Share

Kekuarga Ular 2

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-09 09:35:26

Ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Mataku membulat sempurna melihat penampilan kedua perempuan beda usia itu. Sasya memakai rok di atas lutut dengan kaos ketat. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Sedang ibu memakai dress bermotif bunga-bunga dengan warna pink cerah. Dandanan wanita paruh paya itu cetar membahana. Lipstik merah menyala dan bulu mata palsu menambah penampilannya semakin sempurna. Bahkan ibu sudah seperti ondel-ondel.

Astaga, aku ingin tertawa tapi takut ibu merajuk dan gagal lah rencanaku.

"Kamu yakin mau pakai baju itu Sa?"

"Yakinlah mbak, aku cantik gini."

Aku hanya diam tanpa berdebat.

Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Sepanjang jalan ibu dan Sasya terlihat riang. Tunggulah kebahagiaan kalian tak akan berlangsung lama.

"Nah gini dong Mbak,ke salon biar cantik tidak gembrot dan dekil?" Ibu langsung mencubit tangan Sasya dari belakang.

"Ibu apaan sih! Memang kenyataannya begitu," ucap Sasya tanpa disaring.

Kuhembuskan nafas kasar. Memang benar ucapan Sasya tapi rasanya sakit jika mendengar kata itu diucapkan tepat di depanku.

"Maafkan Sasya ya Al. Adik kamu ngomongnya suka ceplas-ceplos."

Aku hanya mengangguk, bukankah dalam hati ibu menyetujui ucapan Sasya. Dasar munafik.

Mobil berhenti tepat di depan salon muslimah. Salon mewah yang biasa ku kunjungi. Ini adalah salon dengan tarif menguras kantong karena pelayanan yang sangat memuaskan.

Ibu dan Sasya berjalan terlebih dahulu. Aku mengekor di belakang. Mereka berdua tengah sibuk memilih perawatan apa.

Aku berjalan ke arah lita pegawai salon yang sering menangani ku.

"Lita!" Tangganku melambai ke arahnya.

"Mbak Alia lama gak kemari. Mau perawatan apa, mbak?"

"Biasa tapi hari ini aku mau dengan yang lain dulu."

"Pelayanan Lita tidak memuaskan ya mbak?" tanyanya dengan raut kecewa.

"Gak kok, kamu layanin adik iparku saja." Ku tunjukkan wanita dengan kaos merah muda.

"Tapi kenapa, mbak? Kok gak dia saja yang sama orang lain?"

Kubisikkan sebuah rencana di telinganya. Awalnya dia menolak, tapi aku bisa meyakinkan Lita jika semua tanggung jawabku.

Kita lihat apa yang akan terjadi pada kalian, keluarga ular!

"Mau perawatan apa bu?" tanya Sasya.

Ibu masih diam, bingung mungkin karena ini kali pertama dia ikut ke salon. Selama ini ibu hanya suka berbelanja tanpa mau ke salon. Aku sedikit heran kenapa kali ini wanita dengan penampilan norak itu ikut ke salon.

"Sama kaya kamu saja, Sa. Ibu gak tahu," jawabnya dengan suara pelan. Mungkin dia malu.

Aku sendiri saja harus tutup muka saat ibu mertua ikut ke salon. Bukan karena dia baru pertama kali menginjakkan kaki di sini. Tapi karena penampilannya sangat kampungan. Hari ini hancurlah reputasi ku sebagai Alia pengusaha mebel.

Dulu aku selalu maklum dan berusaha memahami bagaimana pun penampilan ibu Mas Alvan. Namun setelah mengetahui pengkhianatannya, rasa benci pun tubuh dengan sendirinya di hati.

Dengan wajah sumringah Sasya memilih semua perawatan tubuh. Dari facial, spa, dan lain sebagainya. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Terlihat jelas jika mereka memanfaatkan harta kekayaanku. Mereka memang keluarga parasit.

Hari ini aku hanya memilih perawatan rambut saja. Bukan tanpa alasan, aku ingin menjalankan rencana agar mereka berdua sedikit kapok bermain-main denganku.

Senyum mengembang tergambar jelas di wajahku saat membayangkan terkejutnya duo ular. Ya Tuhan, semoga Engkau memaafkan diriku ini.

Kami menjalani perawatan masing-masing. Aku dan duo ular menjalani perawatan di tempat yang berbeda karena memang kami memilih perawatan yang tidak sama.

Guyuran air mendinginkan panasnya kepala. Memikirkan berbagai cara cantik untuk membalas pengkhianatan mereka tidaklah mudah. Jika bisa dilihat mungkin kepalaku sudah mengeluarkan asap saking panasnya. Pijitan pelan dari Mbak Umi membuatku merasa mengantuk saja.

Walaupun mengantuk tapi aku berusaha untuk tidak terlelap. Aku tak ingin rencanaku hancur karena tertidur.

Tak terasa sudah satu jam aku menjalani perawatan rambut. Sasya dan ibu masih ada di dalam karena perawatan yang mereka pilih banyak. Hampir semua perawatan di salon ini mereka jalani.

"Mbak bayarnya nanti ya, ibu saya masih di dalam. Saya mau mengambil dompet di mobil dulu." ucapku pada karyawan bagian kasir.

"Baik mbak."

Mereka pasti memperbolehkan aku membayar nanti karena aku adalah salah satu pelanggan tetap di salon ini. Walau sudah lama tak berkunjung kemari. Namun mereka masih hafal betul denganku.

Melangkah menuju mobil yang terparkir tak jauh dari salon. Ku buka bagasi mobil. Ku keluarkan kartu kredit dan kartu debit lalu memasukkannya ke paper bag yang berisi pakaian bayi.

Ya, peper bag berisi pakaian bayi itu sempat ku pindahkan tanpa sepengetahuan ibu maupun Sasya. Sebelum kami berangkat ibu mengeluh sakit perut dan harus ke kamar mandi. Sasya sendiri lebih memilih menunggu di ruang tamu. Kesempatan itu ku gunakan untuk memindahkan peper bag ke bagasi mobil.

Allah memang menyayangi hambanya. Terbukti hari ini Allah memberi banyak pertolongan. Mulai membuka kebusukan keluarga Mas Alvan hingga mempermudah rencanaku hari ini.

Alhamdulillah,tak hentinya aku bersyukur.

Bab terkait

  • Salah Kirim Paket   Kejutan Untuk Keluarga Ular

    Krucuuuk... Krucuuuk .... Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman. Kulihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan. "Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu. Kulihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur. "Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan. "Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku. "Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku. Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hany

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-09
  • Salah Kirim Paket   Kemarahan Alvan

    Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka. Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main. Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku. Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku. Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mere

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan

    Pov AlvanAku begitu gembira melihat peper bag berwarna merah di atas ranjang. Tepatnya di sebelah pakaianku. Alia memang selalu memberikan kejutan untukku. Tapi sayang, dia tak bisa hamil. Dan itu alasan kenapa aku menikah lagi. Ya, meski tanpa sepengetahuan darinya. Karena lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Toh aku memiliki uang. Uang Alia lebih tepatnya. Tapi selama dia tak tahu tak masalah kan? "Kamu pasti kasih surprise ya sayang?" ucapku senang. Alia masih diam membisu, bahkan tatapannya tajam ke arahku. Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti itu."Ini untuk Mas, sayang?" tanyaku lagi sambil mengambil paper bag itu. Mataku membulat sempurna saat melihat isi peper nag berwarna merah itu. Pakaian bayi! Apa maksud Alia memberiku pakaian bayi. Apa dia tengah hamil? Atau Jangan-jangan .... "Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyanya datar. Ada aura kemarahan dari ucapannya. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang mengirim pakaian

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan 2

    Pov AlvanSenyum merekah saat aku membuka mata. Bukan, bukan karena kecupan dari Alia tapi karena hari ini aku akan bertemu Aira, anak kesayanganku. Tak sabar ingin segera menggendong buah hatiku dengan Mega. Ting... Satu pesan masuk dari nomor Mega. Sengaja tak ku simpan nomornya agar Alia tak mencurigai. Meski dia tak akan bisa membuka ponsel karena sudah ku beri sandi. Dan ia tak akan tahu,karena sandinya adalah hari kelahiran putri cantikku. [Paket baju bayi itu dari Sasya.]Darahku mendidih seketika setelah membaca pesan dari istriku itu. Memang dasar adik tak tahu terima kasih. Untung saja Alia tak curiga, kalau saja dia tahu. Akan ku hajar Sasya, tak perduli jika dia adik kandungku sendiri. Amarah ku mereda saat Mega kembali mengirimkan pesan padaku. Sebuah foto Aira yang sangat mengemaskan membuatku tersenyum sendiri. Aku sampai tak menghiraukan keberadaan Alia yang ada di sampingku. Memang dasar dia bod*h, sama sekali dia tak curiga jika aku tengah berkirim pesan dengan M

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi

    "Maafkan aku sayang, bukan maksud memarahimu tadi. Aku hanya panik karena Sasya merengek di dalam telepon." Mas Alvan mencoba menyentuh tangan tapi segera kutepis. Tak sudi tangannya menyentuh tubuhku. "Mana koper kamu, Mas? Katanya tidak jadi ke luar kota?" Sejak menginjakkan kaki di kamar benda itulah yang ku cari. Namun tak ku temukan. Aku yakin dia berdusta. Memang dari awal dia tak ada tugas ke luar kota. Pasti dia sedang berada di rumah perempuan itu. Perempuan yang telah menghancurkan kehidupanku. "Itu sayang, koper ketinggalan di rumah ibu. Tadi kan mengantar ibu dulu."Aku hanya menggeleng dengan jawaban suamiku. Katanya sarjana tapi mencari alasan yang logis saja tidak bisa. Jarak antara salon dan rumah ibu mertua memerlukan waktu hampir satu jam dengan kecepatan sedang.Belum dari rumah ibu mertua ke mari. Dari sini saja kamu terlihat sedang berbohong, Mas. Ya begitulah jika orang suka berbohong. Selamanya akan terus berbohong hingga pada akhirnya kebohongan itu terkuak d

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi 2

    "Bik Sum!" Kucari asisten rumah tangga ke dapur. Jam segini adalah saat wanita paruh baya itu memulai aktifitas memasak. "Ibu cari saya?" tanyanya sambil mematikan kompor. Bau aroma nila goreng menyeruak masuk ke indera penciuman. Rasa lapar hadir dengan sendirinya. Ah, tapi aku tak boleh sarapan di sini. Takut Mas Alvan bangun dan menghalangiku pergi ke kantor. "Bik, kalau bapak tanya saya mau ke rumah Mama." Bik Sum menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Dia seperti bingung dengan penampilanku yang terkesan formal. "Ada acara dengan Mama bik, mau bertemu teman Mama." Bik Sum menganggukkan kepala, mengerti dengan intruksi yang ku berikan. Jalan masih terbilang sepi saat aku melewatinya. Maklum jarum jam masih menunjukkan angka enam. Sengaja aku ingin datang lebih pagi agar bisa memantau siapa saja yang datang terlambat. Aku yakin Mas Alvan tak pernah memperhatikan itu karena dia selalu berangkat pukul delapan dari rumah. Sangat jauh berbeda dengan kebiasaanku yang selalu bera

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    Aneh, kenapa dia bisa secepat ini datang ke kantor? Bukannya tadi dia masih tidur dengan nyenyak. Atau jangan-jangan ada orang yang memberitahu jika aku ada di kantor. Lalu siapa yang kata-kata itu? Bik Sum kah? Atau mungkin orang kantor. Tapi siapa?Berbagai pertanyaan silih berganti memenuhi pikiranku. "Alia!" Lelaki yang memakai pakaian tak matching berjalan mendekat dengan dada naik turun menahan emosi. Kulihat seksama Mas Alvan. Aku ingin tertawa melihat dia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek berwarna merah dengan celana biru tua. Tak lupa jas berwarna biru senada dengan celananya. Itu adalah penampilan terburuk suamiku. Dari mana dia memiliki kemeja itu. Seingatku aku tak pernah membelikannya. Aku lebih suka memberikannya kemeja tanpa motif dengan warna kalem. "Hahahaha ...." Lepas sudah apa yang sedari tadi ku tahan. "Kenapa kamu tertawa?" bentak Mas Alvan saat melihatku memegangi perut karena tertawa terpingkal-pingkal. Ya Allah, bagaimana bisa aku mempunyai suami m

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • Salah Kirim Paket   Mencoba Kuat

    Ku ambil ganggang telepon lalu segera menekan nomor telepon kantor polisi. Biar Mas Alvan tahu rasa setelah main-main denganku. Biar kapok! Terdengar suara sambungan telepon tapi belum juga diangkat. Tak berselang lama terdengar suara pria. "Hallo Pak ...."Tuutt... Tuuutt... Tuuutt. Sambungan telepon diputus sepihak oleh suamiku. "Jangan telepon polisi Al!" Mas Alvan mengiba."Biar Pak Dahlan di penjara,Mas. Aku tak mau kamu difitnah. Biar semua orang tahu kebenarannya." Kutekan lagi nomor yang sama.Mas Alvan kembali menggagalkan panggilan teleponku."Kenapa sih, Mas? Aku ingin tahu kebenarannya.""Aku yang mengambil uang itu," ucapnya sambil menundukkan kepala. Akhirnya kamu mengaku juga, Mas. Gertakan sedikit saja sudah membuatmu ketakutan. Payah. "Untuk apa uang itu, Mas?"Mas Alvan diam, bahkan ia tak berani menatap mataku. "Untuk apa uang sebanyak itu, Mas?" tanyaku lagi dengan intonasi tinggi. Tak perduli masih ada Pak Dahlan di ruangan ini. Seenaknya dia mengmbil uang

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

  • Salah Kirim Paket   Penolakan Rizal

    Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma

  • Salah Kirim Paket   Hasil Tes DNA

    "Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama

  • Salah Kirim Paket   Sama

    "Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang

DMCA.com Protection Status