"Cepat kejar pria itu!?" teriak salah seorang yang mengejar Nalan.
Nalan yang bersembunyi di balik ujung bangunan tinggi, kini sedang marah. Bisa saja ia melawan hanya luka dibagian perut, kanan bekas tembakan 3 hari lalu masih terasa perih belum sepenuhnya sembuh.
"Si*l akan kubalas kau, Mark," ucap Nalan dengan gigi gemelatuk seraya memukul bangunan itu dan tangan kanannya masih memegang perut yang mengeluarkan darah meski diperban.
Suara teriakan orang-orang yang mengejarnya itu masih terdengar sangat jelas didekat Nalan. Ingin kabur tapi mereka masih berjaga disekitaran gedung.
"Ugh! Aku harus bagaimana?" tanyanya seorang diri dengan nafas yang memburu. "Aku tidak mampu berlari lagi," perlahan Nalan mulai jatuh karena kehilangan banyak darah.
"Celaka! Jika aku kedapatan mereka, aku tak bisa menyelamatkan Zena," gumamnya sambil berpikir keras. iapun teringat akan kejadian tadi.
Sejam lalu, ia menjalankan misi dari Mark. Namun, tak disangka sebuah jebakan bagi Nalan. Tepat pukul 00.00 tengah malam, sesuai instruksi pria yang tak dikenalnya, mengambil sebuah koper dari lelaki berpakain nelayan yang turun dari kapal.
Baru saja ingin menerima koper itu, nelayan itu berteriak, "tolong?! ada pengedar."
Sontak Nalan terkejut dan melepaskannya dari genggaman, teriakan lelaki itu mengundang orang yang berada di pelabuhan dan preman, ia melepaskannya tanpa menghiraukan.
"Kau, menjebakku?" tanya Nalan geram.
Lelaki itu tersenyum kecut, lalu berkata, "Tentu saja ini jebakan buatmu, bersiaplah dengan kedatangan polisi. Kau tidak akan bisa kabur."
Sirine dari mobil polisi telah tiba, sayangnya Nalan dikepung oleh beberapa orang termasuk preman yang memegang balok dan beberapa senjata lainnya.
"Sekarang kau terkepung, tak akan bisa keluar dari sini. Bersiaplah menerima semuanya," ujar lelaki itu diiringi tawa keras dan berlalu. Pria misterius itu tahu jika Nalan tak akan mudah kabur karena luka diperutnya.
Tak ada jalan lain selain melawan dan menggunakan sedikit kekuatannya, Nalan memberikan kapalan tangan meninju mereka satu per satu dan mereka terjatuh, sayangnya pukulannya tak keras hingga membuat orang-orang itu dapat mengejar. Ia berlari sekuat tenaga.
Beberapa kali Nalan bersembunyi tapi tetap saja bisa ditemukan, akhirnya lelaki bertubuh tambun itu bisa keluar dari pelabuhan dan bersembunyi. Tubuh lelaki berotot itu sudah tak mampu menahan perih luka di perut, wajahnya pucat pasi dan mengeluarkan keringat.
$$$$$Ketika sadar Nalan sudah berada di rumah sakit, sontak membuatnya kaget dan memeriksa luka di perut, "Ternyata sudah diperban," batinnya. "Siapa yang menolongku?" tanyanya dalam hati lagi.
"Kamu sudah bangun?" tanya seorang perempuan yang mengejutkan dirinya. Nalan memalingkan wajahnya ke suara itu.
"Mayra," seru Nalan tak percaya.
"Hm, ya ini aku," balas Mayra mengulum senyum, menghampiri Nalan.
"Kenapa kau bisa ... " tanya Nalan terpotong karena terperangah.
"Aku menemukanmu tak sadarkan diri saat lewat," jawab Mayra. "Baik, kau harus makan sekarang."
"Aku tidak lapar," tolak Nalan dingin. Mengabaikan Mayra kembali berbaring seraya memalingkan wajah.
"Tidak bisa, kau kehilangan banyak darah dan tubuhmu sangat lemah," Mayra sedikit memaksa, mengarahkan wajah Nalan yang terpaku menatap Mayra, gadis yang sangat belia ini sungguh dewasa.
"Apa yang kau lakukan dini hari?" tanya Nalan mengerutkan dahi, tanpa menghiraukan paksaan gadis yang berdiri di samping pembaringannya.
Suapan Mayra mengambang di udara, ia terdiam sejenak. "Makanlah dulu," Mayra mengalihkan pembicaraan.
"Jawab aku," suara Nalan penuh penekanan.
Mayra tersenyum kecil, terpancar kebahagiaan diperhatikan lelaki yang amat disukainya. Meski terkesan lelaki itu tak menyadari kata yang keluar sedikit memaksa. Namun, hati berbunga.
"Kenapa kau tersenyum?" sekali lagi Nalan bertanya heran.
"Tak apa, aku senang kau memperhatika aku," jawab Mayra mengulum senyum.
Nalan memalingkan wajahnya, ia sadar pertanyaan yang diajukan ke gadis belia itu sebuah perhatian, lalu berkata keras, "Lupakan."
"Ayo makan," ajak Mayra seraya menyuap. Tak ada jalan lain, selain makan mendengar perkataan Mayra, agar bisa mengumpulkan tenaga lagi dan menyelamat Zena.
Beberapa jam lalu....Prank!!!
Nalan memukul cermin di depannya dengan kapalan tangan. Beberapa serpihan kaca menancap mengeluarkan darah secara perlahan, "Kenapa kau tidak bisa pergi dariku?" jerit Nalan seraya menarik rambut karena frustasi.
Bangunan rumah susun tak terawat hanya beberapa orang yang menetap tinggal. Bagi Nalan tempat ini sangat mampu menjaga rahasia. Ruangan sempit dan berantakan, dinding dipenuhi lumut.
Rusun itu sangat tak layak baginya. Namun, ia butuh privasi untuk misi, tak mungkin di rumah karena ada sang kakak perempuan tinggal disana juga.
Ting!! Tong!!
Bunyi bel dari luar membuat berhenti sejenak, ia bergumam, "Siapa yang datang?" Nalan merasa tak ada yang tahu tempat tinggalnya. Kembali bel berbunyi, segera ia menuju dengan memakai singlet berwarna hitam menampakkan kekar. Membuka pintu tak mengenali sama sekali tamu itu. Kedua alisnya bertaut.
"Anda siapa?" Nalan menatap pria itu dari atas kebawah.
"Boleh izinkan saya masuk?" pinta lelaki berjaket kulit coklat tanpa menjawab. Wajahnya terlihat seperti orang bule.
Nalan mempersilahkan pria itu masuk dan meningkatkan kewaspadaannya. Lelaki itu duduk tanpa dipersilahkan. Bahkan tanpa disuruhpun memperkenalkan diri, "Perkenalkan saya, Mark," ucapnya.
"Apa keperluanmu?" tanya Nalan tak ingin basa basi.
Mark tersenyum sinis, "Benar yang orang katakan padaku tentangmu, kau ini sangat dingin."
"Aku tak peduli kau mengenalku dari mana, cepat katakan maumu," bentak Nalan menatap tajam ke Mark yang saling berhadapan.
Pria blasteran itu tetap tenang tak tersulut emosi, ia hanya tersenyum ramah kali ini, "Tenanglah, aku kemari ingin mengajakmu bekerja sama."
"Apa itu?" tanya Nalan datar.
"Aku akan membayarmu tiga kali lipat asal kau pergi ke pantai Himalaya yang ada di ujung Barat."
"Aku tidak suka kau berbelit," timpal Nalan dingin.
"Baiklah, aku akan berterus terang kepadamu. Pergilah ke pelabuhan Himalaya malam ini pukul 00.00 malam, kau harus mengambil barangku pada kapal kecil yang akan bersandar. Seorang lelaki berpakaian nelayan yang harus kamu cari," terang Mark panjang kali lebar.
Nalan menatap Mark dengan wajah masam, kenapa harus dia? Entah dari mana pria pendek ini tahu tempatnya. Ada perasaan tak enak yang dirasakannya. Lagipula, tak ingin berurusan dengan orang yang tak dikenal.
"Kenapa? Kau tidak tertarik?"
"Aku ingin tahu, kau tahu dari mana tempat ini?" tanya Nalan mengacuhkan pertanyaan Mark.
Mark mengambil sebatang rokok dari tempatnya dan menyalakan, ia menghisap hingga mengeluarkan asap yang lumayan banyak, lelaki itu tertawa dan berkata, "Kau tak perlu tahu, aku hanya ingin jawabanmu."
"Jika aku menolak?" Nalan berdiri dengan tegas menolak.
"Maka keponakan kesayanganmu akan kubunuh," ancam Mark.
Nalan tersenyum sinis dengan ancaman lelaki misterius itu, "Kau pikir bisa mengancamku?" ia tak percaya dengan sebuah ancaman.
"Jika kamu tidak percaya, tunggulah informasi dari rumahmu."
Bunyi dering telepon dari saku celana, segera Nalan mengambil dan melirik Mark. Dilihatnya dari layar panggilan Nami. Sedikit tak percaya dengan tebakan Mark, segera Ia mengangkatnya.
"Halo, Nalan. Zena menghilang," ujar Nami dari sebrang sangat panik.
"Apa?" Nalan terkejut dan tak percaya, kini ia melihat Mark dengan tatapan penuh amarah, "Kakak, tenang saja Zena akan kembali."
Telepon pun terputus secara sepihak dan mendekati Mark seraya menarik kerah baju lelaki bertubuh pendek itu.
"Kau pikir bisa mengancamku? Jangan bawa seorang anak kecil yang tak ada sangkut pautnya," teriak Nalan depan wajah Mark.
Ia tampak tenang dan tertawa, tetap santai menghisap rokok, "Lakukan kemuanku maka ponakan cantikmu akan baik-baik saja."
"Kalau kau tak memberitahuku dimana anak itu, aku akan membunuhmu disini."
"Silahkan, kau tak akan pernah menemukan gadis kecilmu," kata Mark yang tertawa terbahak-bahak.
Nalan membelalakkan mata yang hampir keluar, perlahan kerah baju Mark dilepasnya pelan-pelan. Seperti terjebak dalam situasi yang amat sulit baginya, terlebih lagi nyawa seorang anak kecil yang berumur 4 tahun sedang dalam bahaya. Padahal lelaki bertubuh kekar itu sudah berusaha menyembunyikan keberadaan keluarganya agar tak terjerat.
Dengan penuh amarah, Nalan mendorong keras tubuh Mark hingga terjatuh ke lantai, "Kau harus memberiku Zena setelah aku menyelesaikan tugas ini!?" teriak Nalan seraya menarik baju Mark menyeretnya keluar dari rumah.
"Wow, santai dong, "senyum tersungging di bibir Mark yang berhasil membuat Nalan menyetujui keinginannya.
"Malam ini, orangku akan mengawasimu dari kejauhan," Mark pergi dari hadapan Nalan, ia membanting kasar pintunya. Dan duduk dengan memegang kepalanya.
"Kenapa ini harus terjadi?" Nalan berdiri lalu menendang meja dan menghamburkan seisi ruangan hingga berantakan.
"Hans, aku mau informasi orang itu," titah Nalan pada asistennya. Saat tadi Nalan selesai menerima telepon dari Nami, ia diam-diam memotret Mark dan telah dikirim pada Hans.
"Baik, bos," balas Hans dari seberang telepon.
To Be Continue...
'Drrrt!!''Drrrt!!'"Hpmu berbunyi," tegur Mayra. Nalan segera mengangkat dan melihat nama yang tertera "Nami"."Halo, kak," sedikit ragu mengangkat telepon seraya menatap tajam pada Mayra yang hanya bisa menunduk."Nalan, apa kau sudah menemukan Zena?" tanya Nami dari seberang telepon. Lelaki bejakung itu terhenyak sesaat, bagaimana bisa dia melupakan keponakan kesangannya itu?"Ma-maaf. Kak aku masih mencarinya," jawab Nalan gugup."Memangnya kau dimana? Kenapa semalam tidak pulang?" tanya Nami beruntun.Ia menelan salivanya, memikirkan jawaban yang tepat untuk kakak, "Aku banyak urusan tidak sempat mengabari kakak semalam, maaf!""Ya, sudah biar aku dan Athar mencarinya.""Jangan, kak?!" cegat Nalan panik sebelum Nami menutup sambungan telepon."Kenapa?"
Nalan berusaha mencari sela-sela di dinding rumah itu, lalu meraih dinding dan perlahan bergeser. Tak ia pedulikan lagi rasa sakit.Namun, dinding yang reot itu mulai mengeluarkan suara bertanda akan segera rubuh, Nalan panik tapi terus menggeser tubuh. Darah telah menempel di cat putih. Berusaha meraih kursi, tapi tetap tak sampai, berkali-kali mencoba tetap gagal."Bos, turunlah. Dinding itu akan segera roboh," titah Hans ketika melihat keberanian Nalan. Namun, tak dipedulikannya. Sekarang dipikiran hanya menyelamatkan Zena.Hans yang kebingungan ingin meminta tolong, tapi tak ada satupun warga di desa. Akhirnya, ia turun ke bawah mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan Nalan."Zena, pegang Uncle! Jangan takut sayang," ucapnya sambil mengulurkan tangan. Si tangan mungil itu terus berusaha tapi tak mudah di raih."Oh, iya lebih baik aku cari sesuatu yang empuk, jangan sampai bos
"Mmm, Nalan boleh aku tahu siapa Kinan?" tanya Mayra ragu. Nalan terbelalak saat pertanyaan itu terlontar.Mereka kini hanya berdua di kamar, tentu saja Mayra berani bertanya. Meski pria yang dihadapannya bukan siapa-siapa bagi Nalan. Tentu, rasa cemburu dan penasaran ingin segera terjawab.Sejenak Nalan berwajah masam, ia paling tidak suka ada orang bertanya tentang Kinan. Lagipula, Mayra bukan hal penting."Tak penting bagiku menjawabnya," balas Nalan ketus. Mayra tertunduk sedih."Kau tak perlu tahu siapa dia," jawabnya lagi."Ya, maaf! Aku terlalu penasaran," ucap Mayra serak. Ia menahan kesedihannya didepan Nalan."Bagus, kau harus mengerti dirimu di posisiku," kata Nalan pedas, menyakiti hati Mayra. Ia memang suka mengatakan sejujurnya ketimbang menjaga perasaan."Nalan, apa aku tak layak untuk kau cintai?" tanya Mayra getir.
"Jadi, begitulah kisahnya. Nalan berpacaran dengan Kinan sejak duduk di bangku menengah pertama. Tepat 5 tahun gadisnya itu mengalami tragedi mengenaskan dan penyesalan mendalam hingga kini, meski cukup lama ia membuka hati kepada Serra, tapi hatinya tetap pada Kinan. Itulah Nalan sangat sulit untuk membuka hati, mau hubungan itu lama atau singkat, ia tetap keras kepala," terang Marco panjang kali lebar dengan wajah sendu."Apa kak Nami tahu tentang Kinan?" tanya Mayra getir."Tahu, hanya saja ia tak mengingat lagi. Selama ini kesedihan Nalan tertutupi dengan hadirnya Serra, ia memang keras kepala. Sejujurnya, Mayra berhentilah menyakiti dirimu sendiri. Jangan mengejar Nalan apalagi sangat kecil kemungkinan membuka hati. Menyerahlah, lupakan dia dan temukan pria yang bisa menghargaimu.""Sulit, sungguh. Aku juga ingin melupakan dia, tapi cinta sejak kecil tidak bisa kubuang," isak Mayra sejak tadi menahan tangis kini pec
Jangan lupa, like, coment & follow akunku... Happy Readingđ Seorang pria bertopeng masuk melewati jendela rumah sakit mendatangi Nalan yang tertidur pulas, entah siapakah pria bertopeng itu? Nalan hanya seorang diri tanpa penjagaan dengan wajah terlelap, asisten dan keluarganya sibuk dengan urusan masing-masing. Pria bertopeng memiliki niat ingin membunuh Nalan, ia mengacungkan pistol kepadanya. Sesaat, Nalan tersadar dengan gerak gerik bayangan. Dia pun membuka mata membulat, sentak bangun tanpa merasakan sakit di bagian perut. "Siapa kamu?" tanya Nalan panik. Ia mengarahkan pandangan ke segela penjuru kamar, tak ada sat pun orang ternyata yang menjaganya. "Pria bertopeng," gumam Nalan heran. Siapa lagi, ini? "Kau tak perlu tahu, tugasku hanyalah untuk me
"Benar, saja! Aku baru teringat. Tapi rasanya tak masuk akal jika tak ada yang mendengar suara tembakan," batin Hans menatap tajam Erlan. "Tapi ini sungguh tidak masuk akal, suara tembakan itu sangat keras. Kenapa tidak ada yang mendengar?" tanya Hans prontal. "Inilah, salah kami tuan Hans. Kami terlalu sibuk dengan pasien dibawah, sungguh terlalu banyak pasien hari ini. Itu benar-benar membuat kami tidak menyadarinya," terang Erlan membela diri. Hans menghela nafas pelan, lalu berkata, "Aku sudah tidak percaya lagi dengan rumah sakitmu," Hanspun pergi meninggalkan Erlan dan masuk ke bangsal untuk melihat Nalan. "Maaf! Bos," ucap Hans bercucur air mata. Begitu sayangnya asisten ini pada Nalan, ia memang tak akan pernah lupa dengan kebaikan Nalan saat pertemuan 5 tahun lalu. Kala itu.... Hans yang b
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian naas itu, Nalan sadar dari komanya. Ketika bangun orang yang pertama dilihatnya adalah Mayra. "Mayra," gumam Nalan disamping kanannya terlihat gadis beramabut hitam sedang tertidur menyenderkan kepala pada ujung branka. "Kenapa gadis ini berada disini?" tanya Nalan penuh keheranan. Ya, ia teringat hari itu sebelum pria misterius datang, untung saja mengusir Mayra. Nalan bernafas lega, andai ia tak marah besar mungkin saja terjadi sesuatu pada Mayra. Meski ia membencinya tetap saja tak ingin ada siapapun terluka karena masalahnya sendiri. "Syukurlah," papar Nalan lega. Mayra mulai terbangun, sedikit matanya ia usap agar pengelihatan jernih. Pria datar disampingnya menatap biasa, dia senang mendapati Nalan sadar. "Kamu sudah sadar?" "Sejak kapan kamu di sini?" tanya Nalan balik tanpa mempedulikan pertanyaannya. "Sejak 3 hari kau tidak sadarkan diri," j
Mayra meremas kuat lembaran putih ditangannya, dia pikir Nalan sudah memiliki perasaan. Namun, sama sekali tak ada. Haruskah ia menyetujui kontrak ini?Tapi, Mayra tak mau pernikahan ini berakhir dalam waktu 3 tahun. Ada perasaan malu dengan Amara dan Seon, karena memaksakan hatinya untuk menikah dengan Nalan."Apa aku tanda tangan saja?" gumam Mayra sesunggukan dan ragu.Ataukah menyerah sekarang saja? Sedikit bimbang perasaannya saat ini, jika, menyerah sekarang bukankah akan menjadi masalah bagi 2 keluarga?"Ya, aku harus bertahan, mungkin saja sebelum 3 tahun masa kontrak ini. Aku bisa membuat suamiku jatuh cinta denganku," Mayra kembali bergumam dengan penuh keyakinan."Mayra, come on. Jangan menyerah, kamu tidak boleh kalah dari Serra," batin Mayra menggelengkan kepala. Setelah berpikir sejenak, ia pun menanda tangani surat itu.Ia menghampiri suaminya yang sedang berada di teras rumah, menyeru
Setelah mendengar kabar kematian Mayra, sang Ibu pun syok hingga membuatnya terkena serangan jantung mendadak. Amara dinyatakan meninggal saat tiba di rumah sakit, makin terpuruklah Seon.Sean yang masih berada dalam pengawasan psikolog, karena trauma berat dialami bocah berusia 3 tahun itu. Nalan memilih untuk menyerahkan diri ke polisi, membayar semua penyesalan terhadap Mayra.Seon saat itu tahu dan menolak keputusan Nalan, berusaha untuk mencegat. Sebab, masih ada Sean yang sangat membutuhkan sosok ayahnya."Aku akan melupakan dendam itu, jangan menyerahkan dirimu ke polisi. Kau harus memikirkan Sean," cegat Seon. Dipikirannya memang hanya Sean, tak ada keluarga. Amara yang dimiliki pun harus pergi untuk selamanya."Justru Sean akan berada di tangan yang tepat bersamamu, aku punya banyak musuh Seon." Nalan menerangkan
"Nalan!" seru mereka serempak."Mark aku tahu sekarang alasanmu membuat drama dalam hidupku, lepaskan mereka yang tidak bersalah. Urusanmu padaku," kata Nalan menatap tajam Mark dengan dada kembang kempis."Tidak semudah itu, Arback bawa mereka kemari," titah Mark menggunakan jarinya. Musuh yang teramat dibenci telah muncul, ia ingin nyawa Nalan."Lantas, kau mau apa?" tanya Nalan geram."Seon, bagaimana tawaranku tadi? Jika, kau bersedia. Maka aku akan melepaskan Mayra dan Sean," ujar Mark beralih ke Seon yang sedang menunduk.Dari pintu lain, terdengar suara Sean yang menangis dan Mayra meronta."Lepaskan, putraku!" seru Mayra memberontak. Namun, laki-laki yang memegangi sangatlah kuat."Mama! Tolong aku!"
Sejak tahu Isan tewas dalam keadaan tidak wajar, Seon memang berniat ingin balas dendam pada orang yang telah menghilangkan nyawa kakaknya. Namun, hal tak disangka pelaku pembunuhan adalah Nalan.Dia berpikir keras, jika membalaskan dendam tersebut. Maka, Mayra akan curiga dan bisa jadi hubungan mereka yang akan rusak. Tapi, di sisi lain Sean dan ibunya sedang membutuhkan pertolongan. Seorang diri di tempat ini, tanpa siapapun bisa menolong. Seon menjadi buntu."Tidakkah kau dendam pada Nalan? Hanya dengan membunuhnya, maka tidak ada penghalang lagi antara kau dan Mayra," bujuk Mark meracuni pikiran Seon yang masih saja terdiam.Tentu saja dia dendam dan sangat marah, tapi Seon tidak mau seegois itu. Demi mendapatkan cinta Mayra dan Sean, sampai mengorbankan perasaan putra angkatnya. Bocah itu pasti tidak akan mau menerima dirinya.
"Papa, Ayah, kita main bola bertiga!" seru Sean riang. Mereka berempat ada di taman bermain yang tak jauh dari apartemen Nalan. Mayra menatap ketiganya dengan senyum kebahagiaan, itulah harapan terbesar seorang ibu menginginkan bahagia untuk anak-anaknya.Seon dan Nalan sementara berbaikan, semua dilakukan demi Sean. Bocah itu memang mudah membuat orang dewasa menjadi akur."Papa dan Ayah satu tim," titah Sean. Mayra tertawa mendengar hal itu."Apa? Kami setim? Lalu, kau?" tanya Nalan heran."Bagaimana ajak, Mama? Biar timnya adil," usul Seon."Tidak!" tolak Sean menggeleng. "Mama, lambat," selorohnya membuat Mayra manyun seketika. Nalan dan Seon terkekeh, mereka tidak berani tertawa besar di depan ibu satu anak itu."Beraninya
"Bisakah, kalian ikut aku kembali? Kau berhutang penjelasan padaku," pinta Nalan pada Mayra, Sean masih tenang dalam gendongan lelaki berperawakan maskulin itu.Mayra melirik Seon sejenak, meminta izin pada sang Kakak untuk membawa Sean. Bagaimanapun, ia masih menghargai orang yang paling berjasa dalam hidup putranya."Pergilah!" angguk Seon mengulas senyum getir."Ayah, kenapa tidak ikut dengan kami?" Sean menatap heran pada Seon."Ini...," Mayra sedikit bingung menjelaskan.Seon mendekati Sean seraya menyunggingkan senyum manis pada putra angkatnya, tanpa ragu lelaki bertubuh tegap itu mengusap kepala di depan Nalan."Pergilah menghabiskan waktu dengan Papamu, nanti Ayah akan menemuimu jika kau merindukanku," tutur Seon. "Jangan nakal, nurutla
Nalan membawa Mayra kembali ke apartemen yang pernah mereka tempati dahulunya. Membawa masuk ke kamar di pakai tidur.Mayra tertegun saat melihat isi kamar tersebut dipenuhi fotonya. Segitu, besarkah perubahan Nalan selama tinggal di negara tetangga."Ap-apa ini, Nalan?" Mayra masih mendongak melihat sekeliling dinding kamar.Nalan menatap nanar ke arah istrinya, kejutan ini telah lama disiapkan untuk Mayra. Foto-foto itu menggambarkan isi hatinya, merindukan sang Istri dan penyesalan yang teramat dalam saat mereka berpisah."Apartemen ini sejak awal milikmu, kamar ini adalah saksi kita bercumbu, tidak mungkin aku melepaskan begitu saja, bukan?" Nalan meraih jari jemari Mayra dan mencium tangannya dengan lembut. Dia berjanji akan melakukan hal romantis setiap hari dan membahagiakan istrinya.
"Saya permisi keluar dulu," pamit Hans secepat kilat.Mayra termangu di tempat, tak sanggup menahan gejolak dalam dirinya. Sehingga, menundukkan kepala untuk menyembunyikan air matanya. Debaran di dada sangat sulit dikontrol, semakin cepat tatkala Nalan berjalan ke arahnya.Nalan mendekat secara pelan, ada bulir di matanya yang jatuh membasahi pipi. Betapa sangat tersiksa rindu yang tertahan beberapa tahun ini, wanita yang paling ingin di dekapnya telah muncul sekian lama pencarian.Nalan tepat berada di depannya, memegangi dagu Mayra agar bisa menatap dengan jarak dekat. Dia sangat bahagia setelah memastikan wanita tersebut adalah istri yang disia-siakan selama ini."Kau menangis?" tanya Nalan lembut.Mayra terhenyak, untuk pertama kali ia mendengar Nalan berkata lembut pa
"May!" Seon memanggil adiknya yang sedang merenung, menanti jawaban."Em, ya! Kakak tadi bilang apa?" tanya Mayra linglung."Tidak usah pikirkan, jangan melamun terus," tutur Seon mengulas senyum. Mayra mengangguk."Mah, Papa kandung Sean orangnya seperti apa? Dia jahat ngga? Aku takut ketemu," ujarnya dengan wajah cemas. Seon dan Mayra berbalik sejenak menatap bocah menggemaskan tersebut dengan heran.Mereka bertiga saling pandang, bingung untuk menjawab. Anak sekecil Sean memang sangat cepat memahami setelah dijelaskan beberapa hari lalu tentang Nalan."Bagaimana kalau Papa kandung, Sean tak menyukaiku? Kita pulang saja, tidak masalah Ayah Seon menjadi ayahku saja, sudah cukup, Mah, Nek." Sekali lagi ucapan kecil yang keluar dari mulutnya membuat ketiga orang itu terhenyak.&nbs
Tiga tahun kemudian...."Sean, ayo sini peluk Ayah Seon," panggilnya sambil melebarkan kedua tangan dan menyamai ukuran tubuh bocah berusia tiga tahun itu."Ayah sudah pulang." Sean menyambut penuh keceriaan sambil berlari menghampiri Seon.Bocah berperawakan menggemaskan tersebut melompat ke dalam dekapan lelaki yang amat disayanginya.Mayra yang melihat pemandangan indah keduanya menjadi sangat haru, Sean tidak kekurangan kasih sayang dari sosok ayah atas adanya Seon. Semua tercurah untuk bocah lelaki yang sudah dianggap anak kandung sendiri. Saking sayangnya, kadang sang Kakak kelewatan dalam memanjakan."Bagaimana hari ini? Apa Ayah lelah?" tanya Sean bertubi-tubi. Kini, tubuh kecilnya sudah berada dalam gendongan Seon."Mau tahu?" Seon bertanya balik semba