Share

Kemarahan Alvan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-10 08:27:58

Aku masih di kamar mandi. Bersembunyi dari amukan ibu dan Sasya. Biarlah mereka membayar sendiri perawatan salon. Memang aku ATM mereka hingga setiap pengeluaran harus aku yang membayar. O, tidak bisa! Aku bukan lagi Alia yang mudah mengabulkan keinginan mereka.

Terimalah kejutan pertamaku. Masih ada kejutan-kejutan yang lain. Bersiaplah karena aku tak pernah main-main.

Aku mulai bosan menunggu di kamar mandi. Tak mungkin jika aku berada di sini. Bisa-bisa duo ular akan curiga kepadaku. Dengan mencoba tenang aku melangkah menuju kasir. Belum sampai saja jantungku sudah berdetak tak menentu. Aku yakin akan ada masalah baru setelah insiden ini. Tapi aku tak akan takut, toh akulah pemegang kendali karena semua harta adalah milikku.

Suara keributan sudah tak terdengar lagi. Apa duo ular itu sudah bisa menyelesaikan masalah tanpa mengandalkan diriku. Ah, aku jadi penasaran. Ku percepat langkah kakiku.

Ibu dan Sasya tengah duduk di depan kasir dengan wajah di tekut masam. Aku yakin mereka berdua tengah marah padaku. Di saat genting justru aku menghilang begitu saja.

"Mbak Alia dari mana saja sih!"

Nah kan benar, baru sampai saja sudah disuguhi dengan amukan. Untung saja aku sudah kenyang, jadi memiliki tenaga untuk melawan mereka yang aku yakin sudah kelaparan.

"Aku sakit perut Sya, jadi ke belakang. Tidak mungkin kan aku diam di sini terus. Bisa bab di celana. Malu lah Sya, memangnya aku anak kecil yang berak di tempat," jawabku santai tak merasa bersalah. Ya, karena aku memang tak salah. Dia yang ngajak ke salon. Giliran gak bisa bayar, marahnya ke aku.

"Harusnya kamu tanggung jawab Ak, bukan lagi gitu saja. Sudah ngajak ke salon kok tidak mau tanggung jawab." Omelin ibu mertua.

"Apa, bu? Aku yang ngajak ke salon. Apa aku tidak salah dengar. Justru Sasya kan yang mengajak ke salon. Harusnya orang yang mengajak yang membayar, bukannya aku!" ucapku keras hingga semua mata tertuju pada kami. Sontak Sasya menatapku tajam.

Aku mah cuek saja, toh memang itu kenyataannya.

"Lebih baik kamu diam Al, bicara hanya menambah masalah saja!"

Sementara ku turuti ucapan wanita yang bergelar mertua itu. Bukan aku tak sanggup melawan tapi malu jadi tontonan. Apa kata dunia jika Alia bertengkar di muka umum.

Aku duduk dengan jarak dua kursi dari Sasya. Malas harus duduk berdekatan dengan keluarga parasit itu. Sudah di beri kemudahan tapi justru menikam dari belakang. Mereka adalah salah satu contoh manusia yang tidak bisa berterima kasih. Kucing saja setia pada majikannya. Sementara mereka, Astagfirullah ....

Ku ambil benda pipih yang ada di dalam tas. Ku nyalakan tapi tidak bisa. Apa batrenya habis. Astaga, hampir saja aku lupa jika ponsel sengaja ku matikan agar tidak bisa membayar perawatan ibu dan Sasya. Untung tombol power tidak ku tekan lama. Bisa gawat kalau mereka tahu aku bohong.

"Ponsel mati saja dikeluarin!" sindir Sasya.

Aku memilih diam tanpa menjawab ucapannya. Tapi bagaimana cara mereka membayar perawatan wajah. Sedang mereka tak membawa uang sepeser pun? Dan kenapa mereka tak memintaku pulang untuk mengambil uang?

Aku menerka-nerka sendiri, tak mungkin aku bertanya. Bisa-bisa mereka memintaku untuk membayarnya. Oh, tidak! Aku tak mau mengeluarkan uang untuk mereka walau sepeser pun.

Sepuluh menit menunggu rasanya bagai sewindu. Sesekali ku ubah posisi duduk. Berat badan yang berlebih membuatku merasa tak nyaman saat duduk dengan posisi yang sama.

Ibu dan Sasya hanya diam. Entah apa yang mereka pikirkan. Dalam hatinya pasti mengumpat dengan perbuatanku hari ini. Tapi aku tak ambil pusing dengan itu semua karena memang semua perbuatanku.

Sejak duduk di sini, aku tak melihat Lita. Kemana dia? Apa mungkin anak itu sedang melayani pelanggan yang lain. Ya, sudahkah biar nanti ku transfer uang ke nomor rekeningnya.

Di jaman canggih seperti ini tak perlu susah ke ATM untuk mentransfer uang. Cukup melalui ponsel semua akan beres.

Ku pijit kepala yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini aku memang sering merasakan sakit kepala. Entah karena apa, aku pun tak tahu. Aku bahkan belum memeriksakannya ke dokter. Rasa malas membuatku enggan ke dokter.

"Ibu! Sasya!" Suara seseorang yang sangat ku kenal. Tapi kenapa dia bisa ada di sini?

Mas Alvan mendekat ke arah kami. Sasya dan ibu segera memeluknya. Wajah yang tadi merah padam berubah seketika menjadi berkaca-kaca. Bahkan dari sudut mata mereka sudah mengeluarkan air mata.

Aku tahu mereka pasti tengah bersandiwara agar aku menjadi tersangka.

"Buruan bayar, Mas! Aku malu!" rengek Sasya.

Suamiku segera ke kasir. Di rogohnya dompet yang ada di saku celana. Tangannya mengeluarkan kartu debit dari dompet hitam.

Ah, sial!

Ternyata dia memanggil abangnya. Itu sama saja uangku yang dipakai untuk membayar perawatan mereka. Bedanya pakai kartu debit Mas Alvan.

Lho, tapi kenapa Mas Alvan ada di sini. Katanya ada di luar kota. Nah, kan ketahuan bohongnya. Apa ingin dengar jawaban apa yang keluar dari mulutnya.

Melangkah mendekati suamiku. Kini aku tepat berdiri di belakangnya.

"Mas ...." Ku sentuh pundaknya.

"A-Alia!" ucapnya sambil melonjak kaget. Bahkan tubuhnya sampai menempel meja kasir. Wajahnya pun terlihat begitu tegang.

Apa dari tadi dia tak melihatku hingga saat bertatapan denganku ia begitu terkejut. Apa mungkin Sasya tak cerita jika ke salon bersamaku. Ya, mungkin begitu. Aku justru bersyukur, berkat kecerobohan mereka, aku menjadi semakin yakin jika suamiku tak pergi ke luar kota. Dia pasti pergi ke rumah istri mudanya. Dasar lelaki kur*ng aj*r!

"Kenapa terkejut, Mas?"

Mas Alvan diam, wajahnya menjadi semakin gugup.

"I-itu Al, kaget saja tiba-tiba kamu sudah ada di belakangku," jawabnya sambil menatap arah lagi.

Aku tahu kamu berbohong Mas! Kamu akan menatap arah lain jika sedang menyembunyikan sesuatu. Seperti saat ini.

"Harusnya aku yang terkejut dong, Mas. Tadi pagi kamu pamit ke luar kota tapi kenapa sekarang ada di sini, Mas!" Ku tatap tajam netrannya.

"Itu... Itu... Ka...." Mas Alvan menghentikan ucapannya.

"Kamu bohongi aku Mas?" Ku naikkan nada bicara hingga suara orang menatap kami dengan penuh tanda tanya.

Mas Alvan menarik tanganku, hingga kami berada di samping mobilnya. Lelaki yang telah menikahiku enam tahun lalu itu menatapku tajam. Ada amarah bom yang siap di ledakkan saat ini juga. Ku lepas genggaman tangannya yang mulai mengendor. Rasa sakit di tangan ini tak sebanding rasa sakit di hati.

"Kenapa kamu tidak mau membayar perawatan ibu dan Sasya?"

Mas Alvan mengalihkan pembicaraan. Dia berusaha menyudutkanku dengan pertanyaannya.

"Aku lupa membawa kartu debit dan kartu kredit, mugkin tertinggal di dompet lain. Sementara uang di dompet hanya cukup untuk membayar perawatanku saja."

"Alasan! Kenapa tidak transfer lewat ponsel saja!"

"Ponselku kehabisan daya. Lalu aku harus gimana dong!"

"Lalu kenapa harus mengajak mereka ke salon jika kartu debit tidak dibawa!"

"Hello! Bukan aku yang mengajak tapi Sasya!"

"Bohong Mas, mbak Alia kok yang mengajak kami ke salon. Dia pasti sengaja ingin mempermalukan kami." Sasya sudah berada di belakang kami. Soroti kemenangan tergambar jelas di matanya.

Rupanya ular kecil ini sudah terang-terangan menaikkan bendera perang. Oke, siapa takut!

"Kamu memang benar keterlaluan Al! Sudah tidak bisa ha ....!" Mas Alvan tidak melanjutkan kata-katanya. Tapi aku tahu yang akan ia bicarakan.

"Apa! Aku tidak bisa hamil maksud kamu! Ingat ya Mas, kamu bisa seperti ini karena uang aku! Jangan jadi kacang lupa kulitnya! Dan kenapa kamu bisa disini! Pakaian sudah ganti, mana kopermu!"

Mas Alvan diam,raut tegang kembali tergambar di wajahnya.

"Atau tidak jadi ke luar kota Al," ucapnya melunak. Tangannya mulai memegang tanganku tapi segera ku tepis kuat-kuat.

Mas Alvan sedikit terkejut dengan tindakanku. Ya, karena baru kali ini aku begitu emosi.

Kulangkahkan kaki menuju mobil. Percuma meladeni orang gila. Toh kebaikanku selama ini hanya dianggap angin lalu.

"Sayang maafkan aku, bukan maksudku untuk membentak kamu. Atau hanya terbawa emosi. Aku kira kamu sengaja mempermalukan ibu dan Sasya." Mas Alvan mengejarku.

Aku masuk ke mobil dan segera menutup pintunya. Beberapa kali dia mengetuk jendela mobil. Hingga ku turunkan kacanya.

"Mulai besok aku akan ke kantor!" ucapku lalu menyalakan mesin mobil meninggalkan Mas Alvan. Ku lihat dari spion mobil Mas Alvan sedang mengacak rambutnya.

"Tunggu Mas, permainan baru di mulai!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Titik Handayani
bener 2 keluarga parasit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan

    Pov AlvanAku begitu gembira melihat peper bag berwarna merah di atas ranjang. Tepatnya di sebelah pakaianku. Alia memang selalu memberikan kejutan untukku. Tapi sayang, dia tak bisa hamil. Dan itu alasan kenapa aku menikah lagi. Ya, meski tanpa sepengetahuan darinya. Karena lelaki boleh memiliki lebih dari satu istri. Toh aku memiliki uang. Uang Alia lebih tepatnya. Tapi selama dia tak tahu tak masalah kan? "Kamu pasti kasih surprise ya sayang?" ucapku senang. Alia masih diam membisu, bahkan tatapannya tajam ke arahku. Ada apa ini? Tak biasanya dia seperti itu."Ini untuk Mas, sayang?" tanyaku lagi sambil mengambil paper bag itu. Mataku membulat sempurna saat melihat isi peper nag berwarna merah itu. Pakaian bayi! Apa maksud Alia memberiku pakaian bayi. Apa dia tengah hamil? Atau Jangan-jangan .... "Kenapa tegang gitu Mas? Bukankah pakaian bayi itu kamu yang beli?" tanyanya datar. Ada aura kemarahan dari ucapannya. Ku telan saliva dengan susah payah. Siapa yang mengirim pakaian

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-10
  • Salah Kirim Paket   Kepanikan Alvan 2

    Pov AlvanSenyum merekah saat aku membuka mata. Bukan, bukan karena kecupan dari Alia tapi karena hari ini aku akan bertemu Aira, anak kesayanganku. Tak sabar ingin segera menggendong buah hatiku dengan Mega. Ting... Satu pesan masuk dari nomor Mega. Sengaja tak ku simpan nomornya agar Alia tak mencurigai. Meski dia tak akan bisa membuka ponsel karena sudah ku beri sandi. Dan ia tak akan tahu,karena sandinya adalah hari kelahiran putri cantikku. [Paket baju bayi itu dari Sasya.]Darahku mendidih seketika setelah membaca pesan dari istriku itu. Memang dasar adik tak tahu terima kasih. Untung saja Alia tak curiga, kalau saja dia tahu. Akan ku hajar Sasya, tak perduli jika dia adik kandungku sendiri. Amarah ku mereda saat Mega kembali mengirimkan pesan padaku. Sebuah foto Aira yang sangat mengemaskan membuatku tersenyum sendiri. Aku sampai tak menghiraukan keberadaan Alia yang ada di sampingku. Memang dasar dia bod*h, sama sekali dia tak curiga jika aku tengah berkirim pesan dengan M

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi

    "Maafkan aku sayang, bukan maksud memarahimu tadi. Aku hanya panik karena Sasya merengek di dalam telepon." Mas Alvan mencoba menyentuh tangan tapi segera kutepis. Tak sudi tangannya menyentuh tubuhku. "Mana koper kamu, Mas? Katanya tidak jadi ke luar kota?" Sejak menginjakkan kaki di kamar benda itulah yang ku cari. Namun tak ku temukan. Aku yakin dia berdusta. Memang dari awal dia tak ada tugas ke luar kota. Pasti dia sedang berada di rumah perempuan itu. Perempuan yang telah menghancurkan kehidupanku. "Itu sayang, koper ketinggalan di rumah ibu. Tadi kan mengantar ibu dulu."Aku hanya menggeleng dengan jawaban suamiku. Katanya sarjana tapi mencari alasan yang logis saja tidak bisa. Jarak antara salon dan rumah ibu mertua memerlukan waktu hampir satu jam dengan kecepatan sedang.Belum dari rumah ibu mertua ke mari. Dari sini saja kamu terlihat sedang berbohong, Mas. Ya begitulah jika orang suka berbohong. Selamanya akan terus berbohong hingga pada akhirnya kebohongan itu terkuak d

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-11
  • Salah Kirim Paket   Alia Mulai Beraksi 2

    "Bik Sum!" Kucari asisten rumah tangga ke dapur. Jam segini adalah saat wanita paruh baya itu memulai aktifitas memasak. "Ibu cari saya?" tanyanya sambil mematikan kompor. Bau aroma nila goreng menyeruak masuk ke indera penciuman. Rasa lapar hadir dengan sendirinya. Ah, tapi aku tak boleh sarapan di sini. Takut Mas Alvan bangun dan menghalangiku pergi ke kantor. "Bik, kalau bapak tanya saya mau ke rumah Mama." Bik Sum menatapku dari ujung kaki hingga kepala. Dia seperti bingung dengan penampilanku yang terkesan formal. "Ada acara dengan Mama bik, mau bertemu teman Mama." Bik Sum menganggukkan kepala, mengerti dengan intruksi yang ku berikan. Jalan masih terbilang sepi saat aku melewatinya. Maklum jarum jam masih menunjukkan angka enam. Sengaja aku ingin datang lebih pagi agar bisa memantau siapa saja yang datang terlambat. Aku yakin Mas Alvan tak pernah memperhatikan itu karena dia selalu berangkat pukul delapan dari rumah. Sangat jauh berbeda dengan kebiasaanku yang selalu bera

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-12
  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    Aneh, kenapa dia bisa secepat ini datang ke kantor? Bukannya tadi dia masih tidur dengan nyenyak. Atau jangan-jangan ada orang yang memberitahu jika aku ada di kantor. Lalu siapa yang kata-kata itu? Bik Sum kah? Atau mungkin orang kantor. Tapi siapa?Berbagai pertanyaan silih berganti memenuhi pikiranku. "Alia!" Lelaki yang memakai pakaian tak matching berjalan mendekat dengan dada naik turun menahan emosi. Kulihat seksama Mas Alvan. Aku ingin tertawa melihat dia memakai kemeja kotak-kotak lengan pendek berwarna merah dengan celana biru tua. Tak lupa jas berwarna biru senada dengan celananya. Itu adalah penampilan terburuk suamiku. Dari mana dia memiliki kemeja itu. Seingatku aku tak pernah membelikannya. Aku lebih suka memberikannya kemeja tanpa motif dengan warna kalem. "Hahahaha ...." Lepas sudah apa yang sedari tadi ku tahan. "Kenapa kamu tertawa?" bentak Mas Alvan saat melihatku memegangi perut karena tertawa terpingkal-pingkal. Ya Allah, bagaimana bisa aku mempunyai suami m

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • Salah Kirim Paket   Mencoba Kuat

    Ku ambil ganggang telepon lalu segera menekan nomor telepon kantor polisi. Biar Mas Alvan tahu rasa setelah main-main denganku. Biar kapok! Terdengar suara sambungan telepon tapi belum juga diangkat. Tak berselang lama terdengar suara pria. "Hallo Pak ...."Tuutt... Tuuutt... Tuuutt. Sambungan telepon diputus sepihak oleh suamiku. "Jangan telepon polisi Al!" Mas Alvan mengiba."Biar Pak Dahlan di penjara,Mas. Aku tak mau kamu difitnah. Biar semua orang tahu kebenarannya." Kutekan lagi nomor yang sama.Mas Alvan kembali menggagalkan panggilan teleponku."Kenapa sih, Mas? Aku ingin tahu kebenarannya.""Aku yang mengambil uang itu," ucapnya sambil menundukkan kepala. Akhirnya kamu mengaku juga, Mas. Gertakan sedikit saja sudah membuatmu ketakutan. Payah. "Untuk apa uang itu, Mas?"Mas Alvan diam, bahkan ia tak berani menatap mataku. "Untuk apa uang sebanyak itu, Mas?" tanyaku lagi dengan intonasi tinggi. Tak perduli masih ada Pak Dahlan di ruangan ini. Seenaknya dia mengmbil uang

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-13
  • Salah Kirim Paket   Dia dengan siapa?

    "Are you okay?" tanyanya dengan wajah cemas. Kenapa dia selalu tahu jika aku tak baik-baik saja? Kenapa hanya dia yang selalu mengerti perasaanku. "Aku baik-baik saja. Apa kamu tidak bisa lihat aku tersenyum." Kuberi seulas senyum meski terasa begitu berat. Aku hanya tak ingin ia khawatir. "Bohong!"Ya Tuhan, ternyata susah berbohong darinya? Dia memang seseorang yang mampu mengerti perasaanku setelah mama. Ya,mereka berdua adalah keluaraga yang begitu berarti bagiku. Abang Rizal adalah kakak laki-lakiku. Dia adalah orang yang sangat tahu perasaanku. Dengan mudah ia bisa menebak apa yang tengah aku pikirkan. Kami berdua memiliki ikatan batin yang kuat. Dialah pelindungku selama ini. Bahkan melebihi Mas Alvan, suamiku. Meski kita sudah jarang bertemu. Namun dia selalu ada di saat aku butuhkan. Seperti saat ini. "Kamu ada masalah kan? Alvan ngapain kamu? Dia bentak kamu? Dia selingkuh?"Aku hanya diam, tak membantah atau mengiyakan. Ya, meski semua yang ia katakan benar. Namun ak

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-14
  • Salah Kirim Paket   Gagal

    Kami mulai asyik bercerita sambil menikmati masakan khas Negeri Sakura. Mataku membulat sempurna saat melihat seseorang yang sangat ku kenal berjalan menuju kasir bersama seorang wanita yang tidak ku kenal. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Tempat duduk yang terletak di pojok sangat menguntungkanku. Aku bebas melihat tanpa ada yang menyadari keberadaanku. Tubuh tegap Bang Rizal mampu menyembunyikan tubuhku yang sedikit gempal. Bukan sedikit, memang nyatanya gempal.Setelah kedatangan Sasya mulailah berdatangan orang hingga memenuhi meja di dalam restoran. Lagi-lagi keadaan ini sangat menguntungkan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku. Dua wanita itu tengah duduk di kursi tunggu tak jauh dari kasir. Sepertinya mereka sedang memesan makanan untuk di bawa pulang. Sasya sangat akrab dengan wanita itu. Siapa sebenarnya wanita itu? Apa jangan-jangan dialah istri kedua Mas Alvan. Aku harus mengikuti Sasya agar tahu dimana Mas Alvan menyembunyikan gundiknya itu. Dengan begitu

    Terakhir Diperbarui : 2022-07-15

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

  • Salah Kirim Paket   Penolakan Rizal

    Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma

  • Salah Kirim Paket   Hasil Tes DNA

    "Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama

  • Salah Kirim Paket   Sama

    "Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status