"Ya, ini chat mereka ada," ucapku dengan suara lirih dan kepala tertunduk.Seketika Puja menarik ponsel di tangan dan langsung mencocokkan dengan ponsel suaminya. Dia menutup mulut, mungkin tidak menyangkan, sebab chat itu sangat-sangat mesrah. Apalagi di sana mereka membahas usaha bersama. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, entahlah kenapa selama ini tidak menyadari."Jahat kamu, Mas. Penipu!" makinya pada sang suami.Ruangan menjadi riuh, mengetahui kebenarannya. Warga yang kesal tidak segan-segan menoyor kepala lelaki yang duduk diam itu.Beberapa warga juga mengambil kursi sofa, lalu melemparkan pada istriku. Aku mencegah? Tidak, mereka mewakili apa yang ingin kulakukan, tetapi tidak kuasa kulakukan karena dia wanita yang sangat aku cintai dan masih istriku. Meskipun menorekan luka teramat dalam, aku sangat sayang padanya. Sedari dulu duniaku hanya ada dua wanita yaitu Ibu dan Mbak Santi. Ibu sempat khawatir aku punya kelainan karena tidak pernah membawa wanita ke rumah, sebena
Pak RT dan warga pulang, meski tatapan warga tadi terlihat kecewa karena belum tahu akhir dari drama siang ini. Biarlah, lagipula aku tidak ingin rumah tanggaku menjadi konsumsi publik. Sudah cukup malu beberapa warga menceritakan keburukan wanita yang masih menjadi istriku. Dan, keadaan Ibu jauh lebih penting sekarang. Juga aku harus menyiapkan mental untuk nanti malam, sudah bisa di pastikan jika akan banyak menguras tenaga.Sekarang aku berdiam diri di kamar guna menemani Ibu yang masih lemas. Ada juga Laila duduk di ujung ranjang dekat kaki Ibu. Tangannya masih setia memijat bagian kaki dengan kepala tertunduk. Mungkin itu bentuk permintaan maafnya setelah apa yang dia lakukan, tetapi rasanya tidak semudah itu memberi maaf.Tidak ada obrolan di antara kami, hanya deru napas masing-masing dari kami yang terdengar.Sedangkan mertuaku sedari tadi sibuk mengurus Ahmad. Anak itu tumben sekali tidak rewel, padahal biasanya jika aku di rumah selalu saja menempel seperti perangko. Mungkin
"Mi, aku nggak mau kita pisah. Aku nggak mau! Aku janji nggak bakal buat kayak gini lagi. Aku janji!" Arman mengangkat tangan, lalu membentuk jari dengan huruf V sembari terus memohon di hadapan Puja.Lantas Laila yang berada di sampingku terlihat membuang muka. Apakah istriku cemburu? Jika iya, tentu rasa yang selama ini dia berikan padaku hanya kepalsuan."Dulu kamu juga gitu. Tapi, nyatanya sekarang apa? Udah kalau kamu mau nikah sama selingkuhan kamu, aku persilahkan." Puja beranjak, lalu berpamitan pada kami semua lantas meninggalkan rumah, meski Arman sudah mencegahnya.Haruskah aku melakukan hal yang sama seperti yang Puja lakukan? Entahlah aku masih dilema antara berpisah atau bertahan."Arman jangan pergi! Ini belum selesai," ucap Pak RT menghentikan langkah Arman yang ingin mengejar istrinya."Tapi, saya udah nggak ada urusan lagi.""Duduk kamu!" Suara Paman Ardi meninggi hingga membuat kami semua terjingkat. Terpaksa Arman duduk kembali, sepertinya dia takut dengan wajah
POV AuthorMenepi dan menyendiri kini Hendra lakukan untuk menyembuhkan luka lama yang sepertinya sengaja disiram air garam, kembali mengangah dan perih hingga kerelung hati. Di balkon dia habiskan malam sembari menyesap teh yang baru saja dibuat. Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu."B*****h awas kau!" Bugh!Bugh!Arman dan Ardi terlibat perkelahian. Arman tidak terima di permalukan di depan umum. Apalagi ada Laila hingga dia nekat melawan, melayangkan tinju ke perut Ardi. Tidak tinggal diam Ardi pun membalas. Hendra yang melerai sempat terkena satu pukulan yang membuat pipinya lebam."Arman udah! Aku udah milih suamiku, baik kamu pergi dari sini," usir Laila dengan tangan menunjuk pintu utama."Oke, kalau itu maumu. Katanya kamu sayang, tapi masih milih dia juga. Cuihhh! Munafik." Arman melenggang meninggalkan kediaman Hendra dengan perasaan marah. Kedua wanita yang menjadi miliknya tidak bisa dimiliki. Sepeninggal Arman, Laila duduk bersimpuh meminta maaf atas segala
"Apa lagi ini?" tanya Hendra dengan sorot mata tajam.Niat ingin menenangkan diri di kamar terusik karena gedoran pintu. Dia masih bersyukur meski ribut tidak karuan Ahmad masih pulas dalam tidurnya. Suara benda saling beradu kembali terdengar."Ada apa ini, La?" Hendra mengulang pertanyaan karena tidak kunjung mendapat jawaban."Nggak tau, Mas. Ada orang-orang dateng banting-banting kursi depan. Aku nggak berani buka pintu." Tubuh wanita itu bergetar karena takut."Awas, biar aku yang keluar.""Itu pasti suruhannya Arman. Kita harus lapor polisi." Laila menahan lengan Hendra."Woi! LAILA KELUAR KAU!"Suara itu seketika membuat Laila semakin mengeratkan tangannya serta merapatkan tubuh. Jelas dia takut, tetapi kini lebih penting mencari perhatian agar Hendra simpati. Ibarat menyelam sambil minum air itu yang Laila lakukan."Lepas! Biar aku keluar," ujar Hendra sembari melepas tangan Laila sekali sentakan."Mas ...." Laila merengek, tetapi Hendra tidak perduli. Dia membuka pintu langs
Shok! Itu yang pertama kali Laila rasakan saat melihat rincian hutangnya tidak sedikitpun terbayarkan. Apalagi melihat nominal hutangnya mencapai angka 14 juta dengan bunga sangat besar. Memang dia sepakat dengan bunga cukup tinggi waktu itu, tetapi tidak menyangka jika secepat itu bertambah. Sungguh kini dia menyesal.Laila menggeram kesal mengutuk Arman yang sudah berani menipu dirinya. Dia berjanji dalam hati nanti akan minta kejelasan dan uangnya harus kembali."Ini uang apa lagi sampai 3 juta?" tanya Laila dengan kedua alis mengerut seraya menelisik tulisan dalam kertas."Itu denda karena lambat membayar."Seketika mata wanita itu hampir keluar dari tempatnya. Baru dua bulan, tetapi uang denda sudah sebanyak itu. Benar-benar rentenir. Dia menggelengkan kepala tidak terima."Yang betul aja, pakai bunga segala. Aku nggak pernah tau ini! Jangan-jangan kalian mau nipu, ya?""Hei! Jaga mulutmu!" Bentakan beriiringan dengan suara meja digebrak. Brak!Seketika hanyali Laila menciut, me
Kabar perselingkuhan Laila berhembus secepat angin membuat gempar seluruh komplek. Tidak tua dan muda semua membicarakan wanita itu. Kebetulan hari ini akhir pekan hampir seluruh penghuni komplek berada di rumah hingga mereka sengaja menunggu tukang sayur untuk mencari berita terbaru."Eh, kalian udah tau belum kalau istrinya Mas Hendra yang punya rumah ini selingkuh?" Wanita itu berbicara sembari menunjuk rumah yang berada di depannya."Lambat, Tin. Udah lama kami tau. Apalagi ada Nur, paling cepet kalau soal beginian. Ya nggak Nur?" Teman Nur itu menyenggol wanita bergaya solialita itu."Iya dong. Kabarnya kalian tau nggak ....?" Kompak para ibu-ibu itu menggeleng seraya mendekat.Tentu saja tidak ingin ketinggalan berita terbaru. Mereka memasang telinga baik-baik agar berita yang ditangkap tidak salah dan bisa di jadikan bahan gosip di tempat lain."Kabarnya Mas Hendra mau nerima lagi. Terus selingkuhannya itu miskin, apa coba yang di cari? Memang perempuan g**** dia itu," ucap Nur
Uang tidak di dapat malah lelah yang mendera. Laila menjatuhkan bobot tubuhnya ke sofa. Di sampingnya Ahmad mulai merengek minta susu."Diamlah!" Laila tidak punya suara lagi untuk berteriak, jadi hanya berujar pelan, tetapi penuh penekanan."Bu ... susu." Ahmad mengangkat kotak susunya."Buat sendiri 'kan udah besar.""Bu ...."Malas mendengar rengekan, Laila pun terpaksa beranjak membuat susu, lalu memberikan dengan kasar."Minum tuh, nanti minta sama Ayahmu. Nyusahkan aja!" hardiknya sembari memungut kantong belanja.Dia mengambil susu di atas meja dengan senyum menghiasi bibir. Biarpun Laila bersikap begitu, tetapi bagi anak tiga tahun yang tidak tahu apa-apa bukan masalah. Hanya sebentar rasa takut, nanti hilang dan kembali mendekati ibunya. Laila melihat jam di dinding sudah hampir mendekati makan siang. Mau tidak mau dia harus memasak untuk menyambut suaminya. Jika tidak, pasti akan curiga.Satu jam berkutat dengan peralatan dapur akhirnya ikan goreng, tumis kangkung siap di m
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil