Kami mulai asyik bercerita sambil menikmati masakan khas Negeri Sakura. Mataku membulat sempurna saat melihat seseorang yang sangat ku kenal berjalan menuju kasir bersama seorang wanita yang tidak ku kenal. Tapi aku tak bisa melihat wajahnya. Tempat duduk yang terletak di pojok sangat menguntungkanku. Aku bebas melihat tanpa ada yang menyadari keberadaanku. Tubuh tegap Bang Rizal mampu menyembunyikan tubuhku yang sedikit gempal. Bukan sedikit, memang nyatanya gempal.Setelah kedatangan Sasya mulailah berdatangan orang hingga memenuhi meja di dalam restoran. Lagi-lagi keadaan ini sangat menguntungkan. Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padaku. Dua wanita itu tengah duduk di kursi tunggu tak jauh dari kasir. Sepertinya mereka sedang memesan makanan untuk di bawa pulang. Sasya sangat akrab dengan wanita itu. Siapa sebenarnya wanita itu? Apa jangan-jangan dialah istri kedua Mas Alvan. Aku harus mengikuti Sasya agar tahu dimana Mas Alvan menyembunyikan gundiknya itu. Dengan begitu
Mobil yang dikendarai Rizal telah berhenti di halaman rumah Rahmawati. Sambil bercanda kedua kakak beradik itu melangkah ke rumah masa kecil mereka. Senyum merekah nampak jelas di wajah keduanya. Alia memang sering berkunjung ke rumah ibunya. Namun tanpa kehadiran Rizal, rumah itu terasa sunyi. Dan sekarang ketika sang kakak berada di sana.Rumah megah itu terasa hidup kembali. Rizal adalah sosok periang dan penyayang saat bersama keluarganya. Itu yang membuat Alia selalu merindukan kehadiaran kakak lelakinya. Bagi kebanyakan wanita cinta pertama adalah sang ayah. Namun tidak bagi Alia. Justru cinta pertamanya adalah sang kakak lelaki. Untuk sesaat Alia melupakan masalah besar yang menerpa hidupnya. Kehadiran Rizal bagai pengobat lara. Luka yang masih mengangga mampu ditutup sementara karena kehadiaran lelaki penuh kharisma itu. "Masih ingat almari hias ini bang?" Alia menunjuk alamari hias yang terbuat dari kayu jati asli. Almari yang berada di ruang tamu. Rizal tersenyum meli
Pov AlvanAku berjalan sambil menahan emosi yang sudah di ubun-ubun. Sial*n kenapa seceroboh ini! Harusnya tak ku biarkan Alia masuk kantor sebelum laporan keuangan ku ubah. Kalau begini bisa mati aku! Kenapa juga aku tidur seperti orang mati, sampai aku tak mendengar alarm yang beryanyi nyaring. Sekarang aku sudah tak bisa menginjakkan kaki di kantor ini. Lalu bagaimana semua rencanaku? Hancur sudah! Aku acak rambut, frustasi. Pusing kepalaku memikirkan semua ini. "Pagi, Pak," sapa karyawan yang berjalan melewatiku. Aku tetap diam tak menjawab, kubiarkan saja mereka berlalu dengan pandangan penuh selidik ke arahku. "Penampilan Pak Alvan hancur banget ya?""Bu Alia ke kantor, apa ada masalah?""Pasti masalah besar. Tahu sendiri kan kelakuan suaminya bagaimana?""Mungkin sudah tahu kedoknya?"Terdengar cuitan para karyawati bagian marketing. Ku toleh tiga wanita bertubuh gempal itu. Seketika mulut mereka membisu. Nah kan baru sekali di lirik sudah mati kutu. Awas saja jika aku kemb
Pov Alvan"Sini, Mas!" Mega mendesak. Dan aku selalu tak berani menolak permintaannya. Mesti nantinya aku akan menderita. "Ada di saku belakang." Tangan Mega dengan gesit merogoh saku celanaku dan mengambil benda di dalamnya. Benar dugaanku. Tangan mulus Mega mengambil kartu debit dan kartu kredit yang ada di dalamnya. Setelah barang yang ia cari berpindah tangan. Dompet hitamku dimasukkan kembali ke dalam saku celana. "Ayo Sya!" Mega melambaikan tangan ke arah adikku yang duduk sambil memainkan ponselnya. Aduh, gawat! "Mau kemana sih yang?" "Mau shopping dong, Mas. Aku bisa stres di rumah terus dengan Aira. O, ya, kamu jagain Aira ya. Kalau ada apa-apa bisa panggil Mbak Ria di belakang."Ria adalah babysitter Aira. Mega mana mau mangasuh anak seorang diri. Menyusui anakku saja tidak. Katanya takut tubuhnya rusak. Entah kenapa pikirannya bisa seperti itu. "Ta-tapi ada masalah serius ini." "Nanti saja lah Mas, aku pusing di rumah terus."Mega dan Sasya segera berlalu dari hadap
Pov AlvanOweekk ... Oweekk .... Tangis Aira semakin kencang dan menjadi-jadi. Sudah satu jam menunggu kedatangan Mega tapi sampai sekarang belum nampak batang hidungnya. Memang keterlaluan dia, sudah tahu anak rewel tapi tak kunjung pulang. Oweek... Oweekk .... Aira masih menangis dalam gendonganku. Hanya saja suaranya mulai pelan. Dan akhirnya dia tertidur karena kelelahan manangis. Kasihan kamu, nak. Kuciumi pipinya perlahan. Aku duduk di sofa dengan bantal sebagai peyangga punggung. Aira masih terlelap dalam gendonganku. Takut jika ku letakkan di ranjang dia akan menangis lagi. Bisa repot nanti. "Istri kamu keterlaluan Van, anak nangis malah kelayapan tidak pulang!" omel ibu yang duduk tak jauh dariku. Kutempelkan jari telunjuk di bibir, memberi isyarat ibu agar mengecilkan suaranya. Bisa repot kalau Aira bangun lagi. Pusing! Pusing! "Iya, iya, habisnya ibu kesel dengan istri mudamu itu!" Omel ibu dengan nada suara yang sudah dikecilkan. Bapak sendiri sudah masuk kamar t
Pov Alvan"Kok jadi masam begitu, Mas?" Mega menatap wajahku penuh selidik. "Jangan bilang kamu lupa dengan janjimu!"Kan benar, dia memang selalu ingat apa yang aku janjikan terutama menyangkut uang dan liburan. Menghembus akan nafas kasar. Mega sudah duduk di sebelahku dengan tatapan penuh tanda tanya. "Janjinya nanti dulu, ya, sayang. Ada masalah besar.""Kamu itu suka bohong! Katanya mau mengajakku ke Jepang jika aku sudah memberimu anak. Sekarang giliran ku tagih kamu menghindar." "Bukan menghindar, hanya saja ...." Aku bingung harus bagaimana. "Hanya apa?" "Alia melarang Alvan masuk kantor karena dia sudah tahu suamimu korupsi," ucap Ibu. "Apa!" ucap Sasya dan Mega serempak. "Kamu tidak lagi bercanda kan, Mas?" Ku gelengkan kepalaku. Mana mungkin aku bercanda masalah seperti ini. "Aduh, bagaimana dong ini? Mikir dong Mas, jangan diam saja!" Aku diam sambil menyusun rencana agar bisa kembali ke kantor. Kalau aku tidak ke kantor, mana bisa aku memenuhi kebutuhan Mega yang
Kreeekk .... Pintu dibuka dari dalam saat mobil Bang Rizal telah menghilang ditelan tikungan. Mas Alvan sudah berdiri di pintu dengan pandangan yang sulit untuk kuartikan. Aku berjalan melewati mas Alvan tanpa mengucapkan salam apalagi mencium punggung tangan seperti yang selalu kulakukan. Bayangan tangan itu di cium wanita lain tiba-tiba bergelayut di pelupuk mata. Rasa jijik hadir dengan sendirinya. "Dari mana sayang?" ucapnya lalu menjajari langkahku. Kata yang keluar dari mulut Mas Alvan begitu lembut. Kalau saja aku tak tahu kebusukannya sudah pasti akan meleleh mendengar itu semua. Tapi sayang aku sudah tahu belangnya. Jadi kata lemah lembutnya tak berarti apa pun. "Sayang kok diam? Masih marah ya? Maafkan aku ya soal keuangan kantor. Mas janji tidak akan melakukannya lagi.""Ya, iyalah tak akan mengulangi lagi, kamu kan sudah tidak bekerja di kantor lagi," batinku. "Sayang ...." Mas Alvan memelukku dari belakang, menyandarkan kepala di pundakku. Ingin kulepas tapi tak b
Sebagian besar karyawan telah duduk di meja kerja masing-masing. "Pagi, Bu." Sapa setiap karyawan yang berpapasan denganku. Selalu kuberikan senyum tulus untuk mereka. Bagiku antara karyawan dah atasan tak ada bedanya. Tanpa mereka mana mungkin perusahaanku masih berdiri kokoh seperti ini. Pemilik perusahan dan karyawan memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan satu dan lainnya. "Pagi Mia." Sekertarisku terlihat gugup hingga benda pipih miliknya terjatuh di lantai. "Pa-pagi, Bu," jawabnya gugup. Keringat nampak di dahinya, padahal cuaca saat ini masih dingin. AC pun sudah menyala. "Rapat nanti jam sembilan, kan?" "Iya, Bu."Kutinggalkan Mia dan masuk ke ruanganku. Duduk dengan nyaman di kursi keberatan. Kunyalakan laptop lalu mulai membaca rincian laporan keuangan setahun ini. Aku ingin mencari bukti tentang penggelapan dana kantor oleh suamiku sendiri. Pintu di buka dari luar tanpa diketuk terlebih dahulu. Seseorang yang yang ku harapkan telah datang dengan
Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin
Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a
Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak
Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa
"Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me
Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera
Berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan tidaklah muda. Seperti itulah yang Bang Rizal rasakan. Dia tersiksa dengan rasa benci dan amarah. Semenjak pengakuanku, Bang Rizal memilih diam. Tak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Dia hanya berbicara seperlunya, selebihnya dia memilih membisu. "Abang marah?" tanyaku saat kami berada di kamar. "Tidak."Menghela napas saat kudengar jawabannya. Singkat, padat dan datar. Sikapnya semakin dingin terhadapku. Apa aku benar-benar salah melakukan tes DNA itu? Aku hanya ingin memastikan. "Maaf jika sikapku lancang, Bang.""Aku lelah, Al. Bisakah kita bicara besok. Abang ingin tidur." Bang Rizal membalikkan badan, dia membelakangiku. Jarum seakan tak bergerak. Sikap dinginnya membuat aku tak bisa memejamkan mata. Rasa kantuk yang sempat mendera hilang dalam sekejap mata. Mata semakin tak bisa terpejam saat hasrat makan seketika muncul, bahkan terasa menggebu. Aku beranjak dari ranjang. Perlahan kakiku melangkah menuju dapur. Semoga saja ma
"Siapa, Al? Kenapa syok begitu?" Bang Rizal menatapku penuh tanda tanya."Itu... Anu ...."Mulut ini mendadak kelu, apa kukatakan saja sekarang? Namun jika menimbulkan keributan bagaimana? "Alia sayang, kenapa diam? Kamu tidak sedang menyembunyikan sesuatu padaku, kan?"Mungkin saatnya Bang Rizal mengetahui kenyataan ini. Entah bagaimana tanggapannya nanti. "Alia.""Nanti Alia jelaskan, tapi tidak di sini, Bang."Setelah cukup lama berbincang dengan Syasya dan Bu Nur, akhirnya kami berpamitan pulang. "Apa yang mau kamu katakan, Al?" tanyanya sambil mengemudikan mobil. "Jalan dulu, Bang! Nanti kuatur mau belok ke mana." Bang Rizal mengangguk lalu kembali fokus mengendarai mobil. Aku mulai mengarahkan ke mana mobil harus berjalan. Kadang belok kanan atau belok ke kiri. Bang Rizal menurut tanpa banyak protes. "Ini bukannya alamat ke rumah Mia, Al?""Iya, Bang. Kita akan ke rumah Mia." Bang Rizal menautkan dua alis tapi enggan bertanya lebih jauh lagi. Pintu kuketuk pelan, tak lama
"Bagaimana, Mia?""Aman, Mbak. Tinggal menunggu hasilnya."Aku bernapas lega. Langkah untuk mengetahui kebenaran sudah berada di depan mata. Semenjak mendengar perkataan Bu Nur, entah kenapa aku ingin memastikan apakah dia ibu kandung Bang Rizal atau bukan. Jujur mata Bu Nur begitu mirip dengan mata Bang Rizal. Itu yang membuatku yakin jika mereka memiliki ikatan darah. "Aku tunggu kabar baiknya.""Telepon siapa, Sayang?" tanya Bang Rizal setelah keluar dari kamar mandi. Bang Rizal berjalan mendekat, air dari rambutnya menetes hingga ke lantai."Mia telepon tadi.""Ngomongin apa sih? Kayaknya serius banget." Bang Rizal mendekat lalu memelukku dari belakang. Tetes demi tetes air menempel di pundakku. "Basah, Bang!" Aku lepas tangan yang melingkar di perutku. "Biarin, Abang lagi pengen kaya gini. Sudah lama kita sehangat ini, kan?"Aku diam, mendengarkan degup jantungnya begitu keras. Kuhirup aroma shampoo yang mengudara hingga menimbulkan rasa nyaman. Benar yang dikatakan Bang