"Mau ke mana, Ndra?" tanya Saka saat kami berpapasan. Aku baru saja keluar dari kamar.Kubuang muka, lalu menutup pintu dan membawa tas. Masih cukup kesal perihal tadi malam. Aku berencana akan pulang lalu menjemput Laila karena setelah meminta uang nomornya tidak lagi bisa dihubungi. Susah sekali hanya ingin tahu kabarnya. "Lu mau ke mana?"Masih saja dia mengikuti. Aku mendengkus dan mengabaikan pertanyaannya dan semakin mempercepat langkah keluar rumah. Benar-benar malas bicara, entahlah ucapan tadi malam sedikit menyinggung.Tidak perlu lagi berpamitan, tadi malam sebelum tidur aku sudah mengatakan pada Ibu akan pergi pagi-pagi sekali. Ibu maupun Bapak tidak terlihat, mungkin sedang berada di musallah. Sebab, hari memang masih gelap, subuh belum lama berlalu.Kubuka pintu mobil dan segera masuk. Namun, baru saja akan menyalakan mobil, Saka sudah duduk di kursi penumpang.Menghela napas melihat kelakuan sahabatku itu, tidak tahukah aku sedang kesal dengannya?"Mau ke mana? Aku mau
"Aku langsung istirahat ya, Mas. Badan aku capek banget dari semalam naik bus."Begitu aku mengangguk, Laila cepat menapaki anak tangga hingga dia hilang dari pandangan barulah aku menuju dapur. Sepertinya ini kesempatan bagus untuk mengorek informasi dari Ahmad."Kita makan dulu ya, Nak.""Iya, Amad laper Ayah, sama Bubu sering nggak makan."Deg!Jantungku terasa di remas. Apa yang Laila lakukan pada anak sendiri? Rasanya tidak mungkin Ahmad berbohong. Anak-anak biasanya selalu berkata jujur."Kenapa jarang makan?" Aku merapatkan kursi agar bisa lebih jelas mendengar ucapan Ahmad karena saat ini dia tengah melahap makanan yang tadi sempat kubeli. Melihatnya makan dengan lahap dan terburu-buru membuat hati ini teriris pilu, sebab uang yang kuberi tidak sedikit, tetapi anak sendiri kelaparan. Untuk apa uang yang kemarin?"Kata Bubu harus hemat."Hemat? Uang yang kuberikan untuk apa jika anak sendiri di suruh hemat. Sungguh Laila keterlaluan. Ingin rasanya langsung bertanya, tetapi aku
Sudah dua hari ini Laila seperti orang yang tidak fokus, beberapa kali melakukan kesalahan. Seperti lupa mematikan kompor atau salah memasukkan bumbu dan masih ada yang lainnya. Entah apa yang terjadi padanya. Saat kutanya apa punya masalah, dia hanya menggeleng atau tersenyum saja. Meski hati sedikit berbeda, tentu aku merasa khawatir dan bingung. Hati bertanya-tanya ada apa?"Mas ini tehnya."Aku tersentak saat Laila meletakkan teh di atas meja. Setelah mengucapkan terima kasih dia pun kembali ke dapur. Terlalu asik melihat ikan-ikan sembari memikirkan masalah dengan Laila tanpa sadar ternyata aku kini lebih sering melamun.Rumah tangga yang baru beberapa bulan terasa manis dan indah lagi setelah badai menerpa, kini hati dilanda keraguan.Teh yang masih mengepulkan asap segera kusesap. Namun ....Byur!Ya Allah, kenapa rasa tehnya jadi asin begini. Laila semakin jadi saja. Ini tidak bisa dibiarkan, aku pun membawa teh itu ke dapur. Terlihat dia tengah mengaduk nasi goreng."Ada apa
Pov Hendra[Aku pergi sekarang, Mas. Maaf aku nggak bisa nunggu kamu pulang. Makasih izinnya.] Dada ini tarasa mau meledak saat membaca pesan dari Laila. Sungguh keterlaluan, setelah kuberi izin serta uang yang dibutuhkan dengan seenaknya dia pergi begitu saja. Sepenting itukah adik yang katanya tidak satu ayah itu? Hingga dia lupa dengan anaknya sendiri. Ahmad di sini sedari tadi menanyakan ibunya. Namun, karena aku masih bekerja hingga harus memberi pengertian padanya. Beruntung Ahmad mau mengerti, kini duduk tenang sembari menonton TV. Layar ponsel kualihkan guna melihat CCTV. Laila tersenyum sembari terburu-buru keluar dari rumah dan langsung naik ojek. Sepertinya sudah dipesan sejak tadi.Segera kutelepon Saka untuk mengabarkan ini. Jujur saja aku bingung harus apa. "Ck, perempuan itu. Gue yakin dia ada main lagi. Lu berangkat dulu ke terminal, nanti gue susul. Tapi, usahakan lu cegah biar jangan pergi dulu, biar nggak ketinggalan. Nanti kita ikuti dia." Kuturuti saran saha
"Suruh dia pergi, La dan tutup pintunya. Kalau dia cari keributan akan kupanggil sekuriti," ucapnya sombong sekali dari balik tubuh istriku. Gayanya bekacak pinggang sembari tersenyum remeh.Sontak saja semakin menyulut emosi. Sudah salah tidak meminta maaf, memang tidak tahu malu. Tebal muka.Aku melesak masuk hingga Laila terjerembab ke sofa. Dan ....Bugh!Bugh!Arman kembali menjadi samsak. Tubuhnya terhempas hingga membentur tembok. Belum puas aku menendang, juga memukul. Tadi ucapannya begitu sombong, baru beberapa pukulan saja tak berdaya. Sembari meringis kesakitan dia mencoba melawan. Namun, selalu meleset. Kupegang tangannya yang hampir menyentuh wajah ini, lalu mendorong ke dinding."Cuma segini? Berani main sama istri orang, tapi lembek," ucapku sembari mencekik lehernya. Dia berusaha melepaskan, tetapi tak semudah itu. Biar, aku ingin melihat lelaki itu menderita. Kali ini saja Hendra menjadi orang jahat. Cukup sudah bersabar."Lanjut, Ndra. Gue dukung lu. Dia pantes da
Sepanjang jalan pulang aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun, sebab masih tidak menyangka ini semua akan terjadi. Terasa seperti mimpi, mimpi buruk sekali.Apalagi nanti saat sampai di rumah, tidak tahu bagaimana caranya memberi tahu Bapak dan Ibuk tentang perceraianku. Tentu keduanya pasti terpukul. Belum lagi Ahmad. Apa yang harus kukatakan padanya jika bertanya tentang ibunya. Haruskah jujur dengan keadaan sesungguhnya?Ah, entahlah kepala berdenyut. Kupijat pangkal hidung untuk mengurang rasa sakit."Pusing? Nyesel udah nalak Laila?"Seketika menoleh, lalu menggeleng. Akhirnya bercerita akan kegundahan yang ada di hati."Bapak sama Ibuk pasti ngerti. Gue kira ini keputusan terbaik karena kalau di pertahankan pasti lebih sakit. Lu mau berbagi istri sama laki-laki lain?""Ya nggaklah. Tapi, Bapak dan Ibuk pasti kecewa aku anak laki satu-satunya malah mencoreng nama keluarga karena perceraian ini."Ada beban tersendiri menjadi anak lelaki. Aku harus bisa menjaga nama baik keluarga
"Laila! Jaga ucapanmu." Tanpa sadar suaraku meninggi hingga membuat Ahmad terkejut.Ada rasa sesal setelahnya, sebab Ahmad langsung terdiam. Namun, beda dengan Laila, wanita yang bukan lagi istriku itu tidak perduli, hanya diam dan meneruskan aktivitasnya. Sesekali terdengar decakan beberapa kali karena Ahmad mulai menyusahkan geraknya dengan memeluk kaki atau sekadar mengikuti ke mana dia pergi. Tidak tahan melihat itu aku segera meraih Ahmad dalam gendongan."Amad mau sama Bubu, Ayah ...." Ahmad meronta, sedikit kesusahan membawanya keluar kamar. Ya, lebih baik aku pergi dari pada melihat Laila seperti itu. Hatiku yang terluka melihat anak sendiri di abaikan.Seharusnya Laila memiliki sedikit saja rasa iba melihat darah dagingnya sendiri merengek. Entahlah terbuat dari apa hati mantan istriku itu. Baru sehari tidak bersama perubahan semakin jelas. Apakah saat aku tidak di rumah sikapnya begitu pada Ahmad? Ah, aku jadi berpikir buruk."Bubu lagi sibuk, Sayang. Ahmad sama Ayah ya ...
Pov AuthorWanita yang mengenakan gamis dan kerudung dengan warna senada itu duduk termenung setelah mendengar cerita dari sang adik. Meski sudah menduga akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini mendapat kabar. Padahal niatnya datang ingin bertanya kenapa kemarin bengkel di titipkan begitu saja pada dirinya. Juga mendengar dari Bu Tari, Hendra pergi buru-buru karena itulah Santi datang. Justru, kini dia terkejut dan benar-benar syok hingga tak mampu berucap menanggapi cerita adiknya, hanya matanya menatap iba."Kenapa Mbak?" tanya Hendra merasa risih ditatap begitu.Santi menggeleng dan langsung beranjak dari dapur. "Mbak mau ke mana? Udah dateng tiba-tiba sekarang pergi pula.""Mau beli sarapan. Kamu pasti belum sarapan kan?" Langsung Hendra menggeleng.Segera Santi meninggalkan adiknya untuk membeli sarapan di depan komplek. Baru saja sampai di penjual bubur ayam, matanya di suguhkan pemandangan yang sangat menyakitkan mata. Laila makan berdua dengan Arman penuh kero
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil