Kuda Wanengpati melakukan pengejaran Panji Semirang sampai ke Hutan Asmarantaka. Puluhan prajurit pun dia kerahkan untuk memeriksa gubuk-gubuk bambu yang ternyata hanya dihuni oleh masyarakat kurang mampu."Kami sudah memeriksa semuanya, Panji Semirang beserta anak buahnya sudah meninggalkan tempat ini, Pangeran,” kata Panglima Perang Jenggala. Embusan napas panjang keluar dari hidung mancung sang Panji. "Rupanya dia sudah lebih dulu mengetahui kedatangan kita.""Lalu apa yang harus kita lakukan, Pangeran?" tanya Panglima. Karena merasa usahanya sia-sia, Kuda Wanengpati menggeleng. “Kembali ke Jenggala.”"Baik, Pangeran," sahut Panglima.Setelah berbalik lantas berjalan beberapa langkah, Kuda Wanengpati melihat kedatangan seorang wanita yang tak asing lagi di matanya. Yaitu Larasati bersama Panglima Perang Tunggul Wulung. Di belakang mereka berdua ada tiga puluh prajurit. Tentu saja, hal itu membuat sang Pangeran terkejut hingga terus memperhatikan Larasati yang menghentikan ayuna
Di tempat lain, Panji Semirang sedang memacu kuda meninggalkan Kota lama Kahuripan. Ada puluhan anak buah perampok yang ikut serta bersamanya. Mereka telah sampai pelabuhan dan siap menyeberangi pulau. Sementara itu, pikiran Panji Semirang masih terpaku pada Kuda Wanengpati, bahkan ketika duduk di atas perahu, dia terus melamun. Cinta memang begitu mendalam, tetapi pengkhianatan mengubahnya menjadi kebencian yang berbalut kekecewaan. Pada akhirnya, cinta segitiga di antara Anggraeni, Panji Asmara Bangun, dan Sekartaji menyakiti hati masing-masing. Sekartaji yang paling terluka sejak awal, karena Panji Asmara Bangun yang berjanji mencintainya sehidup semati, justru menikahi wanita lain secara diam-diam. Namun, setelah kematian Anggraeni, Sekartajilah yang seolah-olah menjadi kekasih sejati Panji Asmara Bangun, pria itu terus mengejarnya. Sekartaji butuh pembuktian sehingga dia menguji kesetiaan Panji Asmara Bangun, dia ingin sang Pangeran menunjukkan seberapa besar cintanya setelah in
Raja telah mencapai moksa, sedangkan Maulana Ngali akan kembali ke Setana untuk mengurus pondok. Setelah semua barang berharganya dimasukkan ke dalam kereta, sang Ulama melangkah menuju halaman diikuti Permaisuri Sara beserta Pramesti, Larasati, dan Sansati di belakang. Tak ketinggalan, Jaya Amijaya juga hadir bersama Sarweswara.Sementara itu, Perdana Menteri Buta Locaya sudah berdiri di dekat kereta untuk bertugas mengawal perjalanan Maulana Ngali. Beberapa prajurit telah bersiap menunggu keberangkatan. Walau demikian, Panglima Tunggul Wulung tak bisa ikut bersama mereka sebab memiliki kewajiban menjaga keamanan istana.Sejenak sang Ulama menghentikan langkah, lantas berbalik memperhatikan semua orang. “Terima kasih atas kebaikan Panjalu selama aku berada di istana. Sekarang sudah saatnya aku pergi,” pamitnya."Semua sudah kuajarkan pada Pangeran serta Dewi Putri sekalian, tinggal mau memakainya atau tidak.”“Kalian tak perlu khawatir, selama di hati kalian tertanam bahwa kalian mur
Kegundahan hati membuat Sakaningrat menyendiri di pendapa sembari memandangi bulan purnama. Samar-samar bayangan Panji Asmara Bangun terlintas dalam benaknya. Tentu saja, sang Dewi masih mengingat kenangan-kenangan manis yang ditinggalkan kekasihnya itu. Meski hati penuh kebencian, tetapi cinta tak dapat dipungkiri. Keduanya telah bertunangan semenjak masih kecil, setelah dewasa pun mereka melewati beberapa kali ujian kesetiaan bersama. Namun, semua tiada arti. Kehadiran Anggraeni telah berhasil mengalihkan perhatian Panji Asmara Bangun hingga melupakan janji sehidup sematinya dengan Sekartaji, mengkhianati cinta mereka. Hanya sang Dewi yang bertahan sendiri hingga harus menelan pahitnya luka dan kecewa.Malam makin larut, suasana menjadi hening, bahkan bayangan Kuda Wanengpati seolah-olah membujuk agar Sekartaji kembali dan menyerah dengan pelariannya selama ini. Ketika wanita itu memupuskan niat menguji cinta, sang Bathara Narada turun dari langit, lantas memijakkan kaki di tanah. C
Siang begitu panas, terik matahari terasa menyengat di kulit sehingga Kuda Wanengpati berkeringat serta tak kuasa menahan dahaga. Sang Pangeran menuntun kudanya pada jalanan kecil di sebuah perkampungan padat penduduk. Dia berencana untuk mencari warung makan, tetapi tak ada satu pun yang buka.Tiba-tiba, dia melihat beberapa perampok yang sedang merampas barang bawaan seorang wanita paruh baya, kemudian mendorong korban sampai tersungkur dan jatuh bersimpuh di tanah. “Hentikan, kalian menyakiti orang!” perintah Kuda Wanengpati sembari berjalan menghampiri sekelompok pria berpakaian hitam tersebut.“Hei, siapa kau? Besar sekali nyalimu! Apa kau ingin mati di tanganku?” gertak yang berwajah berewok serta berambut panjang.“Aku hanya meminta kalian menyerahkan barang berharga wanita ini, kecuali ingin aku bersikap kasar,” kata Kuda Wanengpati. “Ayo berikan.”“Banyak omong!” Tanpa disangka salah seorang perampok langsung mengibaskan golok ke bagian kepala sang Pangeran. Untungnya, Ku
Karena telah menjadi raja, Sekartaji yang menyamar sebagai pria sering menghabiskan waktu untuk duduk sendiri di ruang perpustakaan kerajaan. Dia benar-benar harus memahami isi beberapa dokumen penting kenegaraan, termasuk catatan-catatan tentang program pembangunan negara selama Surya Legawa memimpin. Sewaktu Klana Madubrangta sibuk membuka halaman baru, Nambiayu–putri kedua Surya Legawa–melangkah menghampirinya sembari melempar senyum. Dari pandangan mata Nambiayu, tergambar jelas bagaimana gadis berkemban cokelat itu tergila-gila pada Galuh Sakaningrat. Ada hasrat wanita dewasa yang menggebu-gebu dalam lubuk hati sang Putri, tetapi Klana Madubrangta tak peduli meski telah mengetahuinya sejak awal, bahkan dia hanya diam saat Nambiayu duduk di samping kanannya. "Yang Mulia, jika ingin membaca, kenapa tidak memanggilku untuk menemani?" rayu Nambiayu. Tanpa menoleh, Klana Madubrangta menyahut, "Aku hanya ingin sendirian, Tuan Putri.”"Yang Mulia, kenapa Yang Mulia dingin sekali?” g
Di Nusa Kancana, sewaktu Madubrangta tengah serius mendiskusikan masalah politik bersama dua pejabat tinggi istana, seorang rakyan demang datang menghadap dengan posisi berlutut sebelah kaki sembari menunduk dan menyatukan kedua telapak tangan. "Lapor, Yang Mulia. Raja Sewunagara telah tewas,” kata pria berpakaian putih keemasan tersebut. “Penyusup bernama Jayengsari membunuhnya pada pesta penjamuan Pejabat Parang Kancana." Perlahan mata Madubrangta menyipit. "Siapa Jayengsari? Kenapa dia membunuh Sewunagara?" tanya Madubrangta.” "Dari yang saya ketahui, pemuda ini melakukan penyerangan, atas nama ketidakadilan, Yang Mulia. Jayengsari bukan hanya menghabisi Raja Sewunagara, tetapi juga merebut takhta Kerajaan Parang Kancana," jelas demang tersebut. Pun sang Raja Wanita mengalihkan pandangan ke depan. "Apa Parang Kancana masih ingin berperang melawan kita?" "Benar, Yang Mulia. Raja Jayengsari telah mengirimkan pesan agar kita menyerah dan tunduk di bawah kepemimpinan mereka.”
Pagi baru saja menjelang, meski begitu, Larasati sudah bergandengan tangan dengan Aji Dharma. Rencananya, mereka akan pergi ke hutan untuk berburu. Namun, baru saja keduanya ke luar dari istana, Jaya Amijaya telah berdiri mengadang di halaman.Pun Larasati dan Aji Dharma menghentikan ayunan tungkai masing-masing. Sejenak mereka berdua saling menoleh karena tak mengerti, sebelum terfokus kembali pada Jaya Amijaya yang juga menatap tajam."Hari ini giliranku yang akan mengajarimu,” kata sang Pangeran. “Ayo ikut Paman." Mau tidak mau, Aji Dharma harus patuh. Dia terpaksa melepas tangannya dari Larasati, lalu berjalan menghampiri Jaya Amijaya. Paman dan keponakan itu pun segera melangkah menuju taman berlatih. "Sayang sekali, hari ini Aji harus belajar dengan Kak Jaya!" sindir Sasanti yang datang dari arah belakang.Sikap Larasati begitu angkuh saat menimpali, "Masih ada hari besok, kau tidak perlu meledekku.”"Besok dia akan belajar denganku,” tangkas Sasanti. Seketika Larasati terse
Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya
Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir
Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca