Pov Hendra[Aku pergi sekarang, Mas. Maaf aku nggak bisa nunggu kamu pulang. Makasih izinnya.] Dada ini tarasa mau meledak saat membaca pesan dari Laila. Sungguh keterlaluan, setelah kuberi izin serta uang yang dibutuhkan dengan seenaknya dia pergi begitu saja. Sepenting itukah adik yang katanya tidak satu ayah itu? Hingga dia lupa dengan anaknya sendiri. Ahmad di sini sedari tadi menanyakan ibunya. Namun, karena aku masih bekerja hingga harus memberi pengertian padanya. Beruntung Ahmad mau mengerti, kini duduk tenang sembari menonton TV. Layar ponsel kualihkan guna melihat CCTV. Laila tersenyum sembari terburu-buru keluar dari rumah dan langsung naik ojek. Sepertinya sudah dipesan sejak tadi.Segera kutelepon Saka untuk mengabarkan ini. Jujur saja aku bingung harus apa. "Ck, perempuan itu. Gue yakin dia ada main lagi. Lu berangkat dulu ke terminal, nanti gue susul. Tapi, usahakan lu cegah biar jangan pergi dulu, biar nggak ketinggalan. Nanti kita ikuti dia." Kuturuti saran saha
"Suruh dia pergi, La dan tutup pintunya. Kalau dia cari keributan akan kupanggil sekuriti," ucapnya sombong sekali dari balik tubuh istriku. Gayanya bekacak pinggang sembari tersenyum remeh.Sontak saja semakin menyulut emosi. Sudah salah tidak meminta maaf, memang tidak tahu malu. Tebal muka.Aku melesak masuk hingga Laila terjerembab ke sofa. Dan ....Bugh!Bugh!Arman kembali menjadi samsak. Tubuhnya terhempas hingga membentur tembok. Belum puas aku menendang, juga memukul. Tadi ucapannya begitu sombong, baru beberapa pukulan saja tak berdaya. Sembari meringis kesakitan dia mencoba melawan. Namun, selalu meleset. Kupegang tangannya yang hampir menyentuh wajah ini, lalu mendorong ke dinding."Cuma segini? Berani main sama istri orang, tapi lembek," ucapku sembari mencekik lehernya. Dia berusaha melepaskan, tetapi tak semudah itu. Biar, aku ingin melihat lelaki itu menderita. Kali ini saja Hendra menjadi orang jahat. Cukup sudah bersabar."Lanjut, Ndra. Gue dukung lu. Dia pantes da
Sepanjang jalan pulang aku tidak mengeluarkan suara sedikit pun, sebab masih tidak menyangka ini semua akan terjadi. Terasa seperti mimpi, mimpi buruk sekali.Apalagi nanti saat sampai di rumah, tidak tahu bagaimana caranya memberi tahu Bapak dan Ibuk tentang perceraianku. Tentu keduanya pasti terpukul. Belum lagi Ahmad. Apa yang harus kukatakan padanya jika bertanya tentang ibunya. Haruskah jujur dengan keadaan sesungguhnya?Ah, entahlah kepala berdenyut. Kupijat pangkal hidung untuk mengurang rasa sakit."Pusing? Nyesel udah nalak Laila?"Seketika menoleh, lalu menggeleng. Akhirnya bercerita akan kegundahan yang ada di hati."Bapak sama Ibuk pasti ngerti. Gue kira ini keputusan terbaik karena kalau di pertahankan pasti lebih sakit. Lu mau berbagi istri sama laki-laki lain?""Ya nggaklah. Tapi, Bapak dan Ibuk pasti kecewa aku anak laki satu-satunya malah mencoreng nama keluarga karena perceraian ini."Ada beban tersendiri menjadi anak lelaki. Aku harus bisa menjaga nama baik keluarga
"Laila! Jaga ucapanmu." Tanpa sadar suaraku meninggi hingga membuat Ahmad terkejut.Ada rasa sesal setelahnya, sebab Ahmad langsung terdiam. Namun, beda dengan Laila, wanita yang bukan lagi istriku itu tidak perduli, hanya diam dan meneruskan aktivitasnya. Sesekali terdengar decakan beberapa kali karena Ahmad mulai menyusahkan geraknya dengan memeluk kaki atau sekadar mengikuti ke mana dia pergi. Tidak tahan melihat itu aku segera meraih Ahmad dalam gendongan."Amad mau sama Bubu, Ayah ...." Ahmad meronta, sedikit kesusahan membawanya keluar kamar. Ya, lebih baik aku pergi dari pada melihat Laila seperti itu. Hatiku yang terluka melihat anak sendiri di abaikan.Seharusnya Laila memiliki sedikit saja rasa iba melihat darah dagingnya sendiri merengek. Entahlah terbuat dari apa hati mantan istriku itu. Baru sehari tidak bersama perubahan semakin jelas. Apakah saat aku tidak di rumah sikapnya begitu pada Ahmad? Ah, aku jadi berpikir buruk."Bubu lagi sibuk, Sayang. Ahmad sama Ayah ya ...
Pov AuthorWanita yang mengenakan gamis dan kerudung dengan warna senada itu duduk termenung setelah mendengar cerita dari sang adik. Meski sudah menduga akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini mendapat kabar. Padahal niatnya datang ingin bertanya kenapa kemarin bengkel di titipkan begitu saja pada dirinya. Juga mendengar dari Bu Tari, Hendra pergi buru-buru karena itulah Santi datang. Justru, kini dia terkejut dan benar-benar syok hingga tak mampu berucap menanggapi cerita adiknya, hanya matanya menatap iba."Kenapa Mbak?" tanya Hendra merasa risih ditatap begitu.Santi menggeleng dan langsung beranjak dari dapur. "Mbak mau ke mana? Udah dateng tiba-tiba sekarang pergi pula.""Mau beli sarapan. Kamu pasti belum sarapan kan?" Langsung Hendra menggeleng.Segera Santi meninggalkan adiknya untuk membeli sarapan di depan komplek. Baru saja sampai di penjual bubur ayam, matanya di suguhkan pemandangan yang sangat menyakitkan mata. Laila makan berdua dengan Arman penuh kero
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah