Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra.
"Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka."Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra.Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri."Syukurlah," papar Nalan lega.Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar."Kamu sudah sadar?""Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya."Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," jawab Mayra pelan."Kenapa harus kau yang menemaniku?" Nalan bertanya kembali. Ia takut di saat tak sadarkan diri pria bertopeng akan muncul dan menyerang Mayra."Aku tahu kau tidak suka, tapi aku hanya ingin merawatmu untuk terakhir kalinya," jawab Mayra ragu."Terakhir kali?" Nalan mengulang ucapan itu dengan dahi berkerut. "Kenapa?" Mayra menghela nafas pelan, lalu berujar, "Aku akan pergi lagi melanjutkan kuliah S2 ku di London, jadi, sebelum berangkat aku ingin merawatmu."Nalan menatap Mayra dengan wajah masam, ia tak habis pikir kenapa perempuan yang berada di sampingnya itu memilih kuliah lagi?"Oh, bukan karena kau sedang menghindariku?" tanya Nalan menebak."Bu-bukan, aku memang berencana untuk ke sana sejak lama setelah menyelesaikan kuliahku di Oxford," balas Mayra gugup. Kalau mau jujur, tebakan Nalan memang benar soal ingin menjauh."Baik, aku harap kau mendapatkan lelaki disana," ujar Nalan kesal. Entah mengapa hatinya marah dengan ucapan sendiri."Ya, mungkin aku bisa melupakanmu dengan bertemu pria bule," kata Mayra malu. Nalan semakin kesal."Kapan kamu pergi?" tanyanya sok jual mahal, padahal dalam benak ia cukup penasaran."Minggu depan.""Apa?" Nalan kaget. Kenapa harus pergi secepat itu?"Ada apa?" tanya Mayra heran."Tak apa, pergilah dengan cepat itu lebih baik," usir Nalan sembari menarik selimut memunggungi Mayra.Setelah mengetahui adiknya sadar, Nami menemui dan mengatakan langsung soal perjodohan yang telah direncanakan seorang diri.
"Nalan, aku sudah mengatur perjodohanmu dengan Mayra," terang Nami tanpa b**a basi saat mengunjungi Nalan, dengan gaya santai."Apa?" Nalan terlonjak tak percaya. "Kakak, jangan bercanda.""Siapa yang lagi bercanda? Aku serius, aku tidak butuh persetujuanmu, keluar dari rumah sakit seminggu setelahnya kau harus menikah.""Ck! Aku tidak akan mau, ini bukan lagi zaman perjodohan, Kak," tolak Nalan keras. "Lagian, minggu depan Mayra akan ke London.""Iya, jika kamu menolak perjodohan ini," timpal Nami ketus."Ya sudah, suruh dia ke London karena aku menolaknya," tutur Nalan enteng."Kakak sudah bilang, tidak butuh persetujuanmu. Kakak cuma ingin menyampaikan saja, kalau kamu sampai lari dari pernikahan ini, maka kakak akan pergi dari kota ini. Selamanya kita akan putus hubungan," ancam Nami dengan suara naik 5 oktaf.Nalan terperangah dengan ancaman Nami yang tak pernah main-main, ada rasa takut kehilangan keluarga satu-satunya dimiliki. Namun, semakin keras maka kakak perempuannya akan lebih keras."Kak, bisakah kau menunggu Serra?""Jangan gila kamu Nalan, kenapa kamu terus memimpikan istri orang dan itu istri sahabatmu sendiri," balas Nami membentak."Tapi, Kak. Dia merebut Serra dariku, aku akan merebutnya kembali," imbuh Nalan optimis."Jangan mengganggu pernikahan orang lain Nalan, tidak ada istilah merebut jika status masih berpacaran. Serra bukan istrimu, direbut berarti kalian bukan sama-sama yang terbaik," terang Nami panjang kali lebar.Nalan terdiam, kedua manik matanya lurus ke depan seraya berpikir tentang ucapan kakaknya. Nami memang sangat sulit di kalahkan jika berargumen."Pokoknya kakak tidak mau tahu, kamu harus menyetujuinya. Kakak tidak peduli kamu tidak cinta dan terpaksa, semua ini demi kebaikanmu," lanjut Nami lagi sembari bersiap untuk meninggalkan kamar Nalan."Kalau semua ini untukku, kenapa kakak harus memaksaku?" tanya Nalan senyum getir."Hanya kamu yang tahu saat ini situasimu," jawab Nami berlalu tanpa memberi penjelasan. Nalan tertegun memikirkan jawaban sang kakak, apa maksud dari jawaban Nami? Seperti ia sudah tahu segala hal tentang adiknya."Apa jangan-jangan kakak sudah tahu? Dari jawaban terakhirnya seperti mengerti situasiku, sial," umpat Nalan kesal.$$$$$$$$Dua minggu berlalu, akhirnya Nalan dan Mayra menikah. Meski menikah karena dibawah tekanan kakaknya, ia tetap melaksanakan ikatan suci dengan Mayra.Di satu sisi Mayra bahagia dan keluarga Nalan bahagia. Di sisi lain Seon dan Amarah kesal, sedangkan Nalan tak bahagia."Seon, Mama tak setuju pernikahan ini," ucap Amara menahan emosi, duduk bersebelahan dengan putranya. "Kamu lihat? Wajah Nalan tidak bahagia.""Aku juga melihatnya, Mah. Hanya saja kita tidak bisa berbuat apa-apa, Mayra kekeh dengan pernikahan ini," ujar Seon putus asa."Mama tidak yakin kalau Mayra akan bahagia.""Aku sama dengan mama, sekarang kita hanya perlu hadir di hari bahagia Mayra.""Rasanya mama ingin pulang saja, mama takut ini awal kehidupan Mayra berubah menjadi penderitaan baginya," keluh Amara menatap kedua pengantin di atas pelaminan dengan wajah sinis.
"Jangan, Mah. Kasihan Mayra, kita hargai saja keputusannya. Mama jangan pasang muka cemberut lagi ya, nanti disangka para tamu kita sedang memusuhi Mayra," terang Seon menasehati Amara.Walau sedikit terpaksa, Amara tetap tersenyum menjamu para tamu. Tak suka bukan berarti harus merusak pernikahan putri tercinta, lapang dada ia menghadiri pernikahan Mayra.Mereka berdua menempati sebuah apartemen mewah di tengah kota Himalaya yang tidak jauh dari rumah keluarga Nalan.Nalan seperti bak di neraka menjalani biduk rumah tangga dengan gadis yang bukan pilihannya. Ia membuat surat kontrak perjanjian pernikahan.Dia sudah duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menunggu Mayra yang sedang ganti baju. Tak berapa lama gadis itu keluar dengan piyama bunga berlengan dan celana panjang berwarna navy."Duduklah," titah Nalan tanpa menoleh ke arah Mayra. Dengan ragu ia berjalan ke suaminya yang sedang duduk.Wajah Mayra sedikit malu berhadapan dengan suami, ah rasanya seperti mimpi bisa menjadi istri dari cinta pertamanya.Haruskah mulai sekarang Mayra memanggilnya "suami?" Hal yang wajar. Namun, melihat raut wajah Nalan yang tak senang sejak tadi, diurungkan.Mayra duduk disamping Nalan, tapi ia tetap terlihat acuh seperti tak menganggap Mayra istri, dia pun mulai membuka pembicaraan yang membuat canggung dirinya, "Ada apa?"Tanpa menjawab, perasaan malas memberikan sembuah amplop besar bewarna coklat kepada Mayra, diambilnya dengan raut keheranan, ia bertanya kembali, "Ini apa?""Baca," jawab Nalan ketus. "Lalu, tanda tangani," lanjut dia.Mayrapun membuka amplop coklat itu, ia kaget saat mendapati isinya adalah kontrak. Dibaca satu per satu tiap poin, jumlah ada 5."Maksudmu, kontrak kita hanya 3 tahun?" tanya Mayra menelan salivanya."Yup.""Kenapa?" tanya Mayra lagi dengan suara bergetar, wajah bahagia berubah drastis dengan kecewa."Alasannya kau pasti tahu, aku menunggu Serra selama 3 tahun dan pasti dia akan kembali padaku," jawab Nalan tanpa merasa bersalah meski di sudut mata Mayra mulai berembun."Lalu, kalau kau masih menunggu Serra kenapa harus menyetujui pernikahan ini?" tanya Mayra yang reflek berdiri karena kecewa.Nalan membalas ikut berdiri dan menatap tajam Mayra, "Andai kakakku tak mengancam apa kau pikir aku mau?Mayra tertegun, ternyata Nalan menyetujui pernikahan ini karena ancaman dari Nami. Sungguh, sekarang ada penyesalan meyakinkan dirinya sendiri untuk membuat Nalan berubah.
Nalan yang melihat istrinya mulai meneteskan air mata, pergi tanpa mempedulikan. Baginya bukan tanggungjawab dia jika, Mayra menangis atau sakit hati, terpenting hati Serra yang harus di jaga.
To Be Continue....Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
"Apa aku masih ada harapan?" gumam Nalan berpikir.Kepergian Serra membuat dirinya semakin bersalah menerima pernikahan ini, ada rasa menyesal karena menerima pernikahannya."Kemana kamu? Serra jangan tinggalkan aku," isak Nalan dalam mobil seraya menyandarkan kepala di setir mobil.Malam ini, Nalan bertekad untuk tidak pulang. Memilih mencari Serra, meski ini malam pertamanya. Namun, pikiran berkecamuk memikirkan wanita itu.Kring! Kring!Bunyi ponsel membuyarkan segalanya, melihat nama tertera membuat malas untuk mengangkat."Ck! Kenapa sih ini perempuan menelpon?" Dengan malas Nalan mengangkat telepon itu. "Halo.""Nalan, kamu dimana?" tanya Mayra cemas dari seberang telepon."Harus berapa kali aku mengatakan padamu? Aku melarangmu mengusik urusanku," gertak Nalan."Ma-maaf! Aku khawatir, jam s
Mentari telah meninggi, menyinari jendela kamar. Menandakan pukul 10:00 pagi, menyilaukan wajah terlelapnya. Setelah dibuat kelelahan, Nalan sangat sulit untuk bangun. Dia teramat lelah, bersenggama sampai dini hari.Nalan terbangun karena sinar mentari yang menyorot tepat di wajah. "Ah, waktu terlalu cepat," umpat Nalan kesal, ia meraba samping ranjang. Namun, ia merasa kosong."Serra! Serra!" teriak Nalan berkali-kali memanggil nama kekasihnya. Dia panik karena tidak mendapati wanita itu di kamar, ia bangkit mencari setiap sudut. Termasuk kamar mandi. Namun, nihil."Kemana Serra?" tanyanya bingung. "Mungkinkah dia meninggalkanku? Lalu, kembali pada Bryan?" Nalan menyandarkan tubuhnya ke tembok seraya mengusap wajah dengan ke dua tangan. Pikirannya kembali berkecamuk.Lalu, ia teringat dengan nomor yang semalam menghubunginya, bergegas mengambil ponsel diatas nakas dan menelpon nomor itu. Namu
Dengan emosi yang meluap-luap, Nalan membuka pintu dengan kasar dan membuat Mayra terkejut. Ia mendatangi langsung suaminya dengan wajah penuh amarah."Ada apa?" tanya Mayra bingung karena sorot mata Nalan begitu tajam padanya.Kedua tangannya di bawah mengepal sempurna, kemarahannya sudah sampai di ubun. Mayra takut dengan tatapan Nalan yang sulit diartikan, tidak ada jawaban membuat dia menerka sendiri."Apa aku buat salah lagi?" tanya Mayra lagi dengan hati-hati."Ya, kau selalu salah. Aku sangat membencimu," gertak Nalan dengan suara meninggi. Mata Mayra membulat sempurna, dia merasa tak melakukan apapun hanya menelpon saja semalam."A-aku...." ucapannya berhenti kala melihat Nalan yang matanya merah dan air mata jatuh ke pipi. Buru-buru Mayra memeluk suaminya.Saat ini Mayra mengerti ada suatu hal yang membuat Nalan meluapkan amarah padanya. Tak peduli l
Nalan hanya pulang ke Apartemen untuk mengganti pakaian, dia lalu keluar terburu-buru melewati Mayra yang sedang menunggunya sarapan di meja makan."Mau kemana? Kamu baru saja pulang," tutur Mayra mengikuti langkah suaminya."Bukan urusanmu," balas Nalan ketus tanpa berhenti berjalan."Setidaknya kamu sarapan dulu," cegat Mayra menarik lengan Nalan. Dia melepaskan tangan istrinya pelan dan menatap datar."Tidak perlu perhatian padaku, jangan halangi apapun yang kulakukan. Terakhir kali kukatakan padamu, make your own sandwich," Nalan memperingatkan Mayra dengan nada dingin. Ia pun meninggalkan gadis itu tanpa menghiraukan panggilannya, dia bahkan berlari setelah membuka pintu apartemen."Nalan!" teriak Mayra berusaha mengejar suami yang dicintainya. Namun, Nalan sangat cepat hingga tak bisa dikejar.Mayra bersandar di dinding, perlahan duduk terkulai le
Seperginya Hans dari ruangannya, Nalan kembali duduk di kursi dan membuka kembali amplop berisi data calon target yang akan dilakukan malam ini.Betapa terkejutnya Nalan saat melihat isi data tersebut, berhasil membulatkan matanya dengan sempurna. Dia tak percaya jika data itu benar, pikirannya mencoba menyirnakan negatif yang mengaung."Tidak! Tidak mungkin dia! Ini pasti salah, tuan Arback pasti salah," desisnya. Ia meraih ponsel yang terletak di meja, lalu mencari nomor Arback dan menghubunginya."Halo," jawab Arback dari seberang telepon. "Ada apa, Nalan?" tanyanya lagi."Tuan, apa anda tidak salah mengirimkan saya data ini?" tanya Nalan berbalik."Tidak!" jawab Arback tegas. "Inilah, faktanya Nalan. Seseorang ingin kau membunuhnya, bahkan dia sudah membayar uang muka dengan cukup tinggi," jelasnya."Tapi kenapa?" tanya Nalan panik.
"Kenapa ada yang menginginkan nyawa, Bryan?" tanya Nalan dalam hati. Setelah pertemuannya dengan Marco tadi, ia terus memikirkan ucapan sahabatnya. Dia percaya semua yang keluar dari mulut pria yang menjadi sahabat selama bertahun-tahun lamanya adalah kejujuran."Apa sebaiknya aku menemui, Bryan?" pikirnya lagi dalam hati. Dia ingin benar-benar memastikan saja semuanya.Sebenci apapun Nalan pada Bryan, tak pernah terlintas ingin membunuh mantan sahabatnya. Dia memang sakit hati pada sikap lelaki berkulit putih itu, tapi ia hanya berpikir balas dendam dengan cara merebut Serra kembali dari tangannya."Bos!" panggil Hans yang sejak tadi memerhatikan Nalan gelisah tak karuan, berkali-kali bahkan ia memanggil. Namun, tak ada respon darinya."Bos," kembali Hans memanggil dengan suara agak keras seraya menyentuh bahu Nalan pelan, sontak itu membuatnya sedikit tersadar dari lamunan
"Sejak tadi nomor Serra yang dipakai menghubungiku tidak bisa dihubungi, kemana sih dia?" pekik Nalan sembari meletakkan benda pipih itu di meja dengan kasar.Dia merindukan wanita itu, ingin sekali merasakan sentuhannya malam ini. Malas baginya untuk pulang ke apartemen, melihat Mayra. Ia hanya ingin Serra menemani lagi di malam ini, tapi sejak tadi pagi pergi dari hotel, nomor itu tak kunjung aktif."Apa aku harus mencarinya pada Bryan?" tanya Nalan ragu. "Tapi, bagaimana jika bibi Elsa bertanya?""Aaah! Aku sangat merindukanmu Serra, semalam kau berjanji tidak akan meninggalkanku, tapi kenapa kau pergi lagi?" tanya Nalan pada dirinya sendiri dengan genangan air mata.Nalan sangat mencintai gadis itu, cinta butanya tak mampu melihat mana yang tulus dan permainan. Meski ia sangat pintar, cerdas dan penuh taktik, tapi cinta dapat membuatnya menjadi bodoh. Namun, rasa
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba