Part 2 (Dukungan Mertua)
Buru-buru aku menutup pintu rumah, tidak lupa menguncinya. Kemudian berjalan cepat menuju mobilku. Saat hendak membuka pintu mobil. Aku dikejutkan dengan suara orang yang memanggil namaku. Refleks, aku pun menoleh. "Nana ..." Kudapati mertuaku berdiri di depan gerbang. Wanita paruh baya itu segera berjalan menghampiriku. "Mama.""Kamu mau ke mana?" tanya Mama selidik."Aku ada urusan Ma, ini penting banget.""Yah, padahal hari ini Mama mau ngajak kamu belanja. Mama kesepian. Tapi ngomong-ngomong urusan apa, Na?" tanya Mama lagi. "Penting banget ini Ma, nanti ya kita bicara lagi. Aku buru-buru banget." Aku mendudukkan pantatku di jok kemudi. Tampak Mama Mas Reza masih berusaha menahanku. "Kamu kenapa sih, Na? Kok kayaknya kesal banget. Gak suka ya Mama datang ke sini.""Bukan begitu Ma. Ini aku mau ke rumah Salma. Udah ya, keburu Salma gak ada di rumah."Mama mendengkus. "Salma sahabatmu itu?""Iya Ma.""Memangnya kamu mau ngapain ke sana?""Ceritanya panjang. Aku gak bisa ceritain sekarang.""Kalau begitu Mama ikut." Mulutku sedikit terbuka. Belum sempat aku membalas ucapan Mama. Mertuaku itu lebih dulu masuk mobil."Ayo Na.""Iya ya, Ma." Aku menganggukkan kepala, lalu menyalakan mesin mobil. Tak banyak yang bisa perbuat selain membiarkan Mama ikut. Tak ingin membuang waktu, lekas aku membawa kendaraan roda empat ini meninggalkan halaman rumahku. ****Selama perjalanan menuju rumah Salma, aku memberanikan diri menceritakan masalahku pada Mama. Tentang kecurigaanku pada putranya, dan kebohongan yang anaknya ciptakan. Berbagai pikiran buruk pun turut mengisi benak ini. Mertuaku itu tampak sekali syok mendengar curhatan memilukan menantunya."Menurut Mama aku harus bagaimana? Aku gak ngada-ngada cerita, itu bukti bisa Mama lihat." Aku berujar setelah memberikan ponsel Mas Reza pada Mama. Menyuruh Mama sendiri membaca deretan pesan yang Salma kirim. "Mama bilang apa, Salma itu bukan teman yang baik! Ini mereka jelas ada main di belakangmu."Deg! Serasa jantung ini seperti di tikam. Badai tengah menghantam rumah tanggaku. Mas Reza yang selama ini selalu romantis padaku ternyata pandai mengukir luka. Aku telah ditipu oleh tampang polos suamiku."Jadi benar dugaanku, mereka ada main, Ma!" Sekilas aku melirik Mama, kemudian fokus menyetir. Mertuaku itu membungkam mulutnya sambil menggelengkan kepala. Pelupuk matanya berembun. "Ya Tuhan Nana, Mama kok jadi gemas sendiri sama kamu. Suamimu itu selingkuh sama Salma, sahabatmu itu. Dan mereka sekarang lagi pergi bulan madu. Itu yang Mama tangkap dari pesan ini." Aku terhenyak, kedua netra ini membulat sempurna. Kucoba mengelak, tapi kenyataannya ini lah yang terjadi. "Keterlaluan mereka Ma, aku tidak terima! Beraninya Mas Reza mengkhianatiku! Beraninya mereka bermain api dibelakangku!" Mataku memanas. Emosi yang sempat surut kini meletup-letup. Salma, aku mengenalnya sejak kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Tidak menyangka ia menusukku dari belakang. Pantas sudah beberapa kali Salma menanyakan hal apa saja yang suamiku sukai. Dan, bodohnya aku tidak menaruh curiga padanya. "Na, jangan ngebut-ngebut.""Aku kesal Ma, aku tidak menyangka mereka mengkhianatiku seperti ini. Rasanya sakit, Ma. Salma sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri," tuturku."Mama ngerti, tapi sekarang kita lagi ada di jalan!"Aku tidak menjawab penuturan Mama. Melainkan menurunkan kecepatan. Ingatanku tertuju pada obrolanku dengan Mas Reza tadi pagi. Ia mengatakan akan pergi keluar kota selama tiga hari. Brengsek, ternyata itu hanya kedok semata. Padahal dia sedang merencanakan pergi berbulan madu sekarang. Parahnya ia selingkuh dengan sahabatku sendiri. Ya Tuhan, sakit sampai terasa ketulangnya ini. "Mama ada di samping kamu, meski Reza anak Mama. Mama akan dukung kamu," sambung Mama. "Makasih ya Ma.""Sama-sama sayang, tenangkan dirimu. Kita hadapi masalah ini dengan kepala dingin. Lagi pula Mama tidak Sudi memiliki menantu seperti Salma! Mama tidak suka, dia arogan dan sombong!"Membuang napas kasar, aku memaksa tersenyum. Tampak Mama memasukan kembali ponsel Mas Reza ke dalam tasku. "Kamu harus kuat, jangan lemah. Mama screenshot chatnya sebagai bukti, dan Mama kirim ke W* Mama.""Iya Ma, apa pun yang kulakukan nanti. Kuharap Mama tidak membenciku.""Jadi ponselmu tertukar dengan ponsel Reza?""Iya, Ma. Tadi Pagi Mas Reza berangkat ke kantor tergesa-gesa," jelasku. Mama tersenyum, yang kutahu itu senyuman luka. Setelahnya tidak ada lagi percakapan. Mama menatap dari balik jendela. Sedangkan aku sibuk dengan pikiranku yang berantakan. ****Tiga puluh menit berlalu. Aku dan Mama tiba di rumah Salma. Kami keluar dari mobil, berjalan cepat menuju rumah Salma. "Salma keluar kamu, kembalikan anakku! Dasar murahan! Suami sahabat sendiri kamu embat!" Mama mengendor pintu rumah Salma. Aku mengedarkan pandangan. Sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam rumah ini. Tapi mobil Mas Reza ada di sini. "Sepertinya Salma tidak ada di rumah, Ma! Apa mungkin mereka sudah berangkat ke bandara.""Awas saja nanti, kalau Mama ketemu sama Reza. Mama habisi itu anak! Sekalian sama jalangnya!" kesal Mama. Aku mengusap wajah kasar, sialan, aku kehilangan jejak. Kira-kira Mas Reza dan Salma pergi bulan madu ke mana?"Mereka pergi ke mana ya, Na?" celetuk Mama."Aku tidak tahu Ma, di ponsel Mas Reza tidak ada percakapan mereka akan pergi ke mana," jelasku. Dengan susah payah aku menelan ludah. Lalu menatap Mama.Sebelas alis Mama terangkat, ia mengangkat wajahnya. "Ayo Mama ikut aku,""Mau kemana?""Kita ke kantor Mas Reza, Ma. Siapa tahu sekretaris Mas Reza itu tau keberadaan dia sekarang.""Iya kamu benar, kita kuliti itu sekretarisnya. Bagaimanapun caranya kita labrak Reza!"Aku dan Mama berjalan memasuki mobil, lalu melajukan mobilku menuju jalan raya. Aku tidak akan menyerah, aku akan berusaha menemukan keberadaan kalian!Part 3 (Informasi Dari Sonya)Sesampainya di kantor Mas Reza, aku dan Mama langsung menemui sekretarisnya. Perempuan bernama Sonya itu tampak gugup. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menatapku takut."Ada perlu apa Ibu memanggil saya?" tanya Sonya gelisah. Aku berdecak kesal, berharap dia tidak membungkam mulutnya. Dan mengatakan yang sebenarnya. "Di mana suami saya?""Ibu tanya Pak Reza?""Iya. Suami Nana siapa lagi kalau bukan anak saya, Reza." Mertuaku menyahut, Sonya meneguk ludahnya kasar. "Kenapa diam? Ayo jawab! Kamu pasti tahu kan anak saya ada di mana sekarang?" Dengan mata menyala Mama bertanya. Aku beruntung memiliki mertua yang kini berada di pihakku dan ikut membantuku. "Emm—""Jangan am-em, am-em. Buruan jawab!""Maaf Bu, Pak Reza tidak ada di kantor.""Tadi pagi dia pamit ke kantor, katanya ada meeting.""Hari ini tidak ada meeting Bu, Pak Reza menyuruh saya untuk membatalkan semua agenda hari ini," jelas Sonya, ia mencengkram ujung kemejanya. "Keterlaluan, aku di
