Part 3 (Informasi Dari Sonya)
Sesampainya di kantor Mas Reza, aku dan Mama langsung menemui sekretarisnya. Perempuan bernama Sonya itu tampak gugup. Ia menggigit bibir bawahnya sambil menatapku takut."Ada perlu apa Ibu memanggil saya?" tanya Sonya gelisah. Aku berdecak kesal, berharap dia tidak membungkam mulutnya. Dan mengatakan yang sebenarnya. "Di mana suami saya?""Ibu tanya Pak Reza?""Iya. Suami Nana siapa lagi kalau bukan anak saya, Reza." Mertuaku menyahut, Sonya meneguk ludahnya kasar. "Kenapa diam? Ayo jawab! Kamu pasti tahu kan anak saya ada di mana sekarang?" Dengan mata menyala Mama bertanya. Aku beruntung memiliki mertua yang kini berada di pihakku dan ikut membantuku. "Emm—""Jangan am-em, am-em. Buruan jawab!""Maaf Bu, Pak Reza tidak ada di kantor.""Tadi pagi dia pamit ke kantor, katanya ada meeting.""Hari ini tidak ada meeting Bu, Pak Reza menyuruh saya untuk membatalkan semua agenda hari ini," jelas Sonya, ia mencengkram ujung kemejanya. "Keterlaluan, aku dibohongi habis-habisan!""Kamu tahu keberadaan suami saya?"Sonya menggelengkan kepala, aku mendengus kasar. Urat-urat leherku menegang. Rasa kesalku pada Mas Reza makin menjadi-jadi. "Bagaimana ini Ma,""Sonya jawab jujur! Jangan coba-coba bohongi kami! Sekali lagi saya bertanya. Di mana anak saya?" Mama menatap lekat Sonya. Perempuan itu menunduk, lalu menggeleng pelan. "Kamu tidak bohong? Berani kamu bersumpah!""Iya Bu, saya tidak berbohong. Saya tidak tahu di mana Pak Reza sekarang. Beliau tidak mengatakan apa-apa selain menitip pesan kalau selama tiga hari ke depan beliau tidak mau diganggu."Menghela napas, kepalaku terasa berdenyut-denyut. Apa aku menunggu saja kepulangan mereka dari honeymoon. Tapi itu lama. Tiga hari loh. Dan selama itu pikiranku terus dihantui hal buruk. Secara tak langsung aku merusak mentalku sendiri dengan pikiran kotor ini.Ah, sial!"Coba kamu telepon, Na.""Gimana aku mau telepon, ponsel kita kan tertukar Ma. Kalau aku hubungi, bisa aja Mas Reza curiga." Aku benar-benar bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang. "Kamu periksa ponsel Reza, siapa tahu itu jalang bikin status," usul Mama. Sonya menyimak interaksi kami, Mama memintanya untuk tutup mulut dan tidak mengatakan apa pun pada orang lain atau Mas Reza. "Sebentar Ma."Aku merogoh ponsel dalam tas, mengeluarkan benda pipih milik Mas Reza. Segera kunyalakan, dan meluncur langsung ke aplikasi berwarna hijau. Tidak ada. Salma tidak membuat status. Dan apa ini? Foto profil wanya di hapus, ah, apa jangan-jangan dia memblokir nomor Mas Reza karena tahu ponsel kami tertukar. Tak menyerah, aku pun keluar dari aplikasi hijau. Dan berpindah ke i*******m, dan nihil. Sonya belum menambahkan status. "Ada.""Tidak Ma.""Duh, Mama jadi gemas sendiri. Itu anak keterlaluan!""Sonya, saya mohon. Tolong beritahu di mana keberadaan suami saya sekarang?"Aku menyentuh bahu Sonya, menatapnya memelas. "Saya tidak tahu Bu, kalau saya tahu. Pasti saya kasih tahu Ibu," jawabnya. Menarik napas, aku membuangnya perlahan. Jangan menyerah Nana, pasti ada jalan lain. "Kira-kira ada hal yang mencurigakan dari suami saya?" Aku mencoba mengorek informasi dari Sonya. Perempuan berambut panjang itu memalingkan muka. Sonya terlihat ketakutan, keringat turun di keningnya. "Kamu tidak perlu takut, saya tidak akan berbuat jahat padamu. Tolong saya Sonya, saya butuh penjelasan dari kamu."Cukup lama Sonya diam, Mama melirikku, menyenggol bahu ini, lalu kembali bersedekap dada."Mama minta maaf, Mama gagal mendidik Reza.""Please, ini bukan salah Mama, kalau Mas Reza orang yang setia. Dia pasti tidak akan mendua, tapi kenyataannya. Mama tahu sendiri." "Sudah seminggu ini, Bu Salma datang ke kantor." Aku mengatur napas, menyiapkan diri dengan segala hal yang mungkin menyesakkan dada ini. "Kenapa kamu tidak pernah bilang pada saya.""Bapak mengancam saya, Bu. Dia akan membunuh saya jika saya mengadu pada Ibu.""Brengsek itu anak, kita harus temukan Reza, Nana. Mama tidak terima."Penjelasan dari Sonya membuat dadaku bergemuruh hebat. Kaki ini lemas seketika.Reza Artanasa, pria yang mengaku menjadi suamiku itu telah menanam luka tak berdarah pada hati ini. "Apa yang mereka lakukan!""Saya tidak tahu Bu, yang jelas saat saya melewati ruangan Pak Reza. Saya selalu mendengar suara desahan setiap kali Bu Salma datang berkunjung!" Sonya menghela napas, ia kembali menunduk setelah menatapku beberapa detik."Ya Tuhan Reza, di kasih berlian malah pungut sampah. Itu otak ditaruh di mana!" sungut Mama. "Terima kasih atas informasinya, kamu tidak perlu khawatir. Saya tidak akan melibatkan kamu.""Sama-sama Bu. Oya Bu, kemarin siang saya sempat dengar. Pak Reza mengobrol dengan seseorang, dia bilang ingin mengadakan pesta resepsi yang meriah." Aku dan Mama saling menatap. Pesta resepsi yang meriah? Apa mereka berencana menikah? Tapi kenapa Salma mengirim pesan dan mengatakan ingin berbulan madu. Apa mungkin mereka resepsi sekalian honeymoon? Mereka pergi keluar kota karena di kota ini hubungan mereka bisa ketahuan. "Terima kasih Sonya, kamu bisa kembali bekerja." Tubuhku lemas, Reza yang selalu menghujaniku dengan perhatian kini mendua. Entah di mana ia sekarang? Entah apa yang ia lakukan dengan sahabatku? Aku tidak sanggup membayangkannya."Baik, Bu." Setelah kepergian Sonya, Mama merangkulku. Aku masih linglung. Mendengar perkataan Sonya tadi hatiku terasa seperti teriris. Suara desahan? Apa mereka sering berhubungan badan? Aku berbagi peluh dengan sahabatku. Ah, sial, masih pantas kah aku menyebutnya sebagai seorang sahabat. Kebersamaan yang terjalin bertahun-tahun di antara kami nyatanya tidak menciptakan apa pun. Salma, perempuan itu telah menancapkan luka yang menganga di hati ini. "Yang kuat ya, Na.""Aku tidak tahu apa kurangnya aku? Kenapa tidak bilang agar aku bisa memperbaiki diri? Apa aku sudah tidak cantik lagi, Ma?"Mama menggeleng, sejenak kupejamkan mata, menetralkan perasaanku yang tak karuan. "Kamu cantik Na. Reza sedang dibutakan oleh cintanya. Ayo berjuang Na, kita harus temukan Reza dan Salma." Mama mertua memberiku semangat. Bagaimana aku bisa menemukan mereka? tahu keberadaan mereka di mana saja aku tidak tahu. "Caranya Ma.""Kita ke kantor Zeen, dulu Papa pernah minta Zeen untuk lacak orang. Dan berhasil, kita suruh Zeen lacak adiknya." Aku menatap Mama dari samping. Binar dimataku langsung terpancar. Zeen adalah kakak Mas Reza, yang kini menjadi iparku. "Mama yakin bakalan berhasil?!""Apa salahnya kalau kita coba, Na.""Ya sudah Ma, ayo kita ke kantor Zeen." Aku menarik lengan Mama, kami berjalan menuju lift. Demi Tuhan, jika aku berhasil menemukanmu, Mas. Aku akan memberimu pelajaran. Tak hanya dirimu, wanita bermuka dua itu pun harus merasakannya. Dia berhasil merebutmu dariku, tapi jangan lupakan fakta. Kalau aku masih hidup dan bisa kapan saja membalaskan rasa sakitku. Gumamku berapi-api.Part 4 (Mereka Ada di Bali)"Tunggu dulu." Pria itu berucap. Ia mencoba menghalau Mama yang hendak masuk ke dalam ruangan Zeen, anaknya. "Saya mau ketemu Zeen, dia pasti ada di dalam!" Masih dengan napas memburu Mama mertuaku menjawab. Rona padam masih terpancar di wajahnya. Kilatan amarah itu terlihat jelas di sana. "Mohon maaf, Bu. Pak Zeen sedang rapat. Beliau tidak ada di ruangannya sekarang.""Lalu di mana ruang rapatnya?" Mama berkacak pinggang. Ia menoleh sambil tersenyum tipis padaku. "Zeen itu anaknya keras kepala, dia tidak ada perduli pada siapa pun. Biar Mama yang memintanya," ucap Mama yang menyerupai bisikan. Aku menganggukkan kepala. Mengikuti apa yang Mama mertuaku katakan. Kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan."Cepat katakan? Ruangannya ada di sebelah mana?" Mama mengulang pertanyaan membuat pria itu terlonjak. "Mohon maaf, Bu. Rapat sedang berlangsung sekarang, Ibu bisa menunggu Pak Zeen di ruangan beliau," jawab pria itu sopan. Mama mendengus, mat
Part 5 (Lempar Telur!)Setibanya aku di rumah. Aku langsung menggeledah lemari tempat di mana Mas Reza menyimpan aset berharga. Tanpa pikir panjang lagi aku lekas mengambil berkas-berkas penting. Tidak sampai di situ, brankas yang sempat mencuri perhatianku pun tak luput kubuka, mataku berbinar kala menemukan uang yang jumlahnya tidak lah sedikit. Hati boleh sakit Nana, tapi otakmu itu harus tetap waras. Itulah yang Mama mertuaku katakan.Tak ingin membuang waktu, aku lantas mengambil uang tersebut. Kumasukkan semua uang itu ke dalam tas kecil milikku. Aku tidak akan ikhlas kalau Salma yang menghabiskan uang-uang tersebut. Lebih baik kusimpan sebagai tabungan untuk masa depanku. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. "Sertifikat rumah ini udah. Perhiasan juga udah. Uang udah. Ini saatnya aku susul Mas Reza dan Salma ke Bali!" Kututup pintu lemari, lalu menguncinya. Kemudian berjalan meninggalkan ruang kerja Mas Reza sambil menjinjing tas. Berulang kali aku menghel
Part 6 (Jual Beli Bacotan)Musik tiba-tiba saja berhenti, lagu yang tadi mengalun merdu di telingaku kini tak lagi terdengar. Para tamu undangan saling menatap sambil berbisik-bisik. Mungkin mereka terkejut, mendapati seorang wanita yang datang dan langsung membuat kekacauan di pesta semeriah dan semegah ini."Nana," ucap Mas Reza, ia menelan ludah kasar. Pupil matanya masih membesar. Tangan yang tadi melingkar di perut Salma kini terlepas. Senyum merekah yang terukir di bibirnya telah di ganti dengan raut keterjutan. "Apa, Mas? Mau ngomong apa kamu, hah? Mau bilang ini semua tidak benar Nana? Ini sandiwara, begitu, hah! Kamu pikir aku ini, bodoh! Dasar munafik! Dan kamu Salma! Kamu tega hianati persahabatan kita. Apa kurangnya aku selama ini? Sampai hati kamu tikung sahabatmu sendiri! Otakmu itu kamu taruh di mana!" ujarku seraya menunjuk-nunjuk wajah Salma. Dadaku naik turun seiring amarah yang menggebu-gebu. Kulempar telur busuk ke arah Salma saking geramnya aku melihatnya. Jijik.
Part 7 (Kacau Sudah)"Tutup mulutmu Reni! Lebih baik kamu ajari itu menantumu sopan santun. Haknya Reza mau nikah lagi atau tidak. Kamu lebih baik diam saja. Ibu macam apa kamu ini yang lebih membela anak mantu. Ketimbang anakmu sendiri!" hardik Tante Rona. Mama yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima. "Apa kataku? tidak salah dengar aku ini, hah. Ajari itu anakmu biar tahu malu, sini kembalikan uangku. Penipu, kulaporkan polisi mampus kau Rona!" murka Mama. Seketika raut wajah Tante Rona berubah. Wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya tak percaya. Mama menyeringai tipis. "Kenapa diam? Takut kau, hah! Seenaknya kau hina menantuku! Lihat Nana, dia jauh lebih berkelas ketimbang anakmu yang murahan itu!" tuding Mama berapi-api, gemuruh dalam dadanya membuncah hebat. Hanya ada emosi yang merasuki dirinya. "Ma, menantumu bukan hanya Nana, aku juga. Aku ini sekarang istrinya Mas Reza. Mama harus tahu itu." Salma menyahut membuat Mama langsung menatap perempuan itu tajam. "Men
Part 8****"Salma, tolongin Ibu! Ibu gak mau masuk penjara, Salma!" teriak Tante Rona. Wajah Salma berubah bias. Ia seketika panik mendapati tangan Ibunya telah dibrogol polisi. "Ibu ..." panggil Salma, perempuan itu mengangkat gaunnya, ia lari berbirit-birit menghampiri ibunya. Tidak perduli kotoran telur itu berceceran di lantai, atau suara cibiran orang yang mengatakannya bau dan meneriakinya pelakor. "Lepaskan Ibuku, jangan coba-coba kalian bawa ibuku ke kantor polisi! Ibuku tidak bersalah," hardik Salma, ia menatap garang polisi yang membawa paksa Tante Rona. Sudah tahu salah, ngeles terus. Tidak anak, tidak Ibu, mereka berdua sama saja. Tampang mereka yang jahat itu selama ini tertutup dengan rapi. Tapi kali ini, tidak lagi. Tuhan telah membuka kedok mereka yang busuk itu. "Hee, Salma! Menyingkir lah kau, jangan ikut campur! Ibumu itu seorang penipu, dia sudah membawa kabur uang arisan 1, 5 miliyar, dan dia membawa kabur tas branded ku yang harganya tidak murah!"Mataku mem
Part 8 (Kegaduhan II) *** "Sudahi dramamu, seret aja kalau gak mau." Tak lama. Tante Rona akhirnya di bawa polisi, Salma menangis melihat punggung Ibunya yang mulai jauh. Tamu undangan memberikan sorakan. Nampak Mas Reza mengusap wajahnya kasar. "Lihat Nana, ini semua akibat ulahmu. Ibuku tidak bersalah malah harus jadi korban kebusukkanmu!" "Huh, ngaca, dikit-dikit nyalahin Bu Nana. Coba aja introspeksi dirimu! Ibumu itu salah, penipu memang pantas di penjara. Udah merugikan banyak orang!" Salma terdiam, terdengar suara Mas Reza. Pria itu berbicara melalui Microphone. "Mohon maaf atas kejadian yang tidak mengenakan ini. Kalian bisa meninggalkan tempat ini." "Terima kasih karena berkenan hadir di acara repsepsi pernikahan saya," tuturnya. Aku melirik Zeen, ia membalas lirikan ku. "Apa pun yang terjadi, Mama menitipkanku padamu." "C'k, dasar menyusahkan," cibir Zeen. Aku berjalan ke arah Mas Reza. Kilatan amarah terpancar di matanya. "Nana!" bentak Mas Reza. Rasa ta
Part 9 (Si Mulut Pedas)"Banana, tunggu aku di mobil," ucap Zeen merapikan kemejanya. Aku memicingkan mata. "Namaku Nana Zeen, berhenti memanggilku Banana." Aku berdecak kesal, Zeen mulai memancing emosiku. Aku masih kesal dengan adiknya. Dan kini ia mengaduk-aduk amarahku yang mulai surut. "Mau Banana, mau Nana, sama saja, kau tetap tol*l dan b*doh!"Aku berhenti, lalu memutar badan. Apa katanya tadi? Apa aku tak salah dengar? Ia menyebutku t*lol dan b*doh?"Zeen jangan membuatku marah, aku tidak akan segan-segan mencekik lehermu!" Aku mendelikkan mata, Zeen mengedikan bahunya. "Aku bicara kenyataan, Nana! Ini fakta, tanpa Mama kau tidak akan bisa menang!""Kau lihat tadi, adikmu kutampar 2 kali, kupukul dengan tasku. Kulempar mereka dengan telur, apa kau mau kulempar dengan telur busuk juga?" Aku menyilang kedua tanganku. Tampak dahi Zeen mengerut heran."Kau terlalu bar-baran Nana, dan lihat ini. Akulah yang susah!""Aku tidak memintamu mengurus kekacauan yang kubuat. Aku akan m
Part 9 (Si Mulut Pedas II)****Aku keluar dari ATM dengan senyum mengembang. Berharap pria itu tak menyadari kalau Atm-nya hilang. Aku akan menguras habis uangnya setiap hari. "Banana, cepatlah, kau ini lelet sekali," teriak Zeen, ia bersandar pada badan mobil."Sabarlah, Zeen, aku sedang tak ingin bertengkar denganmu." Aku mencibik dalam hati, gegas kuayun langkah cepat menghampiri pria menyebalkan itu. Tiba didepannya, Zeen kembali bertanya. "Apa yang kau lakukan dengan kartu ATM adikku?""Menurutmu?" Aku berbisik di telinganya. "Reza bisa bangkrut kalau kau terus mengambil uangnya?""Itu lah tujuanku Zeen, aku menginginkan sebuah kehancuran terjadi pada adikmu," jawabku penuh penekanan.Zeen menatapku datar, tak ingin mendengar cibirannya, aku lekas masuk mobil. "Zeen aku pernah dengar dari Papa, kalau kamu menanam saham di perusahaan Mas Reza, benar?"Mendengar pertanyaanku Zeen menoleh. Sebelah alisnya terangkat, matanya menyipit. "Kau tau dari mana?""Aku kan bilang, aku