Part 14 (Pendam Terus Bang) **** POV Zeen Tiga puluh menit kemudian, mobil yang kukemudikan berhenti di gedung 'Pengadilan Agama.' Setelah mematikan mesin mobil. Aku bersandar pada jok kemudi. Lalu membuang pandangan ke arah Nana yang kini melepas seat belt. Aku mengantarnya. Mau bagaimana lagi, aku tidak tega membiarkannya luntang-lantung sendirian. Alhasil meeting hari ini kuwakilkan pada Haris. Rugi sih, tapi ya sudahlah. Uang masih bisa di cari, kalau Nana jatuh ke pelukan pria lain aku bisa hancur dua kali. Meski begitu aku tetap bahagia mendengar kabar jika ia dan Reza akan bercerai. Walaupun masih dalam proses.Maafkan aku, Za. Untuk kali ini aku akan membantu Nana lepas darimu. Abangmu ini sudah lama menaruh hati pada istrimu. Aku bergumam sembari menyugikan bibir."Tunggu aku di sini, Zeen. Aku tidak akan lama," ucap Nana mencairkan suasana. "Ya."Kulihat beberapa orang lalu lalang, tidak banyak, mungkin mereka staf yang bekerja di sini. Walaupun begitu aku tetap merindin
Part 14 (Pendam Terus Bang II)***Nana membuka pintu, senyum mengembang membuatnya terlihat cantik dan menawan. Ia kembali dengan membawa amplop berwarna coklat dan map biru. Di sana pasti ada beberapa berkas dan persyaratan yang harus ia serahkan ke pengadilan agama. "Sudah selesai?" tanyaku. Ia menganggukkan kepala, menunjukkan amplop itu padaku. "Sudah.""Baguslah, aku ikut lega."Nana memangku tasnya, ia lalu memasukkan amplop tersebut ke dalam tas. "Zeen,""Hemmz,""Aku boleh minta tolong?" tanyanya ragu. Aku mengerutkan kening, membalas tatapan Nana. Bisa kulihat ada kesedihan di matanya. "Apa?""Tolong carikan aku pengacara, aku tahu kau membenciku. Aku sadar kau tak menyukaiku. Tapi kali ini, tolong aku ya. Aku tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa. Papa masih ada di Bali, dan aku tidak mungkin mendatangi orang tuaku," papar Nana panjang lebar. Ia memasang raut wajah memelas. Aku lemah jika menyangkut tentangmu. "Zeen, tolong. Kau boleh memanggilku Banana, sepua
Part 15 (Dengki Dan Cemburu) Pov Reza. **** Siang itu aku menjemput Salma di kantor polisi. Belum ada seminggu kami menikah. Dan lihat apa yang terjadi? Kami sudah panen masalah sekarang. Satu per satu persoalan datang. Dan otakku mendadak buntu. Pikiranku berkeliaran, aku sibuk memikirkan hubungan antara saudaraku dengan istriku. Siapa lagi kalau bukan Bang Zeen dan Nana. Masih terngiang di benakku kala Nana menyahut saat aku sedang mengobrol dengan bang Zeen. Dan yang membuatku geram, ketika Nana menolak mentransfer uang ke rekening Salma. Kok, bisa, Bang Zeen dan Nana bersama? Bukan kah mereka tidak pernah akur. Aku mengusap wajah kasar, tidak terima dengan semua ini. Nana, istri macam apa dia? Suaminya sedang kesusahan bukannya dibantu malah asyik-asyikkan bersama pria lain. Dan parahnya pria itu adalah kakakku. Tak bisa kujelaskan, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Aku tak suka Nana dekat dengan pria lain, dia milikku. Meski cinta yang kuberikan padanya sudah kubagi
Part 15 (Dengki Dan Cemburu II)***Senyum mengembang Salma langsung hilang. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Merasakan suasana yang berubah tegang. "Ada apa Reza? Belum cukup semalam Papa pukuli kamu?" tanya Papa, nada bicaranya tegas. Sorot matanya yang tajam itu seperti mencabik-cabik dadaku. "Mas Reza butuh uang Pa,""Maksudmu itu apa? Siapa yang kamu panggil Papa?" selidik Mama. "Papanya Mas Reza, kalian kan sekarang mertuaku.""Di sini tidak ada yang menganggapmu sebagai menantu. Jadi tolong kamu sadar diri."Aku menelan ludah kasar, Salma menatapku. Sepasang manik itu berkaca-kaca. Entah apa alasan Mama tidak menyukai Salma? Padahal yang salah kan Ibunya. Istriku tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya Mama membenci Salma. Meski aku tahu Mama melakukannya karena hasutan Nana. "Kok Mama ngomong gitu,""Berhenti memanggilku Mama, aku bukan Mamamu.""Sabar Ma,""Aku gak bisa sabar Pa kalau udah ketemu pelakor. Bawaanya itu pengen marah terus," sungut Mama. "Terus aku h
Part 16 (Kalung Dan Dansa?) POV Nana. ****Aku pulang dari restoran setelah makan siang bersama Zeen. Entah apa yang merasuki iparku hingga ia memperlakukanku dengan begitu lembut. Seolah-olah aku ini barang yang wajib ia jaga. Dan, yang membuatku tak habis pikir. Zeen bahkan menyewa restoran itu hanya untuk makan siang kami berdua. Bukan kah hal itu sama saja dengan menghambur-hamburkan uang. Katanya, ia butuh privasi dan kenyamanan. Padahal dari cerita Mama Zeen biasanya makan siang di kantornya. Kurasakan matahari seperti berada di atap mobil. Teriknya seakan membakar ubun-ubunku. Hawa panas menyelimuti tubuhku. Apalagi sekarang aku tengah terjebak dengan kemacetan. Tanganku bergerak menurunkan kaca mobil, berharap angin sepoi-sepoi yang masuk bisa menyejukkanku beserta otakku. Pikiranku masih tertuju pada cerita Zeen. Di mana dia mengatakan akan menunggu perempuan itu sampai pulang. Ia menjadikan dirinya rumah untuk orang yang suka kelayapan. Lama-lama aku kasihan juga padanya
Part 16 (Kalung Dan Dansa II)***"Pria yang katamu mengirim boneka setiap Minggu itu?""Benar Zeen, lihat ini, dia juga mengirim kalung sebagus ini padaku." Aku memamerkan kalung itu pada Zeen. Ia menatapku dan kalung itu bergantian. "Kau senang?""Tentu saja aku senang, kami sudah lama tidak bertemu. Aku bahkan sampai menangis."Aku menarik kursi rias, lalu duduk di sana. Pandangan mataku tak bisa lepas dari kalung yang Atarik berikan. "Kenapa tidak di pakai?"Pertanyaan Zeen membuatku mengangkat wajah. "Aku tidak tahu cara memakainya," tuturku. "Kau yakin tidak tahu?""Aku tidak berbohong.""Baiklah, aku akan membantumu memakainya."Zeen bangkit, ia berjalan mendekatiku. Satu tegukan ludah membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. "Berdirilah."Menarik napas, aku menuruti perintah Zeen. Aku beranjak dari kursi rias. Dengan pelan dan ragu aku memutar badan menghadap cermin. Zeen berdiri tepat di belakangku. Kami saling menatap dalam diam. "Mana kalungnya?" pintanya sambil
Part 17 (Tinggalkan Rumah ini) Senja telah berganti dengan rembulan. Sinar keemasan yang sempat hadir kini telah hilang menyisakan dinginnya udara malam. Sejak kejadian tadi sore Zeen lebih banyak diam. Kutatap punggungnya yang sedang berkutat dengan peralatan memasak. "Zeen mau aku bantu?" Aku berjalan mendekati Zeen, lalu berdiri di sampingnya. Kulihat ia memasukkan sedikit garam ke dalam masakannya. "Duduklah, biar aku yang masak.""Kau yakin? Apa kau masih marah padaku?"Kakak iparku itu melirikku sekilas, aku masih berdiri menunggu jawabannya. "Tidak.""Maafkan aku kalau aku menyakitimu, padahal kita baru saja berdamai.""Sudahlah, jangan dibahas. Lebih baik kau duduk dan menungguku sampai selesai," jawabnya.Zeen mengambil beberapa sayuran segar dari dalam kulkas. Ia mencucinya lebih dulu sebelum di eksekusi. "Zeen.""Banana, aku bilang duduk," serunya tanpa melirikku. Aku beringsut mundur, dengan lesu kuayun langkah menuju meja makan. Kudorong kursi mundur, lalu menjatuhka
Part 17 (Tinggalkan Rumah Ini II)***Wajah Zeen sudah berubah padam. Ia hendak bangkit, namun aku mencekal pergelangan tangannya. "Aku ingin dengar," tuturku. Lagi-lagi tak ada jawaban, Zeen memilih menuruti apa yang aku katakan. "Abang kenapa diam?""Apa yang kamu bilang tadi itu tidak benar!""Gak benar apanya, pasti Nana kan yang godain Abang. Perempuan itu memang murahan, haus belaian sampai selingkuh di belakang suaminya."Tiba-tiba dadaku bergemuruh hebat. Bisa-bisanya Mas Reza menuduhku yang bukan-bukan. Aku tidak pernah menggoda siapa pun, sekalipun Kakaknya, Zeen. "Tutup mulutmu, kalau kau ada di sini. Sudah Abang robek mulutmu!""Benar kan dugaanku, Abang dan Nana ada main serong!""Kau ini tahu apa? Memangnya kamu punya bukti apa?" gertak Zeen, nada bicaranya melengking tinggi. "Kalau tidak punya bukti jangan menuduh orang. Hatimu busuk Reza, dan mungkin otakmu juga ikutan busuk!""Siapa yang hatinya busuk! Nana saja yang jadi istri tidak becus!""Cobalah koreksi diri