Jam pelajaran biologi sedang berlangsung. Semua murid fokus menatap ke depan untuk menyalin soal yang guru tulis di papan tulis. Sadena melakukan hal yang sama, tangannya cekatan menulis rentetan soal di buku latihan biologi. Namun salahnya pikiran Sadena melayang kemana-mana.
Tepatnya ia memikirkan pesan yang dikirim Zoe belum lama tadi.
"Na, pinjem tip-ex dong," pinta Ankaa yang duduk di belakang.
Tetapi Sadena tidak merespon.
"Na," panggil Ankaa lagi. Tetap. Sadena tidak merespon. Cowok itu pun menggeplak kepala sahabatnya dengan buku.
"Sakit bangsat!" desis Sadena. Kedua alisnya bertaut tajam. "Apasih bego?!"
"Sorry, Na," Ankaa terkekeh pelan. Matanya melirik guru di meja depan. "Jangan berisik, ntar kita ditegur nyaho lo."
"Elo yang mancing kali," sahut Sadena. Lalu memberikan tip-ex miliknya dengan misuh-misuh. "Noh."
Ankaa menerimanya dan langsung menghapus tulisan yang salah. "Lagian mikirin apa sih, Na? Dipanggil nggak nyahut-nyahut," tanya Ankaa.
"Nggak ada." Sadena menggidikan bahu.
Ankaa meringis. "Sok mau bohongin gue. Nggak mempan, Na. Kita udah kenal dari jaman lo bocah idiot. Gue yakin lo lagi mikirin sesuatu," tebak Ankaa sok bijak.
Sadena menatap Ankaa jijik. "Terserah lo dah monyet!"
"Ah, gue sekarang tauu. Lo mikirin Selin. Ye, 'kan?" Ankaa menebak dan kali ini berhasil membuat Sadena melotot. "Cakep ye anaknya?"
"B aja. Cakepan juga nyokap gue."
"Lo mah, Na. Gitu teruss. Semua cewek dianggap buriq."
"Mata lo aja yang katarak!"
"Bangsat!" ucap Ankaa spontan lalu ia tertawa lepas. Entah ada apa dengan cowok itu sampai ia lupa bahwa masih ada guru di depan.
Hingga akhirnya spidol hitam mendarati kepala Ankaa. Cowok itu langsung menghentikan tawanya. Ankaa menunduk ketika mendapati guru di depan menatapnya tajam.
Ankaa pura-pura menulis.
Sementara Sadena tersenyum sinis.
--Sadena--
Bel pulang berbunyi nyaring seantero sekolah, itu artinya semua murid diperbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Selin menatap sekeliling, semua teman-temannya sibuk mengemas barang dan memasukkannya ke dalam tas.
Selin tersenyum manis ketika teman perempuannya--Vega berjalan menghampiri.
"Lo dijemput, Sel?" tanyanya.
Selin mengangguk. "Iya. Sama mama."
"Oke. Kalau gitu gue duluan yaa. Udah dijemput nih sama bokap."
"Sip, hati-hati yaa."
"Dahh."
Kemudian Vega berjalan keluar kelas. Selin langsung mengambil kesempatan mengirim pesan untuk Raya--mamanya.
Mama💖
Ma, jemput Selin yaaa.
Tak menunggu lama, Selin mendapat balasan.
Oke sayang. Kamu tunggu
di depan gerbang yaaa.Siap mama.
Love you.Kuenya udah dikasih belum?
Seketika, Selin menepuk jidatnya.
Astaga lupa!
Aku kasih dulu ya maaDahh. Love you.💕💕Setelah itu pun Selin bergegas mengeluari kelas. Lebih dulu ia keluarkan tiga kotak bekal berukuran sedang yang berisi kue coklat.

(Abaikan rotinya)
Seharusnya ia memberikan itu pada Ankaa dan Sadena istirahat tadi. Tapi sayangnya ia lupa.
Langkah Selin terburu-buru menuju gerbang depan. Namun belum tiba di sana, matanya berbinar mendapati Ankaa dan Sadena berjalan beriringan menuju parkiran.
"Ankaa!" panggil Selin nyaring.
Ankaa menoleh begitu pun Sadena. Selin berlari kecil menghampiri mereka.
"Lah, kirain udah pulang, Sel," celetuk Ankaa.
Selin tersenyum dan menggeleng. "Sebentar lagi pulang kok. Mama otw ke sini," jawab Selin. "Oh ya, ini ada kue bikinin gue sama mama. Kalian terima ya. Spesial lho," lanjutnya. Sambil mengulurkan kotak bekal tadi satu untuk Ankaa dan dua untuk Sadena.
Tanpa basa-basi Ankaa langsung menerima. "Wahh, pasti enak nih. Ntar sampai rumah langsung gue makan. Thanks yaaa."
"Hihi. Sama-sama," sahut Selin senang. "Seharusnya gue ngasih pas istirahat tadi. Tapi lupa."
"Yowes nggak papa," kata Ankaa. Ia melirik dua bekal yang tersisa di tangan Selin. "Anjrit. Dena dapat dua?"
Selin menggeleng lalu tertawa. "Enggak kok. Satunya buat Sadava. Karena gue belum kenal sama tuh cowok satu. Gue nitip ke Dena aja nih," ujarnya. Selin menyodorkan dua bekal itu pada Sadena. Namun cowok itu malah terdiam, seolah enggan menerima.
Ankaa lantas menyikut lengan Sadena. "Ambil, tai. Nggak bakalan ada sianida-nya. Nggak bersyukur lo, Na."
"Iye-iye." Sadena pun menyahut terpaksa dan menerima dengan malas dua bekal itu dari tangan Selin. "Thanks," ucapnya datar.
Selin tersenyum meskipun Sadena terkesan tidak menghargai. Toh, ia sendiri sudah mendengar cerita dari Ankaa kalau Sadena itu gengsian. Terutama ketika menghadapi perempuan.
Dan Selin tak mau ambil hati. Ia malah suka sifat Sadena yang itu. Ganteng, galak, gengsian sayangnya bikin gemes.
"Sama-sama," Selin menyahut ucapan Sadena sebelumnya.
Mendadak terdengar suara klakson mobil dari belakang. Selin menoleh sementara Sadena dan Ankaa langsung dapat melihat siapa yang berada di dalam karena si pemilik mobil menurunkan kaca jendela.
Tampak, wanita cantik seumuran ibu mereka melempar senyum.
"Mama!" pekik Selin. Menghampiri mamanya. Di susul Ankaa, khusus Dena harus dipaksa dulu oleh Ankaa.
"Nunggunya lama gak sayang?" tanya Raya pada putrinya.
"Enggak kok. Pas banget Selin selesai ngasih kuenya."
Raya tersenyum. Ia mengambil alih tas Raya di punggung. Lalu menatap Ankaa dan Sadena bergantian. "Itu Sadena sama Ankaa?"
"Iya, Ma. Itu mereka. Masa mama lupa sih?"
"Haha. Iya maaf. Soalnya lama nggak ketemu. Terakhir kali liat mereka waktu SD. Sekarang makin ganteng-ganteng yaa."
"Ah, tante bisa aja. Masih unyu kok tante," celetuk Ankaa. Sadena di sebelahnya mendengus.
Raya tertawa. "Kamu pasti anaknya Tasya. Keliatan banget dari sifat kamu. Mirip sama Arlan. Terus di sebelah kamu itu ... " Mata Raya sontak menyipit. "Sadena atau Sadava? Takutnya salah sebut."
Selin mengerjap melihat Sadena tersenyum seperti itu. Walaupun tak kelihatan jelas tapi manis. Kirain bisa galak aja, batin Selin terkikik.
Raya menyorot penampilan cowok itu dari atas ke bawah. Sedetik kemudian ia tersenyum hangat. "Persis banget kayak Dian. Eumm kalo kembaran kamu mana?"
"Beda kelas," jawab Sadena.
Raya pun mengangguki. Ia menatap Ankaa dan Sadena bergantian lalu berkata, "Kalau gitu. Titip salam buat orang tua kalian yaa. Tante buru-buru pulang nih. Mau tutup butik soalnya."
"Siap tante," Ankaa mengacungkan jempol sedangkan Sadena hanya mengangguk.
Raya menatap Selin. "Ayo, Sel."
Selin menurut lalu ia membuka pintu mobil. Sesudah duduk di kursi samping kemudi, ia langsung menurunkan kacanya untuk melambaikan tangan. "Dah Dena, dah Ankaa. Pulang dulu yaa. Kapan-kapan mampir ke rumah gue."
"Oke, Sel. Miss you." Ankaa menyahut lalu cekikikan.
Selin beralih menatap Sadena. Cowok itu tak berekspresi apa-apa. Selin jadi merasa tak rela jika mereka harus berpisah secepat ini. Galak-galak tapi anehnya ngangenin, batin Selin.
Mobilnya pun perlahan bergerak dari tempat semula. Sebelum dua temannya itu jauh. Selin bersuara nyaring.
"JANGAN LUPA MALAM INI!!"
"OKE, SAYANG! JAM DELAPAN!" jawab Ankaa bernada bercanda.
Di sisi lain, Sadena memandang sejenak bekal kue pemberian Selin tadi, ternyata ada sticky notes kecil bertuliskan.
Dimakan ya, Dena ;)💚
Sadena bergidik jijik. Mencek bekal satunya ia malah tidak menemukan apa-apa.
