"Dava pulanggg, Bunn."
Teriakan Sadava menggema di ruang tengah. Kebiasaan cowok itu setiap pulang sekolah.
Seorang wanita cantik yang mendengar itu terlihat berlari kecil mengeluari dapur. Mery, dengan celemek yang agak kotor bergegas menghampiri kedua putra kembarnya. Ia menyodorkan sebelah tangan untuk mereka salimi.
Mery memang seperti itu, ia selalu antusias dan berusaha tidak pernah sehari pun melewatkan momen saat kedua putra kembarnya pulang sekolah. Menyambut mereka penuh sukacita.
Selesai menyalami tangan ibunya, Sadava dan Sadena mengecup sebelah pipi Mery. Lalu giliran wanita itu mencium dahi mereka penuh kasih sayang.
"Kalian bau keringat ih," kata Mery sambil mengerucutkan hidung. Sadava nyengir lebar sedangkan Sadena hanya bergumam.
"Mandi dulu yaa. Terus makan. Bunda udah bikin sup kesukaan kalian."
"Sup ayam?" beo Sadava.
Mery mengangguk. Ia mencubit gemas pipi Sadava. "Iya donggg. Masa sup kucing."
Sadava tertawa garing. "Hahaha. Bunda lucu deh."
Mery mendengus geli. Ia beralih menatap Sadena. Lagi, anak itu selalu saja pelit ekspresi. Pokoknya mirip banget sama bapaknya.
Tangan Mery tergerak mengusap pelan rambut Sadena, karena hanya itu satu-satunya cara agar Sadena bisa tersenyum kepadanya.
"Sadena capek?" tanya Mery. Sadena mengangguk pelan dan tersenyum tipis.
"Yaudah mandi dulu yaa. Baju kotornya taruh aja di keranjang. Nanti bunda cuci."
"Iya, Bun."
Kemudian Sadena melangkah lebar menaiki tangga. Disusul Mery yang ingin kembali ke dapur. Namun Sadava yang sedang mengeluarkan sesuatu dari tas itu kembali memanggilnya.
"Eh, tunggu, Bun."
Dan saat itu, bukan Mery saja yang menoleh. Tapi Sadena yang menaiki tangga ikut menghentikan langkah.
"Iya, ada apa?" Mery mendekat.
Sadava menyodorkan kedua bekal berisi kue pemberian Selin tadi. "Tadi dikasih kue sama Selin, Bun. Anaknya tante Raya. Bunda kenal, 'kan?"
"Ya kenal dong. Sahabatnya bunda tuh si Raya. Emang kue apa yang mereka bikin?"
"Bolu coklat spesial," jawab Sadava. Ia tahu itu karena waktu perjalanan pulang ia sempat mencicipi makanan manis tersebut.
"Wah, kebetulan bunda suka coklat. Simpan di kulkas gih."
"Bunda mau sekarang?"
Mery menggeleng. "Nanti aja. Bunda lagi masak tuh, ntar tangan bunda kotor."
"Sini aku suapinn. Bunda buka mulutnya. Aaa."
Mery menggeleng cepat. "Enggak usah, Dava."
"Yah, Bunda. Nurut atuh. Buka mulut. Aaa." Sadava bersikukuh. Ia mengulurkan potongan kue itu ke depan mulut Mery.
Mery terkekeh. Ia pun membuka mulut dan menyuap kue bolu itu. Melumernya dalam mulut. "Manis bangett."
Sadava tersenyum. Didapatinya sisa coklat di sudut bibir Mery. Sadava menyekanya menggunakan ibu jari. "Dih, bunda makannya kek bocah deh."
Alhasil, Mery menarik satu senyuman malu. Maka selanjutnya yang tercipta hanyalah kehangatan. Mery tertawa begitu juga Sadava. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Sadena yang menyaksikan adegan itu dari tangga tersenyum getir. Akibatnya, ludah yang cowok itu telan mendadak terasa pahit. Hatinya sakit.
Shit! Gue memang bukan apa-apa untuk mereka.
--Sadena--
Malam itu, satu keluarga menikmati makan malam bersama. Aldevan, Mery, Sadena dan juga Sadava.
Sadava tampak asik menggerogoti ceker ayam miliknya. Sadena sendiri memakan dengan kalem irisan daging di piringnya.
"Dava makannya yang bener itu, jangan buru-buru," tegur Mery yang baru selesai membuat susu hangat untuk mereka berempat. Wanita itu mendekat lalu duduk di samping Aldevan.
"Nanggung, Ma. Dava takut telat," jawabnya.
Aldevan menoleh ke arah putranya itu. "Bukannya theater-nya jam delapan?"
"Iya, Pa. Tapi Dava jemput pacar, itu juga nyita waktu."
"Kamu ini," Aldevan mendesis."Masih SMA udah pake bucin."
"Yah, memang papa dulu nggak pernah bucin?"
Mendengar penuturan Sadava pipi Aldevan seketika memerah. Dian menatap istrinya lalu mencubit gemas pipi Mery. Tak ayal, kini mereka saling menatap dengan pemikiran yang sama. Berkelana jauh mengingat masa-masa SMA.
Uhk.
Sadena yang sedari tadi diam mendadak tersedak. Sontak perhatian mereka bertiga teralih.
"Duh, Dena. Makanya doa dulu sebelum makan," ujar Mery yang kini berdiri di belakang Sadena. Mengusap-ngusap punggung anaknya.
"Dena nggak papa," kata Sadena.
Dian mengangguki. "Cuma keselek biasa itu, Ry. Kasih minum aja selesai."
Deg.
Hati Sadena rasanya lagi-lagi sakit. Kenapa? Kenapa semua orang selalu menyepelekan apa yang terjadi pada dirinya. Sedangkan jika Sadava hampir terjatuh saja mereka panik bukan main.
Efeknya Nafsu makan Sadena semakin buruk, ia meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata pun.
Mery yang menyadari perubahan raut wajah Sadena lantas khawatir. Sementara itu Aldevan nampak biasa saja menanggapinya.
"Al, Sadena..." Mery menggantung ucapannya sambil perlahan menoleh ke arah Dian.
"Paling udah kenyang, kamu kayak gak tau dia aja."
"Tapi Sadena kelihatan marah, Al," tukas Mery.
"Jangan berlebihan gitu ah. Kamu sendiri yang bilang sifatnya persis kayak aku. Nggak pedulian."
"Itu bukan berarti kita nggak peduli juga sama dia," sahut Mery tidak mau kalah.
Aldevan menautkan kedua alisnya. "Maksud kamu apasih, Ry? Aku nggak ngerti."
"Kenapa, Ma, Pa? Kenapa?" Sadava yang tadinya sibuk makan menyela heboh. Kepalanya celengukan mencari tau apa yang terjadi.
Mery ingin bersuara namun Aldevan lebih dulu berkata, "Nggak ada apa-apa. Habisin aja makanan kamu. Katanya takut telat."
"Oh, oke deh."
--Sadena--
Selin duduk di kursi belajar sambil menscroll layar gawainya yang menampilkan profil i*******m milik Sadena. Hidungnya kembang kempis saat melihat tidak ada satu pun postingan yang menampilkan wajah cowok itu.
Selin menghela napasnya, kini ia ragu harus memfollow cowok itu tidak. Toh, semua postingannya cuma berisi foto lukisan. Namun hebatnya, cowok itu telah memiliki ratusan ribu pengikut. Selin jadi berpikir, apakah Sadena itu seorang pelukis?
Tak mau ambil pusing, Selin pun tanpa ragu menelpon Ankaa untuk menanyakan hal itu.
"Whats up, Sel? Tumben nelpon gue?"
"Hehe. Nggak ada yang penting sih. Cuma mau nanya. Dena emang suka melukis yaa?"
"Oh itu. Bukan suka, tapi udah jadi hobinya. Lo pasti tau dari Instagramnya, 'kan?"
"Iya. Gue tadi kepoin dia. Hehe."
"Dih, udah mulai suka sama Dena ya. Ngakuu hayoo."
"Apaan si gak. Siapa yang mau sama cowok galak gitu. Gue tadi sempet kepoin ig-nya Dava juga."
"Ngeles atuh, Neng?"
"Ih Ankaa serius tauuu!"
"Hahaha. Mau tau rumah Dena nggak?"
"Mau. Dimana?"
"Dimana... dimana... dimana... ku harus mencari dimana...🎶" Ankaa malah nyanyi.
"ANKAAA SERIUS!!" Selin jadi kesel.
Terdengar tawa garing di seberang sana. "Haha. Oke serius nich. Ntar lo tau sendiri kok rumahnya dimana. Pokoknya, nggak jauh dari rumah gue. Nah, malam ini kan kita nonton bareng. Ntar kita ke rumah Dena dulu gimana?"
"Boleh."
"Nah, sip. Lo siap-siap gih. Gue mau otw jemput lo."
"Selin." Terdengar suara panggilan dari ambang pintu. Selin menoleh dan menemukan mamanya menyembulkan kepala dari daun pintu. Gadis itu lalu berbicara di telpon.
"Eh, tunggu bentar. Ada mama." Lalu ia bangkit dari duduk dan menghampiri Raya. "Kenapa, Ma?"
"Mama minta maaf banget malam ini nggak bisa nganter kamu sekolah. Soalnya mau nganter makan malam buat papa di kantor. Nggak papa ya sayang? Atau kamu mau kita berangkat sekarang biar bisa bareng sama mama?"
"Gitu ya? Nggak papa deh. Kebetulan Ankaa mau jemput aku."
"Oke deh. Maaf ya sayang," kata Raya.
Selin mengangguk. "Iya, Mama. Nggak papa."
Raya mencium puncak kepala anaknya itu penuh sayang. "Yaudah mama berangkat yaa. Kamu jaga diri. Love youuu."
"Love you, Ma."
Setelah itu Raya keluar dan menutup pintu kamar. Selin kembali ke tempat duduknya lalu menyambung lagi telpon dengan Ankaa.
"Mama bilang nggak bisa nganter ke sekolah. Tapi nggak papa, lagian lo katanya mau jemput gue. Yaudah."
"Oh, sip deh. Lu buru dandan yang cakep. Biar Dena jadi kesemsem."
"Apaan dah."
"Hahaha."
Panggilan pun diputuskan oleh Selin. Gadis itu beranjak dari kursi dan berjalan menuju lemari. Selin membuka tempat pakaian itu, lalu matanya menjelajah mencari mana pakaian yang cocok untuk ia kenakan malam ini.
Akhirnya, pilihan Selin jatuh pada jeans overall bergambar hello kitty yang lucu.
