Share

Bab 3

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-29 20:58:40

Sinar mentari menerobos cela jendela kamar. Mas Alvan sedikit terusik hingga menarik selimut menutupi kepala. Jarum jam sudah menujukkan angka tujuh, tapi suamiku masih enggan beranjak dari ranjang empuk.

Mas Alvan memang sudah bangun untuk shalat subuh tapi tidur lagi dan sampai sekarang belum juga membuka mata. Katanya semalam ingin dinas ke luar kota. Tapi kok masih tidur saja.

Kugelengkan kepala melihat kebiasaan buruk suamiku. Berulang kali ku nasehati tapi tetap saja diulangi lagi. Dan lama-lama aku lelah sendiri.

Kumasukkan kemeja dan keperluan lain di dalam koper. Kuperiksa lagi semua barang agar tak ada satu pun yang tertinggal. Kasihan kan jika ada yang tertinggal.

"Mas ...." Ku elus perlahan pipinya. Kukecup kening agar ia segera membuka mata. Ini adalah kebiasaan kami saat membangunkan pasangan.

Mas Alvan mengeliat lalu membuka matanya perlahan. Senyum merekah tergambar jelas di bibirnya. Tetap mempesona meski belum mandi.

"Morning sayang," ucapnya sambil mengecup mesra keningku.

Suamiku begitu romantis dan hangat. Aku menjadi malu sendiri karena telah berburuk sangka kepadanya. Rasa jenuh menunggu hadirnya sang buah hati membuatku mudah terpancing emosi. Untung Mas Alvan begitu sabar menghadapiku. Aku sangat beruntung memiliki suami seperti dia.

"Sudah jam tujuh, mas. Katanya mau ke luar kota tapi jam segini baru bangun."

"Kalau tidur ditemani kamu rasanya betah sampai tidak mau bangun, he he he." Pipiku memerah mendengar ucapannya. Mas Alvan memang pandai membuat hati istrinya berbunga-bunga. Ini yang membuat aku semakin jatuh cinta padanya.

"Udah ah gombalnya! Mas mandi dulu gih!" Ku tarik tubuhnya hingga selimut terjatuh di atas lantai.

Kuambil benda yang digunakan untuk menutup tubuh Mas Alvan. Saat berdiri, suamiku justru memeluk tubuhku dari belakang. Hangat saat tubuhnya menempel di tubuhku hingga membuat jantung berdetak tak menentu.

Kami memang sudah enam tahun menjalani biduk rumah tangga. Namun jantung masih berdetak tak menentu kala tubuh kami menyatu. Seakan ada aliran listrik yang menempel di sekujur tubuh. Sudah persis anak ABG sedang pacaran saja.

Senyum mengembang kala Mas Alvan memperlakukan diriku bak permaisuri. Hingga tak sengaja aku melihat pantulan diri di dalam cermin.

Senyum yang sempat mengembang sirna sudah.

Aku dan Mas Alvan bak angka sepuluh. Mas Alvan angka satu sedang diriku angka nol. Sungguh bukan pasangan yang serasi.

Teringat kembali penolakan Mas Alvan saat aku ingin ikut ke luar kota. Apa karena badanku yang gembul hingga membuat Mas Alvan malu mengajakku.

Bulir bening nanti asin jatuh membasahi pipi. Aku merasa tak pantas bersanding dengan Mas Alvan. Aku sudah tak secantik dulu. Badanku sudah melar seperti ibu anak dia. Padahal kenyataannya aku belum dikaruniai seorang anak.

"Kenapa kamu menangis, Al?" Mas Alvan membalikkan tubuhku. Kedua tangannya dengan sigap menghapus air mata yang menempel di pipi.

"Aku malu Mas, badanku melar begini. Rasanya tak pantas jalan berdua dengan kamu."

"Siapa yang bilang? Kamu itu cantik. Ini namanya tidak gendut tapi seksi sayang. Mas, lebih suka kamu seperti ini. Kalau kamu kurus orang-orang mengira kamu tidak bahagia hidup bersama Mas." Kupeluk erat tubuhnya.

Terima kasih Tuhan, Engkau kirimkan suami berhati malaikat seperti Mas Alvan. Aku sangat bahagia memilikinya.

"Mas mandi dulu ya, nanti ketinggalan pesawat lagi." Ku lepas tanganku yang menempel di tubuhnya walau rasanya enggan.

