"Mas, udahan dong marahnya. Aku 'kan udah minta maaf."Kini Laila masih berusaha membujuk Hendra agar kembali seperti dulu.Hendra yang sedang menidurkan Ahmad di kamarnya pun beranjak."Aku udah maafkan kamu, La.""Tapi, sikap Mas masih belum sama. Aku bener-bener khilaf Mas."Terdengar helaan napas dari mulut Hendra, lalu melipat tangan di dada masih setia mendengar ocehan Laila. Seolah benar-benar marah, padahal dia tengah menatap wajah ayu milik istrinya. Hidung mancung, bibir mungil dan tipis serta yang paling membuat aura kecantikannya semakin terlihat rambut hitam lurus sangat indah. Sungguh dia sangat mengagumi kecantikan istrinya. Namun, sayang semua Laila gunakan untuk hal yang tidak baik. Andai Laila setia dia akan merasa beruntung sekali mendapatkan istri seperti Laila."Untuk masalah cincin itu, aku juga minta maaf. Aku terhasut sama Arman." Laila yang tadi menunduk sembari memilin ujung bajunya, kini mendongak menatap wajah sang suami. Dia tahu jika Hendra masih marah ka
Pov HendraTidak terasa waktu berlalu cepat sudah berbulan-bulan sejak kejadian di mana Laila ketahuan mendua. Banyak perubahan yang terjadi setelah dua kali dikhianati. Ya, aku jadi sering memantau keberadaan Laila dari cctv yang kupasang di rumah. Tak hanya itu, ponselnya pun selalu kucek hampir setiap hari, jika ada waktu luang. Bukan apa-apa hanya saja ingin Laila benar-benar berubah dan menjalani pernikahan ini hingga raga memisahkan kami. Jika Allah mengizinkan.Sejak hari itu pula aku tidak pernah mendapati kesalahan yang Laila lakukan. Semua berjalan baik-baik saja.Kedua orang tuaku pun tidak pernah menghakimi Laila. Mereka tetap sayang pada menantunya. Seperti hari ini kedua orang tuaku datang berkunjung dan sedang bermain bersama Ahmad. Sedangkan Laila masih takut-takut untuk bertemu karena ini memang pertemuan pertama."Ayolah, Bapak sama Ibuk nggak akan marah," bujukku agar Laila mau turun ke bawah."Tapi, mereka nggak akan marah kan?" Cepat aku menggeleng.Akhirnya Lail
"Tumben pagi-pagi udah di sini?"Saka baru datang langsung duduk di sofa. Setelah mengantar Laila tadi aku memang memutuskan ke bengkel. Malas sekali kembali ke rumah, pasti terasa sunyi."Alah mau pagi atau siang sama aja. Aku mau periksa pembukuan.""Mana mungkin sama aja, lu kan sekarang tambah bucin tuh sama si Laila canggung. Nggak mungkin dong, pagi-pagi udah di sini kalau nggak ada apa-apa."Bugh!Bantal sofa melayang. Untung cepat Saka menghindar kalau tidak bisa kupastikan mengenai wajahnya. Enak sekali menyematkan panggilan sesuka hati pada istriku."Hayo ngapa lu datang cepat?" Sebelum mendapat jawaban yang memuaskan Saka terus bertanya, tetapi aku enggan menjawab karena jika dia tahu pasti akan diejek habis-habisan."Nggak asik ah, lu nggak mau cerita." Dia beranjak ingin keluar ruangan ini. Jurus andalan, merajuk. Seperti perempuan saja."Laila pulang ke rumah ibunya," kataku dengan ekspresi malas.Dia berbalik."Hah? Serius? Kenapa, kalian udah pisah? Apa gue bilang dia
"Kamu harus mau, La!" "Nggak, aku mau berubah Arman!pergilah jangan ganggu hidupku lagi, kita udah selesai!"Lelaki yang memeliki wajah tampan itu menyeringai, lalu menyalakan video dan memperlihatkan pada wanita di hadapannya. Pasar yang sangat ramai tidak menyurutkan niatnya untuk memperdaya Laila.Seketika kedua tangan Laila menutup mulut serta mata seakan keluar dari tempatnya karena terlalu terkejut mendapati video dirinya dan Arman yang sedang melakukan hubungan suami istri. "Sini HP-nya." Laila berusaha menggapai benda pipih yang berada di tangan Arman, tetapi cepat lelaki itu menjauhkan tangannya."Mau atau nggak? Kalau nggak mau aku pastikan video ini tersebar. Pilihan di tanganmu!" ujar Arman dengan senyum jahat menghiasi bibirnya.Laila frustasi tidak mungkin menuruti keinginan Arman untuk kembali menjalin hubungan terlarang. Pasalnya dia sudah berjanji akan berubah. Namun, kini dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Jika tidak mau maka bisa di pastikan namanya akan semaki
Pov HendraSudah lebih tiga hari Laila tak kunjung pulang. Katanya bertambah jadi seminggu karena masih rindu dengan suasana desa dan ibunya. Sebenarnya sungguh aku rindu bukan padanya saja, tetapi pada anak semata wayang kami. Namun, apa mau dikata, Laila memohon terakhir kali mengirim pesan, tentu aku tidak tega dan memberi izin.Hanya sesekali saja bertukar pesan. Tiap kali kutelepon selalu tidak bisa. Alasannya karena di rumah ibu mertua susah sinyal. Aku menatap layar ponsel. Sudah sedari tadi mencoba menelepon Laila, tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Tidak tahukan dia jika aku sangat merindu?[Mas, susah sinyalnya mau angkat telepon kamu. Ini aja kirim pesan harus ke bukit dulu.]Membaca pesan itu aku menghela napas. Padahal sudah tiga tahun lebih berlalu sejak aku bertandang ke sana, tetapi desa ibu mertua selalu sulit sinyal. Entahlah kenapa bisa begitu, tidak ada kemajuan sama sekali.[Nggak bisa sebentar aja, Sayang. Mas rindu.] Balasku cepat.[Nggak bisa, Mas. Oya, aku b
"Mau ke mana, Ndra?" tanya Saka saat kami berpapasan. Aku baru saja keluar dari kamar.Kubuang muka, lalu menutup pintu dan membawa tas. Masih cukup kesal perihal tadi malam. Aku berencana akan pulang lalu menjemput Laila karena setelah meminta uang nomornya tidak lagi bisa dihubungi. Susah sekali hanya ingin tahu kabarnya. "Lu mau ke mana?"Masih saja dia mengikuti. Aku mendengkus dan mengabaikan pertanyaannya dan semakin mempercepat langkah keluar rumah. Benar-benar malas bicara, entahlah ucapan tadi malam sedikit menyinggung.Tidak perlu lagi berpamitan, tadi malam sebelum tidur aku sudah mengatakan pada Ibu akan pergi pagi-pagi sekali. Ibu maupun Bapak tidak terlihat, mungkin sedang berada di musallah. Sebab, hari memang masih gelap, subuh belum lama berlalu.Kubuka pintu mobil dan segera masuk. Namun, baru saja akan menyalakan mobil, Saka sudah duduk di kursi penumpang.Menghela napas melihat kelakuan sahabatku itu, tidak tahukah aku sedang kesal dengannya?"Mau ke mana? Aku mau
"Aku langsung istirahat ya, Mas. Badan aku capek banget dari semalam naik bus."Begitu aku mengangguk, Laila cepat menapaki anak tangga hingga dia hilang dari pandangan barulah aku menuju dapur. Sepertinya ini kesempatan bagus untuk mengorek informasi dari Ahmad."Kita makan dulu ya, Nak.""Iya, Amad laper Ayah, sama Bubu sering nggak makan."Deg!Jantungku terasa di remas. Apa yang Laila lakukan pada anak sendiri? Rasanya tidak mungkin Ahmad berbohong. Anak-anak biasanya selalu berkata jujur."Kenapa jarang makan?" Aku merapatkan kursi agar bisa lebih jelas mendengar ucapan Ahmad karena saat ini dia tengah melahap makanan yang tadi sempat kubeli. Melihatnya makan dengan lahap dan terburu-buru membuat hati ini teriris pilu, sebab uang yang kuberi tidak sedikit, tetapi anak sendiri kelaparan. Untuk apa uang yang kemarin?"Kata Bubu harus hemat."Hemat? Uang yang kuberikan untuk apa jika anak sendiri di suruh hemat. Sungguh Laila keterlaluan. Ingin rasanya langsung bertanya, tetapi aku
Sudah dua hari ini Laila seperti orang yang tidak fokus, beberapa kali melakukan kesalahan. Seperti lupa mematikan kompor atau salah memasukkan bumbu dan masih ada yang lainnya. Entah apa yang terjadi padanya. Saat kutanya apa punya masalah, dia hanya menggeleng atau tersenyum saja. Meski hati sedikit berbeda, tentu aku merasa khawatir dan bingung. Hati bertanya-tanya ada apa?"Mas ini tehnya."Aku tersentak saat Laila meletakkan teh di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih dia pun kembali ke dapur. Terlalu asik melihat ikan-ikan sembari memikirkan masalah dengan Laila tanpa sadar ternyata aku kini lebih sering melamun.Rumah tangga yang baru beberapa bulan terasa manis dan indah lagi setelah badai menerpa, kini hati dilanda keraguan.Teh yang masih mengepulkan asap segera kusesap. Namun ....Byur!Ya Allah, kenapa rasa tehnya jadi asin begini. Laila semakin jadi saja. Ini tidak bisa dibiarkan, aku pun membawa teh itu ke dapur. Terlihat dia tengah mengaduk nasi goreng."Ada apa
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil