Brak!
Pintu dibuka secara kasar, Mayra kaget dan matanya terbelalak saat melihat suaminya pulang dengan bersimbah darah. Nalan pulang dengan keadaan mengejutkan, memegang lengan kanannya sembari meringis.
Mayra dengan cepat menolong suaminya, memapahnya duduk di sofa sembari bertanya dengan penuh kecemasan yang tampak di wajah mulusnya, "Ada apa denganmu?"Nalan tak menjawab, ia hanya terus meringis kesakitan. Mayra yang paham akan hal itu, kini memberi tawaran, "Aku bawa kau ke rumah sakit ya?"
Nalan hanya mengangguk yang berarti mengiyakan, ia tak mampu mengendarai mobilnya sampai ke rumah sakit. Darah yang tak berhenti keluar serta rasa sakit yang tak tertahankan.
"Baik, tunggulah aku akan memapahmu, aku ambil kunci mobil dan tas dulu ya," ucap Mayra bangkit dari sofa dan bergegas ke kamar mengambil segala yang dibutuhkannya.Dia keluar dSetelah menunggu lebih dari sejam, akhirnya dokter dan perawat keluar dari ruang UGD. Mayra yang sejak tadi gelisah menunggu kabar, segera menghampiri dokter."Bagaimana keadaan suami saya, Dok?""Pasien hanya terluka dibagian lengan kanan, peluru sudah di keluarkan, kami juga sudah mengobati lukanya. Untuk beberapa minggu lukanya jangan sampai kena air," jawab dokter."Syukurlah," lirih Mayra bernafas lega. "Apa saya bisa menemuinya?" tanyanya lagi."Ya, silahkan. Pasien juga hanya berbaring saja," kata dokter mempersilahkan dan berlalu."Terima kasih, dok," kata Mayra senang. Ia pun bergegaa menemui Nalan.Nalan sedang berbaring, ketika mendengar suara gagang di putar matanya pun terbuka dan melihat siapa yang datang. Tak disangka istrinya masih berada di rumah sakit menunggu dengan setia walau sudah disakiti. Dip
Mayra mengendarai mobilnya dengan sangat cepat, jalanan sangat sepi jadi bebas baginya untuk membelah keheningan nalam yang menunjukkan pukul 4 dini hari. Dia tak berhenti menangis, meski sadar yang dilakukannya tadi saat di rumah sakit hal yang keterlaluan.Membuat keributan di dini hari, dia tahu pasien lain akan terganggu. Namun, Mayra tak bisa lagi membendung amarahnya. Perasaannya perlahan mulai tenang dan mobil berjalan lambat. Berhenti di pinggir jalan dan menangis sejadi-jadinya.Mayra saat ini butuh kesendirian untuk menenangkan hati dan pikirannya, ada niatan untuk mengadu ke Nami. Namun, berpikir kembali, rasanya pada Nalan masih terlalu besar meski faktanya lelaki itu sudah tidur dengan wanita lain. Tak urung perasaan itu sirna."Aku harus tenang, tidak boleh gegabah," isaknya sembari menyandarkan bokongnya di kursi kemudi. Mayra memegang dahi karena merasa pusing dan pengelihatan ka
Setibanya di rumah sakit, Mayra merasakan pusing di kepalanya mungkin karena pertama kali tidak tidur dan hal itu sangat tak biasa baginya.Dia berjalan pelan ke kamar Nalan, bertahan agar tak jatuh dan memegangi tembok rumah sakit untuk membantunya berjalan.Untung saja di kamar Nalan ada sofa panjang, suaminya sedang tertidur pulas seorang diri di atas branka. Mayra mengendap-ngendap agar tak membangunkan pria berhati dingin itu. Segera saja tubuhnya ia buang ke sofa dan tertidur.Pagi hari pukul 7.00, Nalan membuka mata dan sontak ia kaget mendapati istrinya tidur di sofa dengan sangat nyenyak. Dia tak menyangka Mayra akan kembali dengan sendirinya bukan bersama kakaknya."Mayra!" seru Nalan dengan suara keras, tapi gadis itu tak bergeming. Dia terus memanggil, akhirnya direspon dengan membuka mata perlahan sambil mengerjap.
Sekembalinya Mayra, secepat kilat Nalan menghapus air matanya agar tidak ada yang tahu hatinya gundah. Andai saja istrinya pergi, ia akan keluar dari rumah sakit hari ini juga untuk mencari Serra.Ingin meminta tolong pada Hans untuk mencari keberadaan kekasihnya, tapi Nalan tak ingin satu orang pun tahu kalah Serra telah kembali. Termasuk orang kepercayaannya, karena tahu akan ditentang habis-habisan. Dan berbagai nasehat akan dilayangkan, pastinya akan ada ancaman dari asisten itu. Mengadu pada Nami sudah di jelas akan di lakukan lelaki berusia 20 tahunan."Nalan, ayo makan!" ajak Mayra sembari menyiapkan dan memegang jari jemarinya. Namun, Nalan menepis dengan kasar. Dia membalikkan badannya karena tidak dapat menahan rasa lapar sejak semalam."Aku menerima ajakanmu hanya karena kak Nami, jangan sampai kau mengadukan atas apa yang terjadi semalam termasuk pada Hans," ucapnya terpaksa
Warning 21+ (Khusus Dewasa)Setelah Mayra membantu mengurus semua urusan rumah sakit, mereka keluar bersama dan mobil tetap dikendarai sang istri.Wajah terpaksa sangat jelas terlihat, Mayra tak peduli dengan hal itu. Toh, seminggu mereka akan menghabiskan waktu, itu cukup membuatnya senang. Walau Nalan memaksakan diri.Sejak di dalam mobil, Nalan diam dan melihat ke arah jendela samping sembari memikirkan wajah teduh Serra. Sesekali ia tersenyum kala mengingat hal di masa lalu yang tidak bisa dilupakan.Mayra yang melihatnya, ada gerutan kesedihan. Senyum yang tampak itu bukan untuk miliknya, tapi untuk wanita lain. Namun, dia berusaha menyunggingkan senyum keterpaksaan."Nalan!?" seru Mayra membuyarkan lamunannya.Dia menjadi kesal dan tanpa berbalik menyahut dengan ketus. "Hm, ada apa?""
Meski tidak ada rasa untuk Serra, tapi hal tadi membuatnya benar-benar syok. Dalam benak Bryan terlintas yang buruk tentang wanita itu. Bahkan teringat dengan Nalan, sungguh rasa kasihan menyelimutinya saat ini.Wanita yang masih sangat dicintainya itu ternyata bukan orang yang baik, rasa syukur dalam relung hatinya Nalan menikahi gadis baik seperti Mayra. Di mulai dari latar belakang keluarga, hingga pendidikannya semua memang baik.Baru kali ini Bryan sadar, sebelum menikah kenapa ia tidak mencek status Serra. Padahal, sebelumnya sudah jelas Nalan dan Serra sering berhubungan. Itulah alasan mengapa tidak ingin menyentuh istrinya karena bekas dari sahabatnya sendiri.Di tengah perjalanan, Bryan teringat Marco. Sahabatnya lagi itu. "Haruskah aku membicarakan hal tadi? Bagaimana kalau Marco tidak percaya?" gumam Bryan kebingungan.Pikirannya menghant
Marco tiba di depan kamar sahabatnya itu, sekali tekan bel pintu telah di buka. Bryan menatap biasa saja, sementara lelaki yang di depannya itu sumringah."Masuk, Co," ajak Bryan."Tidak usah di suruh, gue juga bakal masuk," sanggah Marco melewati Bryan yang masih berdiri memegang pintu.Marco duduk di sofa sementara Bryan setelah menutup pintu rapat, duduk di tepi ranjang. Wajahnya sangat lesu dan bingung harus memulai dari mana."Ada apa, sih?" tanya Marco menanti sahabatnya itu bicara.Bryan masih diam, beberapa kali matanya memperlihatkan keraguan saat menatap Marco yang terus menunggu dengan serius."Yan, kalau kamu cuma ngajak gue kesini main diam-diaman, mending gue pulang. Berasa kayak orang bodoh duduk disini, hanya memperhatikan loe," keluh Marco mulai emosi."Maaf, Co. Gue bingung mau memulai dari
"Rencana apa?""Kamu kembali ke rumah itu, jadilah seperti biasa yang tidak tahu apa-apa. Bersikaplah bagaimana semestinya, jangan berubah sampai kamu bisa dapat bukti," balas Marco memberi ide yang sedikit rumit bagi Bryan."Gue tahu loe udah kepalang jijik, tapi cuma cara itu. Loe kembali dan pasang alat penyadap di beberapa tempat dan CCTV," lanjut Marco lagi."Apa harus ya? Ngga usah ada gue aja, bisa kan pasang itu semua?" Bryan bertanya kembali dengan bimbang, sulit menahan rasa mualnya jika berada di rumahnya lagi."Ngga bisa, nanti ketahuan. Loe mau mereka curiga? Ngga kan?"Bryan bergeming kembali, ia mengusap wajahnya karena pusing memikirkannya, rencana Marco sangat bagus. Bahkan saking tidak menentu arahnya, dia sampai lupa soal CCTV."Kalau gue disana, pasti di kasih minuman lagi."
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba