Home / Rumah Tangga / Salah Kirim Paket / Kejutan Untuk Keluarga Ular

Share

Kejutan Untuk Keluarga Ular

last update Last Updated: 2022-07-09 22:31:38

Krucuuuk... Krucuuuk ....

Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman.

Kulihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan.

"Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu.

Kulihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur.

"Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan.

"Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku.

"Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku.

Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hanya ada satu buah bakso. Kuah di tempatkan di mangkuk berbeda karena bakso satu saja sudah memenuhi mangkuk.

Kupotong dengan sendok bakso itu. Di dalam bakso masih ada bakso kecil sekitar enam atau tujuh. Segera ku makan menu kesukaanku itu. Orang yang diet pasti akan gagal jika dihadapannya sudah tersaji bakso seperti ini.

Tak butuh waktu lama satu mangkuk bakso beranak sudah berpindah ke dalam perutku. Alhamdulillah kenyang. Aku sudah siap meladeni duo ular.

Setelah membayar aku segera kembali ke salon. Semoga saja duo ular itu belum selesai hingga tak menimbulkan kecurigaan.

Menghembuskan nafas perlahan, aku lega saat ibu dan adik iparku masih menjalani perawatan. Nampaknya keberuntungan masih berada di pihak ku

Duduk di kursi tak jauh dari kasir,kukeluarkan benda pipih di dalam tas. Segera kunonaktifkan ponselku agar rencana yang ku susun dapat berjalan mulus. Rasanya tak sabar melihat ekspresi mereka.

Ibu dan Sasya ke luar bersamaan. Senyum sumringah tergambar jelas di wajah ibu. Setelah perawatan wanita yang telah membesarkan suamiku itu nampak cantik. Andai dia tak berkhianat sudah pasti aku akan memuji kecantikannya. Namun karena dia ular berkepala dua, enggan mulut ini memujinya.

Tapi kenapa wajah Sasya cemberut seperti itu. Sudah seperti ibu rumah tangga yang belum mendapatkan jatah bulanan saja.

"Kenapa Sya?" tanyaku pura-pura perduli. Padahal kenyataannya aku tengah menahan tawa.

"Ini nih mbak, pegawai salonnya gak becus. Mintanya cuman dirapiin tapi malah dipotong. Kan jadi jelek mbak!"

Jelas saja Sasya marah, anak itu memang tidak suka dengan model rambut pendek tapi kini rambut kesayangannya hanya tinggal sebahu. Hahaha... Rasakan! Ini tak seberapa dengan rasa sakit hatiku karena pengkhianatan kalian.

"Apa benar begitu mbak?" tanyaku pada Lita sambil mengedipkan mata.

"Tidak Mbak, orang dia minta dipotong kok. Ya saya potong. Eh, setelah satu kali potong dia malah marah-marah tapi tetap mau dipotong, kan aneh."

"Lha iya kenapa kamu tidak protes dari tadi Sya?

"Sayang kan Mbak baru enak-enak di salon harus berdebat. Makannya Aku pilih protes diakhir kaya begini."

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. Astaga, benar-benar keluarga tak punya malu.

"Kalau begitu ya gak usah protes, Sya! Bikin malu!" ucapku kesal.

Sasya hanya diam lalu asyik memainkan ponsel.

Perdebatan yang ku kira akan menjadi besar ternyata hanya seperti ini. Sungguh membuatku kecewa.

Aku berjalan mendekati kasir, menanyakan berapa total yang harus ku bayar.

"Ya Allah!" Aku berpura-pura panik sambil membolak-balikan isi dompet.

Ibu dan Sasya saling senggol lalu menatapku bersamaan. Raut bingung tergambar jelas di wajah duo ular.

"Tunggu saatnya kalian senam jantung!" batinku.

"Ada apa Al?" tanya ibu penasaran.

"Aduh, bu. Kartu debit dan kartu kredit aku tidak ada. Bagaimana ini Bu?" Ku pasang wajah panik.

Ibu semakin tegang, keringat membasahi pelipis padahal ruangan ini berAC.

"Mbak Alia jangan bercanda dong!" Sasya mendekat ke arahku.Tanpa meminta izin adik iparku itu langsung merebut tasku dandan mengeluarkan semua isinya. Tak hanya itu dompetku pun menjadi target berikutnya.

"Percuma kamu cari sampai besok juga gak bakalan ketemu," batinku puas.

"Bagaimana dong Mbak? Mbak Alia gak bawa uang kontan?" Sasya semakin panik.

"Mbak bawa tapi hanya cukup untuk perawatan Mbak saja." Aku pura-pura merasa bersalah. Meski kenyataannya aku tengah berbahagia.

"Pakai m-banking aja lah Mbak!" rengeknya.

"Aduh ponsel Mbak mati dari tadi."

Sasya melotot ke arahku. Tatapannya seperti srigala yang hendak menerkam rusa. Aku hanya diam.

"Apa ibu dan Sasya tidak memiliki uang?"

"Ya enggak lah Mbak, kan Mbak yang ngajak ke salon!" ketus Sasya.

Hello, tidak salah apa ya? Bukannya dia yang mengajak ke salon tapi kenapa aku yang disalahkan?

"Mau bayar kontan atau pakai debit Mbak?" tanya pegawai yang aku tak tahu siapa. Mungkin dia pegawai baru, karena baru kali ini aku melihatnya.

"Ini untuk perawatan saya saja mbak. Untuk ibu dan dan Mbaknya ini belum ada." Ku serahkan lembaran uang merah pada kasir.

"Bagaimana dong Bu?" Sasya mengguncangkan tubuh ibu. Sementara ibu hanya diam dengan wajah pucat pasi.

"Mbak ini niat bayar atau gak sih!" bentak Lita.

"Jangan seenaknya sendiri dong Mbak, kami kuat bayar kok. Memangnya Mbaknya gak tahu siapa saya!"

Lagi-lagi aku hanya menggelangkan kepala melihat tingkah Sasya. Di saat terjepit pun dia masih saja sombong. Apa dia tak sadar harta siapa yang selama ini dia nikmati.

"Aku tahu, mbak tapi pura-pura protes agar perawatannya gratis kan! Maaf mbak, di sini bukan panti sosial!" Wajah Sasya semakin merah padam.

Percekcokan Lita dan Sasya semakin panas hingga membuat kami menjadi tontonan gratis. Aku diam sambil menyaksikan perdebatan mereka. Hitung-hitung merilekskan pikiran karena ulah mereka.

Pura-pura sakit sambil memegangi perut aku sedikit berlari ke belakang. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Aku hanya ingin menyadarkan siapa sebenarnya Nadzwa Alia Kusuma.

Related chapters

  • Salah Kirim Paket   Kemarahan Alvan

    Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka. Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main. Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku. Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku. Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mere

    Last Updated : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan

    Pov AlvanAku begitu gembira melihat peper bag berwarna merah di atas ranjang. Tepatnya di sebelah pakaianku. Alia memang selalu memberikan kejutan untukku. Tapi sayang, dia tak bisa hamil. Dan itu alasan kenapa aku menikah lagi. Ya, meski tanpa sepengetahuan darinya. Karena lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Toh aku memiliki uang. Uang Alia lebih tepatnya. Tapi selama dia tak tahu tak masalah kan? "Kamu pasti kasih surprise ya sayang?" ucapku senang. Alia masih diam membisu, bahkan tatapannya tajam ke arahku. Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti itu."Ini untuk Mas, sayang?" tanyaku lagi sambil mengambil paper bag itu. Mataku membulat sempurna saat melihat isi peper nag berwarna merah itu. Pakaian bayi! Apa maksud Alia memberiku pakaian bayi. Apa dia tengah hamil? Atau Jangan-jangan .... "Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyanya datar. Ada aura kemarahan dari ucapannya. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang mengirim pakaian

    Last Updated : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan 2

    Pov AlvanSenyum merekah saat aku membuka mata. Bukan, bukan karena kecupan dari Alia tapi karena hari ini aku akan bertemu Aira, anak kesayanganku. Tak sabar ingin segera menggendong buah hatiku dengan Mega. Ting... Satu pesan masuk dari nomor Mega. Sengaja tak ku simpan nomornya agar Alia tak mencurigai. Meski dia tak akan bisa membuka ponsel karena sudah ku beri sandi. Dan ia tak akan tahu,karena sandinya adalah hari kelahiran putri cantikku. [Paket baju bayi itu dari Sasya.]Darahku mendidih seketika setelah membaca pesan dari istriku itu. Memang dasar adik tak tahu terima kasih. Untung saja Alia tak curiga, kalau saja dia tahu. Akan ku hajar Sasya, tak perduli jika dia adik kandungku sendiri. Amarah ku mereda saat Mega kembali mengirimkan pesan padaku. Sebuah foto Aira yang sangat mengemaskan membuatku tersenyum sendiri. Aku sampai tak menghiraukan keberadaan Alia yang ada di sampingku. Memang dasar dia bod*h, sama sekali dia tak curiga jika aku tengah berkirim pesan dengan M

    Last Updated : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi

    "Maafkan aku sayang, bukan maksud memarahimu tadi. Aku hanya panik karena Sasya merengek di dalam telepon." Mas Alvan mencoba menyentuh tangan tapi segera kutepis. Tak sudi tangannya menyentuh tubuhku. "Mana koper kamu, Mas? Katanya tidak jadi ke luar kota?" Sejak menginjakkan kaki di kamar benda itulah yang ku cari. Namun tak ku temukan. Aku yakin dia berdusta. Memang dari awal dia tak ada tugas ke luar kota. Pasti dia sedang berada di rumah perempuan itu. Perempuan yang telah menghancurkan kehidupanku. "Itu sayang, koper ketinggalan di rumah ibu. Tadi kan mengantar ibu dulu."Aku hanya menggeleng dengan jawaban suamiku. Katanya sarjana tapi mencari alasan yang logis saja tidak bisa. Jarak antara salon dan rumah ibu mertua memerlukan waktu hampir satu jam dengan kecepatan sedang.Belum dari rumah ibu mertua ke mari. Dari sini saja kamu terlihat sedang berbohong, Mas. Ya begitulah jika orang suka berbohong. Selamanya akan terus berbohong hingga pada akhirnya kebohongan itu terkuak d

    Last Updated : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi 2

    "Bik Sum!" Kucari asisten rumah tangga ke dapur. Jam segini adalah saat wanita paruh baya itu memulai aktifitas memasak. "Ibu cari saya?" tanyanya sambil mematikan kompor. Bau aroma nila goreng menyeruak masuk ke indera penciuman. Rasa lapar hadir dengan sendirinya. Ah, tapi aku tak boleh sarapan di sini. Takut Mas Alvan bangun dan menghalangiku pergi ke kantor. "Bik, kalau bapak tanya saya mau ke rumah Mama." Bik Sum menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Dia seperti bingung dengan penampilanku yang terkesan formal. "Ada acara dengan Mama bik, mau bertemu teman Mama." Bik Sum menganggukkan kepala, mengerti dengan intruksi yang ku berikan. Jalan masih terbilang sepi saat aku melewatinya. Maklum jarum jam masih menunjukkan angka enam. Sengaja aku ingin datang lebih pagi agar bisa memantau siapa saja yang datang terlambat. Aku yakin Mas Alvan tak pernah memperhatikan itu karena dia selalu berangkat pukul delapan dari rumah. Sangat jauh berbeda dengan kebiasaanku yang selalu bera

    Last Updated : 2022-07-12
  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    Aneh, kenapa dia bisa secepat ini datang ke kantor? Bukannya tadi dia masih tidur dengan nyenyak. Atau jangan-jangan ada orang yang memberitahu jika aku ada di kantor. Lalu siapa yang kata-kata itu? Bik Sum kah? Atau mungkin orang kantor. Tapi siapa?Berbagai pertanyaan silih berganti memenuhi pikiranku. "Alia!" Lelaki yang memakai pakaian tak matching berjalan mendekat dengan dada naik turun menahan emosi. Kulihat seksama Mas Alvan. Aku ingin tertawa melihat dia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek berwarna merah dengan celana biru tua. Tak lupa jas berwarna biru senada dengan celananya. Itu adalah penampilan terburuk suamiku. Dari mana dia memiliki kemeja itu. Seingatku aku tak pernah membelikannya. Aku lebih suka memberikannya kemeja tanpa motif dengan warna kalem. "Hahahaha ...." Lepas sudah apa yang sedari tadi ku tahan. "Kenapa kamu tertawa?" bentak Mas Alvan saat melihatku memegangi perut karena tertawa terpingkal-pingkal. Ya Allah, bagaimana bisa aku mempunyai suami m

    Last Updated : 2022-07-13
  • Salah Kirim Paket   Mencoba Kuat

    Ku ambil ganggang telepon lalu segera menekan nomor telepon kantor polisi. Biar Mas Alvan tahu rasa setelah main-main denganku. Biar kapok! Terdengar suara sambungan telepon tapi belum juga diangkat. Tak berselang lama terdengar suara pria. "Hallo Pak ...."Tuutt... Tuuutt... Tuuutt. Sambungan telepon diputus sepihak oleh suamiku. "Jangan telepon polisi Al!" Mas Alvan mengiba."Biar Pak Dahlan di penjara,Mas. Aku tak mau kamu difitnah. Biar semua orang tahu kebenarannya." Kutekan lagi nomor yang sama.Mas Alvan kembali menggagalkan panggilan teleponku."Kenapa sih, Mas? Aku ingin tahu kebenarannya.""Aku yang mengambil uang itu," ucapnya sambil menundukkan kepala. Akhirnya kamu mengaku juga, Mas. Gertakan sedikit saja sudah membuatmu ketakutan. Payah. "Untuk apa uang itu, Mas?"Mas Alvan diam, bahkan ia tak berani menatap mataku. "Untuk apa uang sebanyak itu, Mas?" tanyaku lagi dengan intonasi tinggi. Tak perduli masih ada Pak Dahlan di ruangan ini. Seenaknya dia mengmbil uang

    Last Updated : 2022-07-13
  • Salah Kirim Paket   Dia dengan siapa?

    "Are you okay?" tanyanya dengan wajah cemas. Kenapa dia selalu tahu jika aku tak baik-baik saja? Kenapa hanya dia yang selalu mengerti perasaanku. "Aku baik-baik saja. Apa kamu tidak bisa lihat aku tersenyum." Kuberi seulas senyum meski terasa begitu berat. Aku hanya tak ingin ia khawatir. "Bohong!"Ya Tuhan, ternyata susah berbohong darinya? Dia memang seseorang yang mampu mengerti perasaanku setelah mama. Ya,mereka berdua adalah keluaraga yang begitu berarti bagiku. Abang Rizal adalah kakak laki-lakiku. Dia adalah orang yang sangat tahu perasaanku. Dengan mudah ia bisa menebak apa yang tengah aku pikirkan. Kami berdua memiliki ikatan batin yang kuat. Dialah pelindungku selama ini. Bahkan melebihi Mas Alvan, suamiku. Meski kita sudah jarang bertemu. Namun dia selalu ada di saat aku butuhkan. Seperti saat ini. "Kamu ada masalah kan? Alvan ngapain kamu? Dia bentak kamu? Dia selingkuh?"Aku hanya diam, tak membantah atau mengiyakan. Ya, meski semua yang ia katakan benar. Namun ak

    Last Updated : 2022-07-14

Latest chapter

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

  • Salah Kirim Paket   Penolakan Rizal

    Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma

  • Salah Kirim Paket   Hasil Tes DNA

    "Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama

  • Salah Kirim Paket   Sama

    "Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status