Part 15 (Dengki Dan Cemburu) Pov Reza. **** Siang itu aku menjemput Salma di kantor polisi. Belum ada seminggu kami menikah. Dan lihat apa yang terjadi? Kami sudah panen masalah sekarang. Satu per satu persoalan datang. Dan otakku mendadak buntu. Pikiranku berkeliaran, aku sibuk memikirkan hubungan antara saudaraku dengan istriku. Siapa lagi kalau bukan Bang Zeen dan Nana. Masih terngiang di benakku kala Nana menyahut saat aku sedang mengobrol dengan bang Zeen. Dan yang membuatku geram, ketika Nana menolak mentransfer uang ke rekening Salma. Kok, bisa, Bang Zeen dan Nana bersama? Bukan kah mereka tidak pernah akur. Aku mengusap wajah kasar, tidak terima dengan semua ini. Nana, istri macam apa dia? Suaminya sedang kesusahan bukannya dibantu malah asyik-asyikkan bersama pria lain. Dan parahnya pria itu adalah kakakku. Tak bisa kujelaskan, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Aku tak suka Nana dekat dengan pria lain, dia milikku. Meski cinta yang kuberikan padanya sudah kubagi
Part 15 (Dengki Dan Cemburu II)***Senyum mengembang Salma langsung hilang. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Merasakan suasana yang berubah tegang. "Ada apa Reza? Belum cukup semalam Papa pukuli kamu?" tanya Papa, nada bicaranya tegas. Sorot matanya yang tajam itu seperti mencabik-cabik dadaku. "Mas Reza butuh uang Pa,""Maksudmu itu apa? Siapa yang kamu panggil Papa?" selidik Mama. "Papanya Mas Reza, kalian kan sekarang mertuaku.""Di sini tidak ada yang menganggapmu sebagai menantu. Jadi tolong kamu sadar diri."Aku menelan ludah kasar, Salma menatapku. Sepasang manik itu berkaca-kaca. Entah apa alasan Mama tidak menyukai Salma? Padahal yang salah kan Ibunya. Istriku tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya Mama membenci Salma. Meski aku tahu Mama melakukannya karena hasutan Nana. "Kok Mama ngomong gitu,""Berhenti memanggilku Mama, aku bukan Mamamu.""Sabar Ma,""Aku gak bisa sabar Pa kalau udah ketemu pelakor. Bawaanya itu pengen marah terus," sungut Mama. "Terus aku h
Part 16 (Kalung Dan Dansa?) POV Nana. ****Aku pulang dari restoran setelah makan siang bersama Zeen. Entah apa yang merasuki iparku hingga ia memperlakukanku dengan begitu lembut. Seolah-olah aku ini barang yang wajib ia jaga. Dan, yang membuatku tak habis pikir. Zeen bahkan menyewa restoran itu hanya untuk makan siang kami berdua. Bukan kah hal itu sama saja dengan menghambur-hamburkan uang. Katanya, ia butuh privasi dan kenyamanan. Padahal dari cerita Mama Zeen biasanya makan siang di kantornya. Kurasakan matahari seperti berada di atap mobil. Teriknya seakan membakar ubun-ubunku. Hawa panas menyelimuti tubuhku. Apalagi sekarang aku tengah terjebak dengan kemacetan. Tanganku bergerak menurunkan kaca mobil, berharap angin sepoi-sepoi yang masuk bisa menyejukkanku beserta otakku. Pikiranku masih tertuju pada cerita Zeen. Di mana dia mengatakan akan menunggu perempuan itu sampai pulang. Ia menjadikan dirinya rumah untuk orang yang suka kelayapan. Lama-lama aku kasihan juga padanya
Part 16 (Kalung Dan Dansa II)***"Pria yang katamu mengirim boneka setiap Minggu itu?""Benar Zeen, lihat ini, dia juga mengirim kalung sebagus ini padaku." Aku memamerkan kalung itu pada Zeen. Ia menatapku dan kalung itu bergantian. "Kau senang?""Tentu saja aku senang, kami sudah lama tidak bertemu. Aku bahkan sampai menangis."Aku menarik kursi rias, lalu duduk di sana. Pandangan mataku tak bisa lepas dari kalung yang Atarik berikan. "Kenapa tidak di pakai?"Pertanyaan Zeen membuatku mengangkat wajah. "Aku tidak tahu cara memakainya," tuturku. "Kau yakin tidak tahu?""Aku tidak berbohong.""Baiklah, aku akan membantumu memakainya."Zeen bangkit, ia berjalan mendekatiku. Satu tegukan ludah membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. "Berdirilah."Menarik napas, aku menuruti perintah Zeen. Aku beranjak dari kursi rias. Dengan pelan dan ragu aku memutar badan menghadap cermin. Zeen berdiri tepat di belakangku. Kami saling menatap dalam diam. "Mana kalungnya?" pintanya sambil
Part 17 (Tinggalkan Rumah ini) Senja telah berganti dengan rembulan. Sinar keemasan yang sempat hadir kini telah hilang menyisakan dinginnya udara malam. Sejak kejadian tadi sore Zeen lebih banyak diam. Kutatap punggungnya yang sedang berkutat dengan peralatan memasak. "Zeen mau aku bantu?" Aku berjalan mendekati Zeen, lalu berdiri di sampingnya. Kulihat ia memasukkan sedikit garam ke dalam masakannya. "Duduklah, biar aku yang masak.""Kau yakin? Apa kau masih marah padaku?"Kakak iparku itu melirikku sekilas, aku masih berdiri menunggu jawabannya. "Tidak.""Maafkan aku kalau aku menyakitimu, padahal kita baru saja berdamai.""Sudahlah, jangan dibahas. Lebih baik kau duduk dan menungguku sampai selesai," jawabnya.Zeen mengambil beberapa sayuran segar dari dalam kulkas. Ia mencucinya lebih dulu sebelum di eksekusi. "Zeen.""Banana, aku bilang duduk," serunya tanpa melirikku. Aku beringsut mundur, dengan lesu kuayun langkah menuju meja makan. Kudorong kursi mundur, lalu menjatuhka
Part 17 (Tinggalkan Rumah Ini II)***Wajah Zeen sudah berubah padam. Ia hendak bangkit, namun aku mencekal pergelangan tangannya. "Aku ingin dengar," tuturku. Lagi-lagi tak ada jawaban, Zeen memilih menuruti apa yang aku katakan. "Abang kenapa diam?""Apa yang kamu bilang tadi itu tidak benar!""Gak benar apanya, pasti Nana kan yang godain Abang. Perempuan itu memang murahan, haus belaian sampai selingkuh di belakang suaminya."Tiba-tiba dadaku bergemuruh hebat. Bisa-bisanya Mas Reza menuduhku yang bukan-bukan. Aku tidak pernah menggoda siapa pun, sekalipun Kakaknya, Zeen. "Tutup mulutmu, kalau kau ada di sini. Sudah Abang robek mulutmu!""Benar kan dugaanku, Abang dan Nana ada main serong!""Kau ini tahu apa? Memangnya kamu punya bukti apa?" gertak Zeen, nada bicaranya melengking tinggi. "Kalau tidak punya bukti jangan menuduh orang. Hatimu busuk Reza, dan mungkin otakmu juga ikutan busuk!""Siapa yang hatinya busuk! Nana saja yang jadi istri tidak becus!""Cobalah koreksi diri
Part 18 (Nelangsa Kan Kalian?) POV Reza. **** "Kata siapa? Ini rumahku, bahkan sertifikat rumah ini atas namaku!"Aku tersentak kaget mendengar suara pekikan Nana. Aku dan Salma baru tiba di rumah. Kami langsung dikejutkan dengan Nana yang tiba-tiba saja melempar koper ke arahku.Bukan hanya itu, keberadaan Bang Zeen pun membuatku bertanya-tanya?Apa yang sudah mereka berdua lakukan di rumahku? Apa jangan-jangan mereka tinggal seatap? Aku yakin Nana menjual tubuhnya pada bang Zeen. Nana pasti yang menggoda Abangku. Dasar wanita murahan! Bermuka dua!"Kenapa masih diam di situ? Buruan kalian pergi dari sini? Tinggalkan rumahku sekarang juga!" seru Nana disusul dengan tas yang ia lempar kepadaku. Kubiarkan tas itu tergeletak di tanah. Yang kuyakini tas itu berisikan barang-barangku yang tidak muat di koper. "Nana, kamu udah gila! Aku ini suamimu! Aku berhak atas rumah ini!" Mataku menyala tajam. Hanya karena aku selingkuh dengan sahabatnya, Nana melakukan ini semua. Tidak sadar di
Part 18 (Nelangsa Kan Kalian II)***"Aku bilang pergi!"Dengan membabi buta Nana menyerang kami. Ia juga menyalakan air keran, lalu mengarahkan selang itu pada kami yang berdiri kaku. "Nana!""Sudah kukatakan, cepat pergi!""Ini rumah Mas Reza!""Baiklah, kita akan pergi dari sini! Stop!" Aku meminta Nana berhenti melakukan aksi gila yang membuatku stres. "Berhenti Nana.""Kembalikan dompet dan ponselku!" "Kembalikan saja dompetnya."Bang Zeen mengusap lembut rambut Nana, lalu mematikan keran. Dari cara Bang Zeen menatap Nana. Kulihat ada cinta di sana. "Ini aku kembalikan dompetmu!dan ini ponselmu! Cepat pergi dari sini, jangan pernah kembali lagi!" Nana melempar dompetku. Buru-buru aku mengambilnya, memeriksa isi di dalamnya. Masih aman. Sedangkan Bang Zeen memberikan ponselku. Lekas Salma menyambar ponsel itu dari tangannya. "Awas saja kamu Nana, kami akan balas perbuatan kamu!""Silakan kalau bisa!" ucap Nana menantang. "Ayo kita pergi."Aku menggandeng tangan Salma. Mesk