"Hm, Mas cuma ingin kamu tuh, jangan abai sama Ahmad.""Iya aku salah, maafkan aku ya, Mas." Laila tertunduk, lalu air matanya kembali membasahi pipi.Dan, perlahan tangan Hendra merengkuh Laila dalam pelukkan. Amarah yang tadi sempat menguasai diri menguap begitu saja karena dia pikir Laila sudah benar-benar menyesali perbuatannya. Sebab, istrinya kembali meneteskan air mata. Tanpa lelaki itu sadari, Laila tersenyum sinis dalam pelukkan, merasa bangga bisa meluluhkan hati suaminya hanya dengan memasang wajah sedih dan permintaan maaf, yang sebenarnya tidak tulus dari hati.Setelah itu mereka memutuskan untuk tidur karena hari sudah semakin larut. Tepat dini hari Hendra bangun dan tidak mendapati Laila di ranjang. Lelaki itu mengernyitkan dahi. Ke mana istrinya?Kemudian dia beranjak menuju kamar mandi. Niatnya bangun untuk melakukan ibadah malam yaitu salat tahajut. Nanti setelah salat baru dia mencari istrinya. Begitu pikir Hendra."Eh, kamu bangun, Mas?" Laila yang baru memasuki ka
"Memang bener 'kan situ suka bawa laki-laki ke rumah," ucap wanita bergaya sosialita itu dengan tatapan sinis."Tau dari mana? Kalian itu udah tua harusnya diam di rumah banyak beribadah, bukan gosipin orang nggak jelas." Laila tersengut-sungut tidak terima. Walaupun semua benar adanya. Namun, tetap saja tidak terima menjadi bahan gosip.Dadanya naik turun menahan emosi, takut jika semua orang tahu semakin menyulitkan dirinya jika nanti bertemu Arman. Terutama jika kabar itu sampai ke telinga suaminya, tidak tahu kebohongan apa lagi yang akan dia katakan. Salahnya juga beberapa kali mengajak Arman ke rumah. Dia kira karena tinggal di kota serta komplek tempatnya tinggal jarang bertegur sapa tidak akan ada tempat gibah seperti di kampung. Nyatanya mau di mana pun tinggal tetap saja ada tetangga julid suka menggosip. Wanita itu jadi menyesal."Taulah, jangan kira kita nggak pernah tegur sapa terus kita di sini nggak tau kelakuan kamu," balas wanita itu tak kala emosi, melihat Laila seol
Hujan turun sangat deras malam ini, tetapi tidak mengganggu lelaki yang sedang duduk termenung dengan pandangan lurus ke depan. Air hujan yang mengenai kaki tidak di hiraukan. Pikiran melayang kala pertengkaran bersama sang istri tadi."Jelaslah aku nggak akan kayak gitu lagi, tapi kata-kata Mas yang tadi terkesan menyudutkan aku." Laila berbicara dengan suara keras. Sehingga Hendra mengernyitkan alis. Hanya karena dia melarang Laila bertengkar dan mengatakan jika tidak salah kenapa harus marah. Dia rasa tidak ada yang salah dari ucapannya."Kamu kenapa sih, La?""Alah kamu itu nggak percaya sama aku kan? Padahal kamu tau kalau aku udah berubah! Argggh, ingat aku udah berubah, Mas," pekik Laila, kesal karena Hendra seolah menuduh dirinya selingkuh.Semakin Hendra tenang, Laila semakin khawatir jika suaminya tahu sesuatu dan suatu saat akan membalas perbuatannya. Pikiran itu terus mendominasi hingga dia lepas kendali dan memecahkan gelas yang isinya sudah kosong.Prang!Pecahan gelas
"Kenapa lama banget, sih? Aku nunggu udah jamuran tau. Lagi pula aku nggak bisa lama anakku cuma sebentar aku titipkan sama mertua." Arman baru memasuki kamar hotel menghela napas, mendengar Laila mengomel.Terlihat wajahnya masam dengan tangan terlipat di dada."Maaf, Sayang." Hanya itu yang bisa Arman ucapkan, tidak mungkin memberitahu jika dia terlambat karena ponselnya tertinggal dan juga habis menghabiskan waktu bersama istrinya."Huff, di telepon juga kamu diam aja. Dateng-dateng cuma minta maaf." Laila masih belum puas mengungkapkan kekesalannya.Arman mengerutkan alis. Laila menelepon, kapan? Dia tidak merasa ponselnya berdering sejak tadi. Apa jangan-jangan istrinya? Namun, segara di tepis pikiran itu. Tidak mungkin. Melihat Laila masih merajuk, cepat dia memeluk untuk meredahkan amarah kekasihnya itu. Meski pelukkannya di tepis berulang kali, tetapi Arman tidak menyerah begitu saja, dia terus merayu sampai pada akhirnya Laila diam saat kedua tangan lelaki itu melingkar di p
"Tara ...." Bu Hambar memutar tubuhnya. Sepertinya kejutan yang dia berikan cukup membuat Laila terkejut, terbukti saat ini mulut putrinya menganga.Atau terpesona dengan penampilannya yang berubah bergaya sosialita. "Kamu terkejut 'kan? Iya dong," ujar Bu Hambar diiringi tawa."Mak, ngapain di sini?" tanya Laila, masih belum percaya jika ibunya sekarang berada di sini, di rumahnya. "Terus ini baju apa lagi?"Pakaian hitam putih garis-garis, melekat di tubuh Bu Hambar. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja wanita itu mengenakan warna senada dari ujung kaki hingga ujung kepala yang tidak tertutup kerudung. Sepatu juga menggunakan warna senada sampai bando pun sama. Tidak ketinggalan emas palsu untuk melengkapi penampilannya itu. Laila tepuk jidat melihatnya. Ibunya sudah seperti zebra cross berjalan."Rindulah sama anak Mama, kamu nggak pernah pulang, sih. Baju ini tren orang kaya. Di kampung ibumu ini paling cantik dan modis." Dengan percaya diri Bu Hambar melangkah memasuki
Laila belum percaya mendapat hadiah di saat dia butuh uang untuk menambah modal usahanya. "Ini buat aku?" tanya Laila memastikan langsung diangguki oleh Hendra.Perlahan Laila membuka kotak itu, cincin bergaya klasik bertengger cantik. Apalagi di tambah pantulan dari cahaya lampu membuat cincin terbuat dari emas putih itu semakin berkilau. Hati wanita mana yang tidak senang mendapat hadiah semewah ini dan bisa dijual lagi kala butuh uang. Seperti Laila ini, dia berencana akan menjualnya.Biasanya hadiah yang Hendra berikan cukup sederhana dan tentu saja Laila tidak menginginkannya. Namun, kali ini berbeda sekali sampai Laila tidak mampu berkata-kata. "Ah, makasih Mas, kayak gini dong hadiah yang sesungguhnya. Bukan cuma tanaman terus bunga atau perabotan. Ini lebih aku suka dan tentunya lebih bermanfaat." Pandangan fokus pada cincin yang melingkar di jarinya. Tanpa menyadari perubahan wajah sang suami. Karena tidak ada tanggapan dia pun melihat suaminya.Wajah Hendra tampak murung,
ByurrAir comberan berwarna coklat kehitaman mendarat sempurna di tubuh Laila. Untung Hendra sempat menghindar, jadi lelaki itu hanya terkena sedikit saja. Namun, tiba-tiba perutnya mual mencium bau tak sedap dari air itu. Bergegas ke belakang untuk menumpahkan isi perutnya. Dari pada di sini semakin jorok. Laila masih diam terpaku mendapati dirinya basah dan bau busuk menguar sampai ke indara penciuman. Kemudian dia menatap nyalang sembari mengusap wajahnya."Rasakan wanita g***l."Byur Sekali lagi tubuh rampingnya di siram air yang baunya entah bagaimana. Sulit dijelaskan. Seketika emosi dalam dirinya mencuat. Dia meraih ember dari tangan Puja, lalu melemparkan ke tubuh wanita tambun itu. Bugh!"Rasakan, perempuan gila! Apa-apaan datang-datang marah nggak jelas ini?" Suara Laila terdengar lantang."Apa-apaan?" Puja tersenyum miring. "Apa yang kau buat sama suamiku?" tanya Puja seraya melemparkan foto kebersamaan Laila dan Arman.Karena penasaran Laila mengambil satu foto yang b
Bagai bertemu buah simalakama dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Begitulah keadaan yang Laila rasakan saat ini, serba salah. Mengakui kesalahan akan berimbas pada rumah tangganya. Jika tidak mengakui, tetapi Puja dengan gencar memberikan bukti foto sehingga semua orang menganggapnya bersalah. Mau minta tolong pada siapa?Apalagi kini tatapan orang-orang semua mengarah padanya dengan tatapan sinis. Seperti seorang yang tengah di adili.Namun, meski begitu Laila berusaha tenang agar tidak menimbulkan curiga. Pelan-pelan dia menghembuskan napas untuk menenangkan diri."Jadi bagaimana ini, Mbak Laila?" tanya Pak RT meminta pendapat Laila karena sedari tadi wanita itu hanya diam.Sebelum menjawab Laila melihat sang suami dari ekor matanya yang tengah duduk bersisian dengan dirinya. Rahangnya mengetat serta pandangan lurus melihat foto di atas meja."Hm, bisa aja foto itu di edit, Pak. Zaman sekarang semua udah canggih bisa aja itu di edit. Betul nggak?" ujar Laila setenang mungkin