Pagi baru saja menjelang, meski begitu, Larasati sudah bergandengan tangan dengan Aji Dharma. Rencananya, mereka akan pergi ke hutan untuk berburu. Namun, baru saja keduanya ke luar dari istana, Jaya Amijaya telah berdiri mengadang di halaman.Pun Larasati dan Aji Dharma menghentikan ayunan tungkai masing-masing. Sejenak mereka berdua saling menoleh karena tak mengerti, sebelum terfokus kembali pada Jaya Amijaya yang juga menatap tajam."Hari ini giliranku yang akan mengajarimu,” kata sang Pangeran. “Ayo ikut Paman." Mau tidak mau, Aji Dharma harus patuh. Dia terpaksa melepas tangannya dari Larasati, lalu berjalan menghampiri Jaya Amijaya. Paman dan keponakan itu pun segera melangkah menuju taman berlatih. "Sayang sekali, hari ini Aji harus belajar dengan Kak Jaya!" sindir Sasanti yang datang dari arah belakang.Sikap Larasati begitu angkuh saat menimpali, "Masih ada hari besok, kau tidak perlu meledekku.”"Besok dia akan belajar denganku,” tangkas Sasanti. Seketika Larasati terse
Seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi Larasati selalu sibuk bermain Larasati dengan Aji Dharma. Namun, kali ini dia tak sendiri di taman putri. Ada Sasanti yang hanya duduk menyimak canda tawa mereka, sementara Pramesti baru datang sembari membawakan minuman.Sebelum mereka sempat mengobrol kembali, Sarweswara datang sehingga ketiganya langsung mengalihkan perhatian pada pria berpakaian ningrat tersebut."Kahuripan mendapat undangan jamuan dari Bedahulu,” kata sang Raja. “Aku harap, di antara kalian tidak ada yang keberatan untuk ikut bersamaku, karena dalam pertemuan ini Bedahulu dan Kahuripan akan mengenalkan putra putri dari kedua kerajaan. Mungkin Pangeran Inu Kertapati juga akan datang."Pramesti meletakkan nampan berisi gelas ke meja batu, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak akan ikut, sebaiknya dengan yang lain saja,” tolaknya."Tidak masalah, aku mengerti,” sahut Sarweswara. Lalu dia beralih menatap Sasanti."Kau dan Jaya Amijaya harus ada di sana, kalian sangat berper
Setelah melakukan perjalanan lebih dari dua hari, akhirnya, rombongan keluarga Kerajaan Kahuripan tiba di Bedahulu. Pun Sarweswara beserta Jaya Amijaya, Sasanti, Larasati, dan Aji Dharma segera turun dari kereta.Raja Kerajaan Pejeng–Sri Jayasakti–menyambut mereka di halaman istana. Ketika Sarweswara melangkah menghampirinya, pria bertubuh tegap itu langsung menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk. Sebaliknya sikap yang dilakukan Sarweswara setelah menghentikan gerakan kaki. "Selamat datang di Bedahulu saudaraku,” ucap Sri Jayasakti. “Suatu kehormatan bagiku, karena kau datang memenuhi undangan kerabatmu ini.”"Bagaimana aku bisa menolak, negerimu sangat asri, bahkan kau sudah melihatnya sendiri, aku membawa adik-adikku untuk berlibur," balas Sarweswara yang lantas menoleh Jaya Amijaya, Sasanti, Larasati, dan Aji Dharma di akhir perkataan.Seketika Sri Jayasakti terkekeh, "Raja memang pandai memuji." "Mari silakan masuk, kalian harus beristirahat."Kedua Raja melangkah lebi
Di Karpala, Jaka Lelana baru saja menulis surat. Anehnya, sewaktu lontar digulung justru seketika menghilang di kedua telapak tangannya. Pada saat yang sama, Dyah Puspitasari memasuki kediaman sehingga Jaka Lelana langsung menolehnya yang berdiri di depan pintu."Pangeran masih belum tidur?" tanya Dyah Puspitasari."Aku baru saja memeriksa beberapa berkas istana,” jawab sang Pangeran dengan ciri khas sosoknya yang pendiam dan selalu terlihat begitu tenang. "Malam-malam datang kemari, apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Pandangan mata Dyah Puspitasari tak beralih dari pria berbeskap cokelat tersebut, bahkan ketika mengayunkan tungkai kembali. “Aku hanya ingin mengunjungimu, Pangeran.”"Duduklah!" perintah Jaka Lelana sembari menepuk tikar pandan pada lantai sehingga Dyah Puspitasari pun langsung duduk bersimpuh di sampingnya."Jangan menatapku seperti itu!" Perlahan jemari tangan Dyah Puspitasari bergerak menyentuh wajah Jaka Lelana, sedangkan sang Pangeran sendiri hanya terdiam. T
Suasana terang bulan begitu indah menerangi Bedahulu, pun kerlap-kerlip bintang bertaburan di langit. Ketika itu, Larasari sedang berdiri di teras pendapa sembari menatap kosong. Sunyi dan sepinya malam seolah-seolah telah menyatu dalam kehampaan hatinya yang bagai pemakaman.Perlahan Larasati mengarahkan tangan ke langit. Andai saja bisa, dia ingin menggapai bulan untuk menerangi jiwanya yang gelap. Semenjak Jaka Lelana memilih Dyah Puspitasari, Larasati hilang semangat hidup. Dia tak ubahnya mayat hidup, tanpa rasa, tanpa cinta, tanpa warna.Tangisnya tanpa air mata, cukup diam membisu menikmati sakitnya patah hati serta menahan perihnya luka. Dalam sekejap semua mimpi indah bersama Jaka Lelana sirna dari angan-angannya, berganti dengan kekacauan tak berujung.Pada saat Larasati larut dalam lamunan, Panji Asmara Bangun menghentikan di belakang wanita tersebut, kemudian tersenyum menyikapi."Apa bulan memang begitu menarik bagi para wanita hingga mereka ingin meraihnya?" ledek sang P
Setelah tujuh hari koma, akhirnya Sekartaji membuka mata. Tentu saja dia terkejut begitu menemukan diri berada di sebuah ruang pengobatan, sampai-sampai langsung bangkit dari ranjang tempatnya merebah, sebelum perlahan mulai mengingat tentang pertarungan sengit melawan Panji Asmara Bangun di medan perang.Sewaktu sadar jika pakaiannya telah diganti, wanita itu menoleh ke meja. Hanya ada pedangnya di sana. Yang tak terduga saat hendak meraihnya, sesosok pria bergerak cepat menyambar tangan wanita tersebut sehingga dia langsung mengalihkan perhatian."Kenapa kau lakukan ini, menyembunyikan identitasmu dan membuatku melawanmu?" tanya Panji Asmara Bangun.Akan tetapi, Sekartaji justru menatap benci sang Panji lantas menarik tangan kuat-kuat. "Lepas!""Kau lupa, Pangeran, kaulah yang menghianatiku dengan menikahi Anggraeni di belakangku!""Aku tidak sedang menguji cintamu, tapi aku ingin membunuhmu, jadi berhenti menjelaskan apa pun!”"Kalau begitu lakukanlah," pinta Panji seraya meregangk
Ketika Mandala sedang membaca sebuah dokumen, Tantramana–dewa acara–datang menghampirinya bersama Gandasastra di sebelahnya. Mereka berdua menunduk sembari menyatukan kedua telapak tangan."Yang Mulia, persiapan pesta pada hari pernikahan Yang Mulia telah selesai, hanya saja ada sedikit masalah," ungkap Tantramana sampai-sampai Mandala langsung mengalihkan perhatian padanya.Akan terapi, Tantramana canggung dan justru menoleh Gandasastra. Untungnya sang Dewa Sastrawan mengerti arti tatapan mata si kawan yang menegaskan agar membantu untuk berbicara."Begini, Yang Mulia. Ini menyangkut Dewi Agung Shima Dahyang yang sudah tertidur selama 1 tahun di Istana Candracaya,” jelas Gandrasatra. “Menurut Sekar Langit diperkirakan Dewi Agung akan terbangun pada hari di mana Yang Mulia menikah.”Embusan napas panjang keluar dari hidung Mandala sebelum mengalihkan perhatian. "Shima Dahyang. Aku tak pernah melihat sang Dewi sebelumnya.""Shima Dewi, memang tak pernah meninggalkan istananya, Yang Mul
Gunung Cakrawarti letaknya berada di langit lapis tujuh. Tak beda jauh dengan pegunungan di bumi, untuk sampai ke sana harus melewati perbukitan terjal, lebih sulit lagi karena terdapat berbagai tanaman hidup yang di antaranya bisa membahayakan nyawa para hyang. Itulah sebabnya sang Atmajaya Wimala meminta agar Larasati berhati-hati."Kalau kau lelah sebaiknya beristirahat,” saran Mandala. Akan tetapi, Larasati justru tersenyum menyikapi. "Aku masih cukup kuat untuk berjalan sampai ke puncak." "Kenapa harus memaksa ikut, padahal bisa beristirahat dengan nyaman di istana?" Sang Dewa heran.Pun Larasati menegaskan, "Bukankankah sudah kukatakan, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.”"Aku berharap itu bukan sesuatu yang lain.” Bibir Mandala membentuk lengkungan.Larasati tersenyum jengah, lantas menolehnya. "Aku hanya Bidadari berstatus rendah, tak mungkin berani menyukaimu.”"Berada dekat denganmu seperti ini, sudah sangat membuatku bahagia, Dewa." "Kita istirahat sebentar,”
Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya
Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir
Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca