Suasana terang bulan begitu indah menerangi Bedahulu, pun kerlap-kerlip bintang bertaburan di langit. Ketika itu, Larasari sedang berdiri di teras pendapa sembari menatap kosong. Sunyi dan sepinya malam seolah-seolah telah menyatu dalam kehampaan hatinya yang bagai pemakaman.Perlahan Larasati mengarahkan tangan ke langit. Andai saja bisa, dia ingin menggapai bulan untuk menerangi jiwanya yang gelap. Semenjak Jaka Lelana memilih Dyah Puspitasari, Larasati hilang semangat hidup. Dia tak ubahnya mayat hidup, tanpa rasa, tanpa cinta, tanpa warna.Tangisnya tanpa air mata, cukup diam membisu menikmati sakitnya patah hati serta menahan perihnya luka. Dalam sekejap semua mimpi indah bersama Jaka Lelana sirna dari angan-angannya, berganti dengan kekacauan tak berujung.Pada saat Larasati larut dalam lamunan, Panji Asmara Bangun menghentikan di belakang wanita tersebut, kemudian tersenyum menyikapi."Apa bulan memang begitu menarik bagi para wanita hingga mereka ingin meraihnya?" ledek sang P
Setelah tujuh hari koma, akhirnya Sekartaji membuka mata. Tentu saja dia terkejut begitu menemukan diri berada di sebuah ruang pengobatan, sampai-sampai langsung bangkit dari ranjang tempatnya merebah, sebelum perlahan mulai mengingat tentang pertarungan sengit melawan Panji Asmara Bangun di medan perang.Sewaktu sadar jika pakaiannya telah diganti, wanita itu menoleh ke meja. Hanya ada pedangnya di sana. Yang tak terduga saat hendak meraihnya, sesosok pria bergerak cepat menyambar tangan wanita tersebut sehingga dia langsung mengalihkan perhatian."Kenapa kau lakukan ini, menyembunyikan identitasmu dan membuatku melawanmu?" tanya Panji Asmara Bangun.Akan tetapi, Sekartaji justru menatap benci sang Panji lantas menarik tangan kuat-kuat. "Lepas!""Kau lupa, Pangeran, kaulah yang menghianatiku dengan menikahi Anggraeni di belakangku!""Aku tidak sedang menguji cintamu, tapi aku ingin membunuhmu, jadi berhenti menjelaskan apa pun!”"Kalau begitu lakukanlah," pinta Panji seraya meregangk
Ketika Mandala sedang membaca sebuah dokumen, Tantramana–dewa acara–datang menghampirinya bersama Gandasastra di sebelahnya. Mereka berdua menunduk sembari menyatukan kedua telapak tangan."Yang Mulia, persiapan pesta pada hari pernikahan Yang Mulia telah selesai, hanya saja ada sedikit masalah," ungkap Tantramana sampai-sampai Mandala langsung mengalihkan perhatian padanya.Akan terapi, Tantramana canggung dan justru menoleh Gandasastra. Untungnya sang Dewa Sastrawan mengerti arti tatapan mata si kawan yang menegaskan agar membantu untuk berbicara."Begini, Yang Mulia. Ini menyangkut Dewi Agung Shima Dahyang yang sudah tertidur selama 1 tahun di Istana Candracaya,” jelas Gandrasatra. “Menurut Sekar Langit diperkirakan Dewi Agung akan terbangun pada hari di mana Yang Mulia menikah.”Embusan napas panjang keluar dari hidung Mandala sebelum mengalihkan perhatian. "Shima Dahyang. Aku tak pernah melihat sang Dewi sebelumnya.""Shima Dewi, memang tak pernah meninggalkan istananya, Yang Mul
Gunung Cakrawarti letaknya berada di langit lapis tujuh. Tak beda jauh dengan pegunungan di bumi, untuk sampai ke sana harus melewati perbukitan terjal, lebih sulit lagi karena terdapat berbagai tanaman hidup yang di antaranya bisa membahayakan nyawa para hyang. Itulah sebabnya sang Atmajaya Wimala meminta agar Larasati berhati-hati."Kalau kau lelah sebaiknya beristirahat,” saran Mandala. Akan tetapi, Larasati justru tersenyum menyikapi. "Aku masih cukup kuat untuk berjalan sampai ke puncak." "Kenapa harus memaksa ikut, padahal bisa beristirahat dengan nyaman di istana?" Sang Dewa heran.Pun Larasati menegaskan, "Bukankankah sudah kukatakan, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.”"Aku berharap itu bukan sesuatu yang lain.” Bibir Mandala membentuk lengkungan.Larasati tersenyum jengah, lantas menolehnya. "Aku hanya Bidadari berstatus rendah, tak mungkin berani menyukaimu.”"Berada dekat denganmu seperti ini, sudah sangat membuatku bahagia, Dewa." "Kita istirahat sebentar,”
