"Jadi, begitulah kisahnya. Nalan berpacaran dengan Kinan sejak duduk di bangku menengah pertama. Tepat 5 tahun gadisnya itu mengalami tragedi mengenaskan dan penyesalan mendalam hingga kini, meski cukup lama ia membuka hati kepada Serra, tapi hatinya tetap pada Kinan. Itulah Nalan sangat sulit untuk membuka hati, mau hubungan itu lama atau singkat, ia tetap keras kepala," terang Marco panjang kali lebar dengan wajah sendu.
"Apa kak Nami tahu tentang Kinan?" tanya Mayra getir.
"Tahu, hanya saja ia tak mengingat lagi. Selama ini kesedihan Nalan tertutupi dengan hadirnya Serra, ia memang keras kepala. Sejujurnya, Mayra berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Jangan mengejar Nalan apalagi sangat kecil kemungkinan membuka hati. Menyerahlah, lupakan dia dan temukan pria yang bisa menghargaimu."
"Sulit, sungguh. Aku juga ingin melupakan dia, tapi cinta sejak kecil tidak bisa kubuang," isak Mayra sejak tadi menahan tangis kini pecah di depan Marco.
Marco sangat kasihan pada gadis yang berada di depannya, malang sekali nasibnya. ia juga ingin membantu melepaskan perasaan pada Nalan. Namun, ia tak tahu harus bagaimana?
"Maaf! Jika ucapanku menyakitimu. Aku hanya ingin kau bahagia, sejak kau anak-anak aku sudah menganggapmu adik."
"Tidak! Aku tidak menyalahkanmu atas semua ini. Aku yang salah, terlalu berharap pada Nalan," kata Mayra sambil bangkit dari kursi membuat Marco terkejut dan pergi. Ia terus memanggilnya, tapi tak dihiraukan.
Air mata tak mampu dibendung, Mayra meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan apapun, ia berlari meninggalkan cafe. Hanya ingin pergi sejauh mungkin untuk menangis.
"Apa dengan pergi aku bisa melupakannya? Apa aku harus menyerah?" tanyanya dalam hati sambil terus berlari tanpa henti. Tak dirasakan lagi lelah, hatinya lebih sakit ketimbang kaki yang terus berlari.
Di rumah Nami...."Pi, aku merasa Nalan menyembunyikan sesuatu," ucap Nami curiga.
"Apa?" tanya Atras bingung.
"Nalan pasti terjerat sesuatu, mana mungkin sih dengan alasan persaingan sampai tertembak," sengit Nami kesal.
"Aku juga berpikir sama denganmu, terus apa langkahmu selanjutnya?"
"Aku ingin menjodohkan Nalan dengan Mayra."
"Apa? Tapi Nalan kan ngga cinta sama Mayra."
"Persetan dengan cinta, kalau Mayra bisa membuat pengaruh baik pada Nalan, kenapa tidak?"
"Apa Nalan mau?"
"Tidak perlu minta persetujuannya, aku sudah bosan menasehati dia yang keras kepala, mending aku bertindak sesuka hati."
"Tapi sayang, Nalan sudah dewasa. Jangan paksa dia seperti ini."
"Kalau tidak dipaksa dia akan terus dalam kesedihan mengingat Serra dan bergaul salah, aku yakin Nalan pasti sudah salah langkah."
"Baiklah, keputusanmu tidak bisa digugat, lalu apa kamu memikirkan nasib Mayra setelah menikah dengan Nalan?"
"Maksudnya?" tanya Nami balik.
"Kamu tahu sendiri bagaimana sikap Nalan terhadap Mayra selama ini? Jika dipaksakan gadis itu yang akan sengsara."
Nami memandang suaminya sejenak lalu mencerna kata-kata Atras, memang benar ucapan dia. Tidak terpikirkan dengan keegoisan akan membuat Mayra menderita.
"Kita bicarakan ini pada Mayra dulu, mungkin saja dengan kegigihannya dia bisa membuat Nalan perlahan jatuh cinta setelah menikah. Ya, itupun kalau dia masih mau berjuang."
Mayra pulang dengan wajah sembab dan murung mereka semua berbalik ke gagang yang berbunyi, saat ia membuka pintu sedikit terkejut melihat Nami dan Atras yang sedang berbicara pada ibu dan kakaknya. Wajah Seon teramat kesal, ia bingung dengan kemarahannya.Ada apa ini?" tanya Mayra bingung, ia pun melangkah perlahan ke arah orang-orang yang terlihat sangat serius.
