"Bundaaaa, Dasi Dava hilanggg!"
Lengkingan itu berasal dari kamar sebelah, dan tentunya sangat mengganggu konsentrasi seorang cowok tampan yang sedang mencoba memasang dasi di lehernya. Cowok berseragam SMA itu berdecak, muak dengan suasana paginya yang selalu di penuhi teriakan cempreng nan unfaedah milik Sadava, kembarannya.
Sadena menghela napas, ia memilih menarik dasi yang terpasang awut-awutan itu hingga terlepas. Membuat bagian kerah seragamnya tidak terlipat dengan benar.
Kemudian cowok itu berjalan keluar kamar, menuruni tangga lalu sampai di ruang tengah, cowok itu menghampiri bundanya yang tengah memasangkan dasi untuk ayahnya.
"Bun, pasangin dasi." Sadena berucap kalem, datar, dan tanpa ekspresi. Kebiasaan cowok itu jika berbicara kepada siapa saja, termasuk pada orang yang lebih tua.
Mery—wanita yang dipanggil 'Bunda' itu melirik sekilas putranya. "Bentar ya sayang, bunda masangin dasi papa dulu."
"Ya," sahut Sadena singkat. Ia lalu terdiam, memperhatikan langkah demi langkah pergerakan tangan Mery membentuk dasi itu secara sempurna di leher ayahnya. Sudah sering Sadena menurutinya, tapi kenapa hasilnya selalu hancur? Kadang salah lipat sinilah situlah. Sadena pusing.
"Nah sudah selesai." Mery berucap usai dasi berwarna biru itu terpasang sempurna di balik kerah kemeja Dian--suaminya. Aldevan tersenyum. Mery beralih menatap Sadena. "Sini dasi kamu."
Sadena mengangguk. Belum juga mengulurkan dasinya, tiba-tiba Sadava datang dari arah tangga dengan setengah berlari.
"Udah ketemu, Bun. Pasangin hayuk!" pinta Sadava, tanpa tahu kalau ekspresi Sadena telah berubah masam.
Mery yang sadar perubahan raut Sadena seketika dilema, dia mulai bingung pada situasi ini. Dia khawatir jika salah satu di antara mereka nanti saling iri dan menganggapnya pilih kasih. Padahal Mery selalu berusaha memberikan kasih sayang yang sama rata untuk kedua putra kembarnya.
Namun beberapa detik kemudian Sadava menyela, "Dava duluan, Ma. Dava adek, Dena abang, jadi, abang harus ngalah."
"Okedeh, adeknya duluan ya, bang," sahut Mery tersenyum pada Sadena. Cowok itu hanya mengangguk.
Tapi siapa yang tahu, jauh dalam lubuk hatinya Sadena menyimpan rasa sakit yang luar biasa, yaitu selalu dinomorduakan dengan saudara kembarnya.
"Bang, adeknya dijagain yaa," pinta Mery pada Sadena yang sedang memasang sepatunya."Hmm."Sadena hanya membalas sesingkat itu."Jangan dibiarin pergi sendirian.""Iya.""Istirahatnya juga harus bareng. Kasian, 'kan tuh adeknya belum bisa jalan normal.""Iya, Bun. Dena ngerti," sahut Sadena sebelum kemudian cowok itu berdiri. Pagi ini ia dan Sadava berangkat bersama menggunakan motor Sadena. Berboncengan. Sebab adiknya itu baru saja mengalami kecelakaan motor tiga hari yang lalu yang mengakibatkan kaki kirinya patah ringan.Selesai memasang sepatunya, Sadena menyalimi tangan Mery. Sedangkan ayahnya sudah berangkat lebih dulu ke kantor. Dan Sadava telah berdiri anteng di samping motornya.Kemudian Sadena menaiki motor tersebut dan memasang helm. Menyalakan mesin lalu menyerahkan helm satu untuk Sadava. Adiknya itu menerima dengan senyum tipis. Sadena merespo
"Astaga, Na! Baju lo kotor," Ankaa berucap setibanya Sadena di dalam kelas. Posisinya yang sedang menyapu di ambang pintu memudahkan cowok itu melihat penampilan Sadena lebih jelas."Biar," Sadena menjawab singkat. Ia berjalan melewati Ankaa dan menghampiri mejanya di barisan paling depan. Menaruh tumpukan kertas hasil fotokopi tadi di atas meja. Ngomong-ngomong, Sadena duduk sendiri alias tidak punya teman sebangku. Karena jumlah muridnya ganjil dan namanya berada di nomor absen terakhir.Toh, biarpun disuruh berpasangan Sadena tidak akan pernah mau."Udah lo fotokopi semua, Na?" tanya Melvin--sekretaris kelas.Sadena menggangguk kecil. "Lo bagi kertasnya. Gue bagi ini." Ia menunjukkan selembar kertas kecil menyerupai, tiket."Itu apa, Na? Kayak tiket.""Emang tiket," Sadena merespon ketus. "Theater.""Theater?!" pekik seorang gadis berkuncir yang duduk di pojok
Setibanya di kantin mata Selin langsung menjelajah sekeliling. Sangat ramai dan hampir memenuhi setiap kursi panjang yang ada. Berbagai macam jajanan yang terjual tampaknya enak-enak. Maka dari itu Selin mulai berpikir apakah di kantin ada yang menjual martabak?Jika kalian bertanya-tanya mengapa Selin berpikiran begitu, karena ini kedua kalinya ia jajan di kantin. Pertama, Selin datang ke sini hanya untuk membeli mineral. Toh, waktu itu ia juga belum mendapatkan teman dan masih dalam proses penyesuaian. Dan hari-hari berikutnya, barulah Selin memutuskan membawa bekal dari rumah sebab teman perempuannya banyak seperti itu."Oi Dena!!" seruan Ankaa membuat pandangan Selin teralih. Ia mengikuti arah tatapan Ankaa. Di kursi pojok, ternyata Sadena sedang menyantap semangkok bakso."Yuk samperin Dena," ajak Ankaa dan Selin menurut."Beuhhh. Bakso. Enak bet dah. Nggak ngajak-ngajak lo, Na." Ankaa berujar, menatap pe
Jam pelajaran biologi sedang berlangsung. Semua murid fokus menatap ke depan untuk menyalin soal yang guru tulis di papan tulis. Sadena melakukan hal yang sama, tangannya cekatan menulis rentetan soal di buku latihan biologi. Namun salahnya pikiran Sadena melayang kemana-mana.Tepatnya ia memikirkan pesan yang dikirim Zoe belum lama tadi."Na, pinjem tip-ex dong," pinta Ankaa yang duduk di belakang.Tetapi Sadena tidak merespon."Na," panggil Ankaa lagi. Tetap. Sadena tidak merespon. Cowok itu pun menggeplak kepala sahabatnya dengan buku."Sakit bangsat!" desis Sadena. Kedua alisnya bertaut tajam. "Apasih bego?!""Sorry, Na," Ankaa terkekeh pelan. Matanya melirik guru di meja depan. "Jangan berisik, ntar kita ditegur nyaho lo.""Elo yang mancing kali," sahut Sadena. Lalu memberikan tip-ex miliknya dengan misuh-misuh. "Noh."Ankaa menerimanya dan l
"Dava pulanggg, Bunn."Teriakan Sadava menggema di ruang tengah. Kebiasaan cowok itu setiap pulang sekolah.Seorang wanita cantik yang mendengar itu terlihat berlari kecil mengeluari dapur. Mery, dengan celemek yang agak kotor bergegas menghampiri kedua putra kembarnya. Ia menyodorkan sebelah tangan untuk mereka salimi.Mery memang seperti itu, ia selalu antusias dan berusaha tidak pernah sehari pun melewatkan momen saat kedua putra kembarnya pulang sekolah. Menyambut mereka penuh sukacita.Selesai menyalami tangan ibunya, Sadava dan Sadena mengecup sebelah pipi Mery. Lalu giliran wanita itu mencium dahi mereka penuh kasih sayang."Kalian bau keringat ih," kata Mery sambil mengerucutkan hidung. Sadava nyengir lebar sedangkan Sadena hanya bergumam."Mandi dulu yaa. Terus makan. Bunda udah bikin sup kesukaan kalian.""Sup ayam?" beo Sadava.Mery men
Motor Ankaa berhenti di depan rumah mewah berwarna putih. Ia langsung membunyikan klakson berulang kali. Tak berselang lama, dari luar pagar ia melihat Sadena yang sedang mengeluarkan motor dari bagasi.Sadena tampak rapi mengenakan hoodie berwarna biru dan celana jeans panjang. Ankaa lantas menepikan motornya ketika pagar dibuka, memberi jalan Sadena untuk keluar.Kini cowok itu tiba di depannya."Lama lo, Na," celetuk Ankaa."Elo kali yang kecepetan," sahut Sadena. Lalu dia memakai helm full face-nya. "Acaranya setengah jam lagi baru mulai."Ankaa nyengir. "Sengaja, Na. Soalnya kita jemput Selin. Bokap nyokapnya nggak bisa nganter.""Apa?!" Sadena menautkan kedua alisnya lalu berdecak. "Enggak ah. Lo aja sono.""Yaelah, nyet. Deket kok dari sini. Setengah jam nggak nyampe.""Ngabisin bensin gue," dengus Sadena. "Lo aja sana jemput. Gue
Bermenit-menit posisi mereka tetap sama seperti itu. Selin diam tak bergerak atau pun membalas pelukan Sadena. Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Semakin bingung pula Selin kenapa Sadena memeluknya secara tiba-tiba. Di depan toilet pula."Dena.""Diem, bawel."Seketika Selin bungkam. Ini sangat tidak baik untuk mereka. Terutama untuk kesehatan jantung Selin. Sedari tadi jantungnya jedag jedug tak karuan. Selin keki. Pipinya memerah seperti pipi bayi.Sadena sendiri tidak punya pilihan. Ia harus melindungi Selin dari manusia berbahaya bernama Zoe dan Jona. Kenapa bahaya? Nanti kalian tau sendiri.Perlahan Sadena menoleh ke belakang, matanya menyipit sambil memandang ke depan kafe. Kosong. Zoe dan Jona ternyata sudah pergi. Barulah Sadena menghembus lega dan melepaskan pelukannya dari Selin. Parahnya, Sadena mendorong bahu Selin hingga cewek itu jatuh. Pantatnya mendarat mulus.
Keputusan Selin mengikuti Sadena ternyata membawanya ke sebuah gang kecil. Tepat ketika Sadena memberhentikan motornya di seberang jalan dan meninggalkan motor tersebut lalu masuk ke sana. Selin bergegas melepas helm lalu membayar tagihan ojek sebelum ia kehilangan jejak Sadena. Mengikuti cowok itu.Hal pertama yang Selin rasakan ketika memasuki gang tersebut adalah rasa lembab. Jalan yang ia lewati juga sangat sempit, diapit dua tembok tinggi yang penuh coretan di permukaannya. Terlebih, gang ini gelap. Membuat Selin harus menyiapkan keberanian lebih banyak.Selin mengintip layaknya sebuah pengintai yang handal. Langkah kakinya pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika tubuh Sadena hilang di belokan kanan, Selin mengikuti cowok itu lagi. Dan ia membelalak saat Sadena memasuki gedung tinggi tua yang terlihat angker. Di sisi gedung itu dipenuhi ilalang dan barang rongsokan. Membuat Selin berp