Part 18 (Nelangsa Kan Kalian II)***"Aku bilang pergi!"Dengan membabi buta Nana menyerang kami. Ia juga menyalakan air keran, lalu mengarahkan selang itu pada kami yang berdiri kaku. "Nana!""Sudah kukatakan, cepat pergi!""Ini rumah Mas Reza!""Baiklah, kita akan pergi dari sini! Stop!" Aku meminta Nana berhenti melakukan aksi gila yang membuatku stres. "Berhenti Nana.""Kembalikan dompet dan ponselku!" "Kembalikan saja dompetnya."Bang Zeen mengusap lembut rambut Nana, lalu mematikan keran. Dari cara Bang Zeen menatap Nana. Kulihat ada cinta di sana. "Ini aku kembalikan dompetmu!dan ini ponselmu! Cepat pergi dari sini, jangan pernah kembali lagi!" Nana melempar dompetku. Buru-buru aku mengambilnya, memeriksa isi di dalamnya. Masih aman. Sedangkan Bang Zeen memberikan ponselku. Lekas Salma menyambar ponsel itu dari tangannya. "Awas saja kamu Nana, kami akan balas perbuatan kamu!""Silakan kalau bisa!" ucap Nana menantang. "Ayo kita pergi."Aku menggandeng tangan Salma. Mesk
Part 19 (Surat Perceraian) ***pov RezaDari pagi sampai siang aku hanya berdiam diri di dalam kamar. Tubuhku masih lemas mengingat kejadian yang beberapa jam yang lalu kualami. Sesekali memikirkan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahku ini. Andai waktu itu ponselku tidak tertukar dengan ponsel Nana. Mungkin semua tidak akan terjadi. Aku dan Salma masih di Bali merayakan pesta pernikahan kami. Dan Nana, dia tidak akan tahu jika aku menikah lagi. Mungkin. Mungkin aku juga tidak akan ketipan sial. Aku menarik rambutku kasar, menggerutuki kebodohan yang kulakukan. Aku terus berandai-andai. Andai saat itu aku lebih berhati-hati lagi dalam menjalani hubungan gelap itu. Pasti sekarang aku masih tinggal di rumah yang kubeli 2 tahun yang lalu. Memberi Nana pengertian dan berjanji akan berlaku adil. Tapi sayang, Nana terlanjut sakit hati. Kalau dipikir-pikir, di sini aku juga sakit hati karena pengkhianatannya. Brak!Aku terpelonjak kaget tatkala pintu kamar dibuka dengan kasar. S
Part 19 (Surat Perceraian II)****Aku baru tiba di kantor Bang Zeen setelah tiga puluh menit lamanya berada di jalan. Tak ingin membuang waktu, aku lekas masuk ke dalam gedung bertingkat itu."Eh, permisi, saya ingin bertemu dengan Pak Zeen, apa beliau masih ada di kantor?" tanyaku pada resepsionis, menjaga image dan martabat itu penting. "Oh, Pak Reza, tunggu sebentar ya Pak. Saya tanyakan pada sekretarisnya," jawabnya. Aku menganggukkan kepala, sembari menunggu jawaban resepsionis pandanganku meneliti sekitar. Makin lama kantor Bang Zeen makin berkembang pesat. Dia juga punya bisnis restoran dan hotel. "Pak Zeen ada di ruangnya, bapak bisa menemui beliau sekarang," jawaban dari resepsionis menyudahi lamunanku. Aku mengucapkan terima kasih, lalu berderap menuju lift. Memaksa tubuhku masuk, aku menekan tombol yang membawaku ke lantai paling atas. Di mana ruangan saudaraku itu berada. Ting!Tak butuh waktu lama, suara dentingan lift menggema. Aku melangkah keluar saat pintu lift
Part 20 (Bahagia VS Menderita) POV Nana **** Selepas kepergian Mas Reza aku mengeluarkan kue dari box kue. Menaruhnya di atas meja. Wajah Mas Reza masih menari-nari dalam benakku. Bagaimana ia marah, kesal, dan cemburu. Sayang, kita akan berakhir, Mas. Perhatian yang kucurahkan selama ini tidak membuatmu menetap. Tidak masalah, aku lah yang akan menepi."Ini apa Nana?" tanya Zeen bingung.Aku meliriknya sekilas. Apa dia tidak mengerti jika aku sedang merayakan ulang tahunnya yang ke 31 tahun."Ini kue Zeen." Aku sibuk menata lilin, mengeluarkan kado yang kubungkus semalam. Kue ini juga kubuat tanpa sepengetahuan Zeen."Ya aku tahu ini kue, tapi untuk apa?" Sederet pertanyaan keluar dari mulut Zeen. Aku mendengkus, memintanya berhenti bertanya."Jangan banyak tanya, lihat saja apa yang sedang kulakukan," tuturku. Detik kemudian Zeen benar-benar diam. Ia terus mengamati setiap gerak-gerikku."Aku tidak sempat beli lilin angka, jadi pakai lilin kecil tidak pa-pa kan?" Aku menatap Ze
Part 20 (Bahagia VS Menderita II)***"Mengapa wangimu seperti Atarik."Aku memberanikan diri membingkai wajah Zeen. Menatap begitu dalam matanya. "Kenapa kau membahas Atarik?""Aku tidak tahu, yang jelas aku seperti melihatnya dalam dirimu." Aku mengamati wajah Zeen. Hanya mata dan hidung yang mirip. Selebihnya tidak, kalau dia memang Atarik kenapa aku tidak bisa mengenali wajahnya. "Kau sudah gila Nana, ini aku Zeen."Aku mundur, bukan jawaban yang kutemukan. Ke mana aku harus mencarimu Atarik. Kenapa kau tidak pernah muncul lagi di depanku. Tidak tahu kah aku sedang terpuruk dan membutuhkan bahumu untuk bersandar. ****Aku menggulir layar ponselku sambil menunggu Zeen selesai rapat. Setelah kejadian tadi, aku meminta maaf pada Zeen. Dia bersikeras mengatakan kalau dia tidak mengenal Atarik. Padahal di beberapa kesempatan ia seperti mengenal Atarik. Mulai dari mengatakan, dia selalu menghiburmu, sampai jangan pergi lagi. Dan kini memanggilku Ana. Bagaimana caraku menemukan Ata
Part 21 (Tabur Tuai)****Gemerlapnya lampu menghiasi sepanjang jalan, kulempar tatapan keluar jendela. Pikiranku melayang ke mana-mana. Kulihat dari kejauhan bulan sabit tampak malu-malu menampakkan diri. Meski begitu langit gelap masih bertabur dengan bintang. Apa Zeen itu Atarik? Hal itu terus terlintas dibenakku. Berbagai macam prasangka pun turut mengisi pikiranku. Kulirik Zeen yang fokus mengemudi. Sesekali ia memijat pelipisnya. Aku tidak yakin kalau dugaanku ini benar. Namun, kala netra itu beradu pandang dengan manik kecokelatan milikku. Rasanya aku seperti menemukan teman masa laluku yang lama hilang. Bagaimana caraku membuktikannya. "Zeen ..."Pria itu menoleh, sebelah alisnya terangkat. "Ya," jawabnya singkat. Kusatukan kedua tangan, mencoba menghilangkan rasa gugup. Detik kemudian aku kembali menunduk. Aku bingung harus menggali informasi dari mana. Takut, jika pertanyaanku ini menyinggung, atau membuatnya marah. Namun, jika kupendam lama-lama akan menumpuk. "Ada ap
Part 21 (Tabur Tuai II)****Hampir setengah jam di jalan mobil Zeen akhirnya memasuki pekarangan rumah. "Kamu tinggal di sini ya Na?" pinta Mama. "Iya Ma, aku mau tinggal di mana lagi kalau bukan di rumah Mama.""Lah rumahmu sama Reza itu—" Papa tidak melanjutkan ucapannya. Mama memotongnya dengan cepat. "Rumah Nana sama Reza itu udah Nana jual, Pa.""Kamu jual Na?""Iya Pa,""Ngercep banget kamu, Na. Tapi Papa bangga, ya sudah kamu tinggal saja di sini. Biar Zeen betah di rumah. Biar itu anak tidak gila pekerjaan."Aku melongo mendengar pengakuan Papa. Ada hubungan apa aku tinggal di sini dengan kenyamanan Zeen. Aneh. Keluarga ini seperti menyimpan teka-teki. Belum sempat aku bertanya, papa sudah keluar dari mobil. Di susul Mama yang menggekori suaminya. "Jangan masukan hati ucapan Papa. Dia hanya sedang bercanda.""Kuharap kau cepat mengaku Zeen.""Maksudmu?" Zeen langsung menoleh, ia berpindah duduk di jok belakang. "He, sedang apa kau ini?""Kau menyuruhku mengaku, memang ap
Part 22 (Kebakaran Jenggot) **** POV Author Reza menghabiskan malam dengan menghisap rokok di balkon kamar. Pria itu menatap kosong langit yang bertabur dengan bintang. Satu masalah belum selesai, kini datang masalah baru. Istrinya lagi-lagi harus ditahan di kantor polisi. Belum lagi masalah perusahaan yang sedang krisis. Dan surat perceraian yang diberikan Nana. Dalam kurung waktu seminggu ia sudah pusing tujuh keliling."Ini semua karena Nana, coba saja dia tidak egois dan mau berbagi dengan Salma. Mungkin aku tidak akan sepusing ini," gumam Reza. Amarah yang membuncah dada hanya bisa ia tahan. Reza terus saja menyalahkan Nana. Tidak ada niatan untuk mengoreksi dirinya sendiri. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Rumah tidak punya, mobil sudah dijual. Uang dibawa Nana semua. Ya Tuhan aku benar-benar kere," lanjutnya dengan suara parau. Reza mengacak-acak rambutnya kasar. Rasanya ia ingin membenturkan kepalanya di tembok sekarang. "Papa dan Mama tidak mau membantuku, aku harus b