Nalan berusaha mencari sela-sela di dinding rumah itu, lalu meraih dinding dan perlahan bergeser. Tak ia pedulikan lagi rasa sakit.
Namun, dinding yang reot itu mulai mengeluarkan suara bertanda akan segera rubuh, Nalan panik tapi terus menggeser tubuh. Darah telah menempel di cat putih. Berusaha meraih kursi, tapi tetap tak sampai, berkali-kali mencoba tetap gagal.
"Bos, turunlah. Dinding itu akan segera roboh," titah Hans ketika melihat keberanian Nalan. Namun, tak dipedulikannya. Sekarang dipikiran hanya menyelamatkan Zena.
Hans yang kebingungan ingin meminta tolong, tapi tak ada satupun warga di desa. Akhirnya, ia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan Nalan.
"Zena, pegang Uncle! Jangan takut sayang," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Si tangan mungil itu terus berusaha tapi tak mudah di raih.
"Oh, iya lebih baik aku cari sesuatu yang empuk, jangan sampai bos memilih akan jatuh," ucap Hans sambil terus berlari memasuki setiap rumah tak berpenghuni. Mengecek satu per satu.
"Tak ada waktu lagi, bos pasti tidak bisa bertahan lebih lama."
Pada akhirnya, rumah paling belakang yang sedikit jauh dari tempat Nalan. Hans mendapatkan kasur usang, ia segera mengangkat walau dipenuhi debu.
"Aaaahhh, paman!?" teriak Zena seraya mengangkat tangan ke atas. Api yang semakin melalap tali perlahan menurun dan tali terputus bersama Nalan yang semakin pucat, tak mampu menahan sakit.
"Zena," jerit Nalan memanggil nama keponakannya.
Hans kembali ke rumah itu dan mendengar suara tangisan kencang dari Zena. Segera masuk dan mendapati bosnya lompat menangkap gadis itu, lalu mereka jatuh bersama diatas kasur yang telah disiapkan sang asisten.
Zena yang berada di atas tubuh kekar pamannya merasa bahagia, Nalan bernafas lega mendapati gadis kecil itu baik-baik saja.
Samar-samar sebelum memejamkan mata, Nalan mendengar jeritan Zena dan Hans yang panik. Luka yang tentu saja belum sembuh kini terbuka lagi hingga membuat lelaki kuat itu kehilangan banyak darah.
Namun, sebelum memastikan keadaan putri kesayangannya, ia pun dalam keadaan kritis saat dibawah ke rumah sakit.
Hans yang panik, segera membawa ke rumah sakit. Zena yang memahami kondisi sang paman darah dari baju, terus menangis.
"Dok, tolong bos saya," ucap Hans panik kala melihat dokter.
"Baik, tuan tenang saja."
"Zena, pulang ya," titah Hans lembut sambil berjongkok menyamainya. Di baju gadis mungil itu terdapat darah Nalan.
"Ngga mau," tolaknya bersih keras, "Zena, mau lihat uncle."
Benar-benar membuat Hans kebingungan saat ini, sangat sulit baginya membujuk anak kecil. Ingin sekali menghubungi Nami, tapi untuk menjelaskan apa yang terjadi, tak tahu harus bicara apa!
"Aku harus bagaimana sekarang?" tanyanya seorang diri penuh kepanikam Hans pun merogoh ponsel, setelah tersambung ia menceritakan pada Nami. Namun, rahasia Nalan seorang mafia tidak diceritakan.
Sementara itu, di dalam UGD dokter menangani Nalan berusaha menyelamatkan nyawanya dengan alat pemacu jantung.
"Dok, kondisi pasien kian melemah," imbuh suster.
Mendengar hal itu, dokter terus berusaha hingga layar tidak lagi lurus, meski melewati masa kritis Nalan masih belum sadar, untunglah stok darah yang cocok dengannya tersedia.
"Dok, pasien berhasil melewatinya," ujar suster gembira. Dokterpun lega. Mereka keluar dan mengabarkan kabar baik.
Setelah dokter berhasil menyelamatkan nyawa Nalan, ia pun dipindahkan ke kamar pasien VVIP.
Nami datang bersama Atras suaminya, disusul oleh Mayra. Mereka secara bersamaan menghampiri Hans yang duduk di kursi.
"Mami, Papi," panggil Zena berhambur kearah orang tuanya. Atras menggendong putri tunggalnya sambil mengecek tubuh, tapi tak ada luka satupun hanya ada noda darah di baju.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Nami cemas.
"Sudah melewati masa kritis nyonya."
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Nalan bisa mendapatkan luka tembak? Apa karena bisnis?" tanya Nami beruntun.
"Tenanglah sayang," tutur Atras lembut.
Entah bagaimana caranya menjawab pertanyaan Nami yang perlahan curiga, apalagi tatapan ibu beranak satu itu sangat tajam pada Hans.
"Aku harus jawab apa?" gumam Hans bingung, posisinya saat ini sangat tertekan.
Atras melihat tampang pria muda itu langsung menyela istrinya, "Sayang, sudahlah. Saat ini Nalan lebih penting kita pikirkan ketimbang rasa penasaranmu."
"Tapi, Pi-" Nami yang ingin melanjutkan ucapannya, dipotong oleh suaminya.
"Sudah sayang."
Akhirnya, Nami diam sambil menghela nafas kasar. Andaikan bukan karena suaminya yang menyuruh untuk bungkam, pertanyaan bertubi-tubi akan terus ia layangkan sampai mendapat jawaban.
"Huh! Syukurlah," batin Hans bernafas lega.
"Kamu jangan senang dulu, kalau Nalan belum sadar dalam 2 hari, kamu harus menjelaskan semuanya," tegur Nami dengan wajah sinis. Hans hanya menunduk tak berani menatap wajahnya
.
"Bos, maafkan aku," batin Hans sesal, ia pun teringat akan pesan Nalan setahun lalu.
"Hans, apapun yang terjadi padaku kelak, kamu jangan pernah mengungkapkan 1 kata pada keluargaku. Meski dengan nyawamu atau apapun kau tak boleh berbicara, dipaksa bagaimanapun kamu harus diam," terang Nalan panjang kali lebar.
"Iya, bos aku tidak akan berbicara apapun," imbuh Hans penuh keyakinan.
Teringat akan pesan itu, Hans bersikukuh tak akan melanggar janjinya pada Nalan. Ia sudah mengabdikan diri menjadi orang kepercayaan.
"Tidak, aku tidak boleh berkata apapun, aku sudah janji pada bos," batin lagi Hans bersihkuku.
"Bos, kumohon cepatlah sadar."
Nalan yang masih belum sadarkan diri, terbenam oleh mimpi yang mengantarkannya pada Kinan. ia melihat wanita itu sedang berdiri di depannya dengan senyuman khas yang selalu membuat lelaki itu jatuh cinta. Kini berada disebuah taman dipenuhi bunga-bunga indah dan banyak kupu-kupu bersayap cantik terbang.
"Kinan, kamu disini?"
"Iya," jawabnya mengangguk.
"Aku sangat merindukanmu," ujar Nalan dengan mata berkaca-kaca.
"Sadarlah dan lupakan aku," pesannya.
"Apa aku sedang bermimpi atau ini nyata?"
"Mimpi atau nyata, kau harus membuka mata dan pikiranmu."
"Aku sangat merindukanmu, maaf! atas kejadian waktu itu. Sungguh aku menyesalinya," ucap Nalan terisak.
"Tak ada gunanya, lanjutkanlah hidupmu, aku sudah tenang."
"Aku tak bisa," jerit Nalan menahan rasa sesak.
"Bangunlah, tempatmu bukan disini," ucap Kinan.
"Kinan, semenjak kepergianmu aku menemukan lagi cintaku. Namun, ia memilih pergi menikahi lelaki lain."
"Dia bukan untukmu, hargai yang sekarang."
"Maksudmu?" tanya Nalan bingung.
"Hargai orang yang mencintaimu dengan tulus, aku dan Serra tidak di takdirkan untukmu."
"Aku tidak mau, aku hanya menginginkan salah satu dari kalian," isaknya.
"Nalan, waktu tak dapat kita rubah. Sebelum terlambat lebih baik kau menghargainya, suatu saat kau pasti bisa mencintainya."
Setelah menyampaikan semuanya, Kinan pergi meninggalkan Nalan. Meski terus memanggil nama, tak digubris. Ia tetap berjalan ke depan hingga kilauan putih menyilaukan mata muncul, menghilang dibalik cahaya.
"Kinan!?" teriak Nalan memanggil namanya hingga sadar. Mereka yang berada diruangan sangat terkejut dan senang karena ia telah sadar.
Mayra yang mendengar hal itu dadanya bergemuru, ia berusaha menahan air matanya. Tak disangka, saat bangun orang yang pertama dipanggil adalah nama "Kinan."
"Siapa Kinan?" tanya Mayra dalam hati.
Bukannya bahagia melihat orang dicintainya sadar, malah hatinya menjadi panas. Sungguh, Nalan benar-benar membuatnya sakit hati.
Mayra hanya diam berdiri bak patung, rasa cemburunya teramat besar.
Siapa sebenarnya Kinan dalam hidup Nalan?
To Be Continue...
"Mmm, Nalan boleh aku tahu siapa Kinan?" tanya Mayra ragu. Nalan terbelalak saat pertanyaan itu terlontar.Mereka kini hanya berdua di kamar, tentu saja Mayra berani bertanya. Meski pria yang dihadapannya bukan siapa-siapa bagi Nalan. Tentu, rasa cemburu dan penasaran ingin segera terjawab.Sejenak Nalan berwajah masam, ia paling tidak suka ada orang bertanya tentang Kinan. Lagipula, Mayra bukan hal penting."Tak penting bagiku menjawabnya," balas Nalan ketus. Mayra tertunduk sedih."Kau tak perlu tahu siapa dia," jawabnya lagi."Ya, maaf! Aku terlalu penasaran," ucap Mayra serak. Ia menahan kesedihannya didepan Nalan."Bagus, kau harus mengerti dirimu di posisiku," kata Nalan pedas, menyakiti hati Mayra. Ia memang suka mengatakan sejujurnya ketimbang menjaga perasaan."Nalan, apa aku tak layak untuk kau cintai?" tanya Mayra getir.
"Jadi, begitulah kisahnya. Nalan berpacaran dengan Kinan sejak duduk di bangku menengah pertama. Tepat 5 tahun gadisnya itu mengalami tragedi mengenaskan dan penyesalan mendalam hingga kini, meski cukup lama ia membuka hati kepada Serra, tapi hatinya tetap pada Kinan. Itulah Nalan sangat sulit untuk membuka hati, mau hubungan itu lama atau singkat, ia tetap keras kepala," terang Marco panjang kali lebar dengan wajah sendu."Apa kak Nami tahu tentang Kinan?" tanya Mayra getir."Tahu, hanya saja ia tak mengingat lagi. Selama ini kesedihan Nalan tertutupi dengan hadirnya Serra, ia memang keras kepala. Sejujurnya, Mayra berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Jangan mengejar Nalan apalagi sangat kecil kemungkinan membuka hati. Menyerahlah, lupakan dia dan temukan pria yang bisa menghargaimu.""Sulit, sungguh. Aku juga ingin melupakan dia, tapi cinta sejak kecil tidak bisa kubuang," isak Mayra sejak tadi menahan tangis kini pec
Jangan lupa, like, coment & follow akunku... Happy Reading💐 Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu? Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya. Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut. "Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya. "Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini? "Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk me
"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan. "Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal. "Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri. Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan. "Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu. Kala itu.... Hans yang b
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j
Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya."Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.Kring! Kring!Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat."Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo.""Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon."Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan."Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba