Di Nusa Kancana, sewaktu Madubrangta tengah serius mendiskusikan masalah politik bersama dua pejabat tinggi istana, seorang rakyan demang datang menghadap dengan posisi berlutut sebelah kaki sembari menunduk dan menyatukan kedua telapak tangan. "Lapor, Yang Mulia. Raja Sewunagara telah tewas,” kata pria berpakaian putih keemasan tersebut. “Penyusup bernama Jayengsari membunuhnya pada pesta penjamuan Pejabat Parang Kancana." Perlahan mata Madubrangta menyipit. "Siapa Jayengsari? Kenapa dia membunuh Sewunagara?" tanya Madubrangta.” "Dari yang saya ketahui, pemuda ini melakukan penyerangan, atas nama ketidakadilan, Yang Mulia. Jayengsari bukan hanya menghabisi Raja Sewunagara, tetapi juga merebut takhta Kerajaan Parang Kancana," jelas demang tersebut. Pun sang Raja Wanita mengalihkan pandangan ke depan. "Apa Parang Kancana masih ingin berperang melawan kita?" "Benar, Yang Mulia. Raja Jayengsari telah mengirimkan pesan agar kita menyerah dan tunduk di bawah kepemimpinan mereka.”
Pagi baru saja menjelang, meski begitu, Larasati sudah bergandengan tangan dengan Aji Dharma. Rencananya, mereka akan pergi ke hutan untuk berburu. Namun, baru saja keduanya ke luar dari istana, Jaya Amijaya telah berdiri mengadang di halaman.Pun Larasati dan Aji Dharma menghentikan ayunan tungkai masing-masing. Sejenak mereka berdua saling menoleh karena tak mengerti, sebelum terfokus kembali pada Jaya Amijaya yang juga menatap tajam."Hari ini giliranku yang akan mengajarimu,” kata sang Pangeran. “Ayo ikut Paman." Mau tidak mau, Aji Dharma harus patuh. Dia terpaksa melepas tangannya dari Larasati, lalu berjalan menghampiri Jaya Amijaya. Paman dan keponakan itu pun segera melangkah menuju taman berlatih. "Sayang sekali, hari ini Aji harus belajar dengan Kak Jaya!" sindir Sasanti yang datang dari arah belakang.Sikap Larasati begitu angkuh saat menimpali, "Masih ada hari besok, kau tidak perlu meledekku.”"Besok dia akan belajar denganku,” tangkas Sasanti. Seketika Larasati terse
Seperti hari-hari sebelumnya, setiap pagi Larasati selalu sibuk bermain Larasati dengan Aji Dharma. Namun, kali ini dia tak sendiri di taman putri. Ada Sasanti yang hanya duduk menyimak canda tawa mereka, sementara Pramesti baru datang sembari membawakan minuman.Sebelum mereka sempat mengobrol kembali, Sarweswara datang sehingga ketiganya langsung mengalihkan perhatian pada pria berpakaian ningrat tersebut."Kahuripan mendapat undangan jamuan dari Bedahulu,” kata sang Raja. “Aku harap, di antara kalian tidak ada yang keberatan untuk ikut bersamaku, karena dalam pertemuan ini Bedahulu dan Kahuripan akan mengenalkan putra putri dari kedua kerajaan. Mungkin Pangeran Inu Kertapati juga akan datang."Pramesti meletakkan nampan berisi gelas ke meja batu, lalu menghela napas panjang. "Aku tidak akan ikut, sebaiknya dengan yang lain saja,” tolaknya."Tidak masalah, aku mengerti,” sahut Sarweswara. Lalu dia beralih menatap Sasanti."Kau dan Jaya Amijaya harus ada di sana, kalian sangat berper
Setelah melakukan perjalanan lebih dari dua hari, akhirnya, rombongan keluarga Kerajaan Kahuripan tiba di Bedahulu. Pun Sarweswara beserta Jaya Amijaya, Sasanti, Larasati, dan Aji Dharma segera turun dari kereta.Raja Kerajaan Pejeng–Sri Jayasakti–menyambut mereka di halaman istana. Ketika Sarweswara melangkah menghampirinya, pria bertubuh tegap itu langsung menyatukan kedua telapak tangan sembari menunduk. Sebaliknya sikap yang dilakukan Sarweswara setelah menghentikan gerakan kaki. "Selamat datang di Bedahulu saudaraku,” ucap Sri Jayasakti. “Suatu kehormatan bagiku, karena kau datang memenuhi undangan kerabatmu ini.”"Bagaimana aku bisa menolak, negerimu sangat asri, bahkan kau sudah melihatnya sendiri, aku membawa adik-adikku untuk berlibur," balas Sarweswara yang lantas menoleh Jaya Amijaya, Sasanti, Larasati, dan Aji Dharma di akhir perkataan.Seketika Sri Jayasakti terkekeh, "Raja memang pandai memuji." "Mari silakan masuk, kalian harus beristirahat."Kedua Raja melangkah lebi
Di Karpala, Jaka Lelana baru saja menulis surat. Anehnya, sewaktu lontar digulung justru seketika menghilang di kedua telapak tangannya. Pada saat yang sama, Dyah Puspitasari memasuki kediaman sehingga Jaka Lelana langsung menolehnya yang berdiri di depan pintu."Pangeran masih belum tidur?" tanya Dyah Puspitasari."Aku baru saja memeriksa beberapa berkas istana,” jawab sang Pangeran dengan ciri khas sosoknya yang pendiam dan selalu terlihat begitu tenang. "Malam-malam datang kemari, apa ada yang mengganggu pikiranmu?" Pandangan mata Dyah Puspitasari tak beralih dari pria berbeskap cokelat tersebut, bahkan ketika mengayunkan tungkai kembali. “Aku hanya ingin mengunjungimu, Pangeran.”"Duduklah!" perintah Jaka Lelana sembari menepuk tikar pandan pada lantai sehingga Dyah Puspitasari pun langsung duduk bersimpuh di sampingnya."Jangan menatapku seperti itu!" Perlahan jemari tangan Dyah Puspitasari bergerak menyentuh wajah Jaka Lelana, sedangkan sang Pangeran sendiri hanya terdiam. T
Suasana terang bulan begitu indah menerangi Bedahulu, pun kerlap-kerlip bintang bertaburan di langit. Ketika itu, Larasari sedang berdiri di teras pendapa sembari menatap kosong. Sunyi dan sepinya malam seolah-seolah telah menyatu dalam kehampaan hatinya yang bagai pemakaman.Perlahan Larasati mengarahkan tangan ke langit. Andai saja bisa, dia ingin menggapai bulan untuk menerangi jiwanya yang gelap. Semenjak Jaka Lelana memilih Dyah Puspitasari, Larasati hilang semangat hidup. Dia tak ubahnya mayat hidup, tanpa rasa, tanpa cinta, tanpa warna.Tangisnya tanpa air mata, cukup diam membisu menikmati sakitnya patah hati serta menahan perihnya luka. Dalam sekejap semua mimpi indah bersama Jaka Lelana sirna dari angan-angannya, berganti dengan kekacauan tak berujung.Pada saat Larasati larut dalam lamunan, Panji Asmara Bangun menghentikan di belakang wanita tersebut, kemudian tersenyum menyikapi."Apa bulan memang begitu menarik bagi para wanita hingga mereka ingin meraihnya?" ledek sang P
Setelah tujuh hari koma, akhirnya Sekartaji membuka mata. Tentu saja dia terkejut begitu menemukan diri berada di sebuah ruang pengobatan, sampai-sampai langsung bangkit dari ranjang tempatnya merebah, sebelum perlahan mulai mengingat tentang pertarungan sengit melawan Panji Asmara Bangun di medan perang.Sewaktu sadar jika pakaiannya telah diganti, wanita itu menoleh ke meja. Hanya ada pedangnya di sana. Yang tak terduga saat hendak meraihnya, sesosok pria bergerak cepat menyambar tangan wanita tersebut sehingga dia langsung mengalihkan perhatian."Kenapa kau lakukan ini, menyembunyikan identitasmu dan membuatku melawanmu?" tanya Panji Asmara Bangun.Akan tetapi, Sekartaji justru menatap benci sang Panji lantas menarik tangan kuat-kuat. "Lepas!""Kau lupa, Pangeran, kaulah yang menghianatiku dengan menikahi Anggraeni di belakangku!""Aku tidak sedang menguji cintamu, tapi aku ingin membunuhmu, jadi berhenti menjelaskan apa pun!”"Kalau begitu lakukanlah," pinta Panji seraya meregangk
Ketika Mandala sedang membaca sebuah dokumen, Tantramana–dewa acara–datang menghampirinya bersama Gandasastra di sebelahnya. Mereka berdua menunduk sembari menyatukan kedua telapak tangan."Yang Mulia, persiapan pesta pada hari pernikahan Yang Mulia telah selesai, hanya saja ada sedikit masalah," ungkap Tantramana sampai-sampai Mandala langsung mengalihkan perhatian padanya.Akan terapi, Tantramana canggung dan justru menoleh Gandasastra. Untungnya sang Dewa Sastrawan mengerti arti tatapan mata si kawan yang menegaskan agar membantu untuk berbicara."Begini, Yang Mulia. Ini menyangkut Dewi Agung Shima Dahyang yang sudah tertidur selama 1 tahun di Istana Candracaya,” jelas Gandrasatra. “Menurut Sekar Langit diperkirakan Dewi Agung akan terbangun pada hari di mana Yang Mulia menikah.”Embusan napas panjang keluar dari hidung Mandala sebelum mengalihkan perhatian. "Shima Dahyang. Aku tak pernah melihat sang Dewi sebelumnya.""Shima Dewi, memang tak pernah meninggalkan istananya, Yang Mul