Motor Ankaa berhenti di depan rumah mewah berwarna putih. Ia langsung membunyikan klakson berulang kali. Tak berselang lama, dari luar pagar ia melihat Sadena yang sedang mengeluarkan motor dari bagasi.Sadena tampak rapi mengenakan hoodie berwarna biru dan celana jeans panjang. Ankaa lantas menepikan motornya ketika pagar dibuka, memberi jalan Sadena untuk keluar.Kini cowok itu tiba di depannya."Lama lo, Na," celetuk Ankaa."Elo kali yang kecepetan," sahut Sadena. Lalu dia memakai helm full face-nya. "Acaranya setengah jam lagi baru mulai."Ankaa nyengir. "Sengaja, Na. Soalnya kita jemput Selin. Bokap nyokapnya nggak bisa nganter.""Apa?!" Sadena menautkan kedua alisnya lalu berdecak. "Enggak ah. Lo aja sono.""Yaelah, nyet. Deket kok dari sini. Setengah jam nggak nyampe.""Ngabisin bensin gue," dengus Sadena. "Lo aja sana jemput. Gue
Bermenit-menit posisi mereka tetap sama seperti itu. Selin diam tak bergerak atau pun membalas pelukan Sadena. Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Semakin bingung pula Selin kenapa Sadena memeluknya secara tiba-tiba. Di depan toilet pula."Dena.""Diem, bawel."Seketika Selin bungkam. Ini sangat tidak baik untuk mereka. Terutama untuk kesehatan jantung Selin. Sedari tadi jantungnya jedag jedug tak karuan. Selin keki. Pipinya memerah seperti pipi bayi.Sadena sendiri tidak punya pilihan. Ia harus melindungi Selin dari manusia berbahaya bernama Zoe dan Jona. Kenapa bahaya? Nanti kalian tau sendiri.Perlahan Sadena menoleh ke belakang, matanya menyipit sambil memandang ke depan kafe. Kosong. Zoe dan Jona ternyata sudah pergi. Barulah Sadena menghembus lega dan melepaskan pelukannya dari Selin. Parahnya, Sadena mendorong bahu Selin hingga cewek itu jatuh. Pantatnya mendarat mulus.
Keputusan Selin mengikuti Sadena ternyata membawanya ke sebuah gang kecil. Tepat ketika Sadena memberhentikan motornya di seberang jalan dan meninggalkan motor tersebut lalu masuk ke sana. Selin bergegas melepas helm lalu membayar tagihan ojek sebelum ia kehilangan jejak Sadena. Mengikuti cowok itu.Hal pertama yang Selin rasakan ketika memasuki gang tersebut adalah rasa lembab. Jalan yang ia lewati juga sangat sempit, diapit dua tembok tinggi yang penuh coretan di permukaannya. Terlebih, gang ini gelap. Membuat Selin harus menyiapkan keberanian lebih banyak.Selin mengintip layaknya sebuah pengintai yang handal. Langkah kakinya pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika tubuh Sadena hilang di belokan kanan, Selin mengikuti cowok itu lagi. Dan ia membelalak saat Sadena memasuki gedung tinggi tua yang terlihat angker. Di sisi gedung itu dipenuhi ilalang dan barang rongsokan. Membuat Selin berp
Selin tertidur pulas di sofa ketika Sadena datang dan telah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam dan celana jeans. Selin tampak tak terganggu sekali dengan kehadiran Sadena. Bahkan cewek itu mengorok.Hujan deras yang mengguyur kota Bandung membuat Sadena harus menunda pulang. Ia sempat berniat membangunkan Selin, namun urung karena Sadena tak ingin membuat cewek itu sakit. Toh, ia lupa membawa jas hujan.Intinya, jika Sadena memaksa, sama saja ia membahayakan dua nyawa.Kini, Sadena duduk di kursi kayu samping sofa yang dibaringi Selin.Gawainya di saku celana bergetar, Sadena mengambil benda pipih itu. Panggilan masuk dari Mery."Denaa. Kamu dimana sayang? Dava udah pulang tapi kamu kenapa belum? Bunda khawatir bangettt""Dena neduh. Nunggu hujannya reda.""Mau bunda suruh papa jemput pakai mobil?" "Nggak usah. Dena bisa pul
"Itu hape siapa, Sel?" tanya Vega, teman perempuan Selin yang duduk di belakang. Saat ia tak sengaja mendapati gadis itu mengeluarkan benda pipih dari saku seragam.Selin menoleh dan tersenyum manis. "Punya Sadena.""Ohh," Vega hanya ber-ohh biasa. Namun, beberapa detik kemudian reaksinya berubah heboh. Gadis itu menempelkan kedua tangan ke pipi lalu melebarkan mata. "WHAT?! HAPE DENA?! ASTATANG!! KENAPA ADA DI ELO?! ANJIR!""Memangnya nggak boleh?" Selin bertanya sambil memutar badannya 180° ke belakang. Menghadap Vega. Gadis itu memiringkan kepala, heran.Di tempat duduknya, Vega menghentakan kaki kesal. "Bukan nggak boleh ya Adul. Tapi itu adalah keberuntungan yang WOW!""Lebay deh," Selin terkekeh dan kembali menyempurnakan posisi duduknya seperti semula. "Cuma hape doang kok."Vega yang melihat itu berdecak sebal, ia memutar paksa kursi yang Selin duduki, membuat gadis itu
Semua murid duduk tenang menyimak penjelasan Bu Rai tentang tugas kelompok yang akan diberikan. Tugasnya adalah melakukan resensi atau mengulas sebuah buku.Selin duduk diam di pojok belakang. Ia menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya melirik ke arah Ankaa dan Sadena yang fokus mendengar penjelasan.Di perpustakaan seluas ini, hanya dia satu-satunya murid bahasa, dan kebetulan pelajaran yang berlangsung adalah bahasa Indonesia. Tetapi sayang, Selin lebih suka membahas tentang puisi."Bagaimana? Jelas tugasnya anak-anak? Kalau tidak, silahkan bertanya," ucap Bu Rai memberikan keringanan.Semua murid menggeleng. "PAHAM BU!!""Baguss. Tugasnya dikumpul selesai jam istirahat. Dan kerjakan secara adil. Berdua yaaa. Jangan sampai satu saja yang mengerjakan sedangkan yang lain hanya menumpang nulis nama. Mengerti anak-anak?""MENG
Pulang sekolah, tepat setelah beberapa menit Pak Marwan mengeluari kelas, Sadena dengan cepat memasang jaketnya. Meski terkesan buru-buru, cowok itu padahal berniat menunggu Ankaa yang harus melaksanakan tugas piketnya terlebih dahulu.Sebagian penghuni kelas juga sudah keluar. Menyisakan beberapa murid yang mulai bergerak untuk mengambil peralatan menyapu agar bisa melaksanakan piketnya."Na, sore nanti ke rumah gue, yuk! Kita kerjain tugas bareng-bareng," pinta Ankaa. Cowok itu sedang menyapu kolong meja di belakang Sadena."Hmm." Sadena hanya bergumam. Berikutnya, cowok itu memasang tas hitamnya ke punggung."Oke. Sekalian ajak si Selin, Na. Biar seru," ucapnya. Membuat Sadena terpaksa memandang cowok itu sambil menghela napas."Ngajak Selin mulu. Demen ya lo sama dia?" tanya Sadena sembari memicing.Ankaa menggeleng cepat. "Etdah, kita cuma temenan, Na.""Tem
"Jangan kasih tau siapa pun kalau gue petinju."Ungkapan Sadena barusan membuat kening Selin mengernyit. Bahkan alisnya hampir menyatu. Sebenarnya, Selin sedang berusaha melupakan hal itu, karena ia takut Sadena akan marah kalau ia terlalu mencampuri urusan cowok itu. Semalam saja, Sadena membentaknya dengan kasar. Dan itu cukup membuatnya jera.Selin mengusap dagunya sesaat, ia bingung harus bagaimana. Di satu sisi, ia kasihan pada Sadena, sementara di sisi lain. Ia merasa permintaan Sadena adalah kesempatan emas. Ya, kesempatan untuknya membalas dendam. Karena Sadena terlalu sering mengomel hingga kupingnya panas."Mau nggak ya?" celetuk Selin setelah terdiam beberapa saat. Tatapannya begitu jahil, dan ia nyengir.Sadena menghela napas berat. "Mau-mau aja napa," sahut Sadena. "Beres.""Terus untungnya apa kalau gue iyain?""Nggak ada," Sadena menggidikan bahunya acuh. "Jangan