Bagai bertemu buah simalakama dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Begitulah keadaan yang Laila rasakan saat ini, serba salah. Mengakui kesalahan akan berimbas pada rumah tangganya. Jika tidak mengakui, tetapi Puja dengan gencar memberikan bukti foto sehingga semua orang menganggapnya bersalah. Mau minta tolong pada siapa?Apalagi kini tatapan orang-orang semua mengarah padanya dengan tatapan sinis. Seperti seorang yang tengah di adili.Namun, meski begitu Laila berusaha tenang agar tidak menimbulkan curiga. Pelan-pelan dia menghembuskan napas untuk menenangkan diri."Jadi bagaimana ini, Mbak Laila?" tanya Pak RT meminta pendapat Laila karena sedari tadi wanita itu hanya diam.Sebelum menjawab Laila melihat sang suami dari ekor matanya yang tengah duduk bersisian dengan dirinya. Rahangnya mengetat serta pandangan lurus melihat foto di atas meja."Hm, bisa aja foto itu di edit, Pak. Zaman sekarang semua udah canggih bisa aja itu di edit. Betul nggak?" ujar Laila setenang mungkin
POV HendraSeperti luka lama yang kembali diulik yang sakitnya masih terasa hingga sekarang. Penghianatan yang Laila lakukan dulu aku rasa sudah cukup membuat diri ini terluka. Tetapi, saat ini kembali dihadapkan dengan masalah yang sama. Meski, belum tahu seperti apa kebenarannya. Entah Laila yang benar atau perempuan yang tengah duduk gelisah di samping Pak RT yang benar? Aku tidak tau.Andai saja semua yang Puja katakan benar adanya. Entah bagaimana aku harus bersikap? Haruskan memilih jalan perceraian atau bertahan? Memikirkan itu membuat kepala ini semakin pening belum juga ada kejelasan hingga sekarang.Sudah satu jam menunggu kedatangan suaminya Puja yang akan membuktikan jika Laila dan suaminya ada main di belakangku, tetapi sudah lelah rasanya menunggu orang yang di tunggu tak datang juga. Ibu juga sedari tadi tidak henti-hentinya menangis di sampingku. Mungkin syok karena tidak pernah keluarga mendapati masalah seperti ini, di kerumuni orang banyak. Malu, takut, menjadi satu
"Ya, ini chat mereka ada," ucapku dengan suara lirih dan kepala tertunduk.Seketika Puja menarik ponsel di tangan dan langsung mencocokkan dengan ponsel suaminya. Dia menutup mulut, mungkin tidak menyangkan, sebab chat itu sangat-sangat mesrah. Apalagi di sana mereka membahas usaha bersama. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, entahlah kenapa selama ini tidak menyadari."Jahat kamu, Mas. Penipu!" makinya pada sang suami.Ruangan menjadi riuh, mengetahui kebenarannya. Warga yang kesal tidak segan-segan menoyor kepala lelaki yang duduk diam itu.Beberapa warga juga mengambil kursi sofa, lalu melemparkan pada istriku. Aku mencegah? Tidak, mereka mewakili apa yang ingin kulakukan, tetapi tidak kuasa kulakukan karena dia wanita yang sangat aku cintai dan masih istriku. Meskipun menorekan luka teramat dalam, aku sangat sayang padanya. Sedari dulu duniaku hanya ada dua wanita yaitu Ibu dan Mbak Santi. Ibu sempat khawatir aku punya kelainan karena tidak pernah membawa wanita ke rumah, sebena
Pak RT dan warga pulang, meski tatapan warga tadi terlihat kecewa karena belum tahu akhir dari drama siang ini. Biarlah, lagipula aku tidak ingin rumah tanggaku menjadi konsumsi publik. Sudah cukup malu beberapa warga menceritakan keburukan wanita yang masih menjadi istriku. Dan, keadaan Ibu jauh lebih penting sekarang. Juga aku harus menyiapkan mental untuk nanti malam, sudah bisa di pastikan jika akan banyak menguras tenaga.Sekarang aku berdiam diri di kamar guna menemani Ibu yang masih lemas. Ada juga Laila duduk di ujung ranjang dekat kaki Ibu. Tangannya masih setia memijat bagian kaki dengan kepala tertunduk. Mungkin itu bentuk permintaan maafnya setelah apa yang dia lakukan, tetapi rasanya tidak semudah itu memberi maaf.Tidak ada obrolan di antara kami, hanya deru napas masing-masing dari kami yang terdengar.Sedangkan mertuaku sedari tadi sibuk mengurus Ahmad. Anak itu tumben sekali tidak rewel, padahal biasanya jika aku di rumah selalu saja menempel seperti perangko. Mungkin
"Mi, aku nggak mau kita pisah. Aku nggak mau! Aku janji nggak bakal buat kayak gini lagi. Aku janji!" Arman mengangkat tangan, lalu membentuk jari dengan huruf V sembari terus memohon di hadapan Puja.Lantas Laila yang berada di sampingku terlihat membuang muka. Apakah istriku cemburu? Jika iya, tentu rasa yang selama ini dia berikan padaku hanya kepalsuan."Dulu kamu juga gitu. Tapi, nyatanya sekarang apa? Udah kalau kamu mau nikah sama selingkuhan kamu, aku persilahkan." Puja beranjak, lalu berpamitan pada kami semua lantas meninggalkan rumah, meski Arman sudah mencegahnya.Haruskah aku melakukan hal yang sama seperti yang Puja lakukan? Entahlah aku masih dilema antara berpisah atau bertahan."Arman jangan pergi! Ini belum selesai," ucap Pak RT menghentikan langkah Arman yang ingin mengejar istrinya."Tapi, saya udah nggak ada urusan lagi.""Duduk kamu!" Suara Paman Ardi meninggi hingga membuat kami semua terjingkat. Terpaksa Arman duduk kembali, sepertinya dia takut dengan wajah
POV AuthorMenepi dan menyendiri kini Hendra lakukan untuk menyembuhkan luka lama yang sepertinya sengaja disiram air garam, kembali mengangah dan perih hingga kerelung hati. Di balkon dia habiskan malam sembari menyesap teh yang baru saja dibuat. Ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu."B*****h awas kau!" Bugh!Bugh!Arman dan Ardi terlibat perkelahian. Arman tidak terima di permalukan di depan umum. Apalagi ada Laila hingga dia nekat melawan, melayangkan tinju ke perut Ardi. Tidak tinggal diam Ardi pun membalas. Hendra yang melerai sempat terkena satu pukulan yang membuat pipinya lebam."Arman udah! Aku udah milih suamiku, baik kamu pergi dari sini," usir Laila dengan tangan menunjuk pintu utama."Oke, kalau itu maumu. Katanya kamu sayang, tapi masih milih dia juga. Cuihhh! Munafik." Arman melenggang meninggalkan kediaman Hendra dengan perasaan marah. Kedua wanita yang menjadi miliknya tidak bisa dimiliki. Sepeninggal Arman, Laila duduk bersimpuh meminta maaf atas segala
"Apa lagi ini?" tanya Hendra dengan sorot mata tajam.Niat ingin menenangkan diri di kamar terusik karena gedoran pintu. Dia masih bersyukur meski ribut tidak karuan Ahmad masih pulas dalam tidurnya. Suara benda saling beradu kembali terdengar."Ada apa ini, La?" Hendra mengulang pertanyaan karena tidak kunjung mendapat jawaban."Nggak tau, Mas. Ada orang-orang dateng banting-banting kursi depan. Aku nggak berani buka pintu." Tubuh wanita itu bergetar karena takut."Awas, biar aku yang keluar.""Itu pasti suruhannya Arman. Kita harus lapor polisi." Laila menahan lengan Hendra."Woi! LAILA KELUAR KAU!"Suara itu seketika membuat Laila semakin mengeratkan tangannya serta merapatkan tubuh. Jelas dia takut, tetapi kini lebih penting mencari perhatian agar Hendra simpati. Ibarat menyelam sambil minum air itu yang Laila lakukan."Lepas! Biar aku keluar," ujar Hendra sembari melepas tangan Laila sekali sentakan."Mas ...." Laila merengek, tetapi Hendra tidak perduli. Dia membuka pintu langs
Shok! Itu yang pertama kali Laila rasakan saat melihat rincian hutangnya tidak sedikitpun terbayarkan. Apalagi melihat nominal hutangnya mencapai angka 14 juta dengan bunga sangat besar. Memang dia sepakat dengan bunga cukup tinggi waktu itu, tetapi tidak menyangka jika secepat itu bertambah. Sungguh kini dia menyesal.Laila menggeram kesal mengutuk Arman yang sudah berani menipu dirinya. Dia berjanji dalam hati nanti akan minta kejelasan dan uangnya harus kembali."Ini uang apa lagi sampai 3 juta?" tanya Laila dengan kedua alis mengerut seraya menelisik tulisan dalam kertas."Itu denda karena lambat membayar."Seketika mata wanita itu hampir keluar dari tempatnya. Baru dua bulan, tetapi uang denda sudah sebanyak itu. Benar-benar rentenir. Dia menggelengkan kepala tidak terima."Yang betul aja, pakai bunga segala. Aku nggak pernah tau ini! Jangan-jangan kalian mau nipu, ya?""Hei! Jaga mulutmu!" Bentakan beriiringan dengan suara meja digebrak. Brak!Seketika hanyali Laila menciut, me