Pada saat Larasati membuka mata, dia telah menemukan diri berada di kamar Istana Agnicaya dengan posisi merebah. Pun bidadari itu segera beralih ke posisi duduk seraya memperhatikan sekitar. Sekilas gambaran tentang bagaimana proses pengobatan di lereng Gunung Cakrawarti muncul dalam ingatannya.Bergegas, Larasati turun dari ranjang, lantas melangkah keluar untuk mencari sang Atmajaya Wimala. Tak sengaja, dia bertemu sesosok makhluk abadi yang sedang membawa setumpuk buku."Wening!" serunya.Wening Sari menghentikan langkah, kemudian berjalan menghampirinya. "Laras Dewi." "Apa kau melihat Dewa Mandala?" tanya Larasati.Mata Wening bergerak ke kiri sewaktu menjawab, “Dia baru saja pergi ke aula untuk bertemu para para Dewa Tinggi.”"Haissst.” Desisan Larasati membuat Wening Sari meninggikan alis. "Ada apa, Laras?""Aku tak tau apa yang terjadi, tapi kemarin aku pingsan saat menjalani pengobatan. Jadi ....” Larasati memijat keningnya. Wening Sari sendiri tak bisa menahan untuk tidak
Di Candracaya, sang Atmajaya Wimala melangkah mengikuti Sekar Langit yang menjadi petunjuk jalan. Setelah dewi berpakaian kombinasi putih oranye tersebut menghentikan gerakan tungkai dan berbalik, mereka pun saling berhadapan."Gandasastra Dewa mengatakan, bahwa dia akan menyusul ke Candracaya jika sudah menyelesaikan sastra terbarunya,” kata Sekar Langit yang selalu menjaga sikap.Bibir Mandala membentuk senyuman manis. "Tak masalah, aku bisa sendiri sampai dia datang.""Baiklah, saya akan mengambil dokumen di perpustakaan,” pamit Sekar Langit. “Silakan Dewa menunggu di sini sebentar.”Tanpa menunda lagi, Sekar Langit segera berjalan ke sebuah ruangan, sementara sang Dewa yang tertinggal mengedarkan pandangan ke sekitar, sebelum mengayunkan tungkai menuju taman, di mana terdapat rerumputan hijau serta berbagai tanaman bunga-bunga kayangan.Semula mata indah Mandala hanya terfokus pada kupu-kupu seribu warna yang beterbangan mencari nektar, tetapi kemudian, perhatiannya teralih ketika
Sudah satu bulan Li Jing tinggal di rumah Larasati, tetapi sejak awal kedatangan, dia masih belum bertemu bidadari itu kembali. Yang ada, kini Li Jing menjadi jenuh, apa lagi urusan entertainment juga dikesampingkannya untuk sementara. Berbeda dengan Maylano yang telah terbiasa sendirian tanpa si Nyonya. Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini anak tersebut berpakaian rapi serta mengenakan sepatu."Hei bocah, kau mau pergi ke mana?" tanya Li Jing yang duduk menyilangkan kaki di kursi meja makan.Wajah Maylano begitu tidak ramah saat menjawab, "Bekerja lah, aku bukan pengangguran sepertimu.""Bukannya kau masih sekolah?" Li Jing menatap tak mengerti.Maylano bergedek, lantas membuang muka. "Hanya kalau sif dua." "Bocah, sebenarnya ke mana Larasati?" desak Li Jing."Kenapa? Baru tau?” Maylano meninggikan kedua alis seakan-akan sedang meledek. “Nyonya memang biasa pergi, tapi kau tak perlu khawatir, dalam waktu satu bulan dia pasti kembali." "Sudah aku berangkat kerja dulu, kalau telat
Di pantai, Li Jing dan Maylano berlarian untuk mencari Larasati. Namun, sejauh mata memandang, keduanya tak melihat keberadaan bidadari tersebut. Li Jing menjadi sangat cemas. Lagi-lagi pria berkaus kuning itu berpapasan dengan Maylano yang membungkuk karena kelelahan."Bagaimana?" tanya Li Jing.Napas Maylano masih terengah-engah saat menggeleng dan menjawab, "Tidak ada.”"Ini kedua kalinya nyonya bertarung melawan pria itu. Aku sungguh ingin memukul kepalanya dengan batu!”"Jadi Larasati mempunyai musuh?” pikir Li Jing.Gulungan ombak menyeret tubuh Larasati ke tepi, lantas menggeletakkannya di pasir dalam keadaan tak sadarkan diri. Untung saja Maylano melihatnya dan langsung berlari."Nyonya!"Demikian Li Jing juga segera berbalik sehingga terkejut bukan main. “Larasati!”"Nyonya, bangun, Nyonya!" Maylano berjongkok sembari menepuk-nepuk pipi Larasati, sebelum Li Jing datang dan mengambil alih dengan mengangkat kepala bidadari itu ke dalam pangkuannya."Sati! Sati!”Setelah Li Jing