. Baiklah, besok Elang akan bertanya soal alamat pak Baskoro pada Bu Nunik,” ujar Elang. “Dengan tercabutnya boneka terkutuk itu dari rumah Baskoro. Maka Halimah akan segera sembuh. Dan penyakit itu akan menyerang balik, pada orang yang menyuruh dukun bayaran itu, Elang,” ucap Ki Sandaka. “Nah Elang. Apakah ......“Nah Elang. Apakah sekarang kamu sudah siap buyut wedar..? Lalu buyut akan isi tenaga dasar ilmu turunan keluarga kita Elang ?” tanya Ki Sandaka tenang. “Siap Ki Buyut,” sahut Elang mantap. “Kalau begitu naiklah ke balai ini, dan duduklah bersila seperti buyut,” perintah Ki Sandaka. Elang pun naik ke atas balai bambu itu, dan duduk bersila seperti posisi Ki Sandaka. Sementara itu Ki Sandaka terlihat berdiri. Namun Elang spontan bergidik ngeri. Karena dia melihat kaki Ki Buyutnya itu mengambang di udara, tak menapak di atas balai. “Hehehee. Jangan takut cicitku. Ini karena buyut sudah berbeda alam denganmu, Elang,” Ki Sandaka terkekeh, melihat kengerian Elang. “Sekarang bersiaplah Elang. Pejamkan matamu dan bertahanlah, jika ada sesuatu yang dingin dan hangat mengalir di dalam tubuhmu,” ucap Ki Sandaka. “Baik Ki Buyut,” ucap Elang tanpa ragu lagi. Elang langsung memejamkan matanya, seperti yang di arahkan oleh Ki Buyut. Nafasnya pun mulai teratur tenang, dalam posisi bersila.
“Bagaimana kalau kita ke rumah Pak Baskoro, setelah kamu pulang interview dari Betamart saja Elang..?" usul Bu Nunik. Hatinya jadi ikut tergerak dengan ucapan Elang. “Baik Bu,” ucap Elang, menyetujui usul Bu Nunik. “Elang masuk dulu ya Bu. Elang mau bersiap ke Betamart," ujar Elang, seraya undur diri.“Iya Elang, bersiaplah sebaik mungkin ya. Ajaklah Wulan untuk berangkat bersama ke sana,” ucap Bu Nunik. “Baik Bu,” sahut Elang, sambil beranjak menuju ke dalam panti. *** Pak Baskoro tengah terpekur di teras rumahnya. Sementara pikirannya menerawang, pada kenangan indahnya bersama sang istri. Istri yang kini terbaring lemah di pembaringannya. Ya, kenangan indah, rasa cinta, dan kesetiaan itulah. Hal yang mampu membuat Baskoro tetap bertahan, dan tegar merawat istrinya. Dia kembali menghisap rokoknya, dan menghembuskannya dengan nafas lepas menghela. Seolah ingin menghela jauh-jauh masalah pelik, yang selama bertahun-tahun ini menyelimutinya. Sudah hampir satu setengah tahun i
“Hahh..?! B-benda apa..?! Maksudmu ada orang yang mengirim ‘bala’ ke istri saya, dengan menanam ‘sesuatu’ di rumah saya ?!” seru kaget pak Baskoro. Ya, Baskoro pernah menerima seorang paranormal dan ajengan ke rumahnya. Dan mereka semua hanya mengatakan, jika istrinya mungkin ‘dikerjai’ seseorang. Tapi tak ada yang dengan ‘jelas’ mengatakan, bahwa ada sesuatu yang di tanam di rumahnya. “Benar Pak Baskoro. Apakah di belakang rumah Bapak ada pohon pepaya, yang letaknya tepat berhadapan dengan pintu belakang rumah bapak ?” tanya Elang. “I..iya benar Elang..! Bagaimana kau bisa tahu..?!” ucap pak Baskoro kaget. 'Bagaimana dia bisa tahu..? Padahal dia belum pernah ke rumahku’, gumam bathinnya. “Bolehkah saya melihatnya Pak Baskoro..?” tanya Elang sopan, langsung ke poin. “Tentu saja boleh. Mari Elang, Bu Nunik, kita ke sana,” sahut pak Baskoro cepat. Ya, kini mulai ada setitik harapan di hati Baskoro. Bu Nunik yang ikut penasaran langsung beranjak mengikuti mereka di belakang. Ses
“Satu tahun lebih Mas..?!” seru Halimah terkaget. Benak Halimah langsung membayangkan suaminya, yang pasti sangat repot mengurusnya selama masa sakitnya itu. Dia pun beranjak dan memeluk suaminya, “Terimakasih Mas, telah merawatku selama itu dan tak meninggalkanku. Tsk, tsk!” ucap Halimah serak dan terisak. Lalu Halimah mendekati Elang dan Bu Nunik, “Terimakasih tak terhingga kuucapkan buat kalian. Kalian telah menyelamatkan rumah tangga kami,” ucap Halimah sambil menyalami Elang , lalu memeluk Bu Nunik. “Maaf, apakah ini Bu Nunik dari panti itu..?” tanya Halimah, yang rupanya masih mengenali Bu Nunik. Dulu memang ia pernah beberapa kali menemani suaminya berkunjung ke panti. “Benar Bu Baskoro,” ucap bu Nunik, yang ikut terharu melihat pulihnya istri pak Baskoro ini. ‘Mereka adalah orang-orang yang baik’, bathinnya. “Ahh. Sebaiknya mulai saat ini Ibu memanggil saya Halimah saja. Karena Ibu lebih berumur dari pada saya,” ucap Halimah merasa rikuh, dipanggil bu oleh orang yang le
"Ki Buyut. Bolehkah Elang tahu, ilmu apa saja yang ada dalam Kitab 7 Ilmu itu ?” tanya Elang penasaran. “Baiklah akan buyut uraikan sedikit tenyang 7 ilmu di dalamnya untukmu Elang, Kitab 7 Ilmu berisikan : 1. Ilmu Wisik Sukma Adalah ilmu yang membuatmu mampu mendengar dan mengetahui isi hati seseorang, Elang. Dengan ilmu ini kau bisa membedakan mana yang tulus dan tidak, sehingga kau tidak mudah tertipu oleh orang. 2. Ilmu Sukma Kelana Ilmu ini merupakan tataran tingkat tinggi Elang, dengan ilmu ini sukmamu dapat berkelana kemana saja kau mau, menembus ruang dan dimensi. Namun kau harus menetapkan dulu tujuanmu, sebelum menggunakan ilmu ini, agar tak tersasar di dimensi atau alam lain. 3. Ilmu Pintas Bumi Ilmu ini adalah ilmu meringankan tubuh keluarga kita Elang. Dengan menerapkan ilmu ini, maka jarak yang jauh akan lebih cepat kau capai, di banding kecepatan sebuah mobil sekalipun. 4. Ilmu Pukulan Guntur Jagad Ilmu ini dapat kau pakai untuk menghancurkan musuh-musuh
"Elang kemarilah. Kalian berdua masuklah dulu ke ruangan ibu, untuk sarapan roti dan teh manis sebelum berangkat kerja ya,” ucap Bu Nunik, sambil membuka pintu ruangannya. Mereka pun masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian datanglah Bu Sati, dengan membawa nampan berisi 3 gelas teh manis dan beberapa bungkus roti keju dan coklat. “Makasih Bu Sati,” ucap Bu Nunik seraya tersenyum padanya. “Terimakasih Bu Sati,” ucap Elang dan Wulan bersamaan.“Silahkan Bu, Elang, Wulan,” sahut bu Sati sambil tersenyum, lalu kembali keluar ruangan. “Silahkan Elang, Wulan. Kalian minum dulu teh manis dan makan beberapa potong roti ini ya,” ucap bu Nunik. Tak lama kemudian Elang dan Wulan berangkat bersama menuju Betamart. Mereka berangkat dengan berjalan kaki. Karena letak Betamart memang tak jauh dari panti mereka, hanya berjarak sekitar 600 meter. *** Tak lama setelah Elang dan Wulan berangkat, panti kedatangan tamu yang tak lain adalah Baskoro dan Halimah. Mereka datang pagi-pagi tak lain adala
Klakh..! "Wahh..!" Elang berseru dan tertegun melihat isi kotak bingkisan itu. Isi kotak bingkisan itu ternyata berisikan dus ponsel merek sumsang keluaran terbaru. Warna ponsel itu hitam, sebuah pilihan warna yang cocok dengan selera Elang. Kemudian ada pula sebuah amplop coklat yang agak tebal di sisinya. Perlahan dibukanya isi amplop coklat itu, Srek.! Elang tercekat melihat dua gepok uang merah di dalam amplop itu. Dihitungnya jumlah uang itu, ternyata uang itu berjumlah 20 juta rupiah. Nilai uang yang sangat banyak tentunya, bagi pemuda seperti Elang. Seumur hidupnya di panti, Elang tak pernah memegang uang sebanyak itu. Maka tangannya pun agak gemetar memegang uang sebanyak itu. Diambilnya uang sebesar 5 ratus ribu rupiah, dan dimasukkannya ke dalam dompetnya. Sementara sisanya ia taruh di bawah pakaian di lemarinya. Saat ia hendak membuka box ponselnya, tampak sesuatu jatuh ke lantai. Sebuah plastik berisikan sim card exel siap pakai terlihat di lantai. Diambilnya kem
“Kang kita mampir ke warung itu dulu ya. Saya mau bertanya sama pemilik warungnya,” ucap Elang. “Jadi Akang belum tahu alamat yang dituju ya..?” tanya tukang ojek. “Masih mencari Kang, yuk kita ke warung dulu. Akang juga bisa ngopi di sana,” ajak Elang. Mereka pun masuk ke halaman warung, dan parkir motor di sana. Elang mendahului melangkah masuk ke dalam warung. Di dapatinya lelaki yang sudah sepuh, usianya sekitar 60 tahunan di warung itu. Namun penampakkan tubuh dan wajahnya masih terlihat bugar. Lelaki sepuh itu terus menatap Elang, dengan dahi berkerut seolah mengingat sesuatu.“Maaf Ki, saya mau pesan kopinya 2 gelas ya,” ucap Elang membuka percakapan. “Ohh, iya Jang. silahkan duduk dulu,” ucap sepuh itu ramah. “O Iya Ki, numpang tanya. Apakah Aki kenal orang bernama kakek Balawan..?” tanya Elang. Mendadak si aki pemilik warung berhenti meracik kopinya, dan berbalik menatap Elang. Dia kembali menatap Elang, sambil berusaha mengingat sesuatu. “Ki Balawan ayahnya Sukanta.
"Bimo. Om Elang bangga pada ketegaran Bimo, saat dulu kamu hidup di jalan seorang diri. Om tahu, sekarang kamu pasti sedang kangen sama Ibu dan Kakakmu di Madiun sana. Tapi Om juga kesal sama Bimo," ucap Elang pelan. "Om Elang kesal kenapa sama Bimo, Om..? Bimo minta maaf kalau sudah mengecewakan Om Elang," Bimo berkata penuh ketakutan. Ya, hal yang ditakuti oleh Bimo memang hanya satu. Yaitu mengecewakan Elang, orang terbaik yang selalu ada di hatinya dan menjadi teladannya itu. "Om kesal, karena Bimo tak pernah memberitahu pada Om, kalau makam ayah Bimo tidak dikubur di tempat yang layak. Sekarang katakan pada Om. Di mana tempat ayah Bimo dikubur..?" tanya Elang serius pada Bimo. "Bimo dan tukang rokok menguburkan Ayah di lahan kosong milik orang Om Elang. Lokasinya di pinggir jalan Tentara pelajar. Tapi sekarang tanah itu sedang dijual Om," sahut Bimo akhirnya terus terang. 'Bimo, tak kusangka kehidupan masa lalumu begitu pedih. Seusia kau menguburkan jenasah Ayahmu hanya b
"Tidak, Mas Elang tidak salah dengar. Itu memang murni keinginan Nadya, Mas. Tsk, tskk..!" sahut Nadya terisak. 'Andai Mas Elang menolak menikahi Nanako, maka aku juga tak akan menikah seumur hidupku..', desah bathin Nadya. Dan, itu semua 'terdengar jelas' oleh 'Wisik Sukma' Elang. "Hhhh. Nadya, sebenarnya seberapa dekat kau dengan Nanako..? Mas memang simpati padanya, tapi itu bukan berarti Mas cinta atau ingin menjadikannya istri, Nadya. Mas hanya mencintaimu Nadya, bukan yang lain. Soal Nanako memilih tak menikah seumur hidupnya, itu adalah pilihan jalan hidupnya. Takdir berada di atas semua itu. Jika Nanako ditakdirkan bersuami nantinya, maka pasti dia akan menikah juga, Nadya. Dan lagi, kamu juga belum bicara tentang hal ini pada kedua orangtuamu Nadya, pikirkanlah baik-baik. Biar bagaimana pun juga, orangtuamu harus tahu tentang 'keinginan anehmu' ini Nadya," Elang akhirnya berkata menjelaskan pada Nadya dengan tenang. Walau sebenarnya Elang agak kesal juga, dengan pola
"Katakanlah ini nyata, Mas Elang.." lirih sekali kata itu terucap dari Nadya, seraya tetap memandang wajah Elang. Ya, Nadya seolah takut wajah itu kembali menghilang, saat dia berkedip. Tanpa menjawab, perlahan Elang menundukkan wajahnya dan mengecup kening Nadya, lalu mengecup pula sejenak bibir Nadya. "Apakah kau masih merasa kecupanku hanya mimpi Nadya..?" ucap Elang lembut, di telinga Nadya. "Owhs..! Mas Elang..! Tsk, tskk.." kembali Nadya memeluk erat tubuh Elang, sambil terisak penuh kebahagiaan. 'Ternyata ini nyata. Terimakasih Tuhan', bisik hati Nadya, merasa bahagia dan bersyukur. "Nadya, kini sudah menjelang malam. Baiknya kita pulang dulu yuk. Tapi kita mampir dulu ke warung makan pinggir jalan ya," ajak Elang pada Nadya, yang langsung tersadar dengan keadaan saat itu. Kriyuukk..! Perut Elang berdemo, tepat saat dia selesai berkata. "Hihihii..! Mas Elang lapar rupanya ya. Hayuk kita makan sop sapi dulu kesukaan Mas Elang," Nadya terkikik geli, mendengar suara perut
"Biar aku saja yang memindahkan motor itu, Bu Guru cantik," suara seorang pria terdengar menawarkan bantuannya. "Terimakasih. Hahhh...?!" reflek Seruni mengucapkan terimakasih tanpa menoleh. Namun seketika itu pula hatinya bergetar kencang, Seruni pun berseru kaget tertahan. Brugh..! Sepasang mata Seruni terbelalak, tas tangan dan beberapa map yang dibawanya pun terjatuh. Itu semua terjadi, saat dirinya belum lagi menoleh ke arah sosok pemilik suara itu. Ya, baginya suara itu sudah mewakili gambaran penuh sosok pemiliknya, Permadi.!'Tapi benarkah ini nyata..?' bisik bathin Seruni meragu. "Seruni, apakah kau akan terus diam di situ hingga malam tiba..?" tanya suara itu lagi. "A-apakah aku tengah bermimpi M-mas..Permadi..?" terbata Seruni bertanya, dadanya terasa sesak. Perlahan dia memutar tubuhnya, dan diapun tersentak tak bisa mengendalikan tubuhnya, Seruni hampir saja terjatuh saking terkejut dan tak percaya, pada apa yang dilihatnya. Ya, sosok gagah itu kini berdiri terse
"Mas Permadi. Lebih baik Sisca juga 'tiada', jika harus hidup tanpamu', desah bathin Sisca, yang kini tengah berbaring lemah di ranjang kamarnya. Berkali Mbok Sutri mengetuk pintu kamarnya untuk makan, maka berkali pula jawaban 'nanti saja' terdengar dari Sisca di dalam kamarnya. Mbok Sutri sampai kehilangan akal dan ikut menjadi prihatin, terhadap kondisi majikan puterinya itu. Ada pun dilema menghantui diri Yudha Satria dan Ahmad Syauban di kepolisian. Mereka bahkan sudah menyimpulkan, jika 'sosok hijau' dalam pertarungan dahsyat di selat Naruto itu adalah Elang. Namun tentu saja mereka memendam rahasia itu dalam hati mereka. Bahkan Yudha Satria berani pula menyimpulkan. Bahwa sosok bercahaya biru dalam video itu, adalah penjahat berhelm. Penjahat yang statusnya 'sangat dicari' oleh pihak kepolisian, hidup atau mati.!Dan hal itu terbukti, dengan 'senyapnya' aksi-aksi para penjahat berhelm, setelah insiden pertarungan dahsyat itu. Dengan kata lain, kasus tentang penjahat bert
'Hahh..! Sudah lewat waktu ashar..!' seru bathinnya. Bergegas dia meninggalkan tempat itu, dan kembali menuju hotelnya. Malam harinya Seruni keluar dari kamarnya, dia berniat dinner di resto hotel. Saat dia tiba di restoran, nampak beberapa tamu juga telah berada di sana. Suasana restoran tak begitu ramai malam itu, sekilas dia melirik seorang gadis yang sepertinya juga tengah menatapnya. Saat tatapan mata mereka bertemu, wajah gadis itu tersenyum ramah padanya. Seruni pun membalas senyum gadis itu. Nampak gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Seolah mengundang Seruni, untuk ikut duduk di mejanya. Seruni pun melangkah menghampiri meja gadis itu, yang nampaknya juga pendatang sepertinya. Karena wajahnya nampak seperti serumpun dengan dirinya. "Duduk di sini saja Mbak. Mbak orang Indonesia kan..?" tanya gadis itu, yang ternyata Nadya adanya. Nadya merasa senang mendapati orang senegaranya berada di tempat itu. Hal yang nampak jelas, dari wajah dan kerudung yang dikenakan Serun
"Hayuk kita berangkat sekarang saja Nadya. Kita bisa bicara sambil mandi di sana. Karena aku akan kembali ke Tokyo sore nanti Nadya," ajak Nanako, sambil memberitahukan soal kepulangannya nanti sore. Akhirnya jadilah mereka berangkat menuju Matsuho-no-sato onsen. Tak sampai satu jam, mereka akhirnya telah sampai di tujuan. Matsuho-no-sato adalah sebuah onsen yang terletak di di perbukitan utara, di atas jembatan Akashi Kaikyo sepanjang 3,5 km. Jembatan ini menyala selama beberapa jam mulai senja, dan selama lima menit setiap jam. Pola lampu pelanginya yang mempesona, bagai memantulkan air dan memenuhi langit. Cara terbaik untuk menikmati pertunjukan cahaya lampu itu, adalah dengan berendam di onsen luar ruangan. Sayangnya mereka tiba disana saat hari masih terbilang pagi. Mereka pun menitipkan alas kaki di loker, menerima dua buah handuk besar dan kecil, lalu masuk keruang ganti. Sebetulnya bukan ruang ganti, tetapi lebih tepat disebut ruang untuk melepas seluruh pakaian mereka
"Ceritakanlah Permadi. Aku akan mendengarkan," sahut Elang tersenyum. Lalu Permadi pun mulai menceritakan kisahnya. Di mulai dari orangtuanya terbunuh, soal Ki Sentanu, soal GASStreet, dan tentang perjalanannya mencari Elang. Hingga berakhir pada 'duel' hidup mati mereka, di selat Naruto. "Begitulah perjalanan hitam diriku, Elang," Permadi mengakhiri kisah dirinya pada Elang. "Wahh, Permadi. Rupanya kau pemimpin kelompok berhelm, yang menggegerkan di Surabaya itu," Elang mengeluh dalam sesal, mendengar pengakuan jujur Permadi. Namun kejujuran Permadi itu, menjadi pertimbangan tersendiri bagi Elang. 'Bagaimana aku membantumu jika begini Permadi..?' desah bathin Elang bingung. *** Sementara itu ke esokkan harinya di Awaji Island. Pagi-pagi sekali Nadya terpaksa membongkar ransel Elang. Karena dia mendengar, jika Mila akan pulang malam ini ke Rusia. Sementara Nadya sendiri akan pulang ke Indonesia besok harinya. Praktis waktu yang tersisa hanya hari itu. Untuk mencari dan menge
"Bangunlah Permadi," pelan saja suara Ki Bogananta, namun terdengar hingga menembus dan meresap masuk ke relung jiwa Permadi. Suara yang dilambari tenaga bathin yang luar biasa menggetarkan. Perlahan pelupuk mata Permadi bergerak, dan akhirnya terbuka lebar. "Ahhh, di mana aku..?!" seru Permadi sambil beranjak duduk, dan melihat ke sekitarnya. Saat matanya membentur sosok yang baru saja 'berbicara' dengannya di kedalaman jiwanya."Eyang sepuh Bogananta..," ucap Permadi, yang langsung menundukkan wajahnya penuh hormat. Ki Bogananta nampak tersenyum damai padanya. Dan Permadi merasa bagai 'telanjang' di hadapan sepuh itu. Habis sudah isi jiwanya 'dikuliti', oleh moyang sepuhnya itu barusan. "Permadi. Kiranya cukup sudah apa-apa yang perlu kautahu, dan Eyang beritahu padamu. Sekarang bersiaplah untuk bertemu dan berbicara dengan Elang. Dia berada tak jauh darimu saat ini. Bicara dan bekerjasamalah kalian di alam nyata nantinya. Eyang yakin, Elang akan memiliki jalan keluar dari m