Part 4 (Mereka Ada di Bali)"Tunggu dulu." Pria itu berucap. Ia mencoba menghalau Mama yang hendak masuk ke dalam ruangan Zeen, anaknya. "Saya mau ketemu Zeen, dia pasti ada di dalam!" Masih dengan napas memburu Mama mertuaku menjawab. Rona padam masih terpancar di wajahnya. Kilatan amarah itu terlihat jelas di sana. "Mohon maaf, Bu. Pak Zeen sedang rapat. Beliau tidak ada di ruangannya sekarang.""Lalu di mana ruang rapatnya?" Mama berkacak pinggang. Ia menoleh sambil tersenyum tipis padaku. "Zeen itu anaknya keras kepala, dia tidak ada perduli pada siapa pun. Biar Mama yang memintanya," ucap Mama yang menyerupai bisikan. Aku menganggukkan kepala. Mengikuti apa yang Mama mertuaku katakan. Kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan."Cepat katakan? Ruangannya ada di sebelah mana?" Mama mengulang pertanyaan membuat pria itu terlonjak. "Mohon maaf, Bu. Rapat sedang berlangsung sekarang, Ibu bisa menunggu Pak Zeen di ruangan beliau," jawab pria itu sopan. Mama mendengus, mat
Part 5 (Lempar Telur!)Setibanya aku di rumah. Aku langsung menggeledah lemari tempat di mana Mas Reza menyimpan aset berharga. Tanpa pikir panjang lagi aku lekas mengambil berkas-berkas penting. Tidak sampai di situ, brankas yang sempat mencuri perhatianku pun tak luput kubuka, mataku berbinar kala menemukan uang yang jumlahnya tidak lah sedikit. Hati boleh sakit Nana, tapi otakmu itu harus tetap waras. Itulah yang Mama mertuaku katakan.Tak ingin membuang waktu, aku lantas mengambil uang tersebut. Kumasukkan semua uang itu ke dalam tas kecil milikku. Aku tidak akan ikhlas kalau Salma yang menghabiskan uang-uang tersebut. Lebih baik kusimpan sebagai tabungan untuk masa depanku. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. "Sertifikat rumah ini udah. Perhiasan juga udah. Uang udah. Ini saatnya aku susul Mas Reza dan Salma ke Bali!" Kututup pintu lemari, lalu menguncinya. Kemudian berjalan meninggalkan ruang kerja Mas Reza sambil menjinjing tas. Berulang kali aku menghel
Part 6 (Jual Beli Bacotan)Musik tiba-tiba saja berhenti, lagu yang tadi mengalun merdu di telingaku kini tak lagi terdengar. Para tamu undangan saling menatap sambil berbisik-bisik. Mungkin mereka terkejut, mendapati seorang wanita yang datang dan langsung membuat kekacauan di pesta semeriah dan semegah ini."Nana," ucap Mas Reza, ia menelan ludah kasar. Pupil matanya masih membesar. Tangan yang tadi melingkar di perut Salma kini terlepas. Senyum merekah yang terukir di bibirnya telah di ganti dengan raut keterjutan. "Apa, Mas? Mau ngomong apa kamu, hah? Mau bilang ini semua tidak benar Nana? Ini sandiwara, begitu, hah! Kamu pikir aku ini, bodoh! Dasar munafik! Dan kamu Salma! Kamu tega hianati persahabatan kita. Apa kurangnya aku selama ini? Sampai hati kamu tikung sahabatmu sendiri! Otakmu itu kamu taruh di mana!" ujarku seraya menunjuk-nunjuk wajah Salma. Dadaku naik turun seiring amarah yang menggebu-gebu. Kulempar telur busuk ke arah Salma saking geramnya aku melihatnya. Jijik.
Part 7 (Kacau Sudah)"Tutup mulutmu Reni! Lebih baik kamu ajari itu menantumu sopan santun. Haknya Reza mau nikah lagi atau tidak. Kamu lebih baik diam saja. Ibu macam apa kamu ini yang lebih membela anak mantu. Ketimbang anakmu sendiri!" hardik Tante Rona. Mama yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima. "Apa kataku? tidak salah dengar aku ini, hah. Ajari itu anakmu biar tahu malu, sini kembalikan uangku. Penipu, kulaporkan polisi mampus kau Rona!" murka Mama. Seketika raut wajah Tante Rona berubah. Wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya tak percaya. Mama menyeringai tipis. "Kenapa diam? Takut kau, hah! Seenaknya kau hina menantuku! Lihat Nana, dia jauh lebih berkelas ketimbang anakmu yang murahan itu!" tuding Mama berapi-api, gemuruh dalam dadanya membuncah hebat. Hanya ada emosi yang merasuki dirinya. "Ma, menantumu bukan hanya Nana, aku juga. Aku ini sekarang istrinya Mas Reza. Mama harus tahu itu." Salma menyahut membuat Mama langsung menatap perempuan itu tajam. "Men
Part 8****"Salma, tolongin Ibu! Ibu gak mau masuk penjara, Salma!" teriak Tante Rona. Wajah Salma berubah bias. Ia seketika panik mendapati tangan Ibunya telah dibrogol polisi. "Ibu ..." panggil Salma, perempuan itu mengangkat gaunnya, ia lari berbirit-birit menghampiri ibunya. Tidak perduli kotoran telur itu berceceran di lantai, atau suara cibiran orang yang mengatakannya bau dan meneriakinya pelakor. "Lepaskan Ibuku, jangan coba-coba kalian bawa ibuku ke kantor polisi! Ibuku tidak bersalah," hardik Salma, ia menatap garang polisi yang membawa paksa Tante Rona. Sudah tahu salah, ngeles terus. Tidak anak, tidak Ibu, mereka berdua sama saja. Tampang mereka yang jahat itu selama ini tertutup dengan rapi. Tapi kali ini, tidak lagi. Tuhan telah membuka kedok mereka yang busuk itu. "Hee, Salma! Menyingkir lah kau, jangan ikut campur! Ibumu itu seorang penipu, dia sudah membawa kabur uang arisan 1, 5 miliyar, dan dia membawa kabur tas branded ku yang harganya tidak murah!"Mataku mem
Part 8 (Kegaduhan II) *** "Sudahi dramamu, seret aja kalau gak mau." Tak lama. Tante Rona akhirnya di bawa polisi, Salma menangis melihat punggung Ibunya yang mulai jauh. Tamu undangan memberikan sorakan. Nampak Mas Reza mengusap wajahnya kasar. "Lihat Nana, ini semua akibat ulahmu. Ibuku tidak bersalah malah harus jadi korban kebusukkanmu!" "Huh, ngaca, dikit-dikit nyalahin Bu Nana. Coba aja introspeksi dirimu! Ibumu itu salah, penipu memang pantas di penjara. Udah merugikan banyak orang!" Salma terdiam, terdengar suara Mas Reza. Pria itu berbicara melalui Microphone. "Mohon maaf atas kejadian yang tidak mengenakan ini. Kalian bisa meninggalkan tempat ini." "Terima kasih karena berkenan hadir di acara repsepsi pernikahan saya," tuturnya. Aku melirik Zeen, ia membalas lirikan ku. "Apa pun yang terjadi, Mama menitipkanku padamu." "C'k, dasar menyusahkan," cibir Zeen. Aku berjalan ke arah Mas Reza. Kilatan amarah terpancar di matanya. "Nana!" bentak Mas Reza. Rasa ta
Part 9 (Si Mulut Pedas)"Banana, tunggu aku di mobil," ucap Zeen merapikan kemejanya. Aku memicingkan mata. "Namaku Nana Zeen, berhenti memanggilku Banana." Aku berdecak kesal, Zeen mulai memancing emosiku. Aku masih kesal dengan adiknya. Dan kini ia mengaduk-aduk amarahku yang mulai surut. "Mau Banana, mau Nana, sama saja, kau tetap tol*l dan b*doh!"Aku berhenti, lalu memutar badan. Apa katanya tadi? Apa aku tak salah dengar? Ia menyebutku t*lol dan b*doh?"Zeen jangan membuatku marah, aku tidak akan segan-segan mencekik lehermu!" Aku mendelikkan mata, Zeen mengedikan bahunya. "Aku bicara kenyataan, Nana! Ini fakta, tanpa Mama kau tidak akan bisa menang!""Kau lihat tadi, adikmu kutampar 2 kali, kupukul dengan tasku. Kulempar mereka dengan telur, apa kau mau kulempar dengan telur busuk juga?" Aku menyilang kedua tanganku. Tampak dahi Zeen mengerut heran."Kau terlalu bar-baran Nana, dan lihat ini. Akulah yang susah!""Aku tidak memintamu mengurus kekacauan yang kubuat. Aku akan m
Part 64 (Sempurnanya Bahagiamu) ****Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Nana sudah memasuki sembilan bulan. Kata Dokter, seminggu lagi perempuan itu diperkirakan akan melahirkan. Segala keperluan sudah Zeen persiapkan, Zeen juga meminta pada Mamanya untuk menemani Nana saat ia tak ada di rumah. Wanita paruh baya itu sudah sejak semalam tinggal di sana. Sementara sang suami, sesekali datang berkunjung di sela kesibukannya bekerja, dan menemani sang putra yang masih berada di rumah sakit. Reza masih berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. "Ya ampun, Na. Mau ke mana?" Mama Reni tampak terkejut saat mendapati sang menantu berjalan tertatih keluar dari kamar. Buru-buru ia menghampiri Nana, dan memapah menantunya agar tak jatuh. "Mama lagi apa?" tanya Nana. Mereka berdua berjalan menuju sofa yang ada di ruang tengah. Mama Reni membawa Nana ke sana."Mama lagi bersih-bersih terus lihat kamu, kamu kenapa keluar dari kamar sayang?" Dengan penuh kelembu
Part 63 (Gendutan Yak?)****"Iya, yang itu—ah tidak, jangan yang itu. Yang sampingnya Mang. Sudahlah Mang, lebih baik Mang Kasep turun, biarkan saya sendiri yang manjat." Zeen berujar pada Mang Kasep yang kini berada di atas pohon. Nana yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Dirinya yang hamil, justru sang suami yang mengidam, morning sickness dan segala macamnya. Sejak kedatangan Ibunya ke rumahnya beberapa hari yang lalu, Nana mulai kembali pada aktivitasnya. Beban yang bersarang pada pundaknya perlahan berangsur hilang. Ia mulai menikmati hidupnya. Toh sekarang hidupnya sudah lengkap dengan keberadaan Zeen dan tentunya dengan kehadiran sang buah hati yang masih mereka nantikan."Tapi Tuan," keluh Mang Kasep. Lelaki itu menunduk, menatap Tuannya."Saya bilang turun, Mang. Biarkan saya sendiri yang ambil." Sambil mendengkus Zeen menjawab perkataan Mang Kasep. Tanpa menunggu perintah dua kali, Mang Kasep segera turun. "Biarkan Mang, Ibu hamil satu ini memang aktif," c
Part 62 (Damai)****Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berhembus pelan memasuki ruangan bernuansa putih itu. Reza merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Ia merapatkan selimut, mengigit ujung bibir menahan nyeri dalam hati. Entah perasaan apa ini? Hanya rasa sesak yang menguasai hatinya. Ia telah terbelenggu oleh rasa bersalah yang ternyata semakin hari, semakin menjadi-jadi. Rasa yang tak mungkin bisa lagi ia ulang. Untuk ikhlas pun rasanya berat. Huft. Tarikan napas berat Reza ambil."Reza ..."Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu segera menyudahi lamunan, ditatap kembali wajah sendu Mamanya dari balik layar ponselnya. Dirinya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ia telah membuang berlian, dan menukarnya dengan bongkahan batu. Dan parahnya, berlian yang ia buang itu telah dipungut oleh orang yang tepat. "Kamu kenapa? Are you okey?""Nana hamil Ma?" tanya Reza. Ia mati-matian menahan gelombang yang menghimpi
Part 61 (Baby Twins?)****"Nana, bagaimana kabarmu? Kamu nyaman kan tinggal bersama Zeen? Apa Zeen memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Reni melalui sambungan telepon. Wanita itu sungguh merindukan menantunya. Setelah Zeen memboyong Nana pergi rumahnya tampak sepi. "Kabarku baik Ma, hanya saja ada sedikit masalah. Zeen memperlakukanku dengan baik. Bagaimana kabar Mama?" jawab Nana pelan. Ia berlari berbirit-birit ke kamar mandi saat mendengar suara rintihan. Dengan kasar Nana membuka pintu, dan langsung menemukan Zeen yang membungkuk di wastafel."C'k, menyusahkan. Sudah berapa kali kukatakan, kau ini butuh ke Dokter. Jangan nakal bisa tidak, seharian ini kau terus saja memuntahkan isi perutku, membuatku repot mengurusmu," cerocos Nana. Ia menaruh benda pipih itu di dekat telinga dan menghimpitnya dengan pundak. Lalu dengan sedikit kasar ia mulai memijat tengkuk Zeen. Nana benar-benar dibuat geram. Pasalnya seharian ini Zeen terus saja muntah-muntah. Bahkan pria itu berkali-kal
Part 60 (Ck, Rujak?) **** Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela. Cahaya keemasan itu tak terasa menerpa wajah Nana, seketika ia menggeliat. Ia meraba sisi kanan yang ternyata sudah kosong. Di mana Zeen? tanya Nana dalam hati. Nana melenguh pelan, ia mulai membuka mata, dan mengedarkan pandangannya pada kamar bernuansa hitam ini. Ia mencari keberadaan suaminya. Membuat benaknya bertanya-tanya. Tidak biasanya Zeen pergi kerja tanpa pamitan padanya. Terlebih ia meninggal Nana yang masih ingin bermanja-manja dengannya. "Zeen," panggil Nana setengah berteriak. Ia masih bergulat dalam selimut. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan malas Nana bangun, ia bersandar pada kepala ranjang sambil mengucek matanya. Semalam setelah pulang dari rumah sakit, mereka berdua menghabiskan malam panjang dan panas. "Zeen ..." Lagi-lagi Nana memanggil nama suaminya. Nihil, tak terdengar sahutan. Hanya keheningan yang perempuan itu rasakan. Kamarnya sunyi, sepertiny
Part 59 (Talak & Pencerahan)****"Pergi kamu dari sini!" pekik Abraham marah. Setelah semuanya beres, ia segera menurunkan koper Ira, dan membawanya keluar. Membuat wanita itu seketika panik.12 tahun bersama, ini kali pertamanya lelaki itu bersikap seperti ini padanya. Abraham tidak pernah marah sampai sebesar ini, dan mengusirnya begitu saja. Seperti yang terjadi sore ini. Hal itu tentu membuatnya kelimpungan. Dan tak tahu harus berbuat apa demi meredam emosi suaminya. "Kamu dengarkan aku dulu, Mas!" Ira berucap seraya menyusul suaminya, berulang kali ia mencoba menyentuh lengan Abraham. Namun, dengan cepat lelaki berambut hitam itu menepisnya. Amarah telah menguasai dirinya. Tak ada kata penjelasan, bagi lelaki itu semuanya sudah jelas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas! Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!""Itu sudah lama!" sanggah Ira. Abraham mengayun langkah cepat menuruni tangga. Ia melempar koper itu setibanya di teras rumah. "Pergi!""Mas, aku
Part 58 (Enyah Kau Dari Hadapanku!)****Pov Author"Keterlaluan kamu Ira! Aku tak habis pikir denganmu. Apa yang kamu lakukan ini membuatku kecewa!" tutur Abraham, ia marah pada istrinya. Pria berambut hitam itu membanting pintu mobilnya kasar. Lalu berderap memasuki rumah. Tampak gurat kekecewaan menghiasi wajahnya. "Aku bisa jelaskan!""Mas, dengarkan aku dulu! Aku punya alasan. Kamu tidak bisa dong bersikap seperti ini. Dan menyimpulkannya langsung!""Mas Ham!" panggil Ira, wanita itu terus berucap sampai suaminya mau berhenti, dan mendengarkannya."Apa yang ingin kamu jelaskan! 12 tahun, 12 tahun Ira kamu membohongiku. Ibu macam apa kamu ini! Aku benar-benar tak habis pikir, kamu tega membuang anakmu sendiri! Apa yang kamu pikirkan saat itu, hah!" lanjut Abraham. Dadanya bergemuruh hebat, sesampainya di rumah mereka justru bertengkar hebat. Ira Pratiwi, wanita yang sudah 12 tahun ini mendampinginya. Begitu tega Ira membodohinya. Teringat tatapan perempuan itu, membuat Abraham m
Part 57 (Keterlaluan Kamu Ira!)****"Mas Ham ...." Dengan cepat Bu Ira menghampiri suaminya, setiap gerak-geriknya tak luput dari perhatianku. Ia belum menyadari keberadaanku. Tak ada penyesalan di matanya. Setelah bertahun-tahun ia menelantarkan Nana, tidak ada sedikitpun rasa bersalah itu tampak. Ya Tuhan, manusia seperti apa Bu Ira ini? Darah dagingnya sendiri seperti tak berarti.Kulihat Pak Abraham mematung, lelaki berperawakan tinggi serta berperut buncit itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Kalian pernah mendengar peribahasa seperti ini, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ini kesempatan bagus bagiku untuk membongkar kebusukan Bu Ira. Pasti Pak Abraham akan kecewa dan menyayangkan sikap Bu Ira yang semena-mena pada putrinya. Terlebih dengan kejamnya, Bu Ira mengatakan Nana yang masih hidup itu mati. "Mas, kok kamu berdiri di situ bukannya nyamperin aku?" tanya Bu Ira. Pak Abraham melirikku. Bertanya, atau menelan berita mentah-mentah itu pili
Part 56 (Istrimu Itu?)****Pov ZeenBaru semalam Nana dipeluk Ayahnya, dan kini tubuh itu telah menyatu dengan tanah. Kenapa secepat ini? Bahkan di saat istriku baru saja merasakan kasih sayang Ayahnya. Bulir-bulir bening terus mengalir dari pelupuk mata Nana. Tak bisa kujelaskan bagaimana hancurnya ia sekarang. Nana selalu berharap dapat mengabiskan waktu bersama dengan Ayahnya. Mengabadikannya menjadi momen indah. Memang Tuhan mengabulkannya, tapi sayang hanya beberapa menit. Setelah itu Nana benar-benar kehilangan. Sosok yang harusnya jadi panutan, yang bisa menjaganya, melindunginya, menyayanginya tanpa jeda, ternyata menjadi orang yang paling kejam dalam memberinya derita. Ketika Idro menyadari perbuatannya, Tuhan langsung mengambilnya. Padahal Idro belum merasakan seujung kuku penderitaan Nana. Tapi mau bagaimana lagi, takdir tidak ada yang tahu. Kematian itu pasti, masa depan kita ya berpulang pada Tuhan. "Ayah, Ma, Ayahku pergi, Ma. Aku baru memeluknya sebentar tadi malam,