"Astaga, Na! Baju lo kotor," Ankaa berucap setibanya Sadena di dalam kelas. Posisinya yang sedang menyapu di ambang pintu memudahkan cowok itu melihat penampilan Sadena lebih jelas.
"Biar," Sadena menjawab singkat. Ia berjalan melewati Ankaa dan menghampiri mejanya di barisan paling depan. Menaruh tumpukan kertas hasil fotokopi tadi di atas meja. Ngomong-ngomong, Sadena duduk sendiri alias tidak punya teman sebangku. Karena jumlah muridnya ganjil dan namanya berada di nomor absen terakhir.
Toh, biarpun disuruh berpasangan Sadena tidak akan pernah mau.
"Udah lo fotokopi semua, Na?" tanya Melvin--sekretaris kelas.
Sadena menggangguk kecil. "Lo bagi kertasnya. Gue bagi ini." Ia menunjukkan selembar kertas kecil menyerupai, tiket.
"Itu apa, Na? Kayak tiket."
"Emang tiket," Sadena merespon ketus. "Theater."
"Theater?!" pekik seorang gadis berkuncir yang duduk di pojok. Chika namanya. Tergesa-gesa ia menghampiri Sadena.
"Ih mau dongg," rengek Chika sambil melompat-lompat tidak jelas.
"Bayar!" salak Sadena membuat Chika langsung terdiam.
"Nggak punya duit. Uang jajan gue ketinggalan."
Sadena mendengus. "Yaudah sono balik! Nggak usah lompat-lompat nggak jelas di depan gue. Norak lo!" bentaknya.
Di respon tidak mengenakan seperti itu Chika memeletkan lidah dengan gaya anak kecil. "Galak! Sadena galak!"
"Bacot!"
"Udah gih," sela Melvin melerai keduanya. Sadena dan Chika lantas melempar tatapan permusuhan. Setelahnya, Chika kembali ke tempat duduknya dengan perasaan gondok, menenggelamkan wajah di lipatan tangan, tak lama cewek itu menangis sesegukan.
Melvin menatap Sadena. "Tuh, 'kan nangis."
"Biarin. Dasar cengeng!"
"Hush, Na." Kali ini Ankaa yang menegur. Berjalan mendekati Sadena. "Ngalah kek sama cewek."
"Ogah," Sadena menyahut malas dan mengibaskan tangan. Ia menaruh kumpulan tiket tadi di hadapan Melvin dan Ankaa. Ia mendapat tiket itu dari guru seni saat tak sengaja berpapasan dengan beliau di koridor sepulang dari koperasi tadi. Beliau memintanya membagi-bagikan di kelas. Namun Sadena jadi berpikiran, "Lo aja sana bagi. Gue males. Kasih tau juga ke mereka. Mau nonton bayar."
"Berapa?" tanya Ankaa.
"Liat di tiketnya."
Kompak Melvin dan Ankaa membaca nominal yang tertera di tiket tersebut.
"Ohh," jawab mereka bersamaan.
Tak menunggu lama, kedua sejoli itu pun berpencar untuk membagikan tiket berjumlah 35 itu. Seisi kelas langsung heboh. Ada yang antusias dan langsung memutuskan menonton pentas drama tersebut. Tak sedikit juga yang merespon biasa saja.
Sadena geleng-geleng kepala. Dia sendiri masuk pada kategori kedua. Yaitu malas menonton acara yang menurutnya tidak penting itu.
"Halah. Paling temanya itu-itu aja," gumam Sadena. Kemudian cowok itu membuka soal matematika dari buku paket yang baru saja ia fotokopi tadi. Lalu dia mengeluarkan buku latihan. Mulai mengerjakan soal nomor satu.
Namun, gawainya di laci tiba-tiba bergetar. Pesan masuk dari Sadava.
Sadava: Lo udah tau malam ini ada theater belum?
Sadena: Udh
Sadava: Oh uh. Ikut bro?
Sadena: Gk
Sadava: Wagelaseh. Sayang banget padahal Na. Gue malam ini mau nonton sih sama Marsha. Lo ikut gih sekalian cari pacar. Biar nggak jadi jomblo berkarat.
Sadena: Bodo. Jgn chat-chat gue lagi lo.
Sadava: 😋
Sadava: Abangku sayang
Sadena mendengus lalu menyimpan lagi gawainya itu di laci. Dia memang tidak suka di chat oleh Sadava sekali pun hal itu penting. Pokoknya, Sadena tidak suka berurusan dengan Sadava. Ia dan adiknya itu memiliki dunianya sendiri. Baik Sadava atau pun yang lain tidak berhak untuk mencampuri.
Ankaa yang selesai membagikan tiket itu menghampiri mejanya. "Lo ikut, Na?"
"Nggak."
"Nggak mulu dah perasaan. Bulan lalu lo bilang kayak gitu juga, Na. Ikutlah sekali-sekali."
"Males."
"Na," sela Anka menghela napas, membuat Sadena mengernyit.
"Apa lagi sih?"
"Oke lo ikut."
"Gue bilang nggak ya nggak!"
"Lagian kenapa sih, Na? Lumayan kan lo bisa liat cewek-cewek cantik. Cari pacar gituuu. Sakit mata gue ngeliat lo ngejomblo mulu."
"Dapat ilmu kagak! Capek iya!"
"Capek?" Ankaa tertawa. "Hahaha. Aneh lo. Orang kerjaannya cuma duduk-duduk doang."
"Duduk pala lo! Terus yang ngajak gue jalan-jalan itu siapa? Tolol!"
Ankaa terkikik lalu nyengir lebar. "Ah, nggak asik, gue telpon tante Mery aja deh."
"Nggak gue bukain pintu lo!"
"Semrawut atuh, Na," sahut Ankaa nggak jelas, membuat Sadena memutar bola matanya malas.
Ankaa tak menyerah membujuk sahabatnya itu. Ia menatap lekat-lekat tepat di retina Sadena. Sadena malah melotot dan berpura-pura fokus kembali mengerjakan soalnya lalu menyumpal satu headset ke telinga. Mengabaikan Ankaa.
"Sekalian ada yang mau gue kenalin ke elo, Na."
Satu alis Sadena naik mendengar ucapan Ankaa. Namun cowok itu lagi-lagi mengangkat bahu acuh, tidak peduli.
--Sadena--
Berbeda dengan Selin, gadis itu malah berjalan seperti orang kebingungan di pinggir lapangan. Kepalanya celangak-celenguk mencari seseorang. Seminggu menjadi murid baru di sini, Selin masih belum mengetahui secara detail tempat-tempat di SMA Athena. Wajar ia tersesat.
Selin menggigiti bibir bawahnya, gugup. Takut tidak menemukan orang ia cari. Gadis itu pun berhenti dan memilih menghubungi orang itu.
Selin: Lo dimana?
Send.
Ankaa: Otw kelas lo, Sel.
Selin: Tapi gue di pinggir lapangan.
Ankaa: what? Ngapain ke situ?
Selin: Nyari elo lah. Katanya ke kelas gue. Tapi lama banget nggak nyampe. Yaudah gue inisiatif nyari lo.
Ankaa: Anyep dah. Gara-gara temen gue nih. Yaudah lo tunggu di situ aja. Gue ke bawah.
Selin: Oke, jangan lama-lama.
Ankaa: 😙
Ankaa: Astatang! Salah emot, Sorry. 😁 asdfghjklll
Selin mengulum senyum, dia memaklumi sifat Ankaa yang kadang ngawur itu. Selin pun menduduki bangku panjang kosong di pinggir lapangan. Sambil menganyunkan kaki dia menunggu kehadiran Ankaa.
"Selin!"
Selin menoleh ketika panggilan itu terdengar dari arah belakang. Bergegas ia menghampiri Ankaa dengan senang.
"Ankaaaa!" pekik Selin heboh. Langsung mencubit pipi tembem Ankaa. Ya, Ankaa itu tembem dan bertubuh sedikit gemuk. Bikin gemes kalau kata Selin.
"Ih lamaaaa."
"Sorry, Sel. Sakit dah pipi gue," ucap Ankaa setelah Selin berhenti mencubit pipinya.
Selin nyengir lebar. "Hihi. Maaf. Kok lo lama sih?"
"Oh itu. Tak ada hal punya," Ankaa menirukan nada salah satu tokoh di serial kartun Malaysia.
"Masih aja suka Upin-Ipin," cibir Selin. "Udah gede tau."
"Ah, nggak papa. Yang penting gue ganteng," sahut Ankaa bangga.
"Sok iye," celetuk seseorang di belakang. Membuat Ankaa dan Selin menoleh. Ankaa bergeser sedikit hingga ia berdiri di samping Sadena yang sedari tadi terabaikan itu.
Sementara Selin cengo menatap teman Ankaa itu. Uh, dia? Cowok yang tega membiarkan dia pingsan tadi bukan? Selin meneliti penampilan Sadena. Ah, ternyata benar. Jadi dia temannya Ankaa?
Di tatap aneh oleh Selin membuat Sadena melotot. "Apa liat-liat?"
"Jangan galak-galak, Na," tegur Ankaa. Ia melirik Sadena sekilas lalu menatap Selin. "Kenalin, Sel. Teman lama gue. Namanya Sadena. Dipanggil yayang."
"Ngasal aja lo!" Sadena menoyor kepala Ankaa lalu memandang Selin malas.
Ankaa terkekeh namun kembali melanjutkan, "Oh, kenalin juga, Na. Ini Selindya. Teman gue. Siswi baru seminggu yang lalu. Pindahan dari Jakarta. Anaknya Om Kevin. Kenal nggak?"
"Nggak!"
"Nah, yaudah. Kenalan gih."
"Nggak mau!" tolak Sadena ketus.
Selin pun memayunkan bibir padahal dia sudah berbaik hati mengajak berjabat tangan. Di pikirannya langsung terbesit asumsi-asumsi buruk mengenai Sadena. Ternyata selain manusia yang sering berbuat tega, Sadena juga galak dan menyebalkan. Sayangnya, ganteng.
"Yah, Na," Ankaa menatap Sadena melas. "Seperti kata pepatah. Tak kenal mata tak sayang."
"Nggak! Gue mau ngantin. Laperr."
Kemudian, Sadena dengan santainya berjalan menuju kantin. Meninggalkan Ankaa yang menghela napas dan Selin yang geleng-geleng kepala.
Sombong, pikir Selin.
Ankaa tiba-tiba bersuara. "Jangan sedih, Sel. Awalnya Dena emang gitu. Lama-kelamaan dia mau kok temenan sama lo."
Selin manggut-manggut sambil cemberut.
Ankaa terkikik. "Kalau gitu ngantin yok. Gue ikutan laperr. Sekalian kita ngobrol bertiga bareng Dena."
"Ayok. Pesenin gue martabak juga yaa."
"Okeee." Ankaa mengacungkan jempol.
Setelahnya, kedua orang itu berjalan bersisian menuju kantin. Sambil sesekali Ankaa melontarkan kalimat receh yang membuat Selin tertawa.
Setibanya di kantin mata Selin langsung menjelajah sekeliling. Sangat ramai dan hampir memenuhi setiap kursi panjang yang ada. Berbagai macam jajanan yang terjual tampaknya enak-enak. Maka dari itu Selin mulai berpikir apakah di kantin ada yang menjual martabak?Jika kalian bertanya-tanya mengapa Selin berpikiran begitu, karena ini kedua kalinya ia jajan di kantin. Pertama, Selin datang ke sini hanya untuk membeli mineral. Toh, waktu itu ia juga belum mendapatkan teman dan masih dalam proses penyesuaian. Dan hari-hari berikutnya, barulah Selin memutuskan membawa bekal dari rumah sebab teman perempuannya banyak seperti itu."Oi Dena!!" seruan Ankaa membuat pandangan Selin teralih. Ia mengikuti arah tatapan Ankaa. Di kursi pojok, ternyata Sadena sedang menyantap semangkok bakso."Yuk samperin Dena," ajak Ankaa dan Selin menurut."Beuhhh. Bakso. Enak bet dah. Nggak ngajak-ngajak lo, Na." Ankaa berujar, menatap pe
Jam pelajaran biologi sedang berlangsung. Semua murid fokus menatap ke depan untuk menyalin soal yang guru tulis di papan tulis. Sadena melakukan hal yang sama, tangannya cekatan menulis rentetan soal di buku latihan biologi. Namun salahnya pikiran Sadena melayang kemana-mana.Tepatnya ia memikirkan pesan yang dikirim Zoe belum lama tadi."Na, pinjem tip-ex dong," pinta Ankaa yang duduk di belakang.Tetapi Sadena tidak merespon."Na," panggil Ankaa lagi. Tetap. Sadena tidak merespon. Cowok itu pun menggeplak kepala sahabatnya dengan buku."Sakit bangsat!" desis Sadena. Kedua alisnya bertaut tajam. "Apasih bego?!""Sorry, Na," Ankaa terkekeh pelan. Matanya melirik guru di meja depan. "Jangan berisik, ntar kita ditegur nyaho lo.""Elo yang mancing kali," sahut Sadena. Lalu memberikan tip-ex miliknya dengan misuh-misuh. "Noh."Ankaa menerimanya dan l
"Dava pulanggg, Bunn."Teriakan Sadava menggema di ruang tengah. Kebiasaan cowok itu setiap pulang sekolah.Seorang wanita cantik yang mendengar itu terlihat berlari kecil mengeluari dapur. Mery, dengan celemek yang agak kotor bergegas menghampiri kedua putra kembarnya. Ia menyodorkan sebelah tangan untuk mereka salimi.Mery memang seperti itu, ia selalu antusias dan berusaha tidak pernah sehari pun melewatkan momen saat kedua putra kembarnya pulang sekolah. Menyambut mereka penuh sukacita.Selesai menyalami tangan ibunya, Sadava dan Sadena mengecup sebelah pipi Mery. Lalu giliran wanita itu mencium dahi mereka penuh kasih sayang."Kalian bau keringat ih," kata Mery sambil mengerucutkan hidung. Sadava nyengir lebar sedangkan Sadena hanya bergumam."Mandi dulu yaa. Terus makan. Bunda udah bikin sup kesukaan kalian.""Sup ayam?" beo Sadava.Mery men
Motor Ankaa berhenti di depan rumah mewah berwarna putih. Ia langsung membunyikan klakson berulang kali. Tak berselang lama, dari luar pagar ia melihat Sadena yang sedang mengeluarkan motor dari bagasi.Sadena tampak rapi mengenakan hoodie berwarna biru dan celana jeans panjang. Ankaa lantas menepikan motornya ketika pagar dibuka, memberi jalan Sadena untuk keluar.Kini cowok itu tiba di depannya."Lama lo, Na," celetuk Ankaa."Elo kali yang kecepetan," sahut Sadena. Lalu dia memakai helm full face-nya. "Acaranya setengah jam lagi baru mulai."Ankaa nyengir. "Sengaja, Na. Soalnya kita jemput Selin. Bokap nyokapnya nggak bisa nganter.""Apa?!" Sadena menautkan kedua alisnya lalu berdecak. "Enggak ah. Lo aja sono.""Yaelah, nyet. Deket kok dari sini. Setengah jam nggak nyampe.""Ngabisin bensin gue," dengus Sadena. "Lo aja sana jemput. Gue
Bermenit-menit posisi mereka tetap sama seperti itu. Selin diam tak bergerak atau pun membalas pelukan Sadena. Cowok itu semakin mengeratkan pelukannya. Semakin bingung pula Selin kenapa Sadena memeluknya secara tiba-tiba. Di depan toilet pula."Dena.""Diem, bawel."Seketika Selin bungkam. Ini sangat tidak baik untuk mereka. Terutama untuk kesehatan jantung Selin. Sedari tadi jantungnya jedag jedug tak karuan. Selin keki. Pipinya memerah seperti pipi bayi.Sadena sendiri tidak punya pilihan. Ia harus melindungi Selin dari manusia berbahaya bernama Zoe dan Jona. Kenapa bahaya? Nanti kalian tau sendiri.Perlahan Sadena menoleh ke belakang, matanya menyipit sambil memandang ke depan kafe. Kosong. Zoe dan Jona ternyata sudah pergi. Barulah Sadena menghembus lega dan melepaskan pelukannya dari Selin. Parahnya, Sadena mendorong bahu Selin hingga cewek itu jatuh. Pantatnya mendarat mulus.
Keputusan Selin mengikuti Sadena ternyata membawanya ke sebuah gang kecil. Tepat ketika Sadena memberhentikan motornya di seberang jalan dan meninggalkan motor tersebut lalu masuk ke sana. Selin bergegas melepas helm lalu membayar tagihan ojek sebelum ia kehilangan jejak Sadena. Mengikuti cowok itu.Hal pertama yang Selin rasakan ketika memasuki gang tersebut adalah rasa lembab. Jalan yang ia lewati juga sangat sempit, diapit dua tembok tinggi yang penuh coretan di permukaannya. Terlebih, gang ini gelap. Membuat Selin harus menyiapkan keberanian lebih banyak.Selin mengintip layaknya sebuah pengintai yang handal. Langkah kakinya pelan agar tak menimbulkan suara. Ketika tubuh Sadena hilang di belokan kanan, Selin mengikuti cowok itu lagi. Dan ia membelalak saat Sadena memasuki gedung tinggi tua yang terlihat angker. Di sisi gedung itu dipenuhi ilalang dan barang rongsokan. Membuat Selin berp
Selin tertidur pulas di sofa ketika Sadena datang dan telah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam dan celana jeans. Selin tampak tak terganggu sekali dengan kehadiran Sadena. Bahkan cewek itu mengorok.Hujan deras yang mengguyur kota Bandung membuat Sadena harus menunda pulang. Ia sempat berniat membangunkan Selin, namun urung karena Sadena tak ingin membuat cewek itu sakit. Toh, ia lupa membawa jas hujan.Intinya, jika Sadena memaksa, sama saja ia membahayakan dua nyawa.Kini, Sadena duduk di kursi kayu samping sofa yang dibaringi Selin.Gawainya di saku celana bergetar, Sadena mengambil benda pipih itu. Panggilan masuk dari Mery."Denaa. Kamu dimana sayang? Dava udah pulang tapi kamu kenapa belum? Bunda khawatir bangettt""Dena neduh. Nunggu hujannya reda.""Mau bunda suruh papa jemput pakai mobil?" "Nggak usah. Dena bisa pul
"Itu hape siapa, Sel?" tanya Vega, teman perempuan Selin yang duduk di belakang. Saat ia tak sengaja mendapati gadis itu mengeluarkan benda pipih dari saku seragam.Selin menoleh dan tersenyum manis. "Punya Sadena.""Ohh," Vega hanya ber-ohh biasa. Namun, beberapa detik kemudian reaksinya berubah heboh. Gadis itu menempelkan kedua tangan ke pipi lalu melebarkan mata. "WHAT?! HAPE DENA?! ASTATANG!! KENAPA ADA DI ELO?! ANJIR!""Memangnya nggak boleh?" Selin bertanya sambil memutar badannya 180° ke belakang. Menghadap Vega. Gadis itu memiringkan kepala, heran.Di tempat duduknya, Vega menghentakan kaki kesal. "Bukan nggak boleh ya Adul. Tapi itu adalah keberuntungan yang WOW!""Lebay deh," Selin terkekeh dan kembali menyempurnakan posisi duduknya seperti semula. "Cuma hape doang kok."Vega yang melihat itu berdecak sebal, ia memutar paksa kursi yang Selin duduki, membuat gadis itu