Ganjen banget sih dia, batin Sadena.
Tiba-tiba pundaknya dirangkul membuat cowok itu kelabakan. Reflek menoleh usai mencabut sticky note itu dan membuangnya sembarang.
"Wah, apaan tuh?" tanya Sadava, menilik bekal di tangan Dena. Kakinya masih terpincang-pincang.
"Kue, Dav," jawab Ankaa yang entah sejak kapan ada di sampingnya. "Dari Selin. Anaknya Om Kevin."
"Oh, macem enak," celetuknya.
"Emang enak dan pasti enak," sahut Ankaa. "Ambil gih. Satunya buat lo. Ntar dihabisin semua sama Dena. Haha."
Sadena memutar bola mata.
Sadava tertawa pelan. "Oke-oke."
Tak disangka, Sadena malah menaruh kedua bekal itu di tangan Dena. "Ambil semua. Gue nggak suka."
"Dava pulanggg, Bunn."Teriakan Sadava menggema di ruang tengah. Kebiasaan cowok itu setiap pulang sekolah.Seorang wanita cantik yang mendengar itu terlihat berlari kecil mengeluari dapur. Mery, dengan celemek yang agak kotor bergegas menghampiri kedua putra kembarnya. Ia menyodorkan sebelah tangan untuk mereka salimi.Mery memang seperti itu, ia selalu antusias dan berusaha tidak pernah sehari pun melewatkan momen saat kedua putra kembarnya pulang sekolah. Menyambut mereka penuh sukacita.Selesai menyalami tangan ibunya, Sadava dan Sadena mengecup sebelah pipi Mery. Lalu giliran wanita itu mencium dahi mereka penuh kasih sayang."Kalian bau keringat ih," kata Mery sambil mengerucutkan hidung. Sadava nyengir lebar sedangkan Sadena hanya bergumam."Mandi dulu yaa. Terus makan. Bunda udah bikin sup kesukaan kalian.""Sup ayam?" beo Sadava.Mery men
Motor Ankaa berhenti di depan rumah mewah berwarna putih. Ia langsung membunyikan klakson berulang kali. Tak berselang lama, dari luar pagar ia melihat Sadena yang sedang mengeluarkan motor dari bagasi.Sadena tampak rapi mengenakan hoodie berwarna biru dan celana jeans panjang. Ankaa lantas menepikan motornya ketika pagar dibuka, memberi jalan Sadena untuk keluar.Kini cowok itu tiba di depannya."Lama lo, Na," celetuk Ankaa."Elo kali yang kecepetan," sahut Sadena. Lalu dia memakai helm full face-nya. "Acaranya setengah jam lagi baru mulai."Ankaa nyengir. "Sengaja, Na. Soalnya kita jemput Selin. Bokap nyokapnya nggak bisa nganter.""Apa?!" Sadena menautkan kedua alisnya lalu berdecak. "Enggak ah. Lo aja sono.""Yaelah, nyet. Deket kok dari sini. Setengah jam nggak nyampe.""Ngabisin bensin gue," dengus Sadena. "Lo aja sana jemput. Gue
Bermenit-menit posisi mereka tetap sama seperti itu. Selin diam tak bergerak atau pun membalas pelukan Sadena. Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Semakin bingung pula Selin kenapa Sadena memeluknya secara tiba-tiba. Di depan toilet pula."Dena.""Diem, bawel."Seketika Selin bungkam. Ini sangat tidak baik untuk mereka. Terutama untuk kesehatan jantung Selin. Sedari tadi jantungnya jedag jedug tak karuan. Selin keki. Pipinya memerah seperti pipi bayi.Sadena sendiri tidak punya pilihan. Ia harus melindungi Selin dari manusia berbahaya bernama Zoe dan Jona. Kenapa bahaya? Nanti kalian tau sendiri.Perlahan Sadena menoleh ke belakang, matanya menyipit sambil memandang ke depan kafe. Kosong. Zoe dan Jona ternyata sudah pergi. Barulah Sadena menghembus lega dan melepaskan pelukannya dari Selin. Parahnya, Sadena mendorong bahu Selin hingga cewek itu jatuh. Pantatnya mendarat mulus.
