Sudah satu bulan Li Jing tinggal di rumah Larasati, tetapi sejak awal kedatangan, dia masih belum bertemu bidadari itu kembali. Yang ada, kini Li Jing menjadi jenuh, apa lagi urusan entertainment juga dikesampingkannya untuk sementara. Berbeda dengan Maylano yang telah terbiasa sendirian tanpa si Nyonya. Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini anak tersebut berpakaian rapi serta mengenakan sepatu."Hei bocah, kau mau pergi ke mana?" tanya Li Jing yang duduk menyilangkan kaki di kursi meja makan.Wajah Maylano begitu tidak ramah saat menjawab, "Bekerja lah, aku bukan pengangguran sepertimu.""Bukannya kau masih sekolah?" Li Jing menatap tak mengerti.Maylano bergedek, lantas membuang muka. "Hanya kalau sif dua." "Bocah, sebenarnya ke mana Larasati?" desak Li Jing."Kenapa? Baru tau?” Maylano meninggikan kedua alis seakan-akan sedang meledek. “Nyonya memang biasa pergi, tapi kau tak perlu khawatir, dalam waktu satu bulan dia pasti kembali." "Sudah aku berangkat kerja dulu, kalau telat
Di pantai, Li Jing dan Maylano berlarian untuk mencari Larasati. Namun, sejauh mata memandang, keduanya tak melihat keberadaan bidadari tersebut. Li Jing menjadi sangat cemas. Lagi-lagi pria berkaus kuning itu berpapasan dengan Maylano yang membungkuk karena kelelahan."Bagaimana?" tanya Li Jing.Napas Maylano masih terengah-engah saat menggeleng dan menjawab, "Tidak ada.”"Ini kedua kalinya nyonya bertarung melawan pria itu. Aku sungguh ingin memukul kepalanya dengan batu!”"Jadi Larasati mempunyai musuh?” pikir Li Jing.Gulungan ombak menyeret tubuh Larasati ke tepi, lantas menggeletakkannya di pasir dalam keadaan tak sadarkan diri. Untung saja Maylano melihatnya dan langsung berlari."Nyonya!"Demikian Li Jing juga segera berbalik sehingga terkejut bukan main. “Larasati!”"Nyonya, bangun, Nyonya!" Maylano berjongkok sembari menepuk-nepuk pipi Larasati, sebelum Li Jing datang dan mengambil alih dengan mengangkat kepala bidadari itu ke dalam pangkuannya."Sati! Sati!”Setelah Li Jing
Sewaktu Gandasastra sedang sibuk membaca dokumen di perpustakaan langit, sesosok wanita datang menghampirinya dari arah belakang. Pun Gandasastra langsung berbalik, dia begitu terkejut saat melihat siapa yang ada di hadapan. “Randita Dewi?” “Aku kemari karena ingin bicara denganmu,” kata Randita sembari menatap tajam. Karena merasa tidak enak hati, ketika Gandasastra mengalihkan pandangan, matanya terus berkedip. “Apa yang bisa saya bantu, Dewi?” “Aku tak tahu apakah sedang dipermainkan oleh Dewa Mandala, atau aku sendiri yang sengaja melibatkan diri ke dalam hubungan rumit!” keluh Randita. “Akhir-akhir ini, aku melihatnya makin dekat dengan Laras Dewi. Itu membuatku sangat cemburu!” Bukannya prihatin, Gandasastra justru tertawa kecil. “Sejak awal mereka berdua memang sudah bersahabat, Dewi. Apa mau dikata.” “Itulah alasanku menemuimu,” sahut Randita sehingga Gandasastra menjadi tercengang. “Menurutmu siapakah yang pantas bersama Dewa Mandala, aku atau Laras Dewi?” Seke
Ditemani Gandasastra, Mandala berkeliling Istana Candracaya. Mereka berdua baru saja membahas masalah aturan kayangan yang mengharuskan setiap abadi mengikuti ujian langit untuk mencapai tingkatan lebih tinggi.“Wah, di sini banyak sekali tanaman bunga, pasti Yang Mulia betah tinggal beberapa bulan lagi!” canda Gandasastra.Akan tetapi, Dewa Mandala justru tersenyum menyikapi. “Istana yang dipimpin seorang wanita memang selalu mengagumkan.” “Melihat keindahan Candracaya, saya yakin Shima Dahyang memiliki kecantikan yang luar biasa, Yang Mulia,” pikir Gandasastra sembari memiringkan kepala.Sementara itu, Dewa Mandala menghentikan ayunan tungkai, lantas berbalik ke kanan. “Sebagai Dewa Tinggi Istana Agnicaya, kau terlalu liar saat membayangkannya.” Pun Gandrasastra tertawa kecil karena malu. “Saya tidak bermaksud kurang ajar,” katanya.“Jangan berpikir bahwa Shima Dahyang adalah dewi yang lemah lembut dan selalu bersikap manis. Menurut para dewa di sini, Dewi Agung memiliki begitu p
Dengan penuh semangat Larasati melangkah pada Gandasastra, lantas menyerahkan pusaka cakrakembar di kedua tangannya. Senyum menghiasi wajah bidadari, bahkan matanya kini berbinar-binar.“Luar biasa, Dewi sanggup memenuhi persyaratan yang berat!” puji Gandasastra sembari memperhatikan setiap tempaan dari panah dengan roda bergerigi.Walau merasa kesal, Larasati tetap tersenyum menyikapi. Dia tahu bahwa Gandasastra sengaja menjebaknya agar bertemu Sujatmika, tetapi demi buku takdir sang Atmajaya Wimala, Larasati tidak memprotes.“Semuanya sesuai seperti keinginan Dewa, jadi mohon tepati janji Anda,” pinta bidadari tersebut.“Baiklah.” Setelah menghela napas, Gandasastra mengeluarkan sebuah buku berwarna putih berkilau di tangan kanan, lantas memberikannya pada Larasati yang langsung mengamati bagian sampul.“Dewi bisa melihatnya sekarang.”“Terima kasih, Dewa,” ucap Larasati seraya mengalihkan perhatian pada Gandasastra kembali.Tanpa menunggu lagi, bidadari itu segera melangkah ke sud
Ayunan langkah Larasati begitu cepat ketika berlari melewati jalanan menaik di lereng Gunung Kelud. Setelah menyaksikan kematian Dyah Puspitasari, wanita itu menyadari bahwa cintanya pada Jaka Lelana sudah mengorbankan banyak nyawa sehingga dia memutuskan untuk melakukan yoga brata guna naik langit.Akan tetapi, siapa sangka tiba-tiba Dharmasura terbang turun dan mengadangnya dengan senyum mengerikan. Seketika Larasati pun menghentikan gerakan kaki sembari menatap benci, sebab karena ketamakan Dhamasura Istana Panjalu menjadi runtuh.“Laras Kencana, calon permaisuriku, ikutlah denganku, Dewi,” bujuk Dharmasura yang mengulurkan tangan. “Kau akan hidup tenang, aku akan memberimu kemewahan Istana Karpala.”“Tidak. Sampai kapan pun aku tak akan sudi!” tampik Larasati. “Jangan pernah bermimpi Dharmasura!”“Jangan memaksaku untuk bertindak kejam, Tuan Putri. Aku tau kau tak menyukai kekerasan,” pinta Dharmasura.“Ikutlah bersamaku, Dewi. Karena hanya akulah satu-satunya tempat terbaik yang
Ketika sedang berjalan-jalan di kolam, pandangan sang Atmajaya Wimala menangkap padma yang tumbuh sendirian dalam wadah khusus. Sejenak pria itu menghentikan langkah. Lalu karena terpesona dengan keindahan bunga, perlahan tangannya bergerak menyentuh ujung kelopak. Namun, siapa sangka teratai putih begitu tajam sehingga seketika jari telunjuk Mandala tersayat. Bergegas, dia menarik tangan, meski begitu tetesan darah tetap jatuh ke air, lantas terisap oleh padma.Sang Dewa tak sempat melihat itu sebab lebih serius memperhatikan bagian yang cedera. Lukanya memang tidak parah, tetapi terasa mengiris hati. Tiba-tiba Mandala khawatir akan sesuatu, sampai-sampai segera beralih fokus pada teratai putih kembali.***Sementara itu, buku takdir masih terbuka dan menyajikan halaman akhir dari kisah perjalanan hidup sang Atmajaya Wimala selama menjadi Jaka Lelana. Walau Larasati sudah tak sanggup lagi, juga harus melihatnya, sampai-sampai air mata mengalir deras ke pipinya mengiringi kekecewaan
Dengan penuh kekecewaan, Larasati berlari keluar dari ruangan. Air mata tak henti mengalir ke pipinya, seakan-akan menyiratkan kekacauan jiwa yang sedang melanda sejak mengetahui kesejatian sang Atmajaya Wimala. Karena merasa kasihan Gandasastra sampai menghela napas panjang saat melihat kepergian bidadari tersebut. Walau begitu, sang Dewa tak memiliki wewenang untuk menentukan jodoh para abadi, sebab masalah hati adalah urusan masing-masing yang tak mungkin lagi dapat dicampuri atau diubah seperti karya dalam sebuah sastra. Sepenuhnya, Gandasastra hanya bisa berharap agar sang Dewi mampu menerima kenyataan pahit dalam hidup ini. *** Pada saat Mandala sedang mendiskusikan sesuatu dengan para dewa di aula, tiba-tiba Larasati datang menghampirinya. Kepiluan masih tersirat jelas dari ekspresi wajah bidadari tersebut sehingga semua yang hadir menjadi terkejut. Setelah saling menoleh, mereka menunduk dan undur diri, terkecuali sang Atmajaya Wimala sendiri. Sejenak kedua pasang mata sa
Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul
Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye
Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra
Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya
Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har
Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya
Sembari duduk pada sebuah batu kristal, Shima Dahyang mengelus puncak kepala harimau putih yang sedang menunjukkan sikap manja. Matanya begitu teduh ketika beralih memperhatikan sekitar, di mana banyak pantulan cahaya putih menembus Taman Arutala. Meski meski sekian lama tak dapat singgah untuk menenangkan diri seperti sekarang, dia seakan-akan tak merasakan adanya perubahan. Perlahan, sang Dewi Agung berdiri, lantas berjalan ke tengah-tengah sehingga bayangan dirinya tergambar jelas pada lantai sebening air. Pandangannya memang tertuju pada langit-langit, tetapi ingatannya menerawang ke masa-masa sulit kala hidup sebagai manusia fana. Kutukan raja asura berkepala kambing memang menjadi kenyataan, Shima Dahyang mengalami penderitaan sewaktu menjalani kehidupan Larasati yang jatuh cinta kepada Jaka Lelana, bahkan hingga berstatus abadi pun masih dipermainkan oleh sang Atmajaya Wimala. Itulah alasan mengapa wanita tersebut tak mengambil sikap setelah kembali menemukan kesejatian dir
Begitu menyakitkannya hidup yang Larasati alami, cinta telah membuatnya terluka hingga begitu dalam. Walau terpuruk, kali kini, dia sudah mengikhlas apa yang terjadi, bahkan berniat melepas segala keterikatan duniawi. Setiap langkah pada perbukitan terjal menuju puncak gunung kian pasti, hatinya mantap untuk menyerahkan semua masalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada takdir yang bisa ditolak, tetapi yoga brata bisa membawa siapa saja menuju kedamaian, meski harus lenyap dari semesta alam. Dari kejauhan, Li Jing menatap kepergian bidadari itu untuk selamanya. Memang berat jika dia harus melepas si sahabat, sayangnya Larasati kukuh pada pendirian sehingga pria tersebut tak mampu menghentikannya. Maylano demikian, anak itu sungguh tidak menginginkan nyonyanya pergi secepat ini. Namun, bagaimanapun dia mengerti bahwa penderitaan cinta Larasati begitu dalam, mau tak mau Maylano harus membiarkannya memutuskan jalan demi menemukan kebahagiaan. "Hei, bocah, pergilah denganku ke China, a
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca