Ketika Mandala sedang membaca sebuah dokumen, Tantramana–dewa acara–datang menghampirinya bersama Gandasastra di sebelahnya. Mereka berdua menunduk sembari menyatukan kedua telapak tangan."Yang Mulia, persiapan pesta pada hari pernikahan Yang Mulia telah selesai, hanya saja ada sedikit masalah," ungkap Tantramana sampai-sampai Mandala langsung mengalihkan perhatian padanya.Akan terapi, Tantramana canggung dan justru menoleh Gandasastra. Untungnya sang Dewa Sastrawan mengerti arti tatapan mata si kawan yang menegaskan agar membantu untuk berbicara."Begini, Yang Mulia. Ini menyangkut Dewi Agung Shima Dahyang yang sudah tertidur selama 1 tahun di Istana Candracaya,” jelas Gandrasatra. “Menurut Sekar Langit diperkirakan Dewi Agung akan terbangun pada hari di mana Yang Mulia menikah.”Embusan napas panjang keluar dari hidung Mandala sebelum mengalihkan perhatian. "Shima Dahyang. Aku tak pernah melihat sang Dewi sebelumnya.""Shima Dewi, memang tak pernah meninggalkan istananya, Yang Mul
Gunung Cakrawarti letaknya berada di langit lapis tujuh. Tak beda jauh dengan pegunungan di bumi, untuk sampai ke sana harus melewati perbukitan terjal, lebih sulit lagi karena terdapat berbagai tanaman hidup yang di antaranya bisa membahayakan nyawa para hyang. Itulah sebabnya sang Atmajaya Wimala meminta agar Larasati berhati-hati."Kalau kau lelah sebaiknya beristirahat,” saran Mandala. Akan tetapi, Larasati justru tersenyum menyikapi. "Aku masih cukup kuat untuk berjalan sampai ke puncak." "Kenapa harus memaksa ikut, padahal bisa beristirahat dengan nyaman di istana?" Sang Dewa heran.Pun Larasati menegaskan, "Bukankankah sudah kukatakan, aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.”"Aku berharap itu bukan sesuatu yang lain.” Bibir Mandala membentuk lengkungan.Larasati tersenyum jengah, lantas menolehnya. "Aku hanya Bidadari berstatus rendah, tak mungkin berani menyukaimu.”"Berada dekat denganmu seperti ini, sudah sangat membuatku bahagia, Dewa." "Kita istirahat sebentar,”
Pada saat Larasati membuka mata, dia telah menemukan diri berada di kamar Istana Agnicaya dengan posisi merebah. Pun bidadari itu segera beralih ke posisi duduk seraya memperhatikan sekitar. Sekilas gambaran tentang bagaimana proses pengobatan di lereng Gunung Cakrawarti muncul dalam ingatannya.Bergegas, Larasati turun dari ranjang, lantas melangkah keluar untuk mencari sang Atmajaya Wimala. Tak sengaja, dia bertemu sesosok makhluk abadi yang sedang membawa setumpuk buku."Wening!" serunya.Wening Sari menghentikan langkah, kemudian berjalan menghampirinya. "Laras Dewi." "Apa kau melihat Dewa Mandala?" tanya Larasati.Mata Wening bergerak ke kiri sewaktu menjawab, “Dia baru saja pergi ke aula untuk bertemu para para Dewa Tinggi.”"Haissst.” Desisan Larasati membuat Wening Sari meninggikan alis. "Ada apa, Laras?""Aku tak tau apa yang terjadi, tapi kemarin aku pingsan saat menjalani pengobatan. Jadi ....” Larasati memijat keningnya. Wening Sari sendiri tak bisa menahan untuk tidak
Di Candracaya, sang Atmajaya Wimala melangkah mengikuti Sekar Langit yang menjadi petunjuk jalan. Setelah dewi berpakaian kombinasi putih oranye tersebut menghentikan gerakan tungkai dan berbalik, mereka pun saling berhadapan."Gandasastra Dewa mengatakan, bahwa dia akan menyusul ke Candracaya jika sudah menyelesaikan sastra terbarunya,” kata Sekar Langit yang selalu menjaga sikap.Bibir Mandala membentuk senyuman manis. "Tak masalah, aku bisa sendiri sampai dia datang.""Baiklah, saya akan mengambil dokumen di perpustakaan,” pamit Sekar Langit. “Silakan Dewa menunggu di sini sebentar.”Tanpa menunda lagi, Sekar Langit segera berjalan ke sebuah ruangan, sementara sang Dewa yang tertinggal mengedarkan pandangan ke sekitar, sebelum mengayunkan tungkai menuju taman, di mana terdapat rerumputan hijau serta berbagai tanaman bunga-bunga kayangan.Semula mata indah Mandala hanya terfokus pada kupu-kupu seribu warna yang beterbangan mencari nektar, tetapi kemudian, perhatiannya teralih ketika
Sudah satu bulan Li Jing tinggal di rumah Larasati, tetapi sejak awal kedatangan, dia masih belum bertemu bidadari itu kembali. Yang ada, kini Li Jing menjadi jenuh, apa lagi urusan entertainment juga dikesampingkannya untuk sementara. Berbeda dengan Maylano yang telah terbiasa sendirian tanpa si Nyonya. Seperti hari-hari sebelumnya, sore ini anak tersebut berpakaian rapi serta mengenakan sepatu."Hei bocah, kau mau pergi ke mana?" tanya Li Jing yang duduk menyilangkan kaki di kursi meja makan.Wajah Maylano begitu tidak ramah saat menjawab, "Bekerja lah, aku bukan pengangguran sepertimu.""Bukannya kau masih sekolah?" Li Jing menatap tak mengerti.Maylano bergedek, lantas membuang muka. "Hanya kalau sif dua." "Bocah, sebenarnya ke mana Larasati?" desak Li Jing."Kenapa? Baru tau?” Maylano meninggikan kedua alis seakan-akan sedang meledek. “Nyonya memang biasa pergi, tapi kau tak perlu khawatir, dalam waktu satu bulan dia pasti kembali." "Sudah aku berangkat kerja dulu, kalau telat
Di pantai, Li Jing dan Maylano berlarian untuk mencari Larasati. Namun, sejauh mata memandang, keduanya tak melihat keberadaan bidadari tersebut. Li Jing menjadi sangat cemas. Lagi-lagi pria berkaus kuning itu berpapasan dengan Maylano yang membungkuk karena kelelahan."Bagaimana?" tanya Li Jing.Napas Maylano masih terengah-engah saat menggeleng dan menjawab, "Tidak ada.”"Ini kedua kalinya nyonya bertarung melawan pria itu. Aku sungguh ingin memukul kepalanya dengan batu!”"Jadi Larasati mempunyai musuh?” pikir Li Jing.Gulungan ombak menyeret tubuh Larasati ke tepi, lantas menggeletakkannya di pasir dalam keadaan tak sadarkan diri. Untung saja Maylano melihatnya dan langsung berlari."Nyonya!"Demikian Li Jing juga segera berbalik sehingga terkejut bukan main. “Larasati!”"Nyonya, bangun, Nyonya!" Maylano berjongkok sembari menepuk-nepuk pipi Larasati, sebelum Li Jing datang dan mengambil alih dengan mengangkat kepala bidadari itu ke dalam pangkuannya."Sati! Sati!”Setelah Li Jing
Sewaktu Gandasastra sedang sibuk membaca dokumen di perpustakaan langit, sesosok wanita datang menghampirinya dari arah belakang. Pun Gandasastra langsung berbalik, dia begitu terkejut saat melihat siapa yang ada di hadapan. “Randita Dewi?” “Aku kemari karena ingin bicara denganmu,” kata Randita sembari menatap tajam. Karena merasa tidak enak hati, ketika Gandasastra mengalihkan pandangan, matanya terus berkedip. “Apa yang bisa saya bantu, Dewi?” “Aku tak tahu apakah sedang dipermainkan oleh Dewa Mandala, atau aku sendiri yang sengaja melibatkan diri ke dalam hubungan rumit!” keluh Randita. “Akhir-akhir ini, aku melihatnya makin dekat dengan Laras Dewi. Itu membuatku sangat cemburu!” Bukannya prihatin, Gandasastra justru tertawa kecil. “Sejak awal mereka berdua memang sudah bersahabat, Dewi. Apa mau dikata.” “Itulah alasanku menemuimu,” sahut Randita sehingga Gandasastra menjadi tercengang. “Menurutmu siapakah yang pantas bersama Dewa Mandala, aku atau Laras Dewi?” Seke
Ditemani Gandasastra, Mandala berkeliling Istana Candracaya. Mereka berdua baru saja membahas masalah aturan kayangan yang mengharuskan setiap abadi mengikuti ujian langit untuk mencapai tingkatan lebih tinggi.“Wah, di sini banyak sekali tanaman bunga, pasti Yang Mulia betah tinggal beberapa bulan lagi!” canda Gandasastra.Akan tetapi, Dewa Mandala justru tersenyum menyikapi. “Istana yang dipimpin seorang wanita memang selalu mengagumkan.” “Melihat keindahan Candracaya, saya yakin Shima Dahyang memiliki kecantikan yang luar biasa, Yang Mulia,” pikir Gandasastra sembari memiringkan kepala.Sementara itu, Dewa Mandala menghentikan ayunan tungkai, lantas berbalik ke kanan. “Sebagai Dewa Tinggi Istana Agnicaya, kau terlalu liar saat membayangkannya.” Pun Gandrasastra tertawa kecil karena malu. “Saya tidak bermaksud kurang ajar,” katanya.“Jangan berpikir bahwa Shima Dahyang adalah dewi yang lemah lembut dan selalu bersikap manis. Menurut para dewa di sini, Dewi Agung memiliki begitu p