"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan.
"Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal."Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri.Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan."Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu.Kala itu....
Hans yang berusia 13 tahun, hidup jadi gelandangan dibuang oleh ayahnya. Hidup terlunta-lunta di jalan, bahkan acap kali di pukul. Tidur hanya berselimutkan dingin.Tepat di gang perkampungan kecil, di Himalaya. Seseorang menculik Hans berniat menjual sebagai budak seks para lelaki, ia ketakutan dan berusaha meminta tolong sembari meronta."Tolong! Lepaskan!?" teriaknya memberontak."Diam," lelaki bertubuh kekar itu menampar Hans. Ia terdiam dan ketakutan. Wajahnya merah lebam, karena tangan kekar itu memukul pipi sangat keras tanpa belas kasih.Nalan yang sedang melakukan tugas di gang itu, melihat Hans yang dipukul. Karena tak suka melihat anak-anak seusia Hans dipukul, ia menghampiri pelan. Bermaksud untuk menolong."Kamu kenapa?" tanya Nalan datar.Hans diam meringkuk ketakutan, tubuhnya gemetar. Nalan melihat dari atas kebawah, sungguh malang sekali. Baju compang camping, rambut acak-acakan dan sangat kotor."Maukah kau mempercayaiku?" tanya Nalan sekali lagi. Hans mendongakkan kepala menatap dengan nanar.Hans menggeleng tanda tak mau."Oh, ayolah. Aku tahu gembong disini adalah penjual budak seks untuk laki-laki guy," bujuk Nalan lagi. "Aku ...." Hans nampak berpikir sejenak dengan wajah sendu."Tak ada waktu," sergah Nalan sembari menggendong Hans tanpa di minta. Dia berlari dari tempat itu seraya membawanya.Hans terkejut tiba-tiba di gendong paksa oleh lelaki yang tak tahu namanya. Berusaha meronta, tapi Nalan terus berlari tanpa mempedulikannya.Orang-orang yang telah mengetahui identitasnya, mengejar. Terlebih lagi, ia membawa Hans yang rencana akan dijual dengan harga tinggi."Hei! Lepaskan bocah itu?!" seru salah 1 dari mereka yang terus mengejar Nalan.Tak dihiraukan, ia terus berlari menggendong Hans."Lepaskan, aku!?" teriak Hans meronta sembari memukul tubuh kekar Nalan."Diamlah, kalau kamu mau jadi budak seks, aku akan meninggalkanmu sekarang juga," Nalan menggertak dengan suara tegas. Hans terbelalak."Mungkinkah dia akan menolongku?" gumam Hans dipenuhi kegundahan."Haruskah aku mengikutinya?" lagi pertanyaan dalam hatinya muncul.Entah harus mempercayai atau tidak, Hans pun diam. Mungkin pria yang membawanya lari, benar-benar ingin menolong.Untuk saat ini, Hans lebih baik menurut, toh setelah terbebas ia bisa kabur jikalau lelaki ini juga penjahat.Nalan berusaha mencari tempat persembunyian, menemukan rumah kayu usang menjadi idenya untuk bersembunyi disana."Untuk saat ini, kita aman disini dulu," ucap Nalan dengan nafas memburu. Hans bergeming menatap nanar lelaki berwajah garang itu."Ayo sini bersembunyi," ajak Nalan menarik tangan Hans sembari membungkukkan badan. "Lari kemana mereka?" tanya pria itu dengan suara keras. Sehingga dapat di dengar keduanya, meski jarak dari mereka cukup jauh. Nalan mengintip mereka dari balik kayu yang sedikit berlubang. "Cepat cari, mereka pasti bersembunyi di sekitar sini," titah dari salah seorang dari mereka. Mata terus mencari sekeliling tapi tak ada tanda keduanya. Lalu, berlari lagi tanpa melihat ke gubuk kayu.Pikiran mereka tak sampai ke gubuk kayu yang reot.Nalan bernafas lega karena mereka telah menjauh, ia menyandarkan punggungnya untuk beristirahat sejenak. Hans yang sejak tadi bingung, tak bisa berkata apapun.Nalan melihat Hans, lalu, mendekatinya. Sembari membelai pucuk kepala, ia pun berkata, "Jangan takut, percayalah padaku."Hans merespon dengan anggukan lembut, cacing diperutnya kini terdengar minta makan. Ada rasa malu juga, karena sudah seharian tak makan dan minum. Tubuh yang kian kurus membuat Nalan iba.Nalan merogoh ransel, ia mengingat ada 2 buah roti dan sebotol air minum sebelum ke gang. "Ini, makanlah," ucapnya seraya menyodorkan 2 roti dan sebotol air.Ragu-ragu mengambilnya, tapi Nalan menarik tangan bocah kurus itu untuk diberikan secara langsung."Makanlah, aku akan membawamu besok pulang, malam ini kita disini.""K-kak tidak makan?" tanya Hans merasa tak enak."Aku sudah makan, jadi makanlah dulu ini sebagai pengganjal perut meski tidak terlalu mengenyangkan. Setidaknya perutmu terisi."Hans yang tak percaya pada siapapun, kini hanya percaya seorang Nalan saja. Sejak menyelamatkan dirinya, ia dilatih bela diri, penembak jitu dan urusan perusahaan.Diusia 15 tahun, Hans sangat cepat belajar dan memahami segalanya. Sejak saat itu ia menjadi orang paling mengabdikan diri untuk Nalan. Tak peduli dengan wataknya, baginya ia adalah orang baik.Maka hal inilah, Hans sangat menyesal dan gagal melindungi Nalan sesuai janji yang pernah diucapkannya."Bos, aku akan menjagamu dikemudian hari," kata Hans dengan senyuman manis seorang anak.Nalan memegang pundak Hans dan membungkuk sedikit untuk menyamainya, lalu berkata, "Aku menantikan."Hans mengangguk senang. Bukan seorang asisten, tapi bak kakak. Nalan juga tak pernah menganggap bawahannya seperti orang kecil, meski dingin tapi ia sangat menjaga seluruh karyawan di perusahannya. Yaitu, grup didirikannya bersama Atras kakak ipar.Hans terbuyarkan lamunan, saat Mayra datang dengan penuh kepanikan. ia menghampiri asisten itu yang tengah duduk di koridor rumah sakit."Bagaimana keadaannya?" tanya Mayra diiringi tangis."Masih belum sadarkan diri," jawab Hans sedih."Kenapa ini bisa terjadi?" Mayra memukul tubuh Hans dengan penuh emosi. ia menyalahkan asisten yang menurutnya tak becus menjaga Nalan."Tenanglah Mayra," bujuk Hans lesu."Bagaimana aku bisa tenang? Berapa kali luka itu akan terus terbuka? Kapan dia bisa sembuh? Aku tanya pada Anda," seru Mayra dengan emosi meluap-luap.Harusnya, ia mengabaikan Nalan. Namun, saat mendengar telepon dari Hans, tak bisa dipungkiri hati dan pikiran masih memikirkan lelaki yang sama sekali tak mencintainya.Ingin menyerah? Tapi lagi dan lagi, hatinya takut jika sesuatu terjadi pada Nalan saat ia meninggalkannya."Aku .." Hans bingung menjawab pertanyaan Mayra yang bertubi-tubi. Karena memang ini kesalahan dan kelalaian."Aku akan membuat perhitungan pada Anda, jika sampai sesuatu terjadi padanya," ancam Mayra meninggalkan Hans yang masih berdiri mematung.Mayra masuk ke kamar, melihat kondisi Nalan yang kian memburuk. Beberapa alat dipasang di dada, selang infus ditangan kanan dan alat bantu pernapasan."Nalan, bangun. Aku tidak peduli kau mencintaiku atau tidak, akan lebih sakit bagiku kehilanganmu selamanya tanpa melihatmu," ujar Mayra tergugu.To Be Continue........Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j
Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya."Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.Kring! Kring!Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat."Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo.""Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon."Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan."Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung."Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya."Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik."Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik.
"Kenapa ada yang menginginkan nyawa, Bryan?" tanya Nalan dalam hati. Setelah pertemuannya dengan Marco tadi, ia terus memikirkan ucapan sahabatnya. Dia percaya semua yang keluar dari mulut pria yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun lamanya adalah kejujuran."Apa sebaiknya aku menemui, Bryan?" pikirnya lagi dalam hati. Dia ingin benar-benar memastikan saja semuanya.Sebenci apapun Nalan pada Bryan, tak pernah terlintas ingin membunuh mantan sahabatnya. Dia memang sakit hati pada sikap lelaki berkulit putih itu, tapi ia hanya berpikir balas dendam dengan cara merebut Serra kembali dari tangannya."Bos!" panggil Hans yang sejak tadi memerhatikan Nalan gelisah tak karuan, berkali-kali bahkan ia memanggil. Namun, tak ada respon darinya."Bos," kembali Hans memanggil dengan suara agak keras seraya menyentuh bahu Nalan pelan, sontak itu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba