Jangan lupa, like, coment & follow akunku...
Happy Readingš
Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu?
Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya.Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut."Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya."Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini?"Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk menambah luka tembakan di perutmu," jawab pria bertopeng santai."Pergi!?" usir Nalan dengan suara lantang. Ia ketakutan, bukan tak bisa melawan hanya saja tubuhnya masih sangat lemah karena kehilangan darah sebanyak 2 kali." Tak akan ada yang menolongmu.""Oh, ya? Ini rumah sakit, apa kau lupa?" tanya Nalan sinis. Seketika matanya terbelalak dari balik topeng."Benar, saja!" kata dia."Aku tidak peduli, setelah menembakmu aku mudah kabur."
Ko
Melangkah perlahan sembari tetap mengacungkan pistol padanya. Nalan yang panik tak tahu harus berbuat apa!"Apa yang harus kulakukan? Tubuhku benar-benar tak ada tenaga," gumam Nalan berpikir keras.Melihat kelengahan Nalan, pria bertopeng mematikkan senapannya tanpa pikir panjang.Dor!!!Tembakan sekali itu membuat Nalan sigap untuk segera menghindar jatuh dari branka, meleset mengenai bantal. Infusnya terlepas dan perut kembali mengeluarkan darah serta tangan. Tersungkur kelantai menahan perih."Sial, kenapa tidak ada orang yang menjagaku?" batin Nalan dengan tubuh gemetar.Dor!!!Pria bertopeng itu kembali menembakinya, tapi sekali lagi Nalan mampu menghindar dengan berguling ke samping."Menyerahlah, tenagamu yang tak seberapa itu akan membuatmu mati dengan kehabisan darah," ucap pria bertopeng meremehkan.Nalan hanya bisa terduduk di lantai dengan tangan kanan memegang perut dan nafas yang tersengal serta wajah pucat."Kemana semua para dokter, penjaga dan perawat? Tidakkah mereka mendengar suara tembakan?" Nalan kembali membatin dengan wajah sangat cemas."Berhentilah membuang waktuku," kata pria bertopeng yang kini tepat berada di depannya sedang mengacungkan pistol di dahi.Nalan menatap pria bertopeng itu dengan wajah melemah, bibirnya memutih menahan sakit. Namun, tak ada rasa iba bagi pembunuh."Nalan, kau telah banyak salah. Sebenarnya kau harus disiksa secara perlahan. Kematian yang mudah bagimu sangat tak adil.""Apa maksudmu?" tanya Nalan terbelalak."Jawabannya akan kau temukan ketika di neraka nanti, saat kau mati semua keluargamu akan ku bantai habis-habisan. Agar tak ada lagi keturunanmu."Nalan menunduk sejenak, emosinya yang mulai meluap kini tak dapat ditahan, tangan mengepal. Berdiri perlahan dengan gontai. Memaksakan diri melawan pria misterius dihadapannya."Sungguh, lelaki terkuat," gumam pria itu yang tak diketahui namanya.Dengah langkah terhuyung, maju mendekati pria itu sembari memegang terus perut yang mengeluarkan darah tanpa henti.Meski tak ada kekuatan, tapi tak ada kata "menyerah" bagi Nalan. Tiba-tiba ia berlari dengan cepat, merebut pistol di tangan pria itu. Bagi dirinya keluarga nomor 1 yang tak boleh diganggu.Mereka berdua saling berebut, hingga pistol itu ke atas dan menembak langit kamar.Dorr!!!Sekali lagi berbunyi, tak ada yang mengalah. Mereka tetap saling berebut bahkan beberapa kali Nalan terdorong, tapi dengan cepat kembali ingin merebut."Aku, tidak akan membiarkanmu mengusik keluargaku," desis Nalan sekuat tenaga tanpa memedulikan darah makin deras keluar."Kau berani melawanku? Rasakan balasanku," marah pria bertopeng. Ia memukul luka tembakan Nalan hingga membuatnya menjerit kesakitan dan berkata lagi, "kau itu lemah sehingga sangat mudah untuk dikalahkan.""Aaaarrrgghh," ringis Nalan terjatuh ke lantai sembari memegang perut. Sungguh, kekuatan pria misterius itu memukul sangat kuat.Nalan tak sanggup menahan sakitnya, mata mulai berkunang. Namun, ia tetap harus sadar. Lelaku itu menarik keras rambut."Kau pikir dengan kekuatan dan ambisi seperti itu bisa mengalahkanku? Mimpi."Nalan hanya menatap tajam mata lelaki itu, hanya bisa diam dan tak mampu berbuat apa-apa lagi. Pria bertopeng itu menghempaskannya begitu kasar ke lantai."Jangan menguji kesabaranku," gertak pria bertopeng itu lagi sambil mengarahkan pistol kembali ke dahi Nalan."Selamat tinggal Nalan," ucapnya lagi diiringi tawa bahagia.Hans yang tiba-tiba membuka pintu, dikejutkan pemandangan yang begitu mengenaskan. Pria bertopeng mengarah ke pintu dan terkejut."Oh, shit," umpatnya marah.Darah dilantai berserakan, pria misterius ingin menembak bosnya.Pria itu tersentak dengan kedatangan orang lain, ia pun kabur tapi sebelum itu Hans menembak lengannya. Asisten Nalan memang penembak jitu diusia muda."Sial," umpat pria bertopeng lagi, lalu kabur lewat jendela. Hans berusaha mengejar, tapi melihat kondisi Nalan yang bersimbah darah diurungkan. Lebih baik menolong bosnya."Bos, maaf aku terlambat," ucap Hans merasa bersalah sambil membantu memapah ke branka.Nalan hanya diam, karena tubuhnya kian melemah. Tak bisa berkata apa-apa lagi, ia cukup bersyukur dengan kedatangan Hans tepat waktu."Bos, aku panggil dokter dulu ya," ucap Hans sembari berlari kearah pintu. "Dokter, suster!?" teriak Hans panik.Nalan, melihah ke arah Hans. Ia sudah tak sanggup. Tangannya melayang ke udara ingin meraih Hans, tapi tak di dengar saking panik."Ha-Hans, ti-tidak," ujar Nalan terbata diiringi sesak. Tangannya pun jatuh dan tak sadarkan diri.Mendengar teriakan, suster dan dokter segera ke bangsal. Betapa terkejutnya mereka dengan kondisi Nalan serta darah di lantai."Ada apa ini, tuan?" tanya Erlan dengan mata terbelalak."Rumah sakitmu ini tidak becus penjagaannya," marah Hans."Maaf, kami sungguh tidak tahu ada kejadian seperti ini," tutur dokter Erlan menyesal."Tidak perlu bicara terus, cepat selamatkan bosku," titah Hans menggertak. Ia tak peduli Erlan lebih tua darinya, kejadian ini sangat semborono. Jadi, kemarahan tak dapat dibendung."Bos, kenapa sih masalahmu dan lukamu tidak ada habisnya?" gerutu Hans mondar mandir di koridor rumah sakit. "Terus siapa pria bertopeng itu?" frusatasi, mengacak-acak rambut."Sepertinya aku tidak bisa meninggalkan bos begitu lama, aku hanya pergi 2 jam untuk mengurus berkas di kantor, tak menyangka akan menjadi seperti ini," sesal Hans."Aku tidak boleh meninggalkan bos sendirian lagi, aku harus menyewa seorang ahli bela diri dan penembak jitu juga. Meninggalkan bos akan aman."Tak lama kemudian, dokter dan suster keluar. "Dia kehabisan banyak darah lagi, lukanya juga kembali robek.""Apa!?""Tenang, stok darah untuk tuan Nalan masih ada beberapa kantong. Hanya saja ini stok darah terakhir.""Ini semua salah penjagaan rumah sakitmu," tuduh Hans marah."Maaf! Kami benar-benar lengah. Terlebih lagi dibantal ada 1, di atap 1 dan lantai 1 peluru. Anehnya, kami tidak mendengar suara tembakan," terang Erlan.Sejenak Hans bergeming, ia berpikir kenapa bisa tak ada yang mendengar?Hans terkejut, kenapa bisa begini?"Ini tidak masuk akal," sanggah Hans tak terima."Sekali lagi maaf! Ini yang terakhir kalinya, untung saja tuan Nalan kuat. Sekarang dia kembali kritis," kata maaf terus keluar dari mulut Erlan."Apa yang kalian lakukan? Hah?""Tuan Hans, apa kamu lupa? Kamu memesan 1 lantai rumah sakit paling akhir yaitu lantai 8, kamu melarang siapapun untuk melewati lantai ini," terang dokter Erlan gemetar.Hans terbelalak, baru teringat jika perintah Nyonya Nami harus menyewa 1 lantai. Tak ada boleh berlalu lalang, kecuali hanya untuk datang memeriksa dan memberi obat, mengganti infus dan lainnya.To Be Continue.....
"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan. "Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal. "Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri. Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan. "Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu. Kala itu.... Hans yang b
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j
Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya."Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.Kring! Kring!Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat."Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo.""Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon."Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan."Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung."Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya."Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik."Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik.
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba