Setibanya di kantin mata Selin langsung menjelajah sekeliling. Sangat ramai dan hampir memenuhi setiap kursi panjang yang ada. Berbagai macam jajanan yang terjual tampaknya enak-enak. Maka dari itu Selin mulai berpikir apakah di kantin ada yang menjual martabak?
Jika kalian bertanya-tanya mengapa Selin berpikiran begitu, karena ini kedua kalinya ia jajan di kantin. Pertama, Selin datang ke sini hanya untuk membeli mineral. Toh, waktu itu ia juga belum mendapatkan teman dan masih dalam proses penyesuaian. Dan hari-hari berikutnya, barulah Selin memutuskan membawa bekal dari rumah sebab teman perempuannya banyak seperti itu.
"Oi Dena!!" seruan Ankaa membuat pandangan Selin teralih. Ia mengikuti arah tatapan Ankaa. Di kursi pojok, ternyata Sadena sedang menyantap semangkok bakso.
"Yuk samperin Dena," ajak Ankaa dan Selin menurut.
"Beuhhh. Bakso. Enak bet dah. Nggak ngajak-ngajak lo, Na." Ankaa berujar, menatap penuh nafsu bakso milik Sadena.
Sadena tak peduli, ia terus menyantap baksonya seolah Ankaa dan Selin hanyalah makhluk tak kasat mata.
Setelahnya, Ankaa duduk di hadapan Sadena, Selin ikut-ikutan duduk di sebelah Ankaa.
"Mau makan apa, Sel?" tanya Ankaa.
Selin nampak berpikir. "Martabak ada?"
"Ada."
"Kalau gitu martabak aja deh. Sama teh es yaa."
"Okeee." Acungan jempol dari Ankaa. Lalu cowok itu berjalan dan mengantri.
Selin tersenyum samar, ia sangat beruntung memiliki teman sebaik Ankaa. Sangat perhatian.
Sekarang tersisa ia dan Sadena dalam satu meja. Rasanya canggung sekali. Selin berulang kali mencuri pandang ke wajah Sadena lalu menunduk. Begitu seterusnya sampai pandangan mereka bertemu.
"Biasa aja liatin guenya," celetuk Sadena sarkastik.
Demi menutupi kegugupannya Selin tersenyum manis. Sangat manis sampai siapa pun cowok yang melihatnya dijamin meleleh. Kecuali bagi Sadena. Lihat saja, cowok itu justru menatapnya datar.
"Sadena R. Aldizar," panggil Selin.
Sadena lantas menatap cewek itu seolah bertanya 'Apa?'
"Eh enggak," Selin tergelak saat sadar ucapannya tadi membuat Sadena heran. Ia menggeleng pelan. "Gue cuma ngeja name tag lo. Hehe."
"Ga jelas," Sadena ketus.
Selin cemberut sesaat, namun kembali semringah. "Oh sekarang gue ngertiii. Lo anaknya om Dian sama tante Mery. Bener kan? Kan-kan?"
"Hmm." Sadena hanya bergumam.
Selin mendengus. "Irit banget ngomongnya."
"Serah gue."
"Lo sekelas sama Ankaa ya?" Selin bertanya lagi.
Sadena menggangguk. "Lo?"
Selin memiringkan kepala. "Maksudnya?"
"Nggak jadi."
"Ih Denaaa. Jangan setengah-setengah gituu dong. Kan jadi kepo. Hehe."
"Bawel banget lu!"
"Nah iya gitu," kata Selin membuat Sadena semakin bingung apa yang sebenarnya cewek itu maksud.
"Ngomong lebih dari satu kata lebih baik, Dena. Karena itu terkesan menghargai. Btw, kenalin, nama gue Selindya Destira Zaneya."
"Tau," kata Sadena memotong ucapan Selin.
Selin memicing jahil. "Kok tau? Cenayang ya?"
"Berisik!"
"Ya emang. Ini kan kantin."
Sadena memutar bola matanya jengah, bukan hanya itu, ia juga sangat malas menghadapi ocehan cewek lemot nan bawel di depannya sekarang.
Apalagi kini tatapan-tatapan aneh terlayang padanya. Seolah keberadaan Selin yang satu meja dengannya adalah sesuatu yang menarik.
Beruntung, tak lama kemudian Ankaa datang.
"Nah ini dia," Ankaa berucap sambil membawa sebuah nampan berisi dua piring martabak. Di taruhnya satu di depan Selin dan satu untuk dia.
"Kayaknya enak," tebak Selin.
"Yoi. Gue yang bikin," sahut Ankaa bangga.
"Seriusan?"
Ankaa terbahak. "Ya enggaklah. Elo mah, Sel. Polos-polos minta ditampol."
Jleb.
Selin langsung kicep dan wajahnya berubah datar. Namun hanya sesaat, Selin kembali antusias saat mengambil gigitan pertama martabaknya. Selin menyantap makanan itu penuh sukacita.
"Enak buwangetttt," celetuk Selin dengan mulut penuh dan bibir belepotan sambal.
Sadena yang melihat itu memutar bola malas. Selin benar-benar. Sifatnya persis seperti Ankaa. Kekanakan.
"Makan aja, nggak usah bawel," seloroh Sadena lalu menyeruput kuah baksonya.
Selin memeletkan lidah. "Blee. Bilang aja mau."
"Gue bisa beli sendiri kali, monyet!"
"Huuu."
"Udahlah," Ankaa menegur membuat perdebatan keduanya berhenti. Sadena mendengus keras. Selin mencebikkan bibir lalu menyantap kembali makanannya dengan santai. Sesekali melempar tatapan permusuhan pada Sadena.
"Btw, lo udah tau belum malam ini ada pentas theater, Sel?" tanya Ankaa.
Selin menggangguk cepat. "Tau. Gue udah izin sama mama papa. Jadi, malam ini gue nonton. Lo juga kan, Ka?"
"Yoi dongg."
Selin tersenyum lebar. "Asyikkk. Kalau gitu kita barengan yaa."
"Okey. Kita bertiga. Lo, gue sama Sadena."
"Maksa lo, tai," desis Sadena tidak terima. Dia melotot.
Ankaa mengangkat bahu acuh. "Ngikut aja sih, Na. Pokoknya lo nggak boleh nolak. Kalo nggak gue bom rumah lo."
"Halah, gigi."
Ankaa tertawa begitu juga Selin. Namun tawa gadis itu tak selepas Ankaa. Karena sekarang mulutnya penuh dan Selin masih mementingkan imej diri. Bisa berabe kalau dia ketawa puas terus makanan di mulutnya malah berhamburan.
Selanjutnya suasana menghening, tidak ada yang bicara sebab mereka melanjutkan aktivitas makan dengan tenang. Setelah Ankaa memperingatkan bel masuk sebentar lagi berbunyi.
Beberapa menit kemudian makanan mereka habis. Selin mengelus perutnya yang terasa membuncit akibat kekenyangan. Sementara Ankaa langsung bersendawa tanpa malu.
"Ih Ankaa jorok," cibir Selin. Ankaa nyengir lebar.
Sadena? Ah, jangan ditanya. Bagaimana pun keadaannya cowok itu selalu pandai mengatur eskpresi agar terlihat biasa saja.
Lalu tatapan mereka bertemu. Selin memicing memandang Sadena begitu pun sebaliknya. Entah karena perdebatan mereka tadi atau yang lain. Keduanya saling memandang penuh selidik.
Ankaa yang melihat kelakuan dua orang itu tertawa. "Yaelah pakai tatap-tatapan terus. Udah tau belum, Sel. Siapa Sadena?"
"Nggak. Nggak penting juga," alibi Selin cuek.
Sadena melotot. "Emang lo penting buat gue? Kagak!"
"Hahaha," Ankaa tertawa nggak jelas. "Cocok dah lu bedua."
"Nggak!" tandas Selin dan Sadena berbarengan. Lalu mereka saling melirik sinis sebelum akhirnya saling membuang pandangan.
"Perlu lo tau juga, Sel," celetuk Ankaa membuat Selin menatap cowok itu sambil mengernyit.
"Apa?"
"Sadena punya kembaran cowok. Namanya Sadava Refgar Aldizar."
"Oh ya?" Selin bertanya antusias.
Ankaa terkekeh dan memicing. "Hayoo. Tadi katanya nggak penting."
Selin cengar-cengir. Ia mendelik Sadena sinis. "Mau tau aja. Pasti lebih ganteng dari Dena."
"Sok tau, kebo," Sadena menyahut.
Selin mengacuhkan cowok itu, ia menatap Ankaa penuh rasa ingin tahu. "Terus-terus, gimana cara bedainnya?"
"Gampang. Sadava punya tahi lalat di leher. Sementara Dena enggak."
"Ohh."
"Satu lagi, Sadava orangnya friendly, tapi Sadena..." Ankaa menggantung ucapannya sesaat, dia tersenyum jahil lalu bergeser sedikit untuk membisikan sesuatu di telinga Selin.
Selin tertawa ngakak kemudian.
"Apa-apa dah!" desis Sadena mulai suudzon seolah dirinya yang ditertawakan.
Ankaa terkikik. "Kepo ya, Na?"
"Gigi, lo!"
Selanjutnya Sadena kembali diserang rasa bosan, apalagi kini Ankaa dan Selin malah membincangkan sesuatu yang tidak jelas sampai ngakak berbarengan. Sadena mendengus. Cukup memiliki satu teman konyol seperti Ankaa saja ia pusing. Di tambah lagi Selin.
Rasanya Sadena ingin mengarungi mereka berdua dan menendangnya hingga nyangkut ke angkasa.
Sadena pun memilih memainkan ponsel, namun baru saja membuka lookscreen, satu notifikasi chat dari seseorang muncul.
Zoe: Malam ini. Gue tunggu lo di ring.
Jam pelajaran biologi sedang berlangsung. Semua murid fokus menatap ke depan untuk menyalin soal yang guru tulis di papan tulis. Sadena melakukan hal yang sama, tangannya cekatan menulis rentetan soal di buku latihan biologi. Namun salahnya pikiran Sadena melayang kemana-mana.Tepatnya ia memikirkan pesan yang dikirim Zoe belum lama tadi."Na, pinjem tip-ex dong," pinta Ankaa yang duduk di belakang.Tetapi Sadena tidak merespon."Na," panggil Ankaa lagi. Tetap. Sadena tidak merespon. Cowok itu pun menggeplak kepala sahabatnya dengan buku."Sakit bangsat!" desis Sadena. Kedua alisnya bertaut tajam. "Apasih bego?!""Sorry, Na," Ankaa terkekeh pelan. Matanya melirik guru di meja depan. "Jangan berisik, ntar kita ditegur nyaho lo.""Elo yang mancing kali," sahut Sadena. Lalu memberikan tip-ex miliknya dengan misuh-misuh. "Noh."Ankaa menerimanya dan l
"Dava pulanggg, Bunn."Teriakan Sadava menggema di ruang tengah. Kebiasaan cowok itu setiap pulang sekolah.Seorang wanita cantik yang mendengar itu terlihat berlari kecil mengeluari dapur. Mery, dengan celemek yang agak kotor bergegas menghampiri kedua putra kembarnya. Ia menyodorkan sebelah tangan untuk mereka salimi.Mery memang seperti itu, ia selalu antusias dan berusaha tidak pernah sehari pun melewatkan momen saat kedua putra kembarnya pulang sekolah. Menyambut mereka penuh sukacita.Selesai menyalami tangan ibunya, Sadava dan Sadena mengecup sebelah pipi Mery. Lalu giliran wanita itu mencium dahi mereka penuh kasih sayang."Kalian bau keringat ih," kata Mery sambil mengerucutkan hidung. Sadava nyengir lebar sedangkan Sadena hanya bergumam."Mandi dulu yaa. Terus makan. Bunda udah bikin sup kesukaan kalian.""Sup ayam?" beo Sadava.Mery men
Motor Ankaa berhenti di depan rumah mewah berwarna putih. Ia langsung membunyikan klakson berulang kali. Tak berselang lama, dari luar pagar ia melihat Sadena yang sedang mengeluarkan motor dari bagasi.Sadena tampak rapi mengenakan hoodie berwarna biru dan celana jeans panjang. Ankaa lantas menepikan motornya ketika pagar dibuka, memberi jalan Sadena untuk keluar.Kini cowok itu tiba di depannya."Lama lo, Na," celetuk Ankaa."Elo kali yang kecepetan," sahut Sadena. Lalu dia memakai helm full face-nya. "Acaranya setengah jam lagi baru mulai."Ankaa nyengir. "Sengaja, Na. Soalnya kita jemput Selin. Bokap nyokapnya nggak bisa nganter.""Apa?!" Sadena menautkan kedua alisnya lalu berdecak. "Enggak ah. Lo aja sono.""Yaelah, nyet. Deket kok dari sini. Setengah jam nggak nyampe.""Ngabisin bensin gue," dengus Sadena. "Lo aja sana jemput. Gue
Bermenit-menit posisi mereka tetap sama seperti itu. Selin diam tak bergerak atau pun membalas pelukan Sadena. Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Semakin bingung pula Selin kenapa Sadena memeluknya secara tiba-tiba. Di depan toilet pula."Dena.""Diem, bawel."Seketika Selin bungkam. Ini sangat tidak baik untuk mereka. Terutama untuk kesehatan jantung Selin. Sedari tadi jantungnya jedag jedug tak karuan. Selin keki. Pipinya memerah seperti pipi bayi.Sadena sendiri tidak punya pilihan. Ia harus melindungi Selin dari manusia berbahaya bernama Zoe dan Jona. Kenapa bahaya? Nanti kalian tau sendiri.Perlahan Sadena menoleh ke belakang, matanya menyipit sambil memandang ke depan kafe. Kosong. Zoe dan Jona ternyata sudah pergi. Barulah Sadena menghembus lega dan melepaskan pelukannya dari Selin. Parahnya, Sadena mendorong bahu Selin hingga cewek itu jatuh. Pantatnya mendarat mulus.
Keputusan Selin mengikuti Sadena ternyata membawanya ke sebuah gang kecil. Tepat ketika Sadena memberhentikan motornya di seberang jalan dan meninggalkan motor tersebut lalu masuk ke sana. Selin bergegas melepas helm lalu membayar tagihan ojek sebelum ia kehilangan jejak Sadena. Mengikuti cowok itu.Hal pertama yang Selin rasakan ketika memasuki gang tersebut adalah rasa lembab. Jalan yang ia lewati juga sangat sempit, diapit dua tembok tinggi yang penuh coretan di permukaannya. Terlebih, gang ini gelap. Membuat Selin harus menyiapkan keberanian lebih banyak.Selin mengintip layaknya sebuah pengintai yang handal. Langkah kakinya pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika tubuh Sadena hilang di belokan kanan, Selin mengikuti cowok itu lagi. Dan ia membelalak saat Sadena memasuki gedung tinggi tua yang terlihat angker. Di sisi gedung itu dipenuhi ilalang dan barang rongsokan. Membuat Selin berp
Selin tertidur pulas di sofa ketika Sadena datang dan telah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam dan celana jeans. Selin tampak tak terganggu sekali dengan kehadiran Sadena. Bahkan cewek itu mengorok.Hujan deras yang mengguyur kota Bandung membuat Sadena harus menunda pulang. Ia sempat berniat membangunkan Selin, namun urung karena Sadena tak ingin membuat cewek itu sakit. Toh, ia lupa membawa jas hujan.Intinya, jika Sadena memaksa, sama saja ia membahayakan dua nyawa.Kini, Sadena duduk di kursi kayu samping sofa yang dibaringi Selin.Gawainya di saku celana bergetar, Sadena mengambil benda pipih itu. Panggilan masuk dari Mery."Denaa. Kamu dimana sayang? Dava udah pulang tapi kamu kenapa belum? Bunda khawatir bangettt""Dena neduh. Nunggu hujannya reda.""Mau bunda suruh papa jemput pakai mobil?" "Nggak usah. Dena bisa pul
"Itu hape siapa, Sel?" tanya Vega, teman perempuan Selin yang duduk di belakang. Saat ia tak sengaja mendapati gadis itu mengeluarkan benda pipih dari saku seragam.Selin menoleh dan tersenyum manis. "Punya Sadena.""Ohh," Vega hanya ber-ohh biasa. Namun, beberapa detik kemudian reaksinya berubah heboh. Gadis itu menempelkan kedua tangan ke pipi lalu melebarkan mata. "WHAT?! HAPE DENA?! ASTATANG!! KENAPA ADA DI ELO?! ANJIR!""Memangnya nggak boleh?" Selin bertanya sambil memutar badannya 180° ke belakang. Menghadap Vega. Gadis itu memiringkan kepala, heran.Di tempat duduknya, Vega menghentakan kaki kesal. "Bukan nggak boleh ya Adul. Tapi itu adalah keberuntungan yang WOW!""Lebay deh," Selin terkekeh dan kembali menyempurnakan posisi duduknya seperti semula. "Cuma hape doang kok."Vega yang melihat itu berdecak sebal, ia memutar paksa kursi yang Selin duduki, membuat gadis itu
Semua murid duduk tenang menyimak penjelasan Bu Rai tentang tugas kelompok yang akan diberikan. Tugasnya adalah melakukan resensi atau mengulas sebuah buku.Selin duduk diam di pojok belakang. Ia menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya melirik ke arah Ankaa dan Sadena yang fokus mendengar penjelasan.Di perpustakaan seluas ini, hanya dia satu-satunya murid bahasa, dan kebetulan pelajaran yang berlangsung adalah bahasa Indonesia. Tetapi sayang, Selin lebih suka membahas tentang puisi."Bagaimana? Jelas tugasnya anak-anak? Kalau tidak, silahkan bertanya," ucap Bu Rai memberikan keringanan.Semua murid menggeleng. "PAHAM BU!!""Baguss. Tugasnya dikumpul selesai jam istirahat. Dan kerjakan secara adil. Berdua yaaa. Jangan sampai satu saja yang mengerjakan sedangkan yang lain hanya menumpang nulis nama. Mengerti anak-anak?""MENG