"Aku tetap tidak akan setuju, Nami," tolak Seon bersih keras.
"Tolak apa? Kalian bicara apa?" Mayra bertanya kembali.
Nami pun bertanya, "Mayra, maukah kamu menikah dengan Nalan?"
Mayra melotot tak percaya dengan pertanyaan Nami, baru tadi ia berpikir ingin pergi. Tapi kenapa Nami bertanya seperti itu? Apa Nalan yang menyuruhnya untuk mewakali?
"May, kamu jangan mau menikah dengannya. Meski kakak dan Nami bersahabat lama, tapi kakak tidak akan memasukkanmu kelubang buaya," sindir Seon menatap tajam Nami.
Nami menghela nafas perlahan lalu berujar, "Aku hanya berpikir Nalan akan berubah jika ia bersama Mayra, karena saya yakin dia bisa membawa kearah lebih baik lagi."
Mayra diam mematung, lalu menunduk sejenak berpikir untuk memberi jawaban pada kakak beranak 1 itu.
"Apa harus kujawab "ya" saja?" tanyanya dalam hati.
"Mayra, meski kamu cinta sama Nalan jangan berharap bahwa dia akan berubah melalui kamu," ucap Amara menasehati putri kesangannya.
Mayra menggigit bibir bawahnya, kebingungan berkata. Dilubuk hati terdalam ia ingin menyetujuinya, karena sejak kecil ia memimpikan menikah dengan Nalan. Disatu sisi kakak dan ibunya tidak setuju.
Sembari menutup mata dan membukanya lagi, ia pun berkata, "Maafkan Mayra mah, kak. Mayra menyetujui lamaran ini."
Seon dan Amarah melototkan mata secara bersamaan, mereka tak percaya dengan keputusan Mayra.
Entah bagaimana ucapan itu keluar dari bibirnya tanpa berpikir panjang, kini pikiran itu berubah dengan cepat dan percaya diri jika Nalan akan berubah ketika mereka menjadi sepasang suami istri.
"Mayra, apa kamu sadar?" gertak Amarah dengan penuh marah.
"Kamu mau menderita?" sambung lagi Amarah.
"Aku sadar dan pasti suatu saat Nalan akan berubah," jawab Mayra santai.
"Kamu terlalu bermimpi," sanggah Seon kecewa.
"Nami, apa kamu pikir Nalan akan mau menerima perjodohan ini?" tanya Seon.
"Aku pastikan," jawab Nami ragu.
"Kamu saja ragu, bagaimana bisa meyakinkan kami bahwa adikku akan bahagia?"
"Seon, percayalah pada Nami," pinta Atras.
"Bagaimana kami bisa percaya? Sementara sikap Nalan sangat terlihat di depan kami, dia tidak menyukai putriku," cerca Amara sinis.
"Mah, kak. Percayalah padaku dan mereka. Nalan pasti bisa aku buat berubah," ucap Mayra penuh keyakinan.
"Heh! Mayra kalau bucin itu tidak perlu memilih menderita," sergah Seon melirik Nami yang terlihat santai.
"Kamu cantik dan berpendidikan bagus dari oxford, jangan bodoh ketika jatuh cinta," cerca lagi Amarah penuh penekanan.
Ia heran dengan keputusan putrinya yang sangat ditentang, Mayra memang gadis keras kepala tapi lembut. Sungguh, kekecewaan kin melanda mereka berdua.
"Maaf! Aku akan menyetujui ini, permisi," ujar Mayra lalu pergi meninggalkan mereka semua.
"Dengarkan aku, Nami. Jika kutahu adikku menderita setelah menikah, aku akan buat perhitungan pada Nalan dan meski kita adalah sahabat masa kecil aku tidak akan tinggal diam ketika adikku disakiti," ancam Seon. Nami tetap santai, ia sangat tahu sifat lelaki ini.
"Tenanglah, Seon. Aku dan Nami pasti tidak akan tinggal diam juga," tutur Atras meyakinkan.
"Kuharap kau menepatinya."
Merekapun pulang dari rumah Mayra.
Mayra sangat senang, tapi disatu sisi ia juga cemas jika Nalan kekeh menolaknya.
"Jika Nalan menolaknya, aku akan pergi sejauh mungkin," gumamnya.
To Be Continue...
Jangan lupa, like, coment & follow akunku... Happy Reading💐 Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu? Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya. Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut. "Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya. "Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini? "Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk me
"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan. "Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal. "Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri. Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan. "Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu. Kala itu.... Hans yang b
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j
Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya."Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.Kring! Kring!Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat."Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo.""Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon."Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan."Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba