Di tempat lain, Panji Semirang sedang memacu kuda meninggalkan Kota lama Kahuripan. Ada puluhan anak buah perampok yang ikut serta bersamanya. Mereka telah sampai pelabuhan dan siap menyeberangi pulau. Sementara itu, pikiran Panji Semirang masih terpaku pada Kuda Wanengpati, bahkan ketika duduk di atas perahu, dia terus melamun. Cinta memang begitu mendalam, tetapi pengkhianatan mengubahnya menjadi kebencian yang berbalut kekecewaan. Pada akhirnya, cinta segitiga di antara Anggraeni, Panji Asmara Bangun, dan Sekartaji menyakiti hati masing-masing. Sekartaji yang paling terluka sejak awal, karena Panji Asmara Bangun yang berjanji mencintainya sehidup semati, justru menikahi wanita lain secara diam-diam. Namun, setelah kematian Anggraeni, Sekartajilah yang seolah-olah menjadi kekasih sejati Panji Asmara Bangun, pria itu terus mengejarnya. Sekartaji butuh pembuktian sehingga dia menguji kesetiaan Panji Asmara Bangun, dia ingin sang Pangeran menunjukkan seberapa besar cintanya setelah in
Raja telah mencapai moksa, sedangkan Maulana Ngali akan kembali ke Setana untuk mengurus pondok. Setelah semua barang berharganya dimasukkan ke dalam kereta, sang Ulama melangkah menuju halaman diikuti Permaisuri Sara beserta Pramesti, Larasati, dan Sansati di belakang. Tak ketinggalan, Jaya Amijaya juga hadir bersama Sarweswara.Sementara itu, Perdana Menteri Buta Locaya sudah berdiri di dekat kereta untuk bertugas mengawal perjalanan Maulana Ngali. Beberapa prajurit telah bersiap menunggu keberangkatan. Walau demikian, Panglima Tunggul Wulung tak bisa ikut bersama mereka sebab memiliki kewajiban menjaga keamanan istana.Sejenak sang Ulama menghentikan langkah, lantas berbalik memperhatikan semua orang. “Terima kasih atas kebaikan Panjalu selama aku berada di istana. Sekarang sudah saatnya aku pergi,” pamitnya."Semua sudah kuajarkan pada Pangeran serta Dewi Putri sekalian, tinggal mau memakainya atau tidak.”“Kalian tak perlu khawatir, selama di hati kalian tertanam bahwa kalian mur
Kegundahan hati membuat Sakaningrat menyendiri di pendapa sembari memandangi bulan purnama. Samar-samar bayangan Panji Asmara Bangun terlintas dalam benaknya. Tentu saja, sang Dewi masih mengingat kenangan-kenangan manis yang ditinggalkan kekasihnya itu. Meski hati penuh kebencian, tetapi cinta tak dapat dipungkiri. Keduanya telah bertunangan semenjak masih kecil, setelah dewasa pun mereka melewati beberapa kali ujian kesetiaan bersama. Namun, semua tiada arti. Kehadiran Anggraeni telah berhasil mengalihkan perhatian Panji Asmara Bangun hingga melupakan janji sehidup sematinya dengan Sekartaji, mengkhianati cinta mereka. Hanya sang Dewi yang bertahan sendiri hingga harus menelan pahitnya luka dan kecewa.Malam makin larut, suasana menjadi hening, bahkan bayangan Kuda Wanengpati seolah-olah membujuk agar Sekartaji kembali dan menyerah dengan pelariannya selama ini. Ketika wanita itu memupuskan niat menguji cinta, sang Bathara Narada turun dari langit, lantas memijakkan kaki di tanah. C
Siang begitu panas, terik matahari terasa menyengat di kulit sehingga Kuda Wanengpati berkeringat serta tak kuasa menahan dahaga. Sang Pangeran menuntun kudanya pada jalanan kecil di sebuah perkampungan padat penduduk. Dia berencana untuk mencari warung makan, tetapi tak ada satu pun yang buka.Tiba-tiba, dia melihat beberapa perampok yang sedang merampas barang bawaan seorang wanita paruh baya, kemudian mendorong korban sampai tersungkur dan jatuh bersimpuh di tanah. “Hentikan, kalian menyakiti orang!” perintah Kuda Wanengpati sembari berjalan menghampiri sekelompok pria berpakaian hitam tersebut.“Hei, siapa kau? Besar sekali nyalimu! Apa kau ingin mati di tanganku?” gertak yang berwajah berewok serta berambut panjang.“Aku hanya meminta kalian menyerahkan barang berharga wanita ini, kecuali ingin aku bersikap kasar,” kata Kuda Wanengpati. “Ayo berikan.”“Banyak omong!” Tanpa disangka salah seorang perampok langsung mengibaskan golok ke bagian kepala sang Pangeran. Untungnya, Ku
Karena telah menjadi raja, Sekartaji yang menyamar sebagai pria sering menghabiskan waktu untuk duduk sendiri di ruang perpustakaan kerajaan. Dia benar-benar harus memahami isi beberapa dokumen penting kenegaraan, termasuk catatan-catatan tentang program pembangunan negara selama Surya Legawa memimpin. Sewaktu Klana Madubrangta sibuk membuka halaman baru, Nambiayu–putri kedua Surya Legawa–melangkah menghampirinya sembari melempar senyum. Dari pandangan mata Nambiayu, tergambar jelas bagaimana gadis berkemban cokelat itu tergila-gila pada Galuh Sakaningrat. Ada hasrat wanita dewasa yang menggebu-gebu dalam lubuk hati sang Putri, tetapi Klana Madubrangta tak peduli meski telah mengetahuinya sejak awal, bahkan dia hanya diam saat Nambiayu duduk di samping kanannya. "Yang Mulia, jika ingin membaca, kenapa tidak memanggilku untuk menemani?" rayu Nambiayu. Tanpa menoleh, Klana Madubrangta menyahut, "Aku hanya ingin sendirian, Tuan Putri.”"Yang Mulia, kenapa Yang Mulia dingin sekali?” g
Di Nusa Kancana, sewaktu Madubrangta tengah serius mendiskusikan masalah politik bersama dua pejabat tinggi istana, seorang rakyan demang datang menghadap dengan posisi berlutut sebelah kaki sembari menunduk dan menyatukan kedua telapak tangan. "Lapor, Yang Mulia. Raja Sewunagara telah tewas,” kata pria berpakaian putih keemasan tersebut. “Penyusup bernama Jayengsari membunuhnya pada pesta penjamuan Pejabat Parang Kancana." Perlahan mata Madubrangta menyipit. "Siapa Jayengsari? Kenapa dia membunuh Sewunagara?" tanya Madubrangta.” "Dari yang saya ketahui, pemuda ini melakukan penyerangan, atas nama ketidakadilan, Yang Mulia. Jayengsari bukan hanya menghabisi Raja Sewunagara, tetapi juga merebut takhta Kerajaan Parang Kancana," jelas demang tersebut. Pun sang Raja Wanita mengalihkan pandangan ke depan. "Apa Parang Kancana masih ingin berperang melawan kita?" "Benar, Yang Mulia. Raja Jayengsari telah mengirimkan pesan agar kita menyerah dan tunduk di bawah kepemimpinan mereka.”
Pagi baru saja menjelang, meski begitu, Larasati sudah bergandengan tangan dengan Aji Dharma. Rencananya, mereka akan pergi ke hutan untuk berburu. Namun, baru saja keduanya ke luar dari istana, Jaya Amijaya telah berdiri mengadang di halaman.Pun Larasati dan Aji Dharma menghentikan ayunan tungkai masing-masing. Sejenak mereka berdua saling menoleh karena tak mengerti, sebelum terfokus kembali pada Jaya Amijaya yang juga menatap tajam."Hari ini giliranku yang akan mengajarimu,” kata sang Pangeran. “Ayo ikut Paman." Mau tidak mau, Aji Dharma harus patuh. Dia terpaksa melepas tangannya dari Larasati, lalu berjalan menghampiri Jaya Amijaya. Paman dan keponakan itu pun segera melangkah menuju taman berlatih. "Sayang sekali, hari ini Aji harus belajar dengan Kak Jaya!" sindir Sasanti yang datang dari arah belakang.Sikap Larasati begitu angkuh saat menimpali, "Masih ada hari besok, kau tidak perlu meledekku.”"Besok dia akan belajar denganku,” tangkas Sasanti. Seketika Larasati terse
Seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi Larasati selalu sibuk bermain Larasati dengan Aji Dharma. Namun, kali ini dia tak sendiri di taman putri. Ada Sasanti yang hanya duduk menyimak canda tawa mereka, sementara Pramesti baru datang sembari membawakan minuman.Sebelum mereka sempat mengobrol kembali, Sarweswara datang sehingga ketiganya langsung mengalihkan perhatian pada pria berpakaian ningrat tersebut."Kahuripan mendapat undangan jamuan dari Bedahulu,” kata sang Raja. “Aku harap, di antara kalian tidak ada yang keberatan untuk ikut bersamaku, karena dalam pertemuan ini Bedahulu dan Kahuripan akan mengenalkan putra putri dari kedua kerajaan. Mungkin Pangeran Inu Kertapati juga akan datang."Pramesti meletakkan nampan berisi gelas ke meja batu, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak akan ikut, sebaiknya dengan yang lain saja,” tolaknya."Tidak masalah, aku mengerti,” sahut Sarweswara. Lalu dia beralih menatap Sasanti."Kau dan Jaya Amijaya harus ada di sana, kalian sangat berper