"Kamu harus mau, La!" "Nggak, aku mau berubah Arman!pergilah jangan ganggu hidupku lagi, kita udah selesai!"Lelaki yang memeliki wajah tampan itu menyeringai, lalu menyalakan video dan memperlihatkan pada wanita di hadapannya. Pasar yang sangat ramai tidak menyurutkan niatnya untuk memperdaya Laila.Seketika kedua tangan Laila menutup mulut serta mata seakan keluar dari tempatnya karena terlalu terkejut mendapati video dirinya dan Arman yang sedang melakukan hubungan suami istri. "Sini HP-nya." Laila berusaha menggapai benda pipih yang berada di tangan Arman, tetapi cepat lelaki itu menjauhkan tangannya."Mau atau nggak? Kalau nggak mau aku pastikan video ini tersebar. Pilihan di tanganmu!" ujar Arman dengan senyum jahat menghiasi bibirnya.Laila frustasi tidak mungkin menuruti keinginan Arman untuk kembali menjalin hubungan terlarang. Pasalnya dia sudah berjanji akan berubah. Namun, kini dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Jika tidak mau maka bisa di pastikan namanya akan semaki
Pov HendraSudah lebih tiga hari Laila tak kunjung pulang. Katanya bertambah jadi seminggu karena masih rindu dengan suasana desa dan ibunya. Sebenarnya sungguh aku rindu bukan padanya saja, tetapi pada anak semata wayang kami. Namun, apa mau dikata, Laila memohon terakhir kali mengirim pesan, tentu aku tidak tega dan memberi izin.Hanya sesekali saja bertukar pesan. Tiap kali kutelepon selalu tidak bisa. Alasannya karena di rumah ibu mertua susah sinyal. Aku menatap layar ponsel. Sudah sedari tadi mencoba menelepon Laila, tetapi tak kunjung mendapat jawaban. Tidak tahukan dia jika aku sangat merindu?[Mas, susah sinyalnya mau angkat telepon kamu. Ini aja kirim pesan harus ke bukit dulu.]Membaca pesan itu aku menghela napas. Padahal sudah tiga tahun lebih berlalu sejak aku bertandang ke sana, tetapi desa ibu mertua selalu sulit sinyal. Entahlah kenapa bisa begitu, tidak ada kemajuan sama sekali.[Nggak bisa sebentar aja, Sayang. Mas rindu.] Balasku cepat.[Nggak bisa, Mas. Oya, aku b
"Mau ke mana, Ndra?" tanya Saka saat kami berpapasan. Aku baru saja keluar dari kamar.Kubuang muka, lalu menutup pintu dan membawa tas. Masih cukup kesal perihal tadi malam. Aku berencana akan pulang lalu menjemput Laila karena setelah meminta uang nomornya tidak lagi bisa dihubungi. Susah sekali hanya ingin tahu kabarnya. "Lu mau ke mana?"Masih saja dia mengikuti. Aku mendengkus dan mengabaikan pertanyaannya dan semakin mempercepat langkah keluar rumah. Benar-benar malas bicara, entahlah ucapan tadi malam sedikit menyinggung.Tidak perlu lagi berpamitan, tadi malam sebelum tidur aku sudah mengatakan pada Ibu akan pergi pagi-pagi sekali. Ibu maupun Bapak tidak terlihat, mungkin sedang berada di musallah. Sebab, hari memang masih gelap, subuh belum lama berlalu.Kubuka pintu mobil dan segera masuk. Namun, baru saja akan menyalakan mobil, Saka sudah duduk di kursi penumpang.Menghela napas melihat kelakuan sahabatku itu, tidak tahukah aku sedang kesal dengannya?"Mau ke mana? Aku mau
"Aku langsung istirahat ya, Mas. Badan aku capek banget dari semalam naik bus."Begitu aku mengangguk, Laila cepat menapaki anak tangga hingga dia hilang dari pandangan barulah aku menuju dapur. Sepertinya ini kesempatan bagus untuk mengorek informasi dari Ahmad."Kita makan dulu ya, Nak.""Iya, Amad laper Ayah, sama Bubu sering nggak makan."Deg!Jantungku terasa di remas. Apa yang Laila lakukan pada anak sendiri? Rasanya tidak mungkin Ahmad berbohong. Anak-anak biasanya selalu berkata jujur."Kenapa jarang makan?" Aku merapatkan kursi agar bisa lebih jelas mendengar ucapan Ahmad karena saat ini dia tengah melahap makanan yang tadi sempat kubeli. Melihatnya makan dengan lahap dan terburu-buru membuat hati ini teriris pilu, sebab uang yang kuberi tidak sedikit, tetapi anak sendiri kelaparan. Untuk apa uang yang kemarin?"Kata Bubu harus hemat."Hemat? Uang yang kuberikan untuk apa jika anak sendiri di suruh hemat. Sungguh Laila keterlaluan. Ingin rasanya langsung bertanya, tetapi aku
Sudah dua hari ini Laila seperti orang yang tidak fokus, beberapa kali melakukan kesalahan. Seperti lupa mematikan kompor atau salah memasukkan bumbu dan masih ada yang lainnya. Entah apa yang terjadi padanya. Saat kutanya apa punya masalah, dia hanya menggeleng atau tersenyum saja. Meski hati sedikit berbeda, tentu aku merasa khawatir dan bingung. Hati bertanya-tanya ada apa?"Mas ini tehnya."Aku tersentak saat Laila meletakkan teh di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih dia pun kembali ke dapur. Terlalu asik melihat ikan-ikan sembari memikirkan masalah dengan Laila tanpa sadar ternyata aku kini lebih sering melamun.Rumah tangga yang baru beberapa bulan terasa manis dan indah lagi setelah badai menerpa, kini hati dilanda keraguan.Teh yang masih mengepulkan asap segera kusesap. Namun ....Byur!Ya Allah, kenapa rasa tehnya jadi asin begini. Laila semakin jadi saja. Ini tidak bisa dibiarkan, aku pun membawa teh itu ke dapur. Terlihat dia tengah mengaduk nasi goreng."Ada apa
Pov Hendra[Aku pergi sekarang, Mas. Maaf aku nggak bisa nunggu kamu pulang. Makasih izinnya.] Dada ini tarasa mau meledak saat membaca pesan dari Laila. Sungguh keterlaluan, setelah kuberi izin serta uang yang dibutuhkan dengan seenaknya dia pergi begitu saja. Sepenting itukah adik yang katanya tidak satu ayah itu? Hingga dia lupa dengan anaknya sendiri. Ahmad di sini sedari tadi menanyakan ibunya. Namun, karena aku masih bekerja hingga harus memberi pengertian padanya. Beruntung Ahmad mau mengerti, kini duduk tenang sembari menonton TV. Layar ponsel kualihkan guna melihat CCTV. Laila tersenyum sembari terburu-buru keluar dari rumah dan langsung naik ojek. Sepertinya sudah dipesan sejak tadi.Segera kutelepon Saka untuk mengabarkan ini. Jujur saja aku bingung harus apa. "Ck, perempuan itu. Gue yakin dia ada main lagi. Lu berangkat dulu ke terminal, nanti gue susul. Tapi, usahakan lu cegah biar jangan pergi dulu, biar nggak ketinggalan. Nanti kita ikuti dia." Kuturuti saran saha
"Suruh dia pergi, La dan tutup pintunya. Kalau dia cari keributan akan kupanggil sekuriti," ucapnya sombong sekali dari balik tubuh istriku. Gayanya bekacak pinggang sembari tersenyum remeh.Sontak saja semakin menyulut emosi. Sudah salah tidak meminta maaf, memang tidak tahu malu. Tebal muka.Aku melesak masuk hingga Laila terjerembab ke sofa. Dan ....Bugh!Bugh!Arman kembali menjadi samsak. Tubuhnya terhempas hingga membentur tembok. Belum puas aku menendang, juga memukul. Tadi ucapannya begitu sombong, baru beberapa pukulan saja tak berdaya. Sembari meringis kesakitan dia mencoba melawan. Namun, selalu meleset. Kupegang tangannya yang hampir menyentuh wajah ini, lalu mendorong ke dinding."Cuma segini? Berani main sama istri orang, tapi lembek," ucapku sembari mencekik lehernya. Dia berusaha melepaskan, tetapi tak semudah itu. Biar, aku ingin melihat lelaki itu menderita. Kali ini saja Hendra menjadi orang jahat. Cukup sudah bersabar."Lanjut, Ndra. Gue dukung lu. Dia pantes da
Sepanjang jalan pulang aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun, sebab masih tidak menyangka ini semua akan terjadi. Terasa seperti mimpi, mimpi buruk sekali.Apalagi nanti saat sampai di rumah, tidak tahu bagaimana caranya memberi tahu Bapak dan Ibuk tentang perceraianku. Tentu keduanya pasti terpukul. Belum lagi Ahmad. Apa yang harus kukatakan padanya jika bertanya tentang ibunya. Haruskah jujur dengan keadaan sesungguhnya?Ah, entahlah kepala berdenyut. Kupijat pangkal hidung untuk mengurang rasa sakit."Pusing? Nyesel udah nalak Laila?"Seketika menoleh, lalu menggeleng. Akhirnya bercerita akan kegundahan yang ada di hati."Bapak sama Ibuk pasti ngerti. Gue kira ini keputusan terbaik karena kalau di pertahankan pasti lebih sakit. Lu mau berbagi istri sama laki-laki lain?""Ya nggaklah. Tapi, Bapak dan Ibuk pasti kecewa aku anak laki satu-satunya malah mencoreng nama keluarga karena perceraian ini."Ada beban tersendiri menjadi anak lelaki. Aku harus bisa menjaga nama baik keluarga