***

Kuletakkan roti dan selain di atas meja. Tak lupa secangkir kopi untuk Mas Alvan. Ini adalah menu sarapan suamiku. Roti dengan selai kacang atau nanas. Mas Alvan lebih menyukai sarapan roti dibanding nasi. Berbeda denganku yang suka sarapan nasi. Rasanya kurang afdol jika sarapan tanpa nasi.

Setiap orang memiliki selera dan kesukaan yang berbeda. Begitu pula dengan aku dan Mas Alvan. Seperti menu sarapan saja sudah berbeda belum kesukaan yang lain. Aku lebih suka menonton film romantis sedang Mas Alvan menyukai film horor.

Kalau dipikir-pikir perbedaan kami memang banyak. Namun bukan berarti banyaknya perbedaan membuat kami menjadi jauh. Tapi justru sebaliknya, banyaknya perbedaan kian membuat kami menghargai perasaan satu dan lainnya. Terbukti sampai detik ini kami masih hidup harmonis.

"Tumben sarapan roti?" tanya Mas Alvan sambil menjatuhkan bobot di sampingku.

"Pengen saja sekali-kali sarapannya seperti Mas." Kugigit roti dengan selain coklat di dalamnya.

"Nanti kalau kelaparan gimana hayo?" Ledeknya lalu mengoleskan selai kacang di atas roti tawar.

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan suamiku. Mas Alvan memang tahu segalanya tentangku. Hal sepele seperti ini saja dia begitu peka. Apalagi hal besar lainnya.

"Nanti makan lagi mas," ucapku kemudian. Mesti aku belum tahu akan makan lagi atau tidak . Bayangan tubuhku seperti angka nol kembali mengusik ku. Ah, sepertinya aku harus mengurangi berat badan agar lebih menarik lagi

Tiing...

Satu notifikasi pesan masuk di ponsel Mas Alvan. Sambil mengunyah Mas Alvan membuka ponsel dengan tangan kirinya. Senyum mengembang membaca pesan tersebut. Entah dengan siapa dia berkirim pesan.

Berkali-kali ponsel suamiku berbunyi. Ia masih saja sibuk dengan ponsel hingga mengabaikan diriku.

"Mas Alvan berkirim pesan dengan siapa sih?" batinku bertanya-tanya.

Tawa renyah keluar dari mulut Mas Alvan. Rasa penasaran membuatku ingin bertanya dengan siapa ia berkirim pesan w******p hingga membuatnya begitu bahagia. Wajahnya seperti anak muda yang sedang kasmaran. Jujur aku cemburu. Cemburu dengan sebuah ponsel.

"Pesan dari siapa Mas? Sampai ketawa gitu?" tanyaku penasaran.

"Ini pesan dari teman SMP, dia mengirim gambar lucu hingga membuatku tertawa begini," jawabnya dengan mata tetap fokus di layar ponsel.

Entah kenapa ada rasa tak percaya dengan ucapannya. Namun ku coba menepis segala prasangka buruk. Aku tak mau kejadian paket bayi terulang kembali. Sudah cukup aku menuduh suamiku yang bukan-bukan.

Kepercayaan adalah kunci langengnya sebuah hubungan. Dan aku akan percaya pada suamiku.

"Mau berangkat sekarang, Mas?" tanyaku setelah kami selesai sarapan.

"Iya sayang, takut terlambat. Mas ambil koper dulu, kamu tunggu di sini," ucapnya lalu beranjak pergi meninggalkanku.

Bi Ati lewat sambil membawa kantung plastik berisi sayuran segar. Beliau pasti berbelanja di abang sayur yang mangkal tak jauh dari rumah.

Astaga, kenapa aku bisa lupa untuk mentrasfer gaji bi Ati. Bi Ati adalah pembantu rumah tangga kami. Dia memang minta gajinya ditansfer agar lebih mudah saat ingin mengirimkan uang ke kampung halaman. Beliau seorang janda dengan empat orang anak. Dua orang anak sudah menikah dan dua lagi masih duduk di bangku sekolah atas kelas satu dan tiga.

Kasihan jika melihat kehidupan beliau. Ini juga salah satu alasan aku memilihnya sebagai asisten rumah tangga di sini. Beliau adalah tetangga Bi Asih, asisten rumah tangga mama.

Takut kalau aku sampai lupa lagi, ku langkahkan kaki menuju kamar yang terletak di lantai atas. Ku jalan perlahan, sekalian mengejutkan Mas Alvan. Ia pasti terkejut saat tiba-tiba aku sudah ada di belakangnya.

Pintu kamar sedikit terbuka, langkahku kian mendekat.

"Kamu tenang saja, si gembrot Alia tak akan tahu. Tapi lain kali jangan kirim pakaian bayi atau rencana kita akan gagal."

DEG

Ku urungkan niat masuk ke kamar. Tubuhku lemas seakan tak ada tulang di dalamnya. Bulir bening mengalir tanpa bisa ku bendung.Ku cubit tangan, berharap semua hanya mimpi tapi kulit tangan terasa sakit. Ya Tuhan, ini bukan mimpi.

Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku.

Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku?

Apa yang akan dilakukan Alia ya?

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Ruqi Ruqiyah
jln ceritanya biasa ...perempuan yg terlalu percaya akibat terlalu cints
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
diet keras Alya.....ayo semangat ...
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
Hajar aja laki2 ky gitu ....ngatain gembrot lgi.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Salah Kirim Paket   Dia orangnya

    Apa yang dilakukan Mas Alvan di belakangku. Siapa yang berbicara di telepon dengan suamiku? Aku termenung beberapa saat. Tak tahu harus bagaimana? Duniaku seakan runtuh seketika. Ingin rasanya ku maki dan tampar Mas Alvan. Namun urung ku lakukan. Aku harus mencari kebenaran di balik paket baju bayi itu. Sejujurnya aku masih tak percaya jika suami yang kubanggakan begitu tega. Aku masih berharap jika ini mimpi dan saat terbangun semua akan kembali baik-baik saja. Namun sayang ini adalah sebuah kenyataan. Telingaku masih berfungsi dengan baik. Tak mungkin aku salah dengar. Suami yang kupuja ternyata menusuk dari belakang. Remuk redam hatiku. Kalau saja bukan suamiku pasti rasanya tak sesakit ini. Aku masih bersandar di dinding. Sekuat tenaga aku berdiri tegak. Ku hapus air mata yang terlanjur jatuh membasahi pipi. Aku tak akan bertanya apa pun kepada Mas Alvan. Karena dia pasti akan mencari alasan seperti paket baju kemarin. Aku akan mencari sendiri kebenarannya. Dan aku masih be

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-29
  • Salah Kirim Paket   Cucu?

    Aku keluar dari baby shop dengan perasaan tak karuan. Aku masih tak percaya dengan apa yang tadi ku lihat. Lalu untuk apa dia membeli pakaian bayi dan mengirimkannya ke alamat rumahku? Kata-kata Mas Alvan tadi pagi kembali terngiang di telinga. Gembrot? Bukankah dia selalu berkata jika aku seksi tapi kenapa tadi pagi justru mengolok tubuhku yang tak ideal. Apa yang ada di pikiranmu, Mas. Sekarang saja aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiranmu. Dan Mas Alvan mengatakan sebuah rencana. Rencana apa yang dimaksud Mas Alvan. Kepalaku justru pusing memikirkan teka-teki itu. Aku duduk di depan kemudi sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Bayang-bayang Mas Alvan berkhianat menari-nari dalam angan. Aku tak pernah bermimpi ada di posisi seperti ini. Kukira cerita suami berkhianat hanya ada di dalam sinetron atau novel belaka. Namun ternyata aku sendiri mengalaminya.Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Beri aku petunjuk"Mbak! Mbak!" Seorang tukang parkir berjalan mendekat k

    Terakhir Diperbarui : 2022-06-29
  • Salah Kirim Paket   Keluarga Ular

    Aku masih mematung di balik tembok. Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Kututup mulut dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar. Dada terasa sesak mendengar kenyataan itu. Sakit dan perih yang kini ku rasakan. Bahkan aku masih tak menyangka, bukan hanya Mas Alvan yang berdusta tapi seluruh keluarganya bermuka dua. Di depanku saja mereka baik tapi di belakang mereka menikam. Apa yang membuat mereka tega kepadaku? Aku bahkan rela membantu biaya kuliah Sasya. Aku juga yang telah membiayai kehidupan mereka. Membangun rumah hingga seperti ini. Namun balasan apa yang ku dapat? Sebuah pengkhianatan. Ya Tuhan. Selama ini aku memelihara ular yang kapan saja bisa melilit dan mematuk hingga racunnya perlahan membuatku terkapar tak berdaya. "Pokoknya kalian harus bersikap seperti biasa. Jangan sampai dia curiga dan rencana kita semua akan hancur berantakan!" Rencana? Rencana apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Apa ini menyangkut pernikahanku atau menyangkut harta.

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-08
  • Salah Kirim Paket   Kekuarga Ular 2

    Ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Mataku membulat sempurna melihat penampilan kedua perempuan beda usia itu. Sasya memakai rok di atas lutut dengan kaos ketat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Sedang ibu memakai dress bermotif bunga-bunga dengan warna pink cerah. Dandanan wanita paruh paya itu cetar membahana. Lipstik merah menyala dan bulu mata palsu menambah penampilannya semakin sempurna. Bahkan ibu sudah seperti ondel-ondel. Astaga, aku ingin tertawa tapi takut ibu merajuk dan gagal lah rencanaku. "Kamu yakin mau pakai baju itu Sa?""Yakinlah mbak, aku cantik gini."Aku hanya diam tanpa berdebat. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ibu dan Sasya terlihat riang. Tunggulah kebahagiaan kalian tak akan berlangsung lama. "Nah gini dong Mbak,ke salon biar cantik tidak gembrot dan dekil?" Ibu langsung mencubit tangan Sasya dari belakang. "Ibu apaan sih! Memang kenyataannya begitu," ucap Sasya tanpa disaring. Kuhembuskan nafas kasar. Memang benar ucapan Sasy

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-09
  • Salah Kirim Paket   Kejutan Untuk Keluarga Ular

    Krucuuuk... Krucuuuk .... Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman. Kulihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan. "Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu. Kulihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur. "Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan. "Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku. "Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku. Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hany

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-09
  • Salah Kirim Paket   Kemarahan Alvan

    Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka. Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main. Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku. Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku. Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mere

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan

    Pov AlvanAku begitu gembira melihat peper bag berwarna merah di atas ranjang. Tepatnya di sebelah pakaianku. Alia memang selalu memberikan kejutan untukku. Tapi sayang, dia tak bisa hamil. Dan itu alasan kenapa aku menikah lagi. Ya, meski tanpa sepengetahuan darinya. Karena lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Toh aku memiliki uang. Uang Alia lebih tepatnya. Tapi selama dia tak tahu tak masalah kan? "Kamu pasti kasih surprise ya sayang?" ucapku senang. Alia masih diam membisu, bahkan tatapannya tajam ke arahku. Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti itu."Ini untuk Mas, sayang?" tanyaku lagi sambil mengambil paper bag itu. Mataku membulat sempurna saat melihat isi peper nag berwarna merah itu. Pakaian bayi! Apa maksud Alia memberiku pakaian bayi. Apa dia tengah hamil? Atau Jangan-jangan .... "Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyanya datar. Ada aura kemarahan dari ucapannya. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang mengirim pakaian

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan 2

    Pov AlvanSenyum merekah saat aku membuka mata. Bukan, bukan karena kecupan dari Alia tapi karena hari ini aku akan bertemu Aira, anak kesayanganku. Tak sabar ingin segera menggendong buah hatiku dengan Mega. Ting... Satu pesan masuk dari nomor Mega. Sengaja tak ku simpan nomornya agar Alia tak mencurigai. Meski dia tak akan bisa membuka ponsel karena sudah ku beri sandi. Dan ia tak akan tahu,karena sandinya adalah hari kelahiran putri cantikku. [Paket baju bayi itu dari Sasya.]Darahku mendidih seketika setelah membaca pesan dari istriku itu. Memang dasar adik tak tahu terima kasih. Untung saja Alia tak curiga, kalau saja dia tahu. Akan ku hajar Sasya, tak perduli jika dia adik kandungku sendiri. Amarah ku mereda saat Mega kembali mengirimkan pesan padaku. Sebuah foto Aira yang sangat mengemaskan membuatku tersenyum sendiri. Aku sampai tak menghiraukan keberadaan Alia yang ada di sampingku. Memang dasar dia bod*h, sama sekali dia tak curiga jika aku tengah berkirim pesan dengan M

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-11

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

  • Salah Kirim Paket   Penolakan Rizal

    Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma

  • Salah Kirim Paket   Hasil Tes DNA

    "Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama

  • Salah Kirim Paket   Sama

    "Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang

DMCA.com Protection Status