Part 12 (Pulang II)****Setelah memakan perjalanan yang lumayan lama. Kami pun tiba di bandara. Aku dan Zeen turun dari taksi, sementara itu driver menurunkan koper Zeen yang ada di bagasi."Aku tidak membawa apa-apa, tidak sepertimu.""Ini koper milik Mama,""Di dalamnya juga pasti ada pakaianmu!""Di dalam koper itu juga ada dress merah milikmu." Aku tergagap, lalu menepuk jidatku sendiri. Aku sampai lupa dalam koper itu ada beberapa dress yang Mama belikan. "Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar denganmu." Aku mengibaskan rambutku yang tergerai. Lalu berjalan mendahului Zeen yang masih termangu di belakang. "He, pengawal cepatlah. Kita bisa ketinggalan pesawat nanti." Aku berteriak memanggil Zeen. Tidak akan kubiarkan dia membullyku lagi. Aku akan melawannya, bahkan aku tidak akan segan-segan menggigit tangannya. "C'k, aku bukan pengawalmu!" cibir Zeen sambil mendengus kasar. Matanya jelas terpancar amarah."Kau lupa Mama bilang apa, Zeen Mama titip Nana, jaga harta Mama yang p
Part 13 (Zeen Dan Masa Lalunya) POV Zeen. **** Setelah mendarat sekitar satu jam, pesawat akhirnya tiba di tujuan. Aku menoleh ke samping, tanpa bisa kutahan lengkungan tipis tertarik di sudut bibir. Nana menggeliat. Detik kemudian ia mengerjapkan matanya sambil menguap. Menggemaskan. Ia tetap Nana. Milikku yang hanya bisa kujaga dari kejauhan. Sejak dulu aku tak punya keberanian mengutarakan perasaanku. Alhasil aku harus melihatnya bersama pria lain, meski pria itu adikku sendiri. "He, Na, bangun. Kau ingin tidur di sini," bisikku tepat di telinganya. Pupil matanya membesar, ia seketika menatapku garang. Perempuan ini baru bangun tidur bukannya mengumpulkan nyawa malah marah-marah. Walaupun begitu, Nana tetap cantik. Dia perempuan yang kutemui 10 tahun yang lalu. Dan rasa ini masih sama. Masih untuknya. Aku hanya mencintainya. Menunggunya menjadi milikku. Entah sampai kapan."Zeen ... Jangan mulai." Nana memberiku peringatan dengan tampang galaknya. Tidak bisa kujelaskan betapa
Part 13 (Zeen Dan Masa Lalunya II)****Seberkas cahaya datang dari balik jendela. Silau menerpa kornea mataku. Beberapa kali aku mengerjapkan mata, menyesuaikan cahaya itu dengan Indra penglihatanku. Aku bangun, lalu meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Kusibak selimut, mengenakan sandal lalu berjalan meninggalkan kamar tamu. Aku sampai lupa jika aku menginap di rumah Nana. "Di mana Nana? Kenapa dia tidak membangunkanku?" Aku bermonolog sambil mengayun langkah menaiki tangga. Ini seperti mimpi. Semalam aku tidur nyenyak. Aku menangkap pintu yang sedikit terbuka. Pasti itu kamar Nana dan Reza. Dengan hati-hati aku mendekat, dan mengintip ke dalam ruangan tersebut. Nana, sedang apa dia? Kenapa dia memasukkan pakaian Reza ke dalam koper?Penasaran, aku pun membuka pintu lebar. Suara decitan pintu ini membuat pemilik rumah ini menoleh. "Kau sudah bangun Zeen?""Sedang apa? Mau kau apakan baju-baju itu?" tanyaku melangkah masuk. "Aku akan mengusir adikmu dari rumah ini."Alisk
Part 14 (Pendam Terus Bang) **** POV Zeen Tiga puluh menit kemudian, mobil yang kukemudikan berhenti di gedung 'Pengadilan Agama.' Setelah mematikan mesin mobil. Aku bersandar pada jok kemudi. Lalu membuang pandangan ke arah Nana yang kini melepas seat belt. Aku mengantarnya. Mau bagaimana lagi, aku tidak tega membiarkannya luntang-lantung sendirian. Alhasil meeting hari ini kuwakilkan pada Haris. Rugi sih, tapi ya sudahlah. Uang masih bisa di cari, kalau Nana jatuh ke pelukan pria lain aku bisa hancur dua kali. Meski begitu aku tetap bahagia mendengar kabar jika ia dan Reza akan bercerai. Walaupun masih dalam proses.Maafkan aku, Za. Untuk kali ini aku akan membantu Nana lepas darimu. Abangmu ini sudah lama menaruh hati pada istrimu. Aku bergumam sembari menyugikan bibir."Tunggu aku di sini, Zeen. Aku tidak akan lama," ucap Nana mencairkan suasana. "Ya."Kulihat beberapa orang lalu lalang, tidak banyak, mungkin mereka staf yang bekerja di sini. Walaupun begitu aku tetap merindin
Part 14 (Pendam Terus Bang II)***Nana membuka pintu, senyum mengembang membuatnya terlihat cantik dan menawan. Ia kembali dengan membawa amplop berwarna coklat dan map biru. Di sana pasti ada beberapa berkas dan persyaratan yang harus ia serahkan ke pengadilan agama. "Sudah selesai?" tanyaku. Ia menganggukkan kepala, menunjukkan amplop itu padaku. "Sudah.""Baguslah, aku ikut lega."Nana memangku tasnya, ia lalu memasukkan amplop tersebut ke dalam tas. "Zeen,""Hemmz,""Aku boleh minta tolong?" tanyanya ragu. Aku mengerutkan kening, membalas tatapan Nana. Bisa kulihat ada kesedihan di matanya. "Apa?""Tolong carikan aku pengacara, aku tahu kau membenciku. Aku sadar kau tak menyukaiku. Tapi kali ini, tolong aku ya. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Papa masih ada di Bali, dan aku tidak mungkin mendatangi orang tuaku," papar Nana panjang lebar. Ia memasang raut wajah memelas. Aku lemah jika menyangkut tentangmu. "Zeen, tolong. Kau boleh memanggilku Banana, sepua
Part 15 (Dengki Dan Cemburu) Pov Reza. **** Siang itu aku menjemput Salma di kantor polisi. Belum ada seminggu kami menikah. Dan lihat apa yang terjadi? Kami sudah panen masalah sekarang. Satu per satu persoalan datang. Dan otakku mendadak buntu. Pikiranku berkeliaran, aku sibuk memikirkan hubungan antara saudaraku dengan istriku. Siapa lagi kalau bukan Bang Zeen dan Nana. Masih terngiang di benakku kala Nana menyahut saat aku sedang mengobrol dengan bang Zeen. Dan yang membuatku geram, ketika Nana menolak mentransfer uang ke rekening Salma. Kok, bisa, Bang Zeen dan Nana bersama? Bukan kah mereka tidak pernah akur. Aku mengusap wajah kasar, tidak terima dengan semua ini. Nana, istri macam apa dia? Suaminya sedang kesusahan bukannya dibantu malah asyik-asyikkan bersama pria lain. Dan parahnya pria itu adalah kakakku. Tak bisa kujelaskan, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Aku tak suka Nana dekat dengan pria lain, dia milikku. Meski cinta yang kuberikan padanya sudah kubagi
Part 15 (Dengki Dan Cemburu II)***Senyum mengembang Salma langsung hilang. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Merasakan suasana yang berubah tegang. "Ada apa Reza? Belum cukup semalam Papa pukuli kamu?" tanya Papa, nada bicaranya tegas. Sorot matanya yang tajam itu seperti mencabik-cabik dadaku. "Mas Reza butuh uang Pa,""Maksudmu itu apa? Siapa yang kamu panggil Papa?" selidik Mama. "Papanya Mas Reza, kalian kan sekarang mertuaku.""Di sini tidak ada yang menganggapmu sebagai menantu. Jadi tolong kamu sadar diri."Aku menelan ludah kasar, Salma menatapku. Sepasang manik itu berkaca-kaca. Entah apa alasan Mama tidak menyukai Salma? Padahal yang salah kan Ibunya. Istriku tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya Mama membenci Salma. Meski aku tahu Mama melakukannya karena hasutan Nana. "Kok Mama ngomong gitu,""Berhenti memanggilku Mama, aku bukan Mamamu.""Sabar Ma,""Aku gak bisa sabar Pa kalau udah ketemu pelakor. Bawaanya itu pengen marah terus," sungut Mama. "Terus aku h
Part 16 (Kalung Dan Dansa?) POV Nana. ****Aku pulang dari restoran setelah makan siang bersama Zeen. Entah apa yang merasuki iparku hingga ia memperlakukanku dengan begitu lembut. Seolah-olah aku ini barang yang wajib ia jaga. Dan, yang membuatku tak habis pikir. Zeen bahkan menyewa restoran itu hanya untuk makan siang kami berdua. Bukan kah hal itu sama saja dengan menghambur-hamburkan uang. Katanya, ia butuh privasi dan kenyamanan. Padahal dari cerita Mama Zeen biasanya makan siang di kantornya. Kurasakan matahari seperti berada di atap mobil. Teriknya seakan membakar ubun-ubunku. Hawa panas menyelimuti tubuhku. Apalagi sekarang aku tengah terjebak dengan kemacetan. Tanganku bergerak menurunkan kaca mobil, berharap angin sepoi-sepoi yang masuk bisa menyejukkanku beserta otakku. Pikiranku masih tertuju pada cerita Zeen. Di mana dia mengatakan akan menunggu perempuan itu sampai pulang. Ia menjadikan dirinya rumah untuk orang yang suka kelayapan. Lama-lama aku kasihan juga padanya
Part 64 (Sempurnanya Bahagiamu) ****Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Nana sudah memasuki sembilan bulan. Kata Dokter, seminggu lagi perempuan itu diperkirakan akan melahirkan. Segala keperluan sudah Zeen persiapkan, Zeen juga meminta pada Mamanya untuk menemani Nana saat ia tak ada di rumah. Wanita paruh baya itu sudah sejak semalam tinggal di sana. Sementara sang suami, sesekali datang berkunjung di sela kesibukannya bekerja, dan menemani sang putra yang masih berada di rumah sakit. Reza masih berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. "Ya ampun, Na. Mau ke mana?" Mama Reni tampak terkejut saat mendapati sang menantu berjalan tertatih keluar dari kamar. Buru-buru ia menghampiri Nana, dan memapah menantunya agar tak jatuh. "Mama lagi apa?" tanya Nana. Mereka berdua berjalan menuju sofa yang ada di ruang tengah. Mama Reni membawa Nana ke sana."Mama lagi bersih-bersih terus lihat kamu, kamu kenapa keluar dari kamar sayang?" Dengan penuh kelembu
Part 63 (Gendutan Yak?)****"Iya, yang itu—ah tidak, jangan yang itu. Yang sampingnya Mang. Sudahlah Mang, lebih baik Mang Kasep turun, biarkan saya sendiri yang manjat." Zeen berujar pada Mang Kasep yang kini berada di atas pohon. Nana yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Dirinya yang hamil, justru sang suami yang mengidam, morning sickness dan segala macamnya. Sejak kedatangan Ibunya ke rumahnya beberapa hari yang lalu, Nana mulai kembali pada aktivitasnya. Beban yang bersarang pada pundaknya perlahan berangsur hilang. Ia mulai menikmati hidupnya. Toh sekarang hidupnya sudah lengkap dengan keberadaan Zeen dan tentunya dengan kehadiran sang buah hati yang masih mereka nantikan."Tapi Tuan," keluh Mang Kasep. Lelaki itu menunduk, menatap Tuannya."Saya bilang turun, Mang. Biarkan saya sendiri yang ambil." Sambil mendengkus Zeen menjawab perkataan Mang Kasep. Tanpa menunggu perintah dua kali, Mang Kasep segera turun. "Biarkan Mang, Ibu hamil satu ini memang aktif," c
Part 62 (Damai)****Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berhembus pelan memasuki ruangan bernuansa putih itu. Reza merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Ia merapatkan selimut, mengigit ujung bibir menahan nyeri dalam hati. Entah perasaan apa ini? Hanya rasa sesak yang menguasai hatinya. Ia telah terbelenggu oleh rasa bersalah yang ternyata semakin hari, semakin menjadi-jadi. Rasa yang tak mungkin bisa lagi ia ulang. Untuk ikhlas pun rasanya berat. Huft. Tarikan napas berat Reza ambil."Reza ..."Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu segera menyudahi lamunan, ditatap kembali wajah sendu Mamanya dari balik layar ponselnya. Dirinya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ia telah membuang berlian, dan menukarnya dengan bongkahan batu. Dan parahnya, berlian yang ia buang itu telah dipungut oleh orang yang tepat. "Kamu kenapa? Are you okey?""Nana hamil Ma?" tanya Reza. Ia mati-matian menahan gelombang yang menghimpi
Part 61 (Baby Twins?)****"Nana, bagaimana kabarmu? Kamu nyaman kan tinggal bersama Zeen? Apa Zeen memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Reni melalui sambungan telepon. Wanita itu sungguh merindukan menantunya. Setelah Zeen memboyong Nana pergi rumahnya tampak sepi. "Kabarku baik Ma, hanya saja ada sedikit masalah. Zeen memperlakukanku dengan baik. Bagaimana kabar Mama?" jawab Nana pelan. Ia berlari berbirit-birit ke kamar mandi saat mendengar suara rintihan. Dengan kasar Nana membuka pintu, dan langsung menemukan Zeen yang membungkuk di wastafel."C'k, menyusahkan. Sudah berapa kali kukatakan, kau ini butuh ke Dokter. Jangan nakal bisa tidak, seharian ini kau terus saja memuntahkan isi perutku, membuatku repot mengurusmu," cerocos Nana. Ia menaruh benda pipih itu di dekat telinga dan menghimpitnya dengan pundak. Lalu dengan sedikit kasar ia mulai memijat tengkuk Zeen. Nana benar-benar dibuat geram. Pasalnya seharian ini Zeen terus saja muntah-muntah. Bahkan pria itu berkali-kal
Part 60 (Ck, Rujak?) **** Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela. Cahaya keemasan itu tak terasa menerpa wajah Nana, seketika ia menggeliat. Ia meraba sisi kanan yang ternyata sudah kosong. Di mana Zeen? tanya Nana dalam hati. Nana melenguh pelan, ia mulai membuka mata, dan mengedarkan pandangannya pada kamar bernuansa hitam ini. Ia mencari keberadaan suaminya. Membuat benaknya bertanya-tanya. Tidak biasanya Zeen pergi kerja tanpa pamitan padanya. Terlebih ia meninggal Nana yang masih ingin bermanja-manja dengannya. "Zeen," panggil Nana setengah berteriak. Ia masih bergulat dalam selimut. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan malas Nana bangun, ia bersandar pada kepala ranjang sambil mengucek matanya. Semalam setelah pulang dari rumah sakit, mereka berdua menghabiskan malam panjang dan panas. "Zeen ..." Lagi-lagi Nana memanggil nama suaminya. Nihil, tak terdengar sahutan. Hanya keheningan yang perempuan itu rasakan. Kamarnya sunyi, sepertiny
Part 59 (Talak & Pencerahan)****"Pergi kamu dari sini!" pekik Abraham marah. Setelah semuanya beres, ia segera menurunkan koper Ira, dan membawanya keluar. Membuat wanita itu seketika panik.12 tahun bersama, ini kali pertamanya lelaki itu bersikap seperti ini padanya. Abraham tidak pernah marah sampai sebesar ini, dan mengusirnya begitu saja. Seperti yang terjadi sore ini. Hal itu tentu membuatnya kelimpungan. Dan tak tahu harus berbuat apa demi meredam emosi suaminya. "Kamu dengarkan aku dulu, Mas!" Ira berucap seraya menyusul suaminya, berulang kali ia mencoba menyentuh lengan Abraham. Namun, dengan cepat lelaki berambut hitam itu menepisnya. Amarah telah menguasai dirinya. Tak ada kata penjelasan, bagi lelaki itu semuanya sudah jelas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas! Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!""Itu sudah lama!" sanggah Ira. Abraham mengayun langkah cepat menuruni tangga. Ia melempar koper itu setibanya di teras rumah. "Pergi!""Mas, aku
Part 58 (Enyah Kau Dari Hadapanku!)****Pov Author"Keterlaluan kamu Ira! Aku tak habis pikir denganmu. Apa yang kamu lakukan ini membuatku kecewa!" tutur Abraham, ia marah pada istrinya. Pria berambut hitam itu membanting pintu mobilnya kasar. Lalu berderap memasuki rumah. Tampak gurat kekecewaan menghiasi wajahnya. "Aku bisa jelaskan!""Mas, dengarkan aku dulu! Aku punya alasan. Kamu tidak bisa dong bersikap seperti ini. Dan menyimpulkannya langsung!""Mas Ham!" panggil Ira, wanita itu terus berucap sampai suaminya mau berhenti, dan mendengarkannya."Apa yang ingin kamu jelaskan! 12 tahun, 12 tahun Ira kamu membohongiku. Ibu macam apa kamu ini! Aku benar-benar tak habis pikir, kamu tega membuang anakmu sendiri! Apa yang kamu pikirkan saat itu, hah!" lanjut Abraham. Dadanya bergemuruh hebat, sesampainya di rumah mereka justru bertengkar hebat. Ira Pratiwi, wanita yang sudah 12 tahun ini mendampinginya. Begitu tega Ira membodohinya. Teringat tatapan perempuan itu, membuat Abraham m
Part 57 (Keterlaluan Kamu Ira!)****"Mas Ham ...." Dengan cepat Bu Ira menghampiri suaminya, setiap gerak-geriknya tak luput dari perhatianku. Ia belum menyadari keberadaanku. Tak ada penyesalan di matanya. Setelah bertahun-tahun ia menelantarkan Nana, tidak ada sedikitpun rasa bersalah itu tampak. Ya Tuhan, manusia seperti apa Bu Ira ini? Darah dagingnya sendiri seperti tak berarti.Kulihat Pak Abraham mematung, lelaki berperawakan tinggi serta berperut buncit itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Kalian pernah mendengar peribahasa seperti ini, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ini kesempatan bagus bagiku untuk membongkar kebusukan Bu Ira. Pasti Pak Abraham akan kecewa dan menyayangkan sikap Bu Ira yang semena-mena pada putrinya. Terlebih dengan kejamnya, Bu Ira mengatakan Nana yang masih hidup itu mati. "Mas, kok kamu berdiri di situ bukannya nyamperin aku?" tanya Bu Ira. Pak Abraham melirikku. Bertanya, atau menelan berita mentah-mentah itu pili
Part 56 (Istrimu Itu?)****Pov ZeenBaru semalam Nana dipeluk Ayahnya, dan kini tubuh itu telah menyatu dengan tanah. Kenapa secepat ini? Bahkan di saat istriku baru saja merasakan kasih sayang Ayahnya. Bulir-bulir bening terus mengalir dari pelupuk mata Nana. Tak bisa kujelaskan bagaimana hancurnya ia sekarang. Nana selalu berharap dapat mengabiskan waktu bersama dengan Ayahnya. Mengabadikannya menjadi momen indah. Memang Tuhan mengabulkannya, tapi sayang hanya beberapa menit. Setelah itu Nana benar-benar kehilangan. Sosok yang harusnya jadi panutan, yang bisa menjaganya, melindunginya, menyayanginya tanpa jeda, ternyata menjadi orang yang paling kejam dalam memberinya derita. Ketika Idro menyadari perbuatannya, Tuhan langsung mengambilnya. Padahal Idro belum merasakan seujung kuku penderitaan Nana. Tapi mau bagaimana lagi, takdir tidak ada yang tahu. Kematian itu pasti, masa depan kita ya berpulang pada Tuhan. "Ayah, Ma, Ayahku pergi, Ma. Aku baru memeluknya sebentar tadi malam,