"Tara ...." Bu Hambar memutar tubuhnya. Sepertinya kejutan yang dia berikan cukup membuat Laila terkejut, terbukti saat ini mulut putrinya menganga.Atau terpesona dengan penampilannya yang berubah bergaya sosialita. "Kamu terkejut 'kan? Iya dong," ujar Bu Hambar diiringi tawa."Mak, ngapain di sini?" tanya Laila, masih belum percaya jika ibunya sekarang berada di sini, di rumahnya. "Terus ini baju apa lagi?"Pakaian hitam putih garis-garis, melekat di tubuh Bu Hambar. Sebenarnya tidak ada yang salah, hanya saja wanita itu mengenakan warna senada dari ujung kaki hingga ujung kepala yang tidak tertutup kerudung. Sepatu juga menggunakan warna senada sampai bando pun sama. Tidak ketinggalan emas palsu untuk melengkapi penampilannya itu. Laila tepuk jidat melihatnya. Ibunya sudah seperti zebra cross berjalan."Rindulah sama anak Mama, kamu nggak pernah pulang, sih. Baju ini tren orang kaya. Di kampung ibumu ini paling cantik dan modis." Dengan percaya diri Bu Hambar melangkah memasuki
Laila belum percaya mendapat hadiah di saat dia butuh uang untuk menambah modal usahanya. "Ini buat aku?" tanya Laila memastikan langsung diangguki oleh Hendra.Perlahan Laila membuka kotak itu, cincin bergaya klasik bertengger cantik. Apalagi di tambah pantulan dari cahaya lampu membuat cincin terbuat dari emas putih itu semakin berkilau. Hati wanita mana yang tidak senang mendapat hadiah semewah ini dan bisa dijual lagi kala butuh uang. Seperti Laila ini, dia berencana akan menjualnya.Biasanya hadiah yang Hendra berikan cukup sederhana dan tentu saja Laila tidak menginginkannya. Namun, kali ini berbeda sekali sampai Laila tidak mampu berkata-kata. "Ah, makasih Mas, kayak gini dong hadiah yang sesungguhnya. Bukan cuma tanaman terus bunga atau perabotan. Ini lebih aku suka dan tentunya lebih bermanfaat." Pandangan fokus pada cincin yang melingkar di jarinya. Tanpa menyadari perubahan wajah sang suami. Karena tidak ada tanggapan dia pun melihat suaminya.Wajah Hendra tampak murung,
ByurrAir comberan berwarna coklat kehitaman mendarat sempurna di tubuh Laila. Untung Hendra sempat menghindar, jadi lelaki itu hanya terkena sedikit saja. Namun, tiba-tiba perutnya mual mencium bau tak sedap dari air itu. Bergegas ke belakang untuk menumpahkan isi perutnya. Dari pada di sini semakin jorok. Laila masih diam terpaku mendapati dirinya basah dan bau busuk menguar sampai ke indara penciuman. Kemudian dia menatap nyalang sembari mengusap wajahnya."Rasakan wanita g***l."Byur Sekali lagi tubuh rampingnya di siram air yang baunya entah bagaimana. Sulit dijelaskan. Seketika emosi dalam dirinya mencuat. Dia meraih ember dari tangan Puja, lalu melemparkan ke tubuh wanita tambun itu. Bugh!"Rasakan, perempuan gila! Apa-apaan datang-datang marah nggak jelas ini?" Suara Laila terdengar lantang."Apa-apaan?" Puja tersenyum miring. "Apa yang kau buat sama suamiku?" tanya Puja seraya melemparkan foto kebersamaan Laila dan Arman.Karena penasaran Laila mengambil satu foto yang b
Bagai bertemu buah simalakama dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Begitulah keadaan yang Laila rasakan saat ini, serba salah. Mengakui kesalahan akan berimbas pada rumah tangganya. Jika tidak mengakui, tetapi Puja dengan gencar memberikan bukti foto sehingga semua orang menganggapnya bersalah. Mau minta tolong pada siapa?Apalagi kini tatapan orang-orang semua mengarah padanya dengan tatapan sinis. Seperti seorang yang tengah di adili.Namun, meski begitu Laila berusaha tenang agar tidak menimbulkan curiga. Pelan-pelan dia menghembuskan napas untuk menenangkan diri."Jadi bagaimana ini, Mbak Laila?" tanya Pak RT meminta pendapat Laila karena sedari tadi wanita itu hanya diam.Sebelum menjawab Laila melihat sang suami dari ekor matanya yang tengah duduk bersisian dengan dirinya. Rahangnya mengetat serta pandangan lurus melihat foto di atas meja."Hm, bisa aja foto itu di edit, Pak. Zaman sekarang semua udah canggih bisa aja itu di edit. Betul nggak?" ujar Laila setenang mungkin
POV HendraSeperti luka lama yang kembali diulik yang sakitnya masih terasa hingga sekarang. Penghianatan yang Laila lakukan dulu aku rasa sudah cukup membuat diri ini terluka. Tetapi, saat ini kembali dihadapkan dengan masalah yang sama. Meski, belum tahu seperti apa kebenarannya. Entah Laila yang benar atau perempuan yang tengah duduk gelisah di samping Pak RT yang benar? Aku tidak tau.Andai saja semua yang Puja katakan benar adanya. Entah bagaimana aku harus bersikap? Haruskan memilih jalan perceraian atau bertahan? Memikirkan itu membuat kepala ini semakin pening belum juga ada kejelasan hingga sekarang.Sudah satu jam menunggu kedatangan suaminya Puja yang akan membuktikan jika Laila dan suaminya ada main di belakangku, tetapi sudah lelah rasanya menunggu orang yang di tunggu tak datang juga. Ibu juga sedari tadi tidak henti-hentinya menangis di sampingku. Mungkin syok karena tidak pernah keluarga mendapati masalah seperti ini, di kerumuni orang banyak. Malu, takut, menjadi satu
"Ya, ini chat mereka ada," ucapku dengan suara lirih dan kepala tertunduk.Seketika Puja menarik ponsel di tangan dan langsung mencocokkan dengan ponsel suaminya. Dia menutup mulut, mungkin tidak menyangkan, sebab chat itu sangat-sangat mesrah. Apalagi di sana mereka membahas usaha bersama. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, entahlah kenapa selama ini tidak menyadari."Jahat kamu, Mas. Penipu!" makinya pada sang suami.Ruangan menjadi riuh, mengetahui kebenarannya. Warga yang kesal tidak segan-segan menoyor kepala lelaki yang duduk diam itu.Beberapa warga juga mengambil kursi sofa, lalu melemparkan pada istriku. Aku mencegah? Tidak, mereka mewakili apa yang ingin kulakukan, tetapi tidak kuasa kulakukan karena dia wanita yang sangat aku cintai dan masih istriku. Meskipun menorekan luka teramat dalam, aku sangat sayang padanya. Sedari dulu duniaku hanya ada dua wanita yaitu Ibu dan Mbak Santi. Ibu sempat khawatir aku punya kelainan karena tidak pernah membawa wanita ke rumah, sebena
Pak RT dan warga pulang, meski tatapan warga tadi terlihat kecewa karena belum tahu akhir dari drama siang ini. Biarlah, lagipula aku tidak ingin rumah tanggaku menjadi konsumsi publik. Sudah cukup malu beberapa warga menceritakan keburukan wanita yang masih menjadi istriku. Dan, keadaan Ibu jauh lebih penting sekarang. Juga aku harus menyiapkan mental untuk nanti malam, sudah bisa di pastikan jika akan banyak menguras tenaga.Sekarang aku berdiam diri di kamar guna menemani Ibu yang masih lemas. Ada juga Laila duduk di ujung ranjang dekat kaki Ibu. Tangannya masih setia memijat bagian kaki dengan kepala tertunduk. Mungkin itu bentuk permintaan maafnya setelah apa yang dia lakukan, tetapi rasanya tidak semudah itu memberi maaf.Tidak ada obrolan di antara kami, hanya deru napas masing-masing dari kami yang terdengar.Sedangkan mertuaku sedari tadi sibuk mengurus Ahmad. Anak itu tumben sekali tidak rewel, padahal biasanya jika aku di rumah selalu saja menempel seperti perangko. Mungkin
"Mi, aku nggak mau kita pisah. Aku nggak mau! Aku janji nggak bakal buat kayak gini lagi. Aku janji!" Arman mengangkat tangan, lalu membentuk jari dengan huruf V sembari terus memohon di hadapan Puja.Lantas Laila yang berada di sampingku terlihat membuang muka. Apakah istriku cemburu? Jika iya, tentu rasa yang selama ini dia berikan padaku hanya kepalsuan."Dulu kamu juga gitu. Tapi, nyatanya sekarang apa? Udah kalau kamu mau nikah sama selingkuhan kamu, aku persilahkan." Puja beranjak, lalu berpamitan pada kami semua lantas meninggalkan rumah, meski Arman sudah mencegahnya.Haruskah aku melakukan hal yang sama seperti yang Puja lakukan? Entahlah aku masih dilema antara berpisah atau bertahan."Arman jangan pergi! Ini belum selesai," ucap Pak RT menghentikan langkah Arman yang ingin mengejar istrinya."Tapi, saya udah nggak ada urusan lagi.""Duduk kamu!" Suara Paman Ardi meninggi hingga membuat kami semua terjingkat. Terpaksa Arman duduk kembali, sepertinya dia takut dengan wajah
"Apa-apaan ini, Mas?" "Rasakan! Buat malu. Bukannya untung malah dapat malu nikahin kamu. Cantik-cantik murahan. Cuih!" Lelaki bertubuh tambun serta rambut putih memenuhi kepalanya itu berkacak pinggang setelah mendorong istrinya hingga terjerembap. Tidak puas sampai di situ dia pun membuka ikat pinggang, lalu diayunkan hingga mengenai punggung wanita yang sudah setahun menjadi istrinya. Tidak ada belas kasihan karena emosi membakar hati.Plak! Plak!"Ampun, Mas ...." rintih Laila.Ya, wanita itu adalah Laila yang sudah menikah dengan juragan tanah di kampung satu tahun lalu ...."Mak, apa-apaan ini? Aku nggak mau nikah sama dia. Udah tua!" kata Laila kala baru tiba di rumah."Tapi kaya, dari pada kau kejar terus Hendra itu nggak dapet-dapet. Jamuran aku nunggu kaya. Sekarang rumah ini hasil dari juragan Seno. Mau nggak mau kau harus nikah sama dia.""Nggak!"Para tamu undangan saling pandang melihat perdebatan ibu dan anak itu. Begitu juga Juragan Seno merasa di permalukan karena m
Sudah satu jam Hendra bersama yang lainnya mencari Ahmad, tetapi belum juga mendapatkan titik terang.Pikiran semakin kalut kala melihat awan mulai berubah warna kuning keemasan, sebentar lagi waktu magrib tiba. "Gimana Ndra, udah ketemu belum, Le?" tanya Bu Tari di seberang telepon.Wanita paruh paya itu menunggu di rumah harap-harap cemas, tidak bisa ikut mencari karena sejak Ahmad hilang tubuhnya tiba-tiba lemas tak bertenaga dan tidak berhenti menangis. "Belum Buk, ini Saka, Hendra masih fokus ke jalanan.""Kalau udah ketemu langsung kabari Ibuk, ya," kata Bu Tari dengan suara parau. Setelah mengiyakan lantas sambungan telepon terputus."Gimana ini Ndra, belum ketemu juga?" tanya Saka yang mengemudi menyusuri jalanan.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Hendra. Pandangan tidak lepas sepanjang jalan, dengan teliti mencoba mencari Ahmad di tengah padatnya jejeran rumah hingga tepi jalan raya. Bibirnya tidak berhenti melapaskan nama Allah agar hati lebih tenang, meski situasi
Beberapa kali Laila mencoba menemui Ahmad di luar hanya mendapat kegagalan. Padahal dia ingin sekali menggunakan Ahmad sebagai alat agar uang terus mengalir ke dompetnya. Namun, ada saja halangannya. Kini, dia kembali mencoba, tetapi di rumah Bu Tari. Berharap Ahmad bermain di luar.Baru percobaan pertama mendapat penolakan dari penjaga rumah. Dia kekeuh ingin masuk hingga memancing amarah. Tanpa rasa hormat penjaga tersebut menyeret Laila hingga jauh dari rumah majikkannya."Lebih baik, Mbak pergi dari sini.""Huuu, dasar pembantu kurang ajar," makinya kesal sembari berjalan menjauh.Wanita itu tidak menyerah, dia mencari tempat sembunyi menunggu Hendra keluar rumah, baru menemuinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Laila tersenyum lebar saat melihat mobil Hendra keluar. Cepat dia menghadang.Decitan ban mobil dan jalan memekakan telinga. Terpaksa ngerem mendadak. Lantas Hendra dan Saka saling pandang melihat wanita berdiri merentangkan tangan."Laila," gumam Hendra tak percaya dengan p
Berkat bantuan ibunya kini Laila benar-benar terlepas dari Arman, lelaki yang diperjuangkan, tetapi penuh perjuangan pula saat ingin lepas darinya. Laila mengancam akan membunuh jika Arman tidak pergi. Mau tidak mau, setelah terucapnya talak Arman pergi dari kampung, membawa amarah terpendam.Sekarang dengan tekat yang kuat, Laila akan berangkat ke tempat di mana dia selalu di jadikan ratu. Cukup sudah penderitaannya yang dia rasakan. Berbekal uang hasil kerja keras menjadi buruh dia pergi menggunakan bus. Dia duduk gelisah, tidak sabar menemui lelaki yang selalu berada dalam benaknya. Berharap dalam hati sang pujaan hati belum memiliki tambatan hati baru.Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Laila sampai di terminal."Akhirnya .... Aku datang, Mas ...." ucapnya sembari menghirup udara kota yang sudah lama tidak dirasakan. Bibirnya tidak henti tersenyum.Rindu kian menggebu kala mengingat semua kenangan manis bersama Hendra berputar bak karet. Padahal dulu Laila menganggap
"Paket .... Paket ....""Iya, paket dari siapa, Mas?" tanya Laila pada kurir. Merasa heran tidak biasanya ada paket."Ada alamatnya di situ, Kak, bisa dilihat sendiri."Wanita yang mengenakan kerudung instant itu mendengkus. Tentu dia tahu, hanya saja malas membaca siapa pengirimnya. Bertanya lebih mudah, begitu menurut Laila.Setelah membubuhkan tanda tangan, kurir segera pergi meninggalkan Laila yang wajahnya berubah masam."Apa sih, ini?" Dibaca alamat yang tertera. Betapa senangnya Laila tahu jika pngirimnya adalah Hendra. Tanpa sadar dia senyum-senyum sendiri membayangkan isinya. Sebab, teringat ibunya yang menelepon meminta uang pada mantan suaminya itu."Apa uang, ya. Tapi, ringan. Apa surat rumah?" Laila menerka-nerka seraya membuka bungkusan itu. Tidak sabar mengetahui isinya. Jika benar dugaanya, betapa senang hidupnya."Eh, apaan tuh, La? Tumben banget dapet paket?" tanya Wak Ijah yang lewat seketika Laila menghentikan aktivitasnya."Bukan urusan Uwak, paket-paketku juga."
"Kenapa uangnya cuma segini!" bentak Arman karena Laila membawa pulang uang hanya lima puluh ribu saja."Memang adanya segitu. Lihat ini tanganku melepuh kerja dari pagi sampai jam segini. Pulang-pulang malah dapet amukan. Kita cerai aja!" teriak Laila tidak kalah kuat. Mencoba untuk tidak kalah. Lantas melangkah pergi, tetapi baru beberapa langkah Arman mencekal tangannya.Plak! Plak!"Apa katamu? Cerai? Enak aja. Atau mau aku viralkan video kita?" tanya Arman sembari menunjuk-nunjuk wajah wanita yang baru sehari menjadi istrinya.Serangan yang tiba-tiba membuat Laila terduduk di lantai, tak kuasa menahan tangis. Bukan karena sakitnya tamparan, tetapi tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan tekanan lelaki yang kini menatap nyalang ke arahnya. "Nangis? Gitu aja nangis?" teriak Arman. Urat lehernya sampai terlihat karena terlalu emosi."Kalian ini kenapa sih, ribut terus. Lihat itu, semua ketakutan." Bu Hambar menunjuk anak-anaknya yang mengintip di balik pintu kamar.Sepasang suami
"Nah, ini Pak RT dia bawa laki-laki masuk ke rumah ini," ujar Wak Ijah sembari menunjuk wajah Laila."Usir aja! Usir!"Iya usir dari kampung kita!"Mengerti maksud wanita di hadapannya, seketika Laila panik. Apalagi terdengar sahutan dari beberapa warga yang meminta dirinya di usir. Belum hilang rasa sakit dipukul sang ibu, kini harus menghadapi kenyataan bahwa warga sudah tahu keberadaan Arman. Dia melihat ibunya serta lelaki yang sama paniknya dengan dirinya. Bingung harus berbuat apa. Sedangkan Arman segera menjauh tahu situasi tidak aman, sebelum warga menyadari keberadaannya."Ada apa ini Pak? Kenapa ribut di rumah saya?" tanya Bu Hambar yang baru beranjak dari duduknya seraya mengerutkan alis bingung. Sebab, pelataran rumah penuh dengan warga dan tatapan sinis terasa menusuk.Belum lagi dia melihat kumpulan geng gibah ikut serta. Mereka tersenyum remeh, membuat Bu Hambar geram."Begini Buk, ibu-ibu di sini heboh karena melihat Laila bawa laki-laki selain suaminya masuk ke rumah
"Tumben pulang? Ada angin apa?" tanya Bu Hambar. Terkejut melihat putrinya pagi-pagi sudah berdiri di depan pintu dengan dua koper di bertengger cantik di belakangnya."Aku laper mau makan." Tanpa memperdulikan tatapan protes dari sang ibu, Laila menerobos masuk.Tubuhnya lelah minta istirahat setelah melakukan perjalanan cukup panjang. Ya, tadi malam Arman berhasil mencari bus tercepat menuju desa hingga pagi-pagi buta telah sampai di rumah ibunya. Meski harus bertaruh nyawa karena supir bus yang ugal-ugalan.Dia langsung menuju dapur mencari makanan, lalu setelahnya memeriksa baju-bajunya agar terlihat sibuk, tidak ingin mendapat pertanyaan yang tentu sulit di jawab. Sementara itu Bu Hambar yang akan pergi ke sawah mengurungkan niatnya. Menatap penuh curiga gelagat putrinya yang tidak biasa. Menjadi orang sok sibuk. Tahu betul anaknya tidak pernah serajin dan tanpa ada sebab pulang begitu saja. "Kenapa pulang sendiri? Mana Hendra?"Pertanyaan itu menghentikan aktivitas Laila. Dili
Sudah seminggu sejak Laila memutuskan meninggalkan rumah. Sejak itu pula Ahmad tidak berhenti menangis mencari ibunya.Selalu menanyakan di mana ibunya, kenapa belum kembali. Tidak satu pun Hendra jawab, hanya mencoba mengalihkan perhatiannya. Namun, hanya bertahan sebentar saja karena setelahnya Ahmad kembali menangis."Amad berhentilah nangis, Nak." Hendra mulai frustasi menghadapi anaknya yang menangis sejak bagun pagi.Tadi Hendra di bantu Saka, hanya diam sebentar lalu menangis lagi. Hingga akhirnya Hendra meminta sahabatnya itu untuk pergi menggantikan dirinya di bengkel. Mau sepercaya apapun pada kariyawan bengkel tidak bisa di tinggal begitu saja.Sudah beberapa hari ini Hendra tidak bekerja, harinya habis untuk bermain dan menenangkan Ahmad saat menangis mencari Laila hingga penampilannya kacau. Tubuh wangi serta baju rapi tidak ada lagi, hanya ada kantung mata hitam karena terlalu sering bergadang."Amad mau Bubu, Ayah .... Bubu kemana nggak pulang-pulang?" tanya anak kecil