Di pantai, Li Jing dan Maylano berlarian untuk mencari Larasati. Namun, sejauh mata memandang, keduanya tak melihat keberadaan bidadari tersebut. Li Jing menjadi sangat cemas. Lagi-lagi pria berkaus kuning itu berpapasan dengan Maylano yang membungkuk karena kelelahan."Bagaimana?" tanya Li Jing.Napas Maylano masih terengah-engah saat menggeleng dan menjawab, "Tidak ada.”"Ini kedua kalinya nyonya bertarung melawan pria itu. Aku sungguh ingin memukul kepalanya dengan batu!”"Jadi Larasati mempunyai musuh?” pikir Li Jing.Gulungan ombak menyeret tubuh Larasati ke tepi, lantas menggeletakkannya di pasir dalam keadaan tak sadarkan diri. Untung saja Maylano melihatnya dan langsung berlari."Nyonya!"Demikian Li Jing juga segera berbalik sehingga terkejut bukan main. “Larasati!”"Nyonya, bangun, Nyonya!" Maylano berjongkok sembari menepuk-nepuk pipi Larasati, sebelum Li Jing datang dan mengambil alih dengan mengangkat kepala bidadari itu ke dalam pangkuannya."Sati! Sati!”Setelah Li Jing
Sewaktu Gandasastra sedang sibuk membaca dokumen di perpustakaan langit, sesosok wanita datang menghampirinya dari arah belakang. Pun Gandasastra langsung berbalik, dia begitu terkejut saat melihat siapa yang ada di hadapan. “Randita Dewi?” “Aku kemari karena ingin bicara denganmu,” kata Randita sembari menatap tajam. Karena merasa tidak enak hati, ketika Gandasastra mengalihkan pandangan, matanya terus berkedip. “Apa yang bisa saya bantu, Dewi?” “Aku tak tahu apakah sedang dipermainkan oleh Dewa Mandala, atau aku sendiri yang sengaja melibatkan diri ke dalam hubungan rumit!” keluh Randita. “Akhir-akhir ini, aku melihatnya makin dekat dengan Laras Dewi. Itu membuatku sangat cemburu!” Bukannya prihatin, Gandasastra justru tertawa kecil. “Sejak awal mereka berdua memang sudah bersahabat, Dewi. Apa mau dikata.” “Itulah alasanku menemuimu,” sahut Randita sehingga Gandasastra menjadi tercengang. “Menurutmu siapakah yang pantas bersama Dewa Mandala, aku atau Laras Dewi?” Seke
Ditemani Gandasastra, Mandala berkeliling Istana Candracaya. Mereka berdua baru saja membahas masalah aturan kayangan yang mengharuskan setiap abadi mengikuti ujian langit untuk mencapai tingkatan lebih tinggi.“Wah, di sini banyak sekali tanaman bunga, pasti Yang Mulia betah tinggal beberapa bulan lagi!” canda Gandasastra.Akan tetapi, Dewa Mandala justru tersenyum menyikapi. “Istana yang dipimpin seorang wanita memang selalu mengagumkan.” “Melihat keindahan Candracaya, saya yakin Shima Dahyang memiliki kecantikan yang luar biasa, Yang Mulia,” pikir Gandasastra sembari memiringkan kepala.Sementara itu, Dewa Mandala menghentikan ayunan tungkai, lantas berbalik ke kanan. “Sebagai Dewa Tinggi Istana Agnicaya, kau terlalu liar saat membayangkannya.” Pun Gandrasastra tertawa kecil karena malu. “Saya tidak bermaksud kurang ajar,” katanya.“Jangan berpikir bahwa Shima Dahyang adalah dewi yang lemah lembut dan selalu bersikap manis. Menurut para dewa di sini, Dewi Agung memiliki begitu p
Dengan penuh semangat Larasati melangkah pada Gandasastra, lantas menyerahkan pusaka cakrakembar di kedua tangannya. Senyum menghiasi wajah bidadari, bahkan matanya kini berbinar-binar.“Luar biasa, Dewi sanggup memenuhi persyaratan yang berat!” puji Gandasastra sembari memperhatikan setiap tempaan dari panah dengan roda bergerigi.Walau merasa kesal, Larasati tetap tersenyum menyikapi. Dia tahu bahwa Gandasastra sengaja menjebaknya agar bertemu Sujatmika, tetapi demi buku takdir sang Atmajaya Wimala, Larasati tidak memprotes.“Semuanya sesuai seperti keinginan Dewa, jadi mohon tepati janji Anda,” pinta bidadari tersebut.“Baiklah.” Setelah menghela napas, Gandasastra mengeluarkan sebuah buku berwarna putih berkilau di tangan kanan, lantas memberikannya pada Larasati yang langsung mengamati bagian sampul.“Dewi bisa melihatnya sekarang.”“Terima kasih, Dewa,” ucap Larasati seraya mengalihkan perhatian pada Gandasastra kembali.Tanpa menunggu lagi, bidadari itu segera melangkah ke sud
Ayunan langkah Larasati begitu cepat ketika berlari melewati jalanan menaik di lereng Gunung Kelud. Setelah menyaksikan kematian Dyah Puspitasari, wanita itu menyadari bahwa cintanya pada Jaka Lelana sudah mengorbankan banyak nyawa sehingga dia memutuskan untuk melakukan yoga brata guna naik langit.Akan tetapi, siapa sangka tiba-tiba Dharmasura terbang turun dan mengadangnya dengan senyum mengerikan. Seketika Larasati pun menghentikan gerakan kaki sembari menatap benci, sebab karena ketamakan Dhamasura Istana Panjalu menjadi runtuh.“Laras Kencana, calon permaisuriku, ikutlah denganku, Dewi,” bujuk Dharmasura yang mengulurkan tangan. “Kau akan hidup tenang, aku akan memberimu kemewahan Istana Karpala.”“Tidak. Sampai kapan pun aku tak akan sudi!” tampik Larasati. “Jangan pernah bermimpi Dharmasura!”“Jangan memaksaku untuk bertindak kejam, Tuan Putri. Aku tau kau tak menyukai kekerasan,” pinta Dharmasura.“Ikutlah bersamaku, Dewi. Karena hanya akulah satu-satunya tempat terbaik yang
Ketika sedang berjalan-jalan di kolam, pandangan sang Atmajaya Wimala menangkap padma yang tumbuh sendirian dalam wadah khusus. Sejenak pria itu menghentikan langkah. Lalu karena terpesona dengan keindahan bunga, perlahan tangannya bergerak menyentuh ujung kelopak. Namun, siapa sangka teratai putih begitu tajam sehingga seketika jari telunjuk Mandala tersayat. Bergegas, dia menarik tangan, meski begitu tetesan darah tetap jatuh ke air, lantas terisap oleh padma.Sang Dewa tak sempat melihat itu sebab lebih serius memperhatikan bagian yang cedera. Lukanya memang tidak parah, tetapi terasa mengiris hati. Tiba-tiba Mandala khawatir akan sesuatu, sampai-sampai segera beralih fokus pada teratai putih kembali.***Sementara itu, buku takdir masih terbuka dan menyajikan halaman akhir dari kisah perjalanan hidup sang Atmajaya Wimala selama menjadi Jaka Lelana. Walau Larasati sudah tak sanggup lagi, juga harus melihatnya, sampai-sampai air mata mengalir deras ke pipinya mengiringi kekecewaan
Dengan penuh kekecewaan, Larasati berlari keluar dari ruangan. Air mata tak henti mengalir ke pipinya, seakan-akan menyiratkan kekacauan jiwa yang sedang melanda sejak mengetahui kesejatian sang Atmajaya Wimala. Karena merasa kasihan Gandasastra sampai menghela napas panjang saat melihat kepergian bidadari tersebut. Walau begitu, sang Dewa tak memiliki wewenang untuk menentukan jodoh para abadi, sebab masalah hati adalah urusan masing-masing yang tak mungkin lagi dapat dicampuri atau diubah seperti karya dalam sebuah sastra. Sepenuhnya, Gandasastra hanya bisa berharap agar sang Dewi mampu menerima kenyataan pahit dalam hidup ini. *** Pada saat Mandala sedang mendiskusikan sesuatu dengan para dewa di aula, tiba-tiba Larasati datang menghampirinya. Kepiluan masih tersirat jelas dari ekspresi wajah bidadari tersebut sehingga semua yang hadir menjadi terkejut. Setelah saling menoleh, mereka menunduk dan undur diri, terkecuali sang Atmajaya Wimala sendiri. Sejenak kedua pasang mata sa
Seakan-akan seperti mengulang masa lalu, sang Atmajaya Wimala duduk di samping Larasati yang telah direbahkan pada kasur awan. Dengan kekuatan adikodrati, pria tersebut mengarahkan tangan kanan sehingga perlahan darah merah Sujatmika tertarik keluar melalui mulut Larasati, lantas melayang di udara. Namun, setelah membuangnya ke sembarang arah, Mandala justru terbatuk-batuk sampai percikan cairan berwarna putih melekat pada telapak tangannya. Selain menahan nyeri di dada, pandangan Mandala sedikit kabur, walau begitu tetap memutuskan berdiri dan melangkah pergi. Sesaat kemudian, Larasati membuka mata sampai-sampaiterkejut ketika menemukan diri sedang berada di Taman Asmaradahana. Bergegas bidadari itu beralih ke posisi duduk. Saat bola matanya bergerak memindai ke sekitar, dia melihat darah merah yang membekas pada lantai awan. Sejenak pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi sewaktu diculik Sujatmika, sebelum mengalihkan perhatian dan malah menemukan berca