Keputusan Selin mengikuti Sadena ternyata membawanya ke sebuah gang kecil. Tepat ketika Sadena memberhentikan motornya di seberang jalan dan meninggalkan motor tersebut lalu masuk ke sana. Selin bergegas melepas helm lalu membayar tagihan ojek sebelum ia kehilangan jejak Sadena. Mengikuti cowok itu.Hal pertama yang Selin rasakan ketika memasuki gang tersebut adalah rasa lembab. Jalan yang ia lewati juga sangat sempit, diapit dua tembok tinggi yang penuh coretan di permukaannya. Terlebih, gang ini gelap. Membuat Selin harus menyiapkan keberanian lebih banyak.Selin mengintip layaknya sebuah pengintai yang handal. Langkah kakinya pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika tubuh Sadena hilang di belokan kanan, Selin mengikuti cowok itu lagi. Dan ia membelalak saat Sadena memasuki gedung tinggi tua yang terlihat angker. Di sisi gedung itu dipenuhi ilalang dan barang rongsokan. Membuat Selin berp
Selin tertidur pulas di sofa ketika Sadena datang dan telah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam dan celana jeans. Selin tampak tak terganggu sekali dengan kehadiran Sadena. Bahkan cewek itu mengorok.Hujan deras yang mengguyur kota Bandung membuat Sadena harus menunda pulang. Ia sempat berniat membangunkan Selin, namun urung karena Sadena tak ingin membuat cewek itu sakit. Toh, ia lupa membawa jas hujan.Intinya, jika Sadena memaksa, sama saja ia membahayakan dua nyawa.Kini, Sadena duduk di kursi kayu samping sofa yang dibaringi Selin.Gawainya di saku celana bergetar, Sadena mengambil benda pipih itu. Panggilan masuk dari Mery."Denaa. Kamu dimana sayang? Dava udah pulang tapi kamu kenapa belum? Bunda khawatir bangettt""Dena neduh. Nunggu hujannya reda.""Mau bunda suruh papa jemput pakai mobil?" "Nggak usah. Dena bisa pul
"Itu hape siapa, Sel?" tanya Vega, teman perempuan Selin yang duduk di belakang. Saat ia tak sengaja mendapati gadis itu mengeluarkan benda pipih dari saku seragam.Selin menoleh dan tersenyum manis. "Punya Sadena.""Ohh," Vega hanya ber-ohh biasa. Namun, beberapa detik kemudian reaksinya berubah heboh. Gadis itu menempelkan kedua tangan ke pipi lalu melebarkan mata. "WHAT?! HAPE DENA?! ASTATANG!! KENAPA ADA DI ELO?! ANJIR!""Memangnya nggak boleh?" Selin bertanya sambil memutar badannya 180° ke belakang. Menghadap Vega. Gadis itu memiringkan kepala, heran.Di tempat duduknya, Vega menghentakan kaki kesal. "Bukan nggak boleh ya Adul. Tapi itu adalah keberuntungan yang WOW!""Lebay deh," Selin terkekeh dan kembali menyempurnakan posisi duduknya seperti semula. "Cuma hape doang kok."Vega yang melihat itu berdecak sebal, ia memutar paksa kursi yang Selin duduki, membuat gadis itu
Semua murid duduk tenang menyimak penjelasan Bu Rai tentang tugas kelompok yang akan diberikan. Tugasnya adalah melakukan resensi atau mengulas sebuah buku.Selin duduk diam di pojok belakang. Ia menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya melirik ke arah Ankaa dan Sadena yang fokus mendengar penjelasan.Di perpustakaan seluas ini, hanya dia satu-satunya murid bahasa, dan kebetulan pelajaran yang berlangsung adalah bahasa Indonesia. Tetapi sayang, Selin lebih suka membahas tentang puisi."Bagaimana? Jelas tugasnya anak-anak? Kalau tidak, silahkan bertanya," ucap Bu Rai memberikan keringanan.Semua murid menggeleng. "PAHAM BU!!""Baguss. Tugasnya dikumpul selesai jam istirahat. Dan kerjakan secara adil. Berdua yaaa. Jangan sampai satu saja yang mengerjakan sedangkan yang lain hanya menumpang nulis nama. Mengerti anak-anak?""MENG
Pulang sekolah, tepat setelah beberapa menit Pak Marwan mengeluari kelas, Sadena dengan cepat memasang jaketnya. Meski terkesan buru-buru, cowok itu padahal berniat menunggu Ankaa yang harus melaksanakan tugas piketnya terlebih dahulu.Sebagian penghuni kelas juga sudah keluar. Menyisakan beberapa murid yang mulai bergerak untuk mengambil peralatan menyapu agar bisa melaksanakan piketnya."Na, sore nanti ke rumah gue, yuk! Kita kerjain tugas bareng-bareng," pinta Ankaa. Cowok itu sedang menyapu kolong meja di belakang Sadena."Hmm." Sadena hanya bergumam. Berikutnya, cowok itu memasang tas hitamnya ke punggung."Oke. Sekalian ajak si Selin, Na. Biar seru," ucapnya. Membuat Sadena terpaksa memandang cowok itu sambil menghela napas."Ngajak Selin mulu. Demen ya lo sama dia?" tanya Sadena sembari memicing.Ankaa menggeleng cepat. "Etdah, kita cuma temenan, Na.""Tem