Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.
Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong.
"Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil.
"Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.
Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung."Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya."Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik."Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik.
"Kenapa ada yang menginginkan nyawa, Bryan?" tanya Nalan dalam hati. Setelah pertemuannya dengan Marco tadi, ia terus memikirkan ucapan sahabatnya. Dia percaya semua yang keluar dari mulut pria yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun lamanya adalah kejujuran."Apa sebaiknya aku menemui, Bryan?" pikirnya lagi dalam hati. Dia ingin benar-benar memastikan saja semuanya.Sebenci apapun Nalan pada Bryan, tak pernah terlintas ingin membunuh mantan sahabatnya. Dia memang sakit hati pada sikap lelaki berkulit putih itu, tapi ia hanya berpikir balas dendam dengan cara merebut Serra kembali dari tangannya."Bos!" panggil Hans yang sejak tadi memerhatikan Nalan gelisah tak karuan, berkali-kali bahkan ia memanggil. Namun, tak ada respon darinya."Bos," kembali Hans memanggil dengan suara agak keras seraya menyentuh bahu Nalan pelan, sontak itu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan
"Sejak tadi nomor Serra yang dipakai menghubungiku tidak bisa dihubungi, kemana sih dia?" pekik Nalan sembari meletakkan benda pipih itu di meja dengan kasar.Dia merindukan wanita itu, ingin sekali merasakan sentuhannya malam ini. Malas baginya untuk pulang ke apartemen, melihat Mayra. Ia hanya ingin Serra menemani lagi di malam ini, tapi sejak tadi pagi pergi dari hotel, nomor itu tak kunjung aktif."Apa aku harus mencarinya pada Bryan?" tanya Nalan ragu. "Tapi, bagaimana jika bibi Elsa bertanya?""Aaah! Aku sangat merindukanmu Serra, semalam kau berjanji tidak akan meninggalkanku, tapi kenapa kau pergi lagi?" tanya Nalan pada dirinya sendiri dengan genangan air mata.Nalan sangat mencintai gadis itu, cinta butanya tak mampu melihat mana yang tulus dan permainan. Meski ia sangat pintar, cerdas dan penuh taktik, tapi cinta dapat membuatnya menjadi bodoh. Namun, rasa
"Kenapa?" Mimik Marco yang makin serius dan penuh keheranan menatap Bryan. Ia tak menyangka banyak hal tak terduga keluar dari mulut sahabatnya tentang wanita yang selalu dipuja oleh Nalan. Marco berpikir, dulu Mayra begitu bodoh mau dengan Nalan lelaki yang tak bisa menjaga perasaannya, tak bisa menjaga harga dirinya. Namun, ia akan kembali tercengang dengan penuturan Bryan tentang Serra. "Lalu, seminggu setelah pernikahan aku mendapati Serra tidur dengan pria lain," jawab Bryan sendu. "Apa? Kamu tidak salahkan, Bryan?" tanya Marco meyakinkan ucapan sahabatnya. Bryan menggeleng kepala lalu membalas kembali pertanyaan Marco, "Tidak, karena waktu itu aku tak sengaja mendapatinya di pantai Barat Daya, Serra bercumbu di mobil dengan pria yang tak kukenal." "Hingga saat ini, dia tak tahu aku terus memergoki dirinya dengan pria lain dengan pria berbeda se
Brak!Pintu dibuka secara kasar, Mayra kaget dan matanya terbelalak saat melihat suaminya pulang dengan bersimbah darah. Nalan pulang dengan keadaan mengejutkan, memegang lengan kanannya sembari meringis.Mayra dengan cepat menolong suaminya, memapahnya duduk di sofa sembari bertanya dengan penuh kecemasan yang tampak di wajah mulusnya, "Ada apa denganmu?"Nalan tak menjawab, ia hanya terus meringis kesakitan. Mayra yang paham akan hal itu, kini memberi tawaran, "Aku bawa kau ke rumah sakit ya?"Nalan hanya mengangguk yang berarti mengiyakan, ia tak mampu mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Darah yang tak berhenti keluar serta rasa sakit yang tak tertahankan."Baik, tunggulah aku akan memapahmu, aku ambil kunci mobil dan tas dulu ya," ucap Mayra bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar mengambil segala yang dibutuhkannya.Dia keluar d
Setelah menunggu lebih dari sejam, akhirnya dokter dan perawat keluar dari ruang UGD. Mayra yang sejak tadi gelisah menunggu kabar, segera menghampiri dokter."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?""Pasien hanya terluka dibagian lengan kanan, peluru sudah di keluarkan, kami juga sudah mengobati lukanya. Untuk beberapa minggu lukanya jangan sampai kena air," jawab dokter."Syukurlah," lirih Mayra bernafas lega. "Apa saya bisa menemuinya?" tanyanya lagi."Ya, silahkan. Pasien juga hanya berbaring saja," kata dokter mempersilahkan dan berlalu."Terima kasih, dok," kata Mayra senang. Ia pun bergegaa menemui Nalan.Nalan sedang berbaring, ketika mendengar suara gagang di putar matanya pun terbuka dan melihat siapa yang datang. Tak disangka istrinya masih berada di rumah sakit menunggu dengan setia walau sudah disakiti